Rabu, 02 Januari 2013

FAKTA ILMIAH SAMA, KESIMPULAN BISA BERBEDA ~ CUPLIKAN DTM-35: ‘IBRAHIM Pernah ATHEIS’

Berikut ini adalah cuplikan dari buku DTM-35 yang baru terbit. Ada beberapa kasus yang saya angkat di Bab 2, diantaranya adalah pembahasan tentang substansi realitas alam semesta dalam sudut pandang Theis dan Atheis. Semoga bermanfaat.

KASUS PERTAMA: Substansi Materi.
Ribuan tahun para ahli Fisika mencoba memahami eksistensi alam semesta. Mulai dari eksistensi benda, eksistensi energi, eksistensi ruang, eksistensi waktu, dan eksistensi informasi. Hasilnya, sampai sekarang masih jauh dari kata ‘final’.

Apakah yang disebut ‘benda’? Orang dulu menyebut benda sebagai segala yang tampak oleh mata dan atau bisa dipegang oleh tangan kita. Begitulah sederhana definisinya. Maka, kita bisa menyebut segala yang kita namai benda itu, mulai dari bebatuan, pepohonan, pegunungan, air, udara, sampai benda-benda langit nun jauh disana.

Seiring dengan kemajuan sains, manusia mulai mempertanyakan, apakah substansi benda itu. Apakah ia berupa ‘gumpalan’ seperti yang kita lihat, ataukah tersusun dari substansi yang lebih mendasar. Maka, mulailah berkembang berbagai penelitian yang menghasilkan teori-teori ilmiah untuk mendefinisikan benda atau materi secara lebih substansial.

Bahwa, ternyata semua benda tersusun dari gumpalan-gumpalan yang lebih kecil yang masih memiliki sifat sama dengan gumpalan besarnya. Maka, disebutlah ia sebagai molekul. Ada molekul air, molekul udara, molekul bebatuan, dan sebagainya.

Lebih jauh, molekul-molekul itu ternyata juga tersusun dari bagian lebih kecil, yang lebih mendasar, yang disebut sebagai atom, berasal dari kata Yunani atomos yang bermakna tidak bisa dibagi lagi. Di tingkat atom ini para peneliti menemukan sifat lebih mendasar yang bisa berbeda dengan gumpalan benda asalnya. Bahwa benda alias materi itu ternyata tersusun dari kumpulan ‘sesuatu’ yang berbeda-beda yang membentuk sebuah komposisi khas. Air misalnya, ternyata adalah kumpulan atom hidrogen dan oksigen dalam komposisi yang khas, yakni 2 atom Hidrogen dan 1 atom oksigen. Sehingga diformulasikan sebagai H2O.

Kumpulan atom-atom itu membentuk benda-benda dalam berbagai skala, mulai dari yang sederhana dalam bentuk molekul unsur seperti Hidrogen, Oksigen, Nitrogen, Besi, Belerang, dan sebagainya sampai persenyawaan kompleks seperti molekul gula, protein, lemak, kayu, bebatuan, minyak, berbagai macam mineral, dan sebagainya.

Dalam skala molekul, manusia kini sudah bisa ‘melihat’ dengan peralatan seperti mikroskop elektron atau teknik kristalografi lainnya. Tetapi di skala atomik yang lebih kecil, pemahaman atas realitas benda sudah sedemikian sulit, sehingga harus menggunakan permodelan lewat cara-cara tak langsung. Meskipun pengamatannya sudah lebih dari dua ratus tahun.

Bentuk benda dalam skala atom, hanyalah berupa kebolehjadian yang diteorikan belaka, dimana setiap permodelan bisa menunjukkan hasil yang berbeda. Pendapat tentang bentuk atom itu berkembang terus mulai dari model Atom Dalton (1803) yang menganggap atom sebagai bola pejal.

Lantas, disempurnakan oleh JJ Thomson (1897) dengan mengatakan: atom adalah bola pejal yang bermuatan positif, dan di dalamnya tersebar muatan negatif elektron. Perkembangan selanjutnya diperoleh Rutherford (1911) yang mengajukan model, bahwa Atom terdiri dari inti atom yang sangat kecil dan bermuatan positif, dikelilingi oleh elektron yang bermuatan negatif.

Lebih jauh, Niels Bohr (1913) mengajukan model atom semacam tatasurya, yang intinya dikelilingi oleh elektron-elektron pada lintasan-lintasan tertentu sebagai kulit atom atau tingkat energi.

Dan akhirnya, model atom modern diajukan oleh Fisikawan Erwin Schrodinger (1926) berdasar teori kuantum. Ternyata, model ini tetap tidak bisa memberikan kepastian bentuk atom. Karena mesti dijelaskan dengan menggunakan mekanika kuantum, yang bertumpu pada ‘teori ketidak-pastian’ Heisenberg.

Bahwa, atom adalah penyusun benda paling kecil yang berisi inti positif dengan dikelilingi oleh awan elektron bermuatan negatif, dimana posisinya tidak bisa ditentukan secara tepat. Jadi, teori modern malah semakin mengukuhkan ketidakpastian bentuk atom.

Dengan kata lain, manusia tidak bisa menentukan secara persis bentuk benda dalam skala atom. Apalagi di bagian-bagian yang lebih kecil lagi, kondisinya menjadi sedemikian abstrak. Dan, kemudian hanya berkutat pada simbol-simbol belaka, tanpa bisa menyaksikan sosoknya.

Jadi, kenyataannya, manusia tidak bisa melihat atom. Juga tidak bisa melihat inti maupun elektron yang berputaran di sekelilingnya itu. Tapi kenapa kita percaya akan keberadaannya? Ya, karena kita bisa melihat efeknya. Bisa merasakan ‘hasil perbuatannya’. Sehingga, kita mengatakan ia ‘ada’.

Tetapi, kalau kemudian ada yang meminta bukti, dengan mengatakan: ‘’mana itu yang disebut atom? Tolong tunjukkan bukti keberadaannya secara kasat mata kepada saya.’’  Seseorang mungkin hanya akan garuk-garuk kepala. Karena dia tidak bisa menunjukkan langsung bendanya. Kecuali hanya ‘sifat-sifat’ yang terpantul dari berbagai peristiwa yang terjadi padanya.

Jadi, bagaimana cara membuktikan keberadaan atom-atom yang tak bisa dijangkau oleh indera manusia itu? Ya, selidiki dan simpulkan saja ‘bekas-bekas’ keberadaannya dalam berbagai peristiwa. Karena, dijamin, Anda tidak akan bisa melihatnya. Kalau kemudian itu ditanggapi dengan skeptis bahkan nggak percaya, bahwa jejak-jejak itu mewakili ‘keberadaannya’, ya sudah. Mau diapakan lagi, wong pemahamannya memang baru segitu.

Nah, yang demikian ini semakin kritis pada wilayah yang semakin halus. Misalnya pada tingkat partikel-partikel subatomik seperti elektron, proton, neutron bahkan neutrino, dimana jejak-jejaknya semakin samar untuk dilacak. Apalagi bentuknya.

Para ilmuwan, selain menggunakan perangkat ilmiah, lantas menggunakan perangkat ‘keimanan’ dalam melacak keberadaan partikel-partikel tersebut. Jika mereka skeptis dan tidak percaya akan keberadaannya, mereka bakal betul-betul tidak menemukannya. Asumsinya harus dimulai dari rasa percaya terlebih dahulu. Dan ‘berharap’ bisa bertemu dengannya. Barulah dikerjakan penelitian ilmiahnya.

Kalau kemudian ada yang menyebut ini menyalahi metode ilmiah, dan tidak bisa menerima, ya silakan saja. Bahwa, proses ilmiah kok dimulai dengan ‘mempercayai’ sesuatu yang belum terbukti. Dan, bahkan ‘berharap’. Ini sikap yang ‘diharamkan’ oleh para penganut skeptisisme.

Tetapi itulah yang terjadi pada proses penemuan-penemuan ilmiah selama ini. Bahwa asumsi ternyata seringkali dimulai secara ‘tidak ilmiah’ terlebih dulu, agar memperoleh ‘kebenaran ilmiah’ di fase selanjutnya. Bagaimana bisa menemukan sesuatu, kalau ia tidak pernah percaya pada sesuatu itu? Mereka hanya akan berputar-putar di dalam keragu-raguan dan skeptisisme. Para peneliti tidak pernah meletakkan dasar skeptisisme dalam hidupnya. Mereka adalah orang yang selalu positive thinking dan open mind dalam memahami dan menggali realitas.

Kenapa Stephen Hawking meragukan keberadaan Tuhan sebagai pencipta alam semesta? Karena dia bukan peneliti. Dia hanya teoritisi yang tidak mengamati langsung realitas ciptaan Tuhan yang membuat para peneliti terkagum-kagum. Hawking hanya utak-atik simbol-simbol matematis di dalam benaknya sendiri, di dalam persepsinya sendiri, yang sudah skeptis terhadap keberadaan Allah. Tentu, dia tak bisa merasakan kehadiran-Nya.

Pertanyaan tentang substansi materi bukan hanya berhenti di level partikel subatomik, tetapi telah menyentuh partikel penyusun yang disebut sebagai quark. Semakin jelas, para peneliti tidak bisa ‘menangkap’ bentuknya, kecuali hanya bemain-main dengan ‘keimanan’ yang diilmiahkan.

Bahwa quark ini adalah partikel paling dasar yang tidak bisa dipecah lagi. Bahwa ia berbentuk seperti pilinan energi. Padahal, kita semua tidak tahu bentuk energi itu seperti apa. Karena, energi memang bukanlah kuantitas yang berbentuk, melainkan sebuah kualitas. Jadi, bagaimana Anda bisa ‘percaya’ dengan keberadaan penyusun paling dasar dari materi ini?

Hal itu mirip dengan sifat dualitas elektron yang sangat ‘membingungkan’. Bahwa elektron memiliki sifat materi dan gelombang sekaligus. Padahal, materi bukanlah gelombang, dan sebaliknya gelombang bukan materi. Yang satu kuantitas, yang lainnya kualitas. Ini fakta ataukah opini? Dan, kenapa Anda percaya saja? Para ilmuwan, akhirnya hanya bisa bersikap ‘beriman’ dengan mengatakan: ya sudah kita terima saja realitas ini.

Pada level yang semakin halus dari sebuah eksistensi, memang ‘fakta’ semakin tak bisa dibedakan dan dipisahkan dengan ‘kepercayaan’ atau ‘keimanan’. Kenapa? Karena kita tidak memiliki perangkat yang memadai untuk membuktikannya. Kecuali harus mencampurnya dengan kepercayaan, bahkan harapan.

Orang-orang yang tak punya ‘kepercayaan’, ‘keimanan’ dan ‘harapan’ tidak akan pernah bisa ‘merasakan’ kehadiran eksistensi yang sedemikian halus itu. Karena telah ada mental block yang menghalangi kecerdasannya terhadap realitas.

Begitulah Al Qur’an mengajari kita untuk merasakan kehadiran Allah, Tuhan yang Maha Halus. Orang-orang yang tidak memiliki kepercayaan dan harapan untuk bertemu dengan-Nya, tidak akan pernah bisa membuktikan keberadaan-Nya. Karena, mereka tidak memiliki perangkat yang cukup untuk ‘merasakan’ kehadiran-Nya. Karena eksistensi-Nya jauh Lebih Halus dari eksistensi apa pun yang sudah sedemikian halus itu. Karena Dia memang Dzat Yang Maha Halus.

QS. Al An’aam (6): 103
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan. Dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.

~ wallahu a'lam bishshawab ~

KASUS KEDUA: Substansi Energi.
Tak jauh beda dengan kasus pertama, pemahaman manusia terhadap energi mengalami perkembangan menuju substansi yang penuh misteri.

Awalnya, manusia hanya merasakan keberadaan ‘kekuatan’ yang berada di balik setiap benda dan peristiwa. Bahwa benda-benda itu bisa bergerak dan berdinamika karena adanya dorongan kekuatan pada benda itu. Maka, para peneliti pun mengeksplorasi sumber-sumber energi.

Mulai dari yang paling sederhana, seperti energi yang terjadi pada benda yang sedang bergerak. Bahwa setiap yang bergerak ternyata menghasilkan tenaga, meskipun ia juga membutuhkan tenaga. Misalnya, kuda yang berlari akan menghasilkan tenaga, tapi ia juga mesti diberi sumber tenaga berupa makanan. Kalau tidak diberi makanan, maka kuda itu pun tidak akan mempunyai tenaga gerak.

Dari tenaga yang diberi nama energi mekanik ini kemudian merambah ke segala jenis gerakan benda di sekitar kita, di alam semesta. Manusia mempelajari berbagai gerakan benda-benda langit di alam makro, dan kemudian juga mengamati gerakan-gerakan partikel di alam mikro, yang lantas memunculkan teori-teori energi yang semakin kompleks. Seperti energi kimiawi, energi listrik, energi magnetik, energi nuklir dan energi gravitasi.

Secara umum energi-energi itu lantas dikelompokkan menjadi empat energi dasar alam semesta yang kita kenal sebagai energi elektromagnetik, energi gravitasi, energi nuklir kuat dan energi nuklir lemah. Energi-energi itu lantas menghasilkan gaya-gaya yang sesuai dengan energi penggeraknya, yakni gaya elektromagnetik, gaya gavitasi, gaya nuklir kuat dan gaya nuklir lemah.

Dari manakah semua gaya itu bermunculan? Kenapa kok bisa ada energi yang menghasilkan gaya yang menggerakkan dinamika alam semesta? Sebab, tanpa adanya gaya-gaya itu, alam semesta ini sudah runtuh, tak sempat terbentuk.

Tidak akan ada kuda yang berlarian. Tidak ada gajah, macan, kijang, dan binatang-binatang yang berkejaran. Tidak ada burung-burung yang berkicau. Tidak ada suara angin, ombak dan hujan. Tidak ada kehidupan. Tidak ada gerakan. Tidak ada dinamika.

Bahkan tidak ada benda, tidak ada ruang, tidak ada waktu, tidak ada apa-apa. Karena, semua itu terbentuk oleh dinamika materi yang digerakkan oleh energi. Jadi energi adalah daya gerak yang membuat alam semesta dengan segala peristiwanya ini terbentuk. Tanpa adanya energi itu nothing would exist.

Jangankan di skala makrokosmos, di skala mikro pun tidak akan ada partikel yang terbentuk. Padahal kalau tidak ada partikel, berarti tidak ada atom, tidak ada molekul, dan tidak ada benda apa pun. Sehingga planet-planet, matahari, galaksi dan benda-benda langit tidak akan pernah ada.

Dari manakah energi itu bersumber, dan faktor apa yang menyebabkannya menyumber atau bergerak? Karena tanpa ada inisiatif awal, energi benda akan tetap tersimpan sebagai energi potensial yang tak menghasilkan gerakan. Memang, setiap kali ada materi, di dalamnya tersimpan energi. Tapi, sekali lagi, ia hanya akan tersimpan sebagai potensi. Dan baru akan berdinamika ketika ada yang memunculkan ketidak-seimbangan awal.

Boleh saja Stephen Hawking mengasumsikan seluruh dinamika alam semesta itu disebabkan oleh adanya ‘fluktuasi kuantum’, yang secara acak lantas menggerakkan dinamika alam. Tetapi asumsi itu secara ilmiah cacat, karena hanya bersifat ‘pesanan’ agar hasilnya tidak memunculkan ‘faktor Tuhan’. Atau, setidak-tidaknya ‘kurang ilmiah’, karena sudah berbekal ‘keimanan’ dan ‘harapan’ dalam menentukan asumsi. Menolak eksistensi Tuhan yang dianggap ‘tidak ilmiah’, dengan asumsi yang tidak ilmiah.

Lha wong ketika ditanya, dari mana atau apa yang menyebabkan terjadinya ‘fluktuasi kuantum’ itu, dia tidak bisa menjawab secara lugas, kecuali hanya mengatakan itu sebagai efek keseimbangan hukum gravitasi yang sudah menjadi sifat alam semesta. Lagi-lagi dia mengandalkan ‘keimanan’.

Padahal kita tahu, gravitasi baru akan ada jika ada materi yang bermassa. Dan materi itu tidak bisa muncul dengan sendirinya kalau tidak ada inisiatif awal yang memunculkannya. Hawking, menghindari pertanyaan sulit ini dan tidak mau masuk ke dalamnya. Lantas, mendefinisikan alam semesta sebagai sekedar ruang dan waktu tanpa mengutak-atik variable materi dan energi. Tentu saja hasilnya sudah bisa ditebak..!

Begitulah proses yang terjadi, sehingga menghasilkan kesimpulan yang sebenarnya ‘cacat bawaan’. Jika dikejar terus, para atheis akan menjadi reaktif dan kemudian mengatakan kepada orang-orang beragama sebagai memaksa mereka untuk mengakui keberadaan Tuhan. ‘’Setiap tidak bisa menjawab fenomena alam, orang beragama selalu menyodorkan peran Tuhan. Dan selesai. Itulah yang menyebabkan umat beragama menjadi bodoh. Yang semestinya dilakukan adalah ini: lets do better science - mari belajar sains lebih baik, agar menemukan jawabannya’’.

Ungkapan di atas adalah alasan klise untuk menghindari faktor Tuhan. Padahal jawaban semacam itu sudah diulang-ulang sejak dulu, tanpa menemukan ujung pangkalnya. Dan sains memang tidak pernah menemukan jawaban tuntas atas misteri di balik realitas alam semesta. Apalagi, jika jawaban itu dikombinasikan dengan skeptisisme yang ada pada kalangan atheis. Hasilnya sudah bisa ditebak, mereka tidak akan pernah menemukan Tuhan, karena mereka memang ‘tidak ingin’ bertemu Tuhan.

Sampai disini sebenarnya sudah jelas persoalannya bahwa menjadi atheis atau theis itu sebenarnya adalah sebuah pilihan, tanpa harus menjadikan alasan ilmiah sebagai senjata pembenar. Orang-orang yang skeptis menjadi penganut ateisme bukan karena mereka memperoleh kesimpulan valid atas tidak adanya Tuhan, melainkan karena mereka telah memilih untuk menjadi atheis. Sama saja bagi mereka, ada bukti atau tidak, mereka tetap saja tidak bertuhan.

QS. Al Baqarah (2): 6
Sesungguhnya orang-orang yang ingkar, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.

~ wallahu a'lam bishshawab ~

KASUS KETIGA - Substansi Ruang & Waktu.
Sebenarnya, alam semesta bukan hanya terdiri dari ruang dan waktu. Karena, ruang dan waktu itu hanya sebagai akibat saja dari variabel yang lebih substansial yaitu materi dan energi yang telah kita bahas di bagian sebelum ini.

Ruang dan waktu adalah konsekuensi dari materi yang berdinamika mengembang ke segala penjuru alam semesta. Karena proses merenggang antar materi itulah, maka terbentuk ruang. Dengan kata lain, jika materi tidak merenggang, tidak akan terbentuk ruang. Alias tidak ada ruang. Nol. Dan para ilmuwan pun ‘kebingungan’ memahami paradoks ini. Karena tanpa ruang, berarti materi tidak memiliki tempat untuk eksis. Termasuk materi kuantum yang diasumsikan Hawking mengalami fluktuasi di awal waktu itu. Jika materi kuantum sudah bisa berfluktuasi, itu artinya sudah ada ruangan. Jadi, kenapa dia menyebut ruang dan waktu terbentuk dari fluktuasi kuantum? Sebuah asumsi yang sangat rancu.

Demikian pula dengan variabel ‘waktu’, ia terbentuk dikarenakan materi-materi penyusun alam semesta ini bergerak. Jika materi-materi itu tidak bergerak, alias diam, maka tidak ada waktu. Semua isi alam semesta menjadi statis. Tidak ada peristiwa. Tidak ada dinamika. Tidak ada ‘waktu’, karena ‘waktu’ adalah penanda dinamika peristiwa.

Kerancuan asumsi Hawking juga terjadi ketika menyebutkan fluktuasi kuantum bisa menyebabkan munculnya waktu - bersamaan dengan ruang. Padahal, yang namanya fluktuasi itu adalah besaran yang bergerak seiring waktu. Artinya, jika materi kuantum sudah bisa berfluktuasi, dengan sendirinya sudah ada waktu. Lha, definisi ‘fluktuasi’ itu kan‘ perubahan keadaan seiring waktu’? Bagaimana bisa terjadi fluktuasi jika tidak ada waktu? Sehingga, asumsi fluktuasi kuantum sebagai penyebab terciptanya alam semesta dengan sendirinya adalah asumsi yang rancu dan dipaksakan.

Ruang dan waktu mestinya bukan muncul dari fluktuasi kuantum, melainkan sebelum itu. Dua variabel penyusun alam semesta itu muncul seiring dengan materi dan energi. Begitu muncul materi, secara bersamaan muncul juga energi yang menjadi daya penggerak dinamika alam semesta. Dan seiring dengan dinamika, terbentuklah ruang dan waktu. Sehingga setelah 13,7 miliar tahun kemudian kita bisa menyaksikan alam semesta berbentuk seperti sekarang ini.

Ilmu pengetahuan atau sains, masih kebingungan untuk menjelaskan dari mana asal muasal materi yang jumlahnya sangat besar di alam semesta ini. Dan darimana pula energi raksasa yang menjadi daya penggerak benda-benda langit secara kolosal itu bersumber, sehingga terbentuk ruang dan waktu. Maka saya mengusulkan adanya variabel kelima sebagai pembentuk alam semesta itu, yakni variabel Informasi, sebagaimana telah saya bahas dalam buku-buku saya terdahulu, diantaranya DTM-21 yang berjudul: MEMBONGKAR TIGA RAHASIA.

Di setiap bagian materi ternyata selalu tersimpan informasi. Sejak awal keberadaan alam semesta. Sehingga variabel informasi itu layak disebut sebagai variabel dasar pembentuk alam semesta. Mulai dari quark sebagai penyusun dasar materi alam semesta, partikel-partikel subatomik, partikel-partikel kuantum, sampai pada sistem atomik, molekuler, dan seterusnya yang membentuk benda-benda skala besar dalam dunia makrokosmos, di dalamnya selalu terdapat infomasi secara inheren.

Karena ada variabel informasi itulah maka setiap partikel menjadi memiliki fungsi yang khas. Proton berbeda dengan neutron, berbeda dengan elektron, berbeda dengan neutrino, berbeda dengan foton, berbeda dengan gluon, dengan W-Z Boson, dengan graviton dan sebagainya. Semua itu dikarenakan ada informasi pembeda yang inheren.

Jadi, informasi-informasi itulah yang sebenarnya lebih mendasar dan berperan memunculkan dinamika alam semesta. Memunculkan materi, memunculkan energi, memunculkan ruang dan waktu. Dan memunculkan alam semesta dengan segala peristiwanya. Semua itu dipengaruhi oleh sistem informasi yang berdinamika di dalam segala variabel alam semesta.

Sistem informasi itu berisi perintah-perintah khas untuk melakukan sesuatu. Partikel kuantum W-Z Boson ‘diperintahkan’ untuk mengikat sejumlah quark menjadi partikel-partikel subatomik seperti proton dan neutron.

Partikel kuantum Gluon diperintahkan untuk mengikat sejumlah proton dan neutron itu untuk membentuk sistem atomik dengan variasi komposisi yang khas. Sehingga di alam semesta ada lebih dari seratus unsur yang menjadi pondasi dari segala macam benda dan peristiwa.

Partikel kuantum Foton ditugasi untuk melakukan interaksi antar atom, antar molekul dan benda-benda supaya terjadi reaksi-reaksi kimia, reaksi kelistrikan, reaksi kemagnetan, dan reaksi-reaksi gerakan dalam skala menengah. Disinilah peristiwa kehidupan sehari-hari terjadi.

Dan akhirnya partikel graviton yang sekarang masih dalam penyelidikan diberi tugas untuk mengikat benda-benda langit dalam skala raksasa untuk tetap berada di dalam sistem universal. Yang jika tugas ini ‘dilalaikan’ oleh partikel graviton, alam semesta bakal kacau dan runtuh kembali. Partikel Higgs Bosson yang menjadi trending topic beberapa waktu yang lalu dipersepsi sebagai partikel Graviton ini, yang bertanggungjawab atas munculnya materi bermassa di awal terbentuknya alam semesta.

Menarik juga, sebuah partikel dipersepsi sebagai aktor yang bertanggungjawab atas munculnya materi awal di alam semesta. Yang jika materi itu tidak muncul, akibatnya tidak akan ada gaya gravitasi. Dan jika gaya gravitasi tidak ada, maka alam semesta tidak akan ada pula. Karenanya ruang dan waktu tidak akan pernah terbentuk.

Padahal Higgs Bosson adalah benda mati, yang tak punya tujuan apa-apa. Tidak punya kehendak sedikit pun. Meskipun di dalamnya memang ada program berupa komposisi informasi yang menyebabkan dia memiliki fungsi khas memunculkan gravitasi.

Pertanyaannya, siapa yang menulis program itu? Siapa yang berada di balik ‘perintah’ yang menjadikan setiap partikel memiliki tugas sendiri-sendiri tersebut? Ini mengingatkan kita pada penelitian genetika yang dikemukakan oleh Kazuo Murakami.

Bahwa gen-gen tak lebih adalah benda mati yang tersusun secara khas. Tapi, susunan benda mati itu ternyata memiliki makna alias informasi yang berfungsi sebagai perintah untuk membentuk sistem yang lebih besar. Bukankah mustahil, benda mati bisa memberikan perintah sedemikian kompleks dan teratur? Siapakah aktor di balik molekul-molekul yang sedang memberikan perintah itu? Karena, susunannya sedemikian indah dan menakjubkan. Dan lantas menghasilkan tatanan yang luar biasa mempesona, mengarah kepada sistem yang sangat kompleks dalam drama kehidupan manusia.

Ya, siapakah yang sedang ‘berkirim surat’ lewat segala macam partikel penyusun alam semesta ini? Para atheis menghindari suasana yang sangat mempesona itu, dengan memutus penelusuran lebih dalam kepada ‘Sesuatu’ yang Maha Agung di baliknya.

Semua variabel alam semesta yang empat itu - ruang, waktu, materi, energi - semata-semata benda mati yang tidak punya tujuan. Tidak punya program. Dan tidak punya kehendak. Sistem informasi itulah yang telah menginisiasi empat variabel untuk bergerak secara terprogram mengarah pada tujuan tertentu.

Bagi orang semacam Murakami, hal ini sudah cukup menjadi bukti adanya Tuhan. Dan bagi Ibrahim, itu pun sudah cukup untuk menggetarkan sendi-sendi jiwanya, menyambut ‘uluran tangan’ dari Sang Maha Cerdas, Maha Berkuasa, lagi Maha Bijaksana..!

QS. Fushshilat (41): 53-54
Kami akan memperlihatkan kepada mereka (orang-orang yang percaya kepada Allah) tanda-tanda (keberadaan) Kami di seluruh penjuru Bumi dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Quran itu benar. Tidak cukupkah (bagimu) bahwa sesungguhnya Tuhanmu menyaksikan segala sesuatu?

Ketahuilah, sesungguhnya mereka (orang-orang yang tidak percaya Tuhan itu) berada di dalam keraguan tentang pertemuan dengan-Nya. (Padahal) ingatlah, sesungguhnya Dia (sudah hadir) meliputi segala sesuatu.

~ wallahu a'lam bishshawab ~

KASUS KEEMPAT: substansi kehidupan.
Misteri besar lainnya yang menyelimuti kehidupan manusia adalah tentang munculnya makhluk hidup di planet Bumi. Sebuah drama kolosal yang sangat menakjubkan, sehingga muncullah berbagai kisah hidup yang mengharu biru jiwa kita. Termasuk munculnya pro-kontra dalam menyikapi kehidupan itu sendiri.

Orang-orang atheis menyebutnya sebagai peristiwa yang terjadi dengan sendirinya lewat seleksi alam secara evolutif. Sedangkan orang-orang beragama menyebutnya sebagai hasil ciptaan Tuhan. Yang satu menyebutnya by natural selection, yang lain menyebutnya sebagai by design. Pemikiran orang atheis diwakili oleh Richard Dawkins, sedangkan ‘pemikiran’ orang beragama masih berbeda-beda antara satu agama dengan agama lainnya, yang kemudian menjadikan perdebatan antara kedua kelompok theis-atheis ini menjadi bias.

Diantaranya, karena Dawkins tak bisa menghindar dari penyamarataan konsep by design itu, dengan mengambil mainstream penciptaan ala konsep Kristen, yang tentu saja berbeda dengan konsep Islam. Meskipun, dia sudah memberikan kata pengantar bahwa Tuhan dalam berbagai agama adalah berbeda-beda. Karena itu, ketika pemikiran evolusi ala atheis itu disandingkan dengan konsep penciptaan dalam Islam, kita harus mendefinisikan kembali secara lebih khusus agar tidak memunculkan bias.

Secara garis besar, Dawkins menggunakan pendapat umum dalam teori evolusi Darwinian yang telah disesuaikan dengan perkembangan teori genetika. Bahwa makhluk hidup di planet Bumi ini terbentuk secara bertahap alias evolutif lewat mekanisme seleksi alam. Siapa yang bisa bertahan dari kondisi ekstrim, maka merekalah yang akan bisa tetap eksis di alam, hingga kini.

Tidak ada campur tangan dari ‘pihak lain’ dalam proses ini, karena campur tangan hanya akan menjadikan proses evolusi menjadi semakin kompleks, dan sulit dijelaskan secara ilmiah. Diantaranya ia memberikan argumentasi, jika makhluk hidup diciptakan oleh Tuhan maka semestinya semua peristiwa berjalan dengan sempurna. Tidak ada yang terlahir cacat. Jika masih ada yang terlahir cacat, berarti Sang Desainer tidak Maha Sempurna. Bahkan tidak adil terhadap makhluk-Nya. Pada kenyataannya, beragam makhluk hidup di muka Bumi memiliki berbagai kondisi yang tak sempurna. Sehingga lebih cocok, semua realitas ini terbentuk secara natural lewat seleksi alam saja.

Tuhan tidak perlu ada dan terlibat di dalamnya. Meskipun, Dawkins tidak berani meniadakan sama sekali tentang kemungkinan adanya Tuhan. Sehingga di dalam bukunya The God Delusion, bab 4, ia hanya berani mengatakan ‘Hampir Pasti Tidak Ada Tuhan’, sambil menyodorkan konsep munculnya kehidupan itu sebagai akibat dari proses seleksi alam murni.

Mirip dengan yang dikemukakan oleh Hawking dalam The Grand Design, Dawkins berusaha ‘menghindari kesulitan’ dalam menetapkan asumsi awal, agar konsep seleksi alamnya cocok dengan yang diharapkan. Menurutnya, keterlibatan Tuhan dalam seleksi alam hanya akan menimbulkan kompleksitas, maka dia pun menetapkan asumsi: sebaiknya tidak usah ada Tuhan saja dalam proses kemunculan makhluk hidup ini.

Itulah sebabnya, dia lantas berkesimpulan bahwa teori alam semesta tanpa Tuhan adalah lebih baik dibandingkan dengan teori penciptaan yang melibatkan Tuhan. Alasannya, manusia lebih suka yang sederhana daripada yang kompleks. Yang disebutnya sebagai metode ‘Pisau Cukur Ockham’.

Tentu saja, alasan semacam ini seharusnya tidak dijadikan dasar atau pijakan membuat kesimpulan yang pasti dalam menyikapi seleksi alam. Masa, hanya karena kita lebih suka yang sederhana dan menjauhi yang kompleks, lantas mengorbankan kebenaran realitas. Atau, setidak-tidaknya menghalangi upaya untuk menemukan kebenaran lebih tinggi.

Ini sangat berbeda dengan Kazuo Murakami, yang merupakan peneliti andal tanpa pretensi terselubung. Seorang peneliti sejati tidak akan memiliki mental seperti itu dalam menyikapi realitas. Kazuo Murakami tidak pernah menolak kompleksitas realitas yang dihadapinya. Bahkan malah menikmatinya. Karena dia berhadapan dengan fakta dan realitas yang memang demikian adanya. Dan itulah yang lantas membuatnya merasa kecil dan minder di hadapan alam semesta yang demikian dahsyat dengan segala kompleksitasnya.

Bisa kita bayangkan, jika para peneliti memiliki mental menghindari kompleksitas seperti yang dikemukakan oleh Dawkins, pemetaan genom di dalam genetika manusia mungkin tidak akan terjadi. Ada sekitar 3-4 miliar kode-kode genetika yang ditemukan di dalam inti sel tubuh manusia, yang semuanya membentuk komposisi sangat rumit dalam mengendalikan kehidupan, dan belum sepenuhnya dipahami mekanismenya.

Justru, kompleksitas itulah yang membuat jiwa Murakami bergetar, merasakan hadirnya Dzat yang Maha Agung di balik rumitnya realitas. Sehingga, menurutnya, tidak bisa tidak, mesti ada ‘Kecerdasan Super’ melampaui kecerdasan manusia mana pun, yang mengendalikan dan merancang alam semesta. Khususnya kode-kode genetika di dalam makhluk hidup, yang menjadi penyebab munculnya drama kehidupan yang jauh lebih kompleks lagi.

Di dalam buku The Selfish Gene, Dawkins juga berpendapat bahwa gen adalah kode-kode yang tidak bisa berubah. Yang bisa berubah itu adalah komposisi pasangannya, sehingga membentuk kromosom yang berbeda, dan lantas menghasilkan individu yang berbeda-beda pula. Gen bakal ada selamanya.

Berikut ini adalah ungkapan Dawkins dalam buku tersebut, yang berasumsi bahwa gen adalah satuan terkecil kehidupan yang tak bisa berubah:

“Individuals are not stable things, they are fleeting. Chromosomes too are shuffled to oblivion, like hands of cards soon after they are dealt. But the cards themselves survive the shuffling. The cards are the genes. The genes are not destroyed by crossing-over; they merely change partners and march on. Of course they march on. That is their business. They are the replicators and we are their survival machines. When we have served our purpose we are cast aside. But genes are denizens of geological time: genes are forever.”

‘’Individu-individu bukanlah sesuatu yang stabil, mereka terus berubah. Kromosom juga diacak sampai tak bisa diingat lagi, ibarat sekumpulan kartu yang telah dibagi-bagikan. Namun kartu-kartu itu sendiri tidak berubah oleh pengacakan. Kartu-kartu tersebut adalah gen. Gen tidak hancur melalui penyilangan. Gen hanya mengubah pasangannya dan akan terus ada. Tentu saja gen akan terus ada. Karena, itulah tugas mereka. Gen adalah replikator dan kita adalah mesin pertahanan hidupnya. Ketika kita telah menunaikan tugas, kita dikesampingkan. Namun gen merupakan penghuni waktu geologis: gen akan ada selamanya’’

Berbagai penelitian mutakhir menunjukkan, bahwa gen sebenarnya bukanlah makhluk hidup. Ia hanya bagian saja di dalam sistem sel sebagai unit terkecil kehidupan. Gen tak lebih hanya kumpulan molekul-molekul mati, yang tersusun secara khas, sehingga membentuk informasi. Cuma, anehnya, kumpulan ‘benda mati’ itu bisa memunculkan informasi yang justru memunculkan kehidupan sel. Sel bisa hidup karena diperintah oleh genetika dari dalam inti sel itu, sehingga muncul proses-proses biokimiawi dan kelistrikan yang menyebabkan sel bisa hidup berkelanjutan. Inti sel adalah pusat pemerintahan genetik di dalam bagian terkecil tubuh manusia itu.

Ibarat sebuah buku cerita, di dalam inti sel kita ada pesan-pesan pembentuk kehidupan, baik yang bersifat anatomis maupun perilaku. Buku cerita itu disebut GENOM. Isinya ada 23 bab, yang disebut sebagai KROMOSOM. Di dalam kromoson itu ada ribuan cerita, yang disebut sebagai GEN.

Di dalam gen ada paragraf-paragraf yang disebut EKSON, dengan diselingi cerita-cerita tak terkait yang disebut sebagai intron. Paragraf tersebut tersusun dari kata-kata yang disebut sebagai KODON. Dan kata-kata itu tersusun dari huruf-huruf yang disebut BASA.

Nah, huruf-huruf yang disebut Basa itu berbentuk molekul-molekul kimiawi yang mati, dari senyawa Adenin (A), Guanin (G), Cytosin (C), dan Timin (T). Komposisi empat huruf A-C-G-T itulah yang akan memunculkan kode-kode berupa kata (Kodon), menjadi paragraf (ekson), menjadi gen, membentuk kromosom, dan akhirnya membentuk 'buku cerita' kehidupan bernama Genom. Jika A-C-G-T mengalami masalah, maka kode-kode itu tentu akan bermasalah juga. Dan mengganggu proses kehidupan sel.

Akan terjadi penyimpangan pembentukan Kodon, yang mempengaruhi Ekson, dan lantas menghasilkan penyimpangan genetika. Jadi genetika bukanlah unit terkecil kehidupan. Karena unit terkecil itu sebenarnya berada pada level sel yang bisa melakukan aktivitas sebagai makhluk hidup. Sedangkan inti sel dengan genetikanya adalah sekumpulan ‘benda mati’ belaka, tetapi berisi sistem informasi yang sangat canggih sehingga mampu mengendalikan jalannya kehidupan sel.

Tentu saja ini sangat aneh. Karena, molekul-molekul itu tidak memiliki kehendak dan tidak punya tujuan. Sehingga, proses yang terjadi di dalamnya tak beraturan alias acak. Tapi kondisi acak itu tenyata bisa menghasilkan cerita lebih kompleks ‘dari bab ke bab’ dalam bentuk kromosom yang sangat unik, dan kemudian memunculkan ‘buku genom’ yang sangat khas pada setiap spesies. Sebuah ‘buku cerita’ yang merangkum seluruh karakter sesosok makhluk hidup, baik karakter fisik maupun perilakunya.

Disinilah saya memberikan kritik atas kesimpulan Dawkins bahwa kehidupan bisa muncul dengan sendirinya, tanpa ada campur tangan sesuatu di luar sel. Ada missing link yang tidak bisa dijelaskan, saat peralihan dari molekul-molekul yang ‘benda mati’ itu menjadi unit terkecil kehidupan yang disebut sel.

Dawkins tidak ingin memperoleh kesulitan atau kerumitan di level yang lebih kecil dari genetika. Sehingga meletakkan asumsinya disini. Bahwa genetika adalah sesuatu yang abadi, dan tak berubah. Karena yang berubah itu cuma level-level setelah gen yang disebut sebagai kromosom dan individu-individu.

Dia mengansumsikan gen sebagai unit terkecil kehidupan yang tidak perlu dipermasalahkan lagi. Atau, digali lagi. Padahal, kalau kita gali lagi, masalahnya akan menjadi rumit dan kompleks, sebagaimana dihadapi oleh Kazuo Murakami.

Kok bisa-bisanya, molekul-molekul yang benda mati itu berkehendak dan mengeluarkan perintah yang sedemikian sistematis dan terstruktur, untuk mempertahankan kehidupan sel. Dia mesti melakukan proses metabolisme, mesti menyediakan energi kelistrikan agar proses biokimiawi itu terjadi, mesti menyaring bahan-bahan baku dari luar sel yang tidak bersifat meracuni sel, dan sebagainya. Dan kemudian, sel-sel itu bisa mereplikasi dirinya, sehingga berkembang biak bertambah banyak.

Dan bukan main, jumlah kode-kode genetika di dalam genom kita itu lebih dari 3 miliar, yang berkolaborasi membentuk sistem informasi yang sangat canggih. Yang menyebabkan seluruh proses biokimiawi dalam makhluk hidup bisa berjalan secara berkesinambungan. Sehingga ada dinamika kromosom dan individu-individu yang terlihat seperti mengalami seleksi alam.

Padahal, kuncinya bukan pada faktor eksternal makhluk hidup itu, melainkan berada pada sistem genetika, di internal makhluk hidup itu sendiri. Sehebat apa pun seleksi alam yang muncul di eksternal, jika sistem genetika di internalnya tidak memiliki sistem informasi yang cerdas, sel itu tidak akan bisa bertahan hidup. Ada sustainable mechanism yang luar biasa canggih di dalamnya.

Dawkins tidak mau ‘ribet’ memasuki area ini, karena dia bakal bertemu ‘Kecerdasan Super’ yang sangat menakjubkan, tetapi menyulitkannya. Karena ia lantas tidak bisa berkesimpulan bahwa ‘makhluk hidup muncul dengan sendirinya tanpa ada campur tangan Tuhan’.

Ya, dia telah memutuskan untuk berhenti saja pada skala gen yang sudah dianggapnya memiliki ‘kecerdasan bawaan’ dari sono-nya. Sudah given, dan bawaan alam. Oke, boleh saja. Itu adalah sebuah pilihan, agar kesimpulannya sesuai dengan yang diprediksikannya.

Tetapi, tentu saja tidak fair kalau kesimpulan semacam ini lantas digeneralisasikan sebagai ‘kebenaran’ dan ‘fakta ilmiah’ bahwa makhluk hidup memang bisa memunculkan dirinya sendiri. Dan kemudian menganggap semua yang berbeda dari kesimpulannya sebagai tidak ilmiah. Karena sesungguhnya dia telah berlaku unfair dengan meletakkan asumsi yang bersifat ‘pesanan’ itu dalam skala genetika, demi menghindari ‘Kompleksitas’ yang berada diluar jangkauan kemampuannya. Padahal di kompleksitas itulah sebenarnya ia berpotensi untuk ‘bertemu’ dengan Allah, Tuhan Sang Maha Pencipta lagi Maha Berilmu..!

QS. Al An'aam (6): 95
Sesungguhnya Allah-lah yang menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. (Yang) demikian itu adalah Allah. Maka mengapa kamu masih berpaling (tak mengakui-Nya)?

~ wallahu a'lam bishshawab ~

KASUS KELIMA - Substansi Kesadaran.
Sebagai pakar neuroscience yang atheis, Sam Harris membangun kesimpulan yang senada dengan kawan-kawannya. Bahwa Tuhan itu tidak ada. Karena secara neuro-science tidak bisa dibuktikan.

Tuhan hanyalah sebuah konsekuensi dari ‘keharusan kognitif’ untuk mencari kejelasan dari sesuatu yang tidak diketahui. Dan kemudian manusia mencoba menghubung-hubungkan dengan asal-usulnya, asal-usul kehidupan, serta kemana perginya kelak sesudah kematian.       

Semua itu, menurutnya, adalah sesuatu yang tidak jelas dan tidak pasti. Tapi karena kita butuh jawaban, maka dibuatlah jawaban yang bersifat transendental atau supranatural. Menurutnya semua itu hanya ilusi belaka. Atau, delusi seperti disimpulkan oleh Dawkins.          

Ia meyakini, di masa depan Agama akan kehilangan posisi seiring dengan semakin menguatnya argumentasi sains. Manusia akan lebih meyakini bukti-bukti yang empiris daripada yang transendental. Karena itu keyakinan terhadap Tuhan dan agama sudah selayaknya diakhiri, sebagaimana judul bukunya: The End of Faith.

Sebenarnya, kalau kita mau menengok sistem kerja otak manusia dalam memahami realitas ini kita akan berpikir ulang untuk membuat kesimpulan semacam itu. Sebuah kesimpulan yang menurut saya tergesa-gesa, untuk mengatakan Tuhan adalah sekedar kebutuhan kognitif belaka. Bahkan, sekedar delusi.

Otak kita adalah mesin canggih yang menjadi interface alias media penghubung antara ‘dunia luar’ yang kita sebut sebagai realitas, dengan ‘dunia dalam’ yang kita sebut sebagai kognisi atau kesadaran. Pada orang-orang atheis, mereka menyebut kesadaran itu sebagai sesuatu yang tak terpisahkan dari otak. Atau, bahkan otak itu sendirilah yang disebut sebagai ‘kesadaran’, atau setidak-tidaknya sebagai ‘sumber kesadaran’.

Sedangkan orang beragama, menyebut otak hanya sebagai media atau pintu gerbang saja untuk memasuki alam kesadaran. Karena, kesadaran itu bersumber pada sesuatu yang lebih dalam, yakni ruh. Kesadaran yang identik dengan otak adalah kesadaran rendah yang disebut sebagai jiwa. Sedangkan kesadaran yang lebih tinggi disebut sebagai kesadaran ruh yang bersumber pada Kesadaran Semesta, atau kesadaran Ilahiah yang terkait dengan keberadaan Tuhan yang transendental.

Orang-orang atheis membuat kesimpulan  bahwa ‘kesadaran identik dengan otak’ berdasar pada bukti empiris, dimana seseorang yang otaknya mengalami kerusakan, akan mengalami gangguan kesadaran. Alias gangguan jiwa. Dan sebaliknya, orang yang mengalami gangguan jiwa juga mengalami kerusakan pada struktur otaknya. Sehingga, mereka menyimpulkan otak = jiwa, dan jiwa = otak.

Tidak ada istilah ruh dalam kamus mereka. Karena, kehidupan bukan disebabkan oleh adanya ruh, melainkan muncul sebagai konsekuensi dari sistem alamiah yang ada di dalam tubuh makhluk hidup. Dengan demikian, kematian dianggap sebagai terminal terakhir dari perjalanan makhluk hidup. Tidak ada yang namanya kehidupan sesudah mati. Atau alam berdimensi lebih tinggi sebagai kelanjutan kehidupan dunia. Semua itu menjadi satu paket dari ketidak percayaan mereka terhadap Tuhan.

Tetapi, kalau mereka mau membuka sedikit saja jendela pemikirannya, mereka akan bisa merasakan adanya sesuatu di balik otak. Bahkan di balik susunan saraf-saraf otak. Atau, lebih kecil lagi di dalam sel-sel  saraf itu, yang kemudian akan memasuki wilayah genetika sebagai pengendali mekanisme kerja saraf otak manusia.

Pertanyaannya, sebenarnya ‘kesadaran’ itu berada hanya di wilayah otak sebagai organ, ataukah sudah ada di tingkat sel, ataukah malah sudah ada di tingkat inti sel dan genetikanya? Bahkan, lebih jauh kita masih bisa menelisik lebih ke dalam lagi.

Memang di dalam tubuh manusia, kesadaran kemanusiaan kita berada di wilayah otak. Sehingga, seakan-akan kesadaran identik dengan otak. Tetapi, kalau kita mau mencermati lebih jauh, fungsi otak sebagai pusat kesadaran itu hanya berhenti pada skala organik.

Otak mengendalikan berbagai aktivitas tubuh dalam skala organik, seperti mengendalikan jantung, paru-paru, ginjal, organ pencernaan, dan berbagai kelenjar dalam sistem endokrinologi. Namun, dia tidak mengendalikan aktivitas di tingkat seluler. Karena, di wilayah ini yang menjadi ‘otaknya’ bukan lagi otak yang berada di dalam tempurung kepala itu, melainkan sistem kecerdasan di dalam inti sel dalam bentuk mekanisme genetika itu.

Termasuk di dalam ‘otak kepala’ sendiri. Para ahli neuroscience masih perlu meneliti lebih mendalam, apakah kesadaran itu berada di tingkat organik ataukah di tingkat seluler, ataukah lebih mendalam ada di tingkat genetika, ataukah malah besumber dari balik semua yang materialistik itu?

Karena, sebagaimana kita ketahui, jika sosok materi ‘dihaluskan’ kuantitasnya sampai menjadi kualitas, ia akan berubah menjadi energi, mengikuti rumus Einstein, E=mc2. Pemusnahan materi akan menghasilkan energi. Sebaliknya, ‘pengkristalan’ energi akan menghasilkan materi.

Artinya, ada realitas kontinum yang bisa mewujudkan materi sebagai kuantitas, menjadi energi sebagai kualitas. Ibarat deret angka yang memanjang dari sisi positif di sebelah kanan, dan negatif di sebelah kiri, perubahan keduanya akan melewati angka nol alias ketiadaan. Atau pemusnahan.

Sehingga perubahan dari suatu keadaan ‘positif’ berupa materi menjadi suatu keadaan ‘negatif’ berupa energi harus ‘melangkahi’ pemusnahan terlebih dahulu. Itulah yang terjadi pada proses annihilasi materi menjadi energi.

Maka, kalau kita kaitkan realitas itu dengan organ otak dan fungsi kesadaran, kita bisa melihat korelasinya dengan jelas. Bahwa otak adalah materi, sedangkan fungsi kesadaran adalah kualitas atau energi. Perubahan dari ‘otak materi’ menjadi ‘otak energi’ itu menjadi penjelas terjadinya kesadaran di dalam otak kita.

Bahwa, kesadaran manusia bukan hanya disebabkan oleh sistem sarafi dalam skala organ belaka, melainkan lebih mendalam dari itu, terhubung dengan proses annihilasi materi menjadi energi kesadaran. Sehingga, sebenarnya, kesadaran itu sudah ada di level yang lebih halus dibandingkan otak sebagai organ. Dan itulah yang kita lihat dalam skala seluler maupun biomolekuler di sistem informasi genetika.

‘Kesadaran’ sudah muncul di level yang lebih kecil dari otak. Sehingga kesadaran otak hanyalah ‘akumulasi kesadaran’ di tingkat yang lebih halus saja. Bagaimana mungkin sel bisa hidup, jika sel-sel itu tidak memiliki ‘kesadaran’ untuk mempertahankan kehidupannya?

Bagaimana mungkin juga, sistem genetika itu bisa memberikan perintah-perintah terstruktur, kalau mereka tidak memiliki kesadaran untuk mencapai tujuan tertentu, yakni membentuk sel, mempertahankannya, dan bahkan mengembangkan untuk bisa menjadi lebih banyak lagi. Semua itu dikontrol oleh sebuah ‘kesadaran’.

Adalah sebuah ketergesa-gesaan jika menyimpulkan kesadaran identik dengan otak belaka. Dan tidak ada sumber kesadaran yang lebih dalam di balik itu. Karena sesungguhnya, setiap benda dalam skala wujud materialistiknya memiliki kesadaran sesuai dengan levelnya. Di level organisme, manusia memiliki kesadaran kemanusiaannya. Di level organ tubuh, setiap organ kita juga memiliki level kesadaran organiknya. Di level jaringan sel, juga demikian. Di level seluler, di level genetika, di level molekuler, atomik, partikel-partikel subatomik, sampai pada quark dan energi, semuanya memiliki kesadaran dalam level yang sesuai tingkatannya.

Itulah sebabnya, meskipun kesadaran kemanusiaan kita ‘tidak menyadari’ fungsi jantung, sang jantung tetap saja bekerja untuk menghidupi tubuh. Demikian juga, berbagai organ seperti ginjal, liver, paru, dan berbagai organ vital, semuanya bekerja atas dasar kesadarannya sendiri.

Bahkan juga di level jaringan sel. Mereka, juga tanpa harus diperintah oleh kesadaran kemanusiaan kita, tetap saja bekerja menjaga koordinasi jaringan sel. Kalau sampai sel-sel itu tidak bekerja membentuk jaringan yang sesuai, tubuh manusia ini sudah amburadul sejak awal kejadiannya.

Bukan otak yang memerintah sel-sel untuk membentuk jaringan sel kulit, jaringan sel tulang, jaringan sel rambut, sel mata, sel darah, dan sekitar 200 jenis sel yang berbeda, melainkan karena adanya kesadaran di tingkat seluler itu sendiri.

Dan seterusnya, semakin ‘halus’ kita masih selalu menemui tingkat-tingkat kesadaran itu. Bahkan sampai di level perubahan antara materi dan energi, atau lebih halus lagi antara ‘ada’ dan ‘tiada’, antara yang wujud dan tak berwujud, selalu ada ‘kesadaran’ yang mengendalikan proses untuk mencapai tujuan tertentu.

Para ilmuwan atheis membantah adanya ‘tujuan’ dalam setiap proses alamiah. Tetapi, faktanya setiap level proses dalam realitas ini memiliki tujuan. Masa, sistem genetika yang jelas-jelas bertujuan untuk mempertahankan eksistensi sel agar tetap hidup dan bahkan berkembang biak itu dianggap sebagai tanpa tujuan, dan berproses secara acak?

Masa, jaringan sel yang jelas-jelas bisa berkelompok sehingga mereka tidak keliru membentuk jenis sel yang dibutuhkan itu disebut berjalan secara acak? Kenapa sel tulang tidak keliru menjadi sel darah, tidak keliru menjadi sel rambut, tidak keliru menjadi sel mata dan sebagainya?

Padahal tulang bersebelahan dengan darah, bersebelahan dengan sel rambut, bersebelahan dengan sel mata, dan seterusnya. Sudah sangat jelas, mereka mempunyai tujuan. Apa tujuannya? Ya, tentu saja untuk membentuk jaringan-jaringan sel yang sesuai. Serta menahan diri untuk tidak keliru. Dan bertahan hidup dalam jangka waktu tertentu. Bahkan, membiakkan diri dalam skala yang terkontrol sesuai ‘pesanan’ dari sistem informasi yang ada di dalam genetikanya.

Dan untuk itu, dibutuhkan ‘kesadaran’. Bukan kesadaran yang dikendalikan otak, karena kesadaran otak itu sendiri dibentuk dari kesadaran-kesadaran yang lebih halus di tingkat seluler, di tingkat nukleus dan genetika, di tingkat molekuler, di tingkat atomik, di tingkat partikel quark dan kuantum, di tingkat energial, serta di tingkat yang lebih halus dari itu semua. Sebuah ‘Kesadaran Universal’ yang telah meliputi segala eksistensi di alam semesta..!

Begitulah fakta yang kita amati dari sekitar kita. Sehingga, sekali lagi, adalah kesimpulan yang terlalu tergesa-gesa dan ‘gegabah’ jika keberadaan Tuhan hanya dikaitkan dengan kebutuhan kognisi manusia di level otak. Yang jika kognisi kita tidak mampu menjangkaunya, maka kita anggap Tuhan hanya sebagai ilusi belaka.

Kata Al Qur’an, hanya ada dua kemungkinan bagi orang yang demikian. Yang pertama, ilmu mereka memang belum sampai. Atau, yang kedua, mereka sengaja menyembunyikan fakta dengan meletakkan asumsi yang ‘bersifat pesanan’, agar mereka tidak perlu mengakui adanya Tuhan, Sang Pencipta yang Maha Pemurah lagi Maha Bijaksana...

QS. An Naml (27): 65-66
Katakanlah: “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui hal-hal yanggaib, kecuali Allah”, dan (temasuk) mereka tidak mengetahui kapan mereka akan dibangkitkan.

Sebenarnya pengetahuan mereka tentang akhirat (dan hal-hal yang gaib) tidak sampai, bahkan  mereka ragu-ragu tentang akhirat (dan yang gaib) itu, lebih-lebih lagi mereka buta daripadanya.

QS. Al Ankabuut (29): 44
Allah menciptakan langit dan bumi dengan benar. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda keberadaan Allah bagi orang-orang yang beriman.

~ wallahu a'lam bishshawab ~

KASUS KEENAM - Substansi Realitas Sosial.
Serangan keras lainnya terhadap agama oleh tokoh-tokoh atheis adalah tentang fakta sosial. Hal ini dikemukakan oleh Christopher Hitchens. Jurnalis yang mengaku telah meliput berbagai peristiwa di berbagai negara konflik itu mengemukakan kesimpulannya dalam buku best seller-nya: ‘god is not Great’.

Menurutnya Tuhan  tidak Maha Besar, bahkan tidak perlu ada, karena terbukti membiarkan saja segala keburukan dalam realitas sosial. Banyaknya ketimpangan dan penderitaan yang dialami manusia menunjukkan bahwa Tuhan memang tidak ada.

Apalagi, menurutnya, ternyata negara-negara yang menganut agama secara taat ternyata banyak dilanda oleh peperangan, kriminalitas, penyakit, kemiskinan, korupsi, dan lain sebagainya. Untuk itu, ia memproklamirkan dirinya sebagai orang yang tidak percaya adanya Tuhan.

Sepintas saja, kita sudah bisa mengerti kenapa Hitchens mengambil kesimpulan yang ‘serampangan’ seperti itu. Yang pertama, ia rupanya merasa sakit hati dengan agama atau dengan Tuhan. Inilah yang dalam terminologi pembahasan atheis disebut sebagai angry disbeliever - orang yang menjadi atheis karena kecewa. Mereka, pada dasarnya, tidak benar-benar meyakini tentang tidak adanya Tuhan, melainkan dengan sengaja meniadakan keberadaan Tuhan dalam hidupnya karena kecewa dan marah.

Dan yang kedua, Hitchens lantas membuat kesimpulan yang distortif dengan menyamaratakan antara ajaran agama dengan pemeluknya. Inilah yang saya sebut sebagai kesimpulan yang serampangan itu. Bahwa, jika penganutnya jahat, maka berarti ajarannya juga jahat.

Hanya ada dua kemungkinan untuk orang yang bersikap demikian dalam pengambilan kesimpulan. Yang pertama dia tidak tahu bagaimana cara berpikir ilmiah. Dan yang kedua, dia sengaja melakukan hal itu karena kecewa.

Tentu saja, tidak ada agama yang mengajarkan kejahatan. Apa pun agamanya. Sehingga, kalau ada seorang penganut agama melakukan pencurian, tidak bisa lantas disimpulkan agamanya yang mengajari mencuri. Atau, kalau mereka melakukan pembunuhan, berarti agamanya juga yang mengajari membunuh, mengajari korupsi, mengajari miskin, dan seterusnya. Tentu, kita tidak terlalu sulit untuk menolak kesimpulan yang semacam itu.

Termasuk, ketika Hitchens membuat kesimpulan bahwa agama adalah racun bagi segala sesuatu termasuk peradaban manusia. Sebagaimana dia tulis dalam sub judul bukunya: ‘God is not Great, How Religion Poisons Everything’.

Maka, adalah tidak berlebihan jika kita menyebut Hitchens sebagai angry disbeliever. Bahwa kesimpulan dia tentang tidak adanya Tuhan bukan sebuah kesimpulan ilmiah melainkan sekedar luapan kemarahan dan sakit hati belaka. Karena itu, rasanya kita tidak perlu membuat ulasan lebih mendalam tentang pemikiran Hitchens di buku ini. Apalagi, secara lebih detil saya sudah membahasnya dalam buku DTM-20: ‘Beragama dengan Akal Sehat’.

Yang perlu kita tegaskan adalah, bahwa Islam merupakan agama fitrah yang bersifat universal. Ajaran-ajarannya sesuai dengan sifat-sifat dasar kemanusiaan. Sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, keadilan, kesejahteraan, kebersamaan, kasih sayang, dan berbagai akhlak mulia dalam menata umat manusia. Yang kemudian secara utuh digambarkan oleh Al Qur’an sebagai misi ‘rahmatan lil alamin’. Yakni, menebar rahmat dan kasih sayang bagi seluruh alam.

Kalaupun masih banyak orang Islam yang miskin, ada yang berbuat kriminal, ada yang suka membuat kerusuhan, merugikan orang lain, dan sebagainya, maka itu menjadi tugas kita bersama untuk membimbing mereka mengikuti jalan Tuhan. Karena agama ini memang diturunkan untuk membimbing umat manusia agar selalu di jalan kebaikan dan meninggalkan segala kejahatan.

QS. Fushshilat (41): 33-35
Siapakah yang lebih baik tutur katanya dibandingkan dengan orang yang mengajak ke jalan Allah, (sambil) mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri (hanya kepada-Nya)?"

Dan tidaklah sama antara kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang sebaik-baiknya, sehingga orang-orang yang bermusuhan itu (seakan-akan) menjadi teman setia.

Sifat-sifat yang baik tidak dianugerahkan, kecuali kepada orang-orang yang sabar. Dan tidak dianugerahkan, kecuali kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.

QS. Al Anbiyaa’ (21): 107
Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.

~ Wallahu a’lam bishshawab ~

(Mohon maaf, karena beberapa hari ke depan ada agenda yang harus saya tangani, saya cukupkan sampai disini notes cuplikan buku DTM-35: ‘IBRAHIM Pernah ATHEIS’ ini. Selanjutnya, bagi yang berminat memahami lebih mendalam materi buku terkait dengan perjalanan spritualitas Ibrahim dalam menemukan Tuhan Allah, silakan membaca langsung dari bukunya. Salam.)


Kamis, 20 Desember 2012

HIKMAH DI BALIK PERBEDAAN AGAMA (SYARIAT)

Mengapa Allah izinkan banyak terdapat 'agama' (baca : syariat)?

Bukankah dengan satu agama hukum Allah akan benar-benar dapat ditegakkan? Bukankah perbedaan agama membuat masing-masing umat bertengkar untuk sebuah klaim kebenaran?

Tidak usah jauh-jauh, di Indonesia ini terlihat bagaimana aroma persaingan umat Islam dan Nasrani untuk berebut umat. Seakan-akan agama kita ini seperti lomba 17-an, banyak-banyakan nangkap kodok untuk menjadi pemenang. Tidak heran jika persaingan ini secara tidak disadari menjadi komoditi dagang orang-orang yang memanfaatkan label agama. Banyak kita menjumpai bahwa dalam suatu pengajian atau kebaktian, umat yang satu mendiskreditkan umat lain, dan sebaliknya.

Seringkali kita sebagai Mukmin menaruh kecurigaan yang begitu besar, kepada kegiatan-kegiatan agama lain. Misalkan saja kebaktian atau pendirian gereja bagi umat Nasrani. Sehingga lahir istilah populer "Kristenisasi." Saya tidak menafikkan fakta bahwa memang ada gerakan penyebaran agama Kristen secara sistematis, akan tetapi saya lebih tertarik untuk mendiskusikannya dalam sudut pandang Islam, bagaimana kita menyikapi masalah Kristenisasi ini, atau gerakan agama mana pun, secara Islami.

Bagi umat Nasrani, memberitakan Injil itu memang suatu keharusan. Bisa dibaca pada kitab Injil Markus 16:15 "Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk." Jadi dalam pandangan saya, amat wajar jika umat Nasrani merasa wajib untuk mengkristenkan orang yang belum menjadi Kristen. Biarlah mereka dengan apa yang mereka yakini, sehingga kita tidak perlu kebakaran jenggot jika ada pendirian gereja maupun kebaktian.

Nah, sekarang bagaimana dengan pandangan Islam? Benarkah Islam mengajarkan tentang kuantitas? Jika umat kita ini banyak, apalagi bisa mengislamlam orang dari umat lain (meskipun dengan cara memaksa) kita ini berarti sudah beragama Islam yang sebenar-benarnya?

Rasulullah pernah berkata, "Jumlah kalian pada saat itu banyak, tetapi kualitas kalian seperti buih ditengah lautan".

Ini adalah bentuk sindiran, bahwa kuantitas itu bukanlah yang diutamakan dalam berislam!

QS Al Baqarah [2] : 148
"Dan bagi TIAP-TIAP UMAT ADA KIBLATNYA (SENDIRI) yang ia menghadap kepadanya. Maka BERLOMBA-LOMBALAH (DALAM BERBUAT) KEBAJIKAN. Di mana saja kamu berada pasti ALLAH AKAN MENGUMPULKAN KAMU SEKALIAN (PADA HARI AKHIR). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."

QS Al Maidah [5]: 48
"Untuk TIAP-TIAP UMAT di antara kamu, KAMI BERIKAN ATURAN DAN JALAN. SEANDAINYA ALLAH MENGHENDAKI, NISCAYA DIA MENJADIKAN KAMU SATU UMAT, tetapi ALLAH HENDAK MENGUJI KAMU mengenai pemberian-Nya kepadamu, maka BERLOMBA-LOMBALAH BERBUAT KEBAJIKAN."

Sebuah hikmah yang sangat tegas dan gamblang telah diturunkan Allah kepada kita!

Allah menciptakan umat manusia dengan syariat masing-masing untuk berlomba-lomba berbuat kebajikan!

Tidak ada perintah Allah yang menyuruh umat manusia untuk rebutan banyak-banyakan umat! Akan tetapi amat disayangkan bahwa sebagian dari kita malah sangat disibukkan dengan urusan ini, dan melalaikan perintah untuk berbuat kebajikan. Kebajikan seperti apakah itu?

QS Al Baqarah [2] : 177
"BUKANLAH MENGHADAPKAN WAJAHMU KE ARAH TIMUR DAN BARAT ITU SUATU KEBAJIKAN, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa."

Jadi, daripada kita sibuk mencari-cari kesalahan dan cacat dalam agama lain, menyesat-nyesatkan dan mengkafir-kafirkan orang yang tidak sepaham, mengapa tidak kita dorong diri pribadi, keluarga, kelompok, masyarakat, bangsa, dan umat keseluruhan untuk menjadi insan yang mulia, yang bertakwa di sisi Allah?

Jika kita meyakini Islam sebagai agama terakhir yang disempurnakan, dengan seperangkat petunjuk sebagaimana disebutkan dalam (QS 2 : 2), maka seharusnya tidak ada keraguan dan penuh percaya diri bahwa kita akan menjadi insan terbaik dalam perlombaan kebajikan yang diselenggarakan oleh Allah.

Kalau begitu, apakah berarti kita tidak boleh berdakwah kepada umat lain? Tidakkah kita diperbolehkan untuk mencari calon-calon 'mualaf'? Ya siapa bilang tidak boleh? Boleh-boleh saja. Tapi jelas ada aturannya.

QS An Nahl [16] : 125
" SERULAH (manusia) kepada JALAN TUHAN-MU dengan HIKMAH dan PELAJARAN yang BAIK serta bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya TUHANMU Dialah yang LEBIH MENGETAHUI SIAPA YANG TERSESAT dari jalan-Nya dan Yang lebih mengetahui orang-orang yang MENDAPAT PETUNJUK "

QS Al Baqarah [2] : 256
"TIDAK ADA PAKSAAN DALAM BERAGAMA; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang menolak kejahatan dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."

Berdakwahlah yang baik dan penuh kesabaran, tapi jangan sekali-kali memaksa! Ibarat kita mau memberi kue yang lezat, tapi kalau yang ditawari tidak mau jangan pernah dipaksa, toh kita juga tidak dirugikan sedikit pun!

Justru dengan keberadaan orang-orang Non-Mukmin, maka kita diberikan sarana untuk mempraktekkan ajaran toleransi yang luar biasa dalam Al Qur'an. Jika semua orang di dunia ini 'Mukmin' semua, satu pandangan, tidak ada yang tersesat, ... nah, mau dikemanakan ayat-ayat itu? Sia-sia bukan?

Kesimpulannya adalah: di balik Allah menciptakan umat dengan syariatnya sendiri-sendiri, Allah memerintahkan umat manusia untuk menjadi umat terbaik dengan pencapaian kebijakan yang terbaik. Allah sudah menurunkan Al Qur'an yang penuh hikmah, sudah tentu tidak perlu khawatir kita akan gagal dalam perlombaan ini, selama kita menjalankan perintah dalam Al Qur'an secara ikhlas dan benar.

Ketika umat kita telah menjadi pribadi-pribadi yang Qur'ani, maka kita bisa tersenyum ketika melihat ada gereja dibangun di lingkungan kita seraya berkata, "silakan saja anda bangun 1000 gereja di sini, tapi kami telah membekali anak cucu kami dengan iman yang kuat, yang insya Allah tidak akan tergoyahkan. Mari kita berkompetisi secara sehat untuk berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya di muka bumi ini."


Allahu'alam..

Rabu, 31 Oktober 2012

MENJADI HAJI TANPA BERHAJI ~ TASAWUF HAJI (15-habis) ~

Di tulisan terakhir ini saya ingin merefleksikan seluruh uraian tentang hikmah haji di tanah suci itu ke dalam kehidupan kita sehari-hari. Bahwa ritual haji itu sebenarnyalah menjadi pedoman perilaku kita dalam mendekatkan diri kepada Allah, dimana pun kita berada. Bukan hanya saat di tanah suci. Kita bisa ‘menjadi haji’ meskipun belum pernah pergi haji, tentu saja secara substansi. Karena kewajiban berhaji tetap melekat kepada siapa saja yang mampu pergi ke tanah suci.

Proses mendekatkan diri kepada Allah adalah sebuah keniscayaan bagi seorang muslim. Dan Allah dengan sangat jelas memerintahkan kepada kita untuk mencari jalan mendekatkan diri kepada-Nya. Bahkan, ‘melarang’ untuk ‘kedahuluan mati’ kecuali sudah dalam keadaan berserah diri kepada-Nya.

QS. Al Maa-idah (5): 35
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan CARILAH jalan yang MENDEKATKAN DIRI kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya, supaya kamu mendapat kesuksesan.

QS. Ali Imran (3): 102
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan JANGANLAH sekali-kali kamu MATI melainkan dalam keadaan BERSERAH DIRI ( kepada Allah).

Bagaimanakah caranya mencari jalan untuk berserah diri kepada Allah itu? Jawabnya adalah menerapkan ritual haji dalam kehidupan kita sehari-hari. Mulai dari Wukuf, Lempar Jamrah, Tawaf, sampai Sa’i. Bukan dalam arti ritual fisik seperti saat di tanah suci. Melainkan secara substansi. Karena, sebenarnyalah situs-situs yang ada di tanah suci itu adalah simbol-simbol yang harus kita pahami secara substansial, dan kita jabarkan secara spiritual.
                
Wuquf dalam bahasa Arab berasal dari kata waqafa yang bermakna ‘berhenti, berdiri, bimbang & ragu-ragu, memahami, dan mengerti’. Sehingga makna kata wuquf itu memang merupakan perpaduan antara proses kebimbangan, keraguan, sampai benar-benar memperoleh kepahaman secara substansial terhadap suatu masalah. Dan semua itu akan sangat baik jika dilakukan dengan berhenti dari aktifitas sejenak agar bisa menjadi lebih fokus.

Yang demikian ini, bisa kita lakukan dimana saja. Bukan hanya saat di Arafah. Meskipun, saat berada di Arafah, mestinya seorang jamaah haji bisa melakukan dengan lebih baik disebabkan oleh atmosfer ibadah dan kesejarahan yang meliputinya. Tetapi, kita juga bisa melakukan wukuf itu di rumah, di tempat kerja, di dalam kendaraan, bahkan di tempat wisata. Substansinya adalah fokus melakukan perenungan sampai memperoleh keputusan yang strategis.

Kenapa wukuf ini menjadi penting? Karena, ternyata banyak diantara kita yang seringkali membuat keputusan secara tergesa-gesa, tanpa memahami masalahnya dengan baik. Ini adalah tipikal orang yang tidak sabaran. Sebuah akhlak yang sangat tidak dianjurkan oleh Islam, karena akan berujung pada penyesalan di belakang hari. Allah memberikan stressing dan motivasi yang sangat kuat kepada siapa saja yang bisa bersabar dalam menyikapi masalah: innallaaha ma’ash shaabiriin – Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.

Keputusan yang diperoleh dengan cara wukuf Insya Allah akan jauh lebih baik dibandingkan dengan yang tergesa-gesa. Karena di dalam wukuf itulah kita diajari untuk membuka pikiran dan hati seluas-luasnya dalam menerima petunjuk Allah. Mengintensifkan dzikir untuk membuka hijab yang menutupi jiwa, sehingga menjadi lebih jernih dalam memahami masalah. Mulai dari soal rumah tangga, rezeki, keilmuan, sosial kemasyarakatan, sampai masalah negara dan keumatan.

Namun demikian, tak jarang hasil wukuf memperoleh hambatan saat diimplementasikan. Terutama jika kepentingan egoistik terlalu dominan. Disinilah setan menunggangi ego kita untuk menggagalkan petunjuk yang kita peroleh saat wukuf. Kejernihan spiritual yang sudah terbentuk bisa menjadi kabur kembali, jika kita menuruti ego pribadi.

Inilah saatnya kita menerapkan filosofi Lempar Jamrah. Yakni, mengusir sifat-sifat setaniyah yang menjurus kepada kepentingan sempit dan egois. Yang benar adalah, harus bersifat sosial sekaligus spiritual. Seperti substansi ritual berkorban itu. Jika kita egoistik, yang sosial dan spiritual akan terlewatkan. Tetapi jika kita menjalaninya dengan landasan sosial-spiritual, maka kepentingan yang bersifat egoistik akan terpenuhi dengan sendirinya. Hasilnya akan lebih holistik.

Setan bukan hanya terdapat di tanah suci. Apalagi berupa tugu-tugu jamarat bikinan pemerintah Arab Saudi. Semua itu hanya simbol. Setan yang sesungguhnya telah berada di dalam diri kita sendiri. Maka, kita harus memahami substansi, dan bukan terjebak kepada sekedar tradisi yang tanpa isi. Filosofi lempar jamrah itulah yang mesti kita terapkan dalam realitas. Agar kita termasuk orang-orang yang berada di jalan lurus yang diridhai-Nya.

Berikutnya, Allah mengajari kita untuk selalu bertawaf di Arsy-Nya. Mengingat-Nya dalam segala kondisi, dalam segala peristiwa. Siapa saja mengingat Allah, maka Dia akan mengingatnya pula. Dia akan selalu bersama dengan orang-orang yang ingat kepada-Nya, yakni orang-orang yang pandai bersyukur dan bersabar dalam segala aktivitasnya.

QS. Al Baqarah (2): 152-153
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat kepadamu. Dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari-Ku. Hai orang-orang yang beriman, minta tolonglah (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.

Dan penutup dari semua rangkaian substansi haji itu adalah Sa’i. Yakni, perintah Allah agar umat Islam pantang putus asa dalam menjalani hidupnya. Jangankan kita, para Nabi dan sahabatnya pun semua mengalami ujian, sampai mereka benar-benar berserah diri hanya kepada Allah, sebagai bukti yang tak terbantahkan bahwa mereka memang pantas memperoleh kesuksesan sejati di dunia maupun di akhirat nanti.

QS. Al Baqarah (2): 214
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: ‘’Kapankah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat (yaitu bagi orang-orang yang berserah diri hanya kepada-Nya).

Maka, seseorang yang bisa mengaplikasikan pelajaran haji di dalam hidupnya, ia tidak akan pernah terombang-ambing dalam ketidakpastian. Kualitas berserah dirinya luar biasa kukuhnya. Allah selalu hadir dalam seluruh kesadarannya, mendampingi mengatasi masalah yang sedang dihadapinya. Niatnya penuh keikhlasan, perbuatannya selalu berbingkai ketaatan, perjuangannya berhias kesabaran, dan hidupnya penuh pengorbanan untuk kebajikan. Ia benar-benar telah menjadi seorang muslim yang paripurna: berserah diri hanya kepada Allah, Sang Maha Pemurah lagi Maha Bijaksana..

QS. Az Zukhruf (43): 68
Wahai hamba-hamba-Ku, tidak ada lagi kekhawatiran terhadapmu pada hari ini. Dan tidak pula kamu bersedih hati. (Yaitu bagi) orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami dan orang-orang yang berserah diri.

Wallahu a’lam bishshawab.

MELATIH JIWA BERKORBAN ~ TASAWUF HAJI 2012 (14) ~

Pelajaran tertinggi di dalam amalan Islam adalah berkorban dalam kebajikan. Itulah yang menjadi inti ibadah haji. Niatnya berlandaskan keikhlasan. Menjalankannya dalam bingkai ketaatan. Perjuangannya mesti penuh kesabaran. Dan jika terjepit, sandarannya adalah bertawakal kepada Allah semata.

Seluruh sifat akhlaqul karimah itu jika dilebur menjadi satu akan menghasilkan puncak kualitas seorang muslim yang disebut sebagai berserah diri alias aslam. Dan kemudian, terlihat hubungan eratnya dengan nama agama ini: Islam. Allah menceritakan hal ini dalam sebuah ayat yang mengaitkan akhlak mulia tersebut dengan Nabi Ibrahim yang menjadi kesayangan-Nya.

QS. An Nisaa’ (4): 125
Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas berserah diri kepada Allah? Sementara, dia juga banyak berbuat kebajikan. Dan mengikuti agama Ibrahim yang lurus. Dan Allah pun mengambil Ibrahim sebagai kesayanganNya.

Jadi menurut ayat di atas, kriteria tertinggi dalam berislam adalah ketika seseorang bisa mempraktekkan ‘aslama wajhahu lillah – berserah diri kepada Allah’. Keberserahdirian itu tidak boleh dibiarkan hanya berada di wilayah internal belaka, melainkan harus segera diikuti dengan ‘wahuwa mukhsin – dan dia suka berbuat kebajikan’. Yang secara operasional dijelaskan lebih jauh dalam kalimat berikutnya: ‘wataba’a millata ibrahima hanifa - dan dia mengikuti agama Ibrahim yang lurus.’ Hasilnya, akan menjadikan ia disayang Allah sebagaimana Ibrahim menjadi khalilullah – kesayangan Allah.

Lantas, apakah inti pelajaran agama Ibrahim itu? Yakni, mempraktekkan jiwa berkorban untuk sesama. Itulah sebabnya, Hari Raya Idul Adha ini selain disebut sebagai Hari Raya Haji, juga disebut sebagai Hari Raya Kurban. Sebuah simbol yang sangat lugas dari puncak kualitas keislaman seseorang. Bukan hanya bersifat fisikal, seperti berkurban ternak untuk memberi makanan bergizi kepada orang-orang miskin. Melainkan lebih substansial dari itu, untuk meng-exercise atau melatih ketakwaan kita kepada Allah agar memperoleh sifat yang lebih sempurna: berserah diri hanya kepada-Nya. Itulah yang diajarkan dalam ayat berikut ini, bahwa substansi kurban itu bukan pada dagingnya melainkan pada ketulusan niatnya.

QS. Al Hajj (22): 37
Tidak akan sampai kepada Allah daging (kurban itu) dan tidak pula darahnya, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kalian. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kalian supaya kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya kepadamu. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat kebajikan.

Maka menjadi jelaslah parameter kesuksesan bagi seseorang yang berhaji. Bahwa mereka yang sudah pulang dari tanah suci harus memiliki sifat berkorban yang lebih besar dari sebelumnya. Bukan hanya mengorbankan binatang ternak, melainkan yang lebih substansial adalah mengorbankan segala karunia Allah yang telah dimilikinya di jalan kebajikan. Mulai dari harta benda, ilmu pengetahuan, amanat kekuasaan, sampai kepentingan diri sendiri dengan segala yang dicintainya.

Bagaimana cara mengukur kualitas berkorban kita itu sudah baik atau belum? Ada empat parameter yang mesti dikenakan, yaitu: niat yang ikhlas, berbingkai ketaatan, sabar dalam menjalankan, dan tawakal kepada Allah ketika proses itu menemui hambatan.Tentang keikhlasan, Allah mengajarkan sebagai berikut ini.

QS. Al Insaan (76): 8-9
Dan mereka memberikan MAKANAN yang DISUKAINYA kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan RIDHA ALLAH, kami tidak menghendaki BALASAN dari kamu dan BUKAN pula (ucapan) TERIMA KASIH.

Atau, lebih substansial lagi, sebagaimana yang diajarkan dalam dalam QS. 28: 77 ~ wa ahsin kama ahsanallahu ilaika – dan berbuat baiklah (kepada siapa pun) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Sebuah pelajaran yang sangat mendalam, bahwa berbuat baik itu semata-mata karena kita mensyukuri begitu banyak kebaikan yang telah Allah karuniakan kepada kita. Tak ada pamrih lain. Jika kita sudah bisa berbuat ikhlas seperti ini, maka pengorbanan yang kita lakukan itu sudah on the right track – di atas jalan yang benar.

Jika niatan sudah benar, maka sempurnakanlah dengan ketaatan. Ketaatan adalah tindak lanjut dari keikhlasan. Keikhlasan baru berada di wilayah  niat, sedangkan ketaatan sudah berada di wilayah perbuatan. Ada kesungguhan dalam menjalankan pengorbanan. Bukan asal-asalan, melainkan ingin memberikan yang terbaik. Termasuk, memberikan apa yang kita cintai, bukan apa yang tidak kita sukai kepada orang lain. Begitulah Allah menyindir kita.

QS. Al Baqarah (2): 267
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu YANG BAIK-BAIK dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan JANGAN kamu memilih yang BURUK-BURUK lalu kamu menafkahkannya. Padahal KAMU sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan MEMICINGKAN MATA terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.

Dan jika kemudian pengorbanan itu terasa berat, maka bersabarlah. Karena yang namanya berkorban memang sudah seharusnya terasa berat. Kalau tidak berat, itu namanya belum berkorban. Justru disinilah exercise-nya. Minimal setiap tahun kita diminta oleh Allah untuk meningkatkan kualitas pengorbanan kita di Hari Raya Kurban. Syukur-syukur sudah bisa berkorban setiap saat demi kebajikan dan kemaslahatan umat.

QS. Al Mudatstsir (74): 6-7
Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu itu BERSABARLAH.

Akhirnya, jika kesabaran sudah mencapai puncaknya dan hambatan masih menghadang, itu artinya Allah sedang memberikan ujian tertingginya. Satu-satunya jalan hanya bertawakal, bersandar kepada-Nya. Insya Allah Dia akan membukakan jalan. Itulah yang disebut sebagai ‘Ilmu Pedang Ibrahim’: pertolongan Allah selalu datang kepada orang yang bertawakal, ketika pedang sudah menempel di leher..! Umat Islam pantang menyerah. Jangan belum apa-apa sudah give up. Karena kualitas kita di hadapan Allah adalah seiring dengan kualitas ketawakalan kita dalam memperjuangkan kebajikan...

QS. At Taubah (9): 51
Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman bertawakal."

Wallahu a’lam bishshawab. (bersambung).

Senin, 29 Oktober 2012

SA’I, PERJUANGAN TIADA HENTI ~ TASAWUF HAJI 2012 (13)

oleh Agus Mustofa pada 29 Oktober 2012 pukul 8:17

Lebih dari 4000 tahun yang lalu Mekah masih berupa lembah tandus tanpa penghuni. Sekelilingnya gunung bebatuan yang tak menampakkan kehidupan. Sehingga, tak ada yang mau hidup di tempat ini karena tak ada air maupun tetumbuhan yang menjadikan manusia bisa bertahan. Tapi kini, lembah tandus itu telah menjadi kota yang sangat makmur, yang setiap tahunnya dikunjungi oleh berjuta-juta manusia dari seluruh penjuru bumi.

Siapakah pendirinya? Mereka adalah keluarga Nabi Ibrahim. Khususnya Siti Hajar dan anaknya, Nabi Ismail. Dua orang ibu dan anak inilah yang telah menjadikan kawasan mengerikan itu menjadi tempat yang menarik untuk disinggahi para pedagang karavan. Tentu saja, dengan seizin Allah Sang Sutradara Kehidupan, setelah Nabi Ibrahim berdoa kepada-Nya agar lembah itu menjadi negeri yang penuh rezeki dan sejahtera.

QS. Ibrahim (14): 37
Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah-Mu (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung (mengunjungi) mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.

Syahdan Ibrahim membawa anak istrinya dari Palestina untuk ditempatkan di lembah gersang itu atas perintah Allah. Berhari-hari mereka menempuh perjalanan sejauh 1.500 kilometer, sambil membawa Ismail yang masih bayi. Ibrahim tak bercerita kepada istrinya tentang perintah Allah itu sampai mereka berada di lembah cikal bakal kota Mekah.

Sesampai disana barulah Hajar mengetahui maksud Ibrahim membawanya dalam perjalanan jauh itu. Ia begitu kaget ketika Ibrahim menyampaikan bahwa ia dan anaknya yang masih bayi itu akan ditinggalkan disana. Sementara Ibrahim sendiri akan kembali ke kawasan Palestina untuk melanjutkan syiar agama Tauhid bersama istri pertamanya, Sarah. Karena, selama ini pusat penyebaran agama Ibrahim memang berada di sekitar tanah Kan’an itu. Diantaranya, Ibrahim juga masuk ke negeri Mesir yang bersebelahan dengan kawasan Palestina.

Sebagai tokoh agama yang disegani, Ibrahim pernah memperoleh hadiah seorang budak dari penguasa Mesir, yang kemudian dibebaskan dari perbudakan. Budak berkulit hitam bernama Siti Hajar itu lantas dijadikan sebagai bagian dari keluarganya. Dikarenakan berpuluh tahun tidak juga punya anak, maka Sarah yang menjadi istri Ibrahim menyarankan agar Ibrahim menikahi Siti Hajar yang sangat baik budi pekertinya itu. Ia berharap Allah memberikan keturunan darinya sebagai penerus risalah Ibrahim. Maka, Ibrahim pun menikahi Hajar dan lahirlah putra pertamanya: Ismail.

Begitulah, sesampai di lembah tandus di pedalaman jazirah Arab itu Ibrahim menyampaikan tujuannya membawa Hajar dan Ismail. Hajar pun memandang Ibrahim dengan rasa tak percaya, bahwa ia akan ditinggalkan berdua saja. Ia melihat ke sekelilingnya, tak ada pepohonan, tak ada sumber air, tak ada kehidupan. ‘’Benarkah, kami akan engkau tinggalkan di tempat seperti ini, Ibrahim?’’ Tanya Hajar. Ibrahim tak mampu menjawab pertanyaan istrinya dengan kata-kata. Ia hanya menganggukkan kepalanya, sambil membalikkan badan meninggalkan mereka.

Tentu saja Hajar tak puas dengan jawaban Ibrahim. Sambil menggendong anaknya ia mengikuti langkah Ibrahim yang meninggalkannya menuju ke atas bukit. Untuk kedua kalinya Hajar bertanya kepada Ibrahim, apakah ia benar-benar akan ditinggalkan di tempat yang tak ada kehidupan itu. Dan Ibrahim sekali lagi tak mampu menjawab dengan kata-kata, karena ia sendiri pun sebenarnya merasa berat meninggalkan anak semata wayang yang telah dirindukan selama puluhan tahun itu. Tapi ia menguatkan hatinya, dan kemudian menganggukkan kepalanya sambil mempercepat langkah meninggalkan anak istrinya.

Setengah berlari Hajar mengejar Ibrahim, sambil bertanya dengan nada sangat penasaran. Tapi kali ini dengan redaksi yang berbeda: ‘’Ibrahim, apakah ini perintah Allah?’’ Ibrahim semakin mempercepat langkahnya, dan lagi-lagi menganggukkan kepalanya.

Begitu Ibrahim mengiyakan bahwa ini adalah perintah Allah, sekonyong-konyong Hajar menghentikan langkahnya mengejar Ibrahim. Wanita yang dipuji-puji Sarah sebagai orang yang berbudi mulia itu mendekap erat-erat anaknya yang masih bayi. Dan, ia pun membalikkan badan menuju tempat dimana Ibrahim meninggalkannya pertama kali. Subhanallah..!

Membaca kisah ini hati saya selalu tercekat. Ada semacam sedu sedan yang naik ke kerongkongan dan menjalar ke mata, menyebabkannya terasa panas dan berkaca-kaca. Sedemikian hebatnya istri Ibrahim yang bernama Siti Hajar itu. Begitu mendengar bahwa semua ini adalah perintah Allah, mendadak sontak ia menaatinya. Sungguh sebuah keimanan yang luar biasa dahsyatnya. Mengalahkan segala ketakutan dan kekhawatiran yang mencekamnya. Ia begitu yakin, jika Allah yang menghendaki, pasti ada jaminan yang tak perlu diragukan lagi..!

Dan Ibrahim, Sang Khalilullah – Kesayangan Allah – itu pun melangkah dengan berat hati meninggalkan orang-orang yang disayanginya. Tetapi, sebelum menghilang di balik bukit dia membalikkan badannya menatap anak istrinya nun jauh di dasar lembah. Dan kemudian ia bermunajat kepada Allah dalam doa yang diabadikan di dalam kitab suci Al Qur’an sebagaimana saya kutipkan di atas. Doa bagi kesejahtean dan keselamatan istri, anak, dan keturunannya sampai di akhir zaman.

Tinggallah Siti Hajar dan Ismail yang harus berjuang mempertahankan hidupnya di padang tandus yang sangat panas itu. Maka, terjadilah apa yang tercatat dalam sejarah, bahwa Siti Hajar harus berlari-lari antara bukit Shafa dan Marwa untuk mencari jalan keluar atas ujian yang diberikan kepadanya. Sampai di kali yang ke tujuh, Hajar yang menggendong anaknya itu terduduk kelelahan di tempat semula. Dibaringkannya Ismail di pasir beralaskan kain seadanya. Ia merenungi keadaan sambil melihat anaknya yang mulai menangis kehausan. Tak ada lagi air minum yang dimilikinya. Demikian pula telah kering air susu di tubuhnya.

Di saat kritis itulah pertolongan Allah datang. Persis di tempat Ismail menendang-nendangkan kaki sambil menangis itu terlihat rembesan air yang semakin lama semakin banyak. Siti Hajar tercengang dan kemudian berteriak: zam..zam.. zam..zam..! Yang bermakna: berkumpullah.. berkumpullah..! Ia pun membuat bendungan kecil dari tanah pasir, sehingga ada air menggenang yang semakin jernih. Jadilah kolam mata air.

Genangan air itu menyebabkan burung-burung mulai berdatangan untuk ikut minum. Dan tak lama kemudian sejumlah pedagang karavan berdatangan pula disebabkan melihat rombongan burung yang beterbangan rendah. Mereka meminta air kepada Siti Hajar dengan menukar makanan dan segala apa yang dibutuhkan ibu dan anak itu. Subhanallah, ibu dan anak itu terselamatkan..!

Sejak itu, lembah yang tadinya sepi dan tandus sering didatangi oleh para pedagang karavan yang melintas di kawasan itu. Mereka kemudian berkemah dan bermalam berhari-hari disana. Sehingga kawasan yang tadinya mati menjadi semakin ramai, dan akhirnya menjadi kota yang sejahtera. Allah telah menunjukkan kebesaran-Nya lewat hamba-hamba yang saleh dan berserah diri hanya kepada-Nya. Sejak itu pula Mekah menjadi pusat syiar agama Ibrahim selain Palestina, khususnya ketika Ibrahim dan Ismail kelak mendirikan Baitullah disana. Perjuangan tanpa putus asa dan kepasrahan yang mendalam dari keluarga teladan ini telah menjadi bukti yang sangat mencerahkan bagi umat Islam sedunia..!

QS. Al Hijr (15): 56
Ibrahim berkata: "Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang-orang yang tersesat."

Wallahu a’lam bishshawab. (Bersambung)

TAWAF, BERPUTAR-PUTAR DI ‘ARSY ALLAH ~ TASAWUF HAJI 2012 (12) ~

oleh Agus Mustofa pada 28 Oktober 2012 pukul 11:09

Seorang ibu setengah baya bertawaf mengelilingi kakbah sambil menangis terisak-isak. Wajahnya terlihat kalut, matanya nanar, dan mulutnya berkomat-kamit menyebut nama Allah berulang-ulang. Tak ada kalimat lain yang terucap selain: Astaghfirullah, dan ya Allah.. ya Allah..! Wajahnya sering menengadah ke langit, dan tangannya gemetaran mengusap air mata yang berderai-derai membasahi wajahnya yang mulai keriput.

Sang ibu sedang melakukan Tawaf Ifadoh, yakni ritual mengitari baitullah sebanyak tujuh kali seusai melakukan lempar jumrah di Mina. Ini pula yang sedang dilakukan jamaah haji di hari-hari Tasyrik sekarang ini. Ibu yang berangkat haji seorang diri di tahun 2000 itu adalah jamaah satu rombongan dengan saya. Keesokan harinya, ia curhat kepada saya tentang ritual Tawaf Ifadoh yang menggetarkan seluruh sendi-sendi jiwanya itu.

Kebetulan, setiap pagi kamar saya memang dijadikan tempat berkumpul jamaah haji dalam rombongan kami untuk berbagi hikmah. Pagi itu kami memperoleh hikmah luar biasa yang terjadi pada sang Ibu. Dengan masih berurai air mata ia menceritakan pengalaman Tawaf Ifadohnya kepada kami. Bahwa, kemarin saat bertawaf itu hatinya benar-benar takut dan gelisah. Sampai-sampai semalaman ia tidak bisa tidur karenanya.

‘’Pak Agus, saya takut ibadah haji saya tidak diterima oleh Allah,’’ ia mulai menumpahkan kegelisahannya. ‘’Kenapa ibu?’’ saya berusaha memberikan perhatian yang serius untuk mengurangi kegundahannya. Ia pun bercerita bahwa saat melakukan tawaf kemarin ia sama sekali lupa akan doa tawaf yang selama ini telah ia hafalkan.

‘’Saya sudah sangat hafal pak Agus, karena sudah berbulan-bulan telah saya siapkan. Saya ingin haji saya yang hanya sekali seumur hidup ini tidak sia-sia,’’ tegasnya sambil berlinangan air mata. Keberangkatan hajinya itu diperoleh dari usaha mengumpulkan uang sedikit demi sedikit selama bertahun-tahun. Dan karenanya, ia ingin menjalankan secara sempurna seperti yang ia pelajari dari buku manasik.

Karena merasa sudah hafal itu, ia pun tak membawa buku doa yang biasanya disandang oleh para jamaah haji saat bertawaf. Ia tak memerlukannya, dan berharap bisa bertawaf dengan penuh kekhusyukan tanpa dibingungkan membuka-buka bukunya. Tapi celaka, ternyata ia terlupa saat mengamalkannya dalam ibadah. Sesaat setelah mengucapkan kalimat: bismillahi Allahu Akbar sambil melambai ke Hajar Aswad, ia pun mulai melangkah bertawaf. Entah karena sangat gembira, atau terharu disebabkan cita-citanya pergi ke tanah suci tercapai, tiba-tiba saja ia tidak bisa mengingat doa yang sudah di hafalnya.

Putaran pertama dilaluinya dengan pikiran ‘blank’. Semakin berusaha diingat, doa yang sudah dihafal itu semakin tak bisa diucapkan. Rasanya sudah seperti di ujung lidah, tetapi tak ada kalimat yang terucap. Darahnya berdesir karena takut. Tapi, ia sudah telanjur melangkahkan kaki dalam pusaran tawaf. Sampai menjelang putaran pertama beakhir, ia tetap tak mampu berkata apa pun kecuali menyebut: Astaghfirullah, Ya Allaah .. ya Allaah..!

Hingga sampailah ia di sudut Hajar Aswad lagi, dimana ia harus memulai putaran kedua dengan mengucapkan: bismillahi Allahu Akbar. Sang ibu melangkahkan kaki diputaran kedua dengan penuh harap bisa mengingat doa yang harus diucapkan. Tapi celaka, doa-doa itu tak ada yang muncul di benaknya. Semakin jauh ia melangkah semakin kacau pikirannya. Dan lagi-lagi ia hanya bisa beristighfar memohon ampun kepada Allah: astaghfirullah... ya Allah.. yaa Allaah...! Keringat dingin kepanikan mulai membasahi keningnya sampai putaran kedua selesai.

Selanjutnya, ia semakin kalut. Tawaf di putaran ketiga, keempat, kelima, keenam dan ketujuh dilaluinya tanpa ada doa yang bisa diingat dan diucapkannya. Ia pun menangis tersedu-sedu. Sang ibu benar-benar lupa doanya. Yang diingat dan diucapkannya kini hanya: Allah, Allah dan Allah..!Kegelisahan hatinya pun sedemikian hebat, dan ia tak tahu harus berbuat apa kecuali pasrah dan berserah diri kepada Allah. Dzat Yang Maha Pengampun lagi Maha Bijaksana.

Dijalaninya sisa putaran tawaf itu dengan tubuh gemetar dan derasnya air mata yang tumpah di wajahnya. Mulutnya terus berkomat-kamit menyebut nama Tuhannya. Perhatiannya terhadap sekitar menjadi nanar. Dan seluruh kesadarannya hanya terisi oleh kepasrahan total, serta rasa berdosa atas kebodohannya. Ia berharap Allah memaafkan segala kekhilafannya...

‘’Apakah tawaf saya sah Pak Agus? Apakah ibadah haji saya diterima oleh Allah, Pak?,’’ ia bertanya menumpahkan harapan kepada saya. Sambil tersenyum saya pun menatap matanya yang gelisah dan menjawab pertanyaannya dengan mantap: ‘’Insya Allah tawaf Anda sah, ibu’’. Saya melihat tebersit sinar kelegaan di matanya yang lelah. Tapi ia ingin tahu: ‘’kenapa tawaf saya sah? Bukankah saya sama sekali tidak bisa membaca doa yang mestinya saya baca?’’

Sambil masih tersenyum saya katakan kepadanya, bahwa selama tawaf itu dilakukannya dengan memenuhi syarat dan rukunnya, maka secara syariat ia telah menjalaninya dengan sah. Yaitu, dia melakukan tawaf dengan mengenakan baju ihram. Juga dalam keadaan berwudhu. Memulai putarannya dari sudut Hajar Aswad dengan berucap bismillahi Allahu Akbar. Dan mengitarinya sampai tujuh kali putaran. ‘’Insya Allah, tawaf Anda sah,’’ saya ulangi lagi ucapan saya dengan mantap. Ia pun tersenyum lega.

Sedangkan mengenai doa yang terlupa itu, lanjut saya, sama sekali tidak membatalkan ibadahnya. Karena dzikir dan doa dalam ritual haji lebih bersifat maknawi sebagai pengisi substansi. Berbeda dengan shalat yang tidak membaca Al fatihah, misalnya, akan menjadi batal. ‘’Saya justru melihat ibu sedemikian khusyuknya saat bertawaf. Sambil terus menyebut-nyebut nama Allah. Jauh lebih khusyuk dibandingkan dengan orang-orang yang sibuk membuka-buka buku doanya, tetapi lupa mengingat Tuhannya..!’’

QS. Al Anbiyaa' (21): 90
''...Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam perbuatan baik. Dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh HARAP dan CEMAS. Dan mereka adalah orang-orang yang KHUSYU' kepada Kami.''

***

Bertawaf adalah berputar-putar di Baitullah. Substansinya mengisi seluruh kesadaran kita dengan menyebut-nyebut nama-Nya, dan menjadikan Allah sebagai pusat dari seluruh aktivitas yang sedang kita jalani. Gerakan tubuh fisikal, kesadaran nafsiyah, dan potensi ruhiyah semuanya melebur menjadi satu dalam realitas tunggal: merasakan kehadiran-Nya..!

Karena sesungguhnyalah, Dia sudah hadir meliputi semesta. Mulai dari mikrokosmos yang menyusun tubuh kita maupun seluruh benda di sekitar, sampai pada jagat raya yang tak ketahuan batasnya. Gerakan abadi di dunia atomik, sub atomik sampai di tingkat kuantum adalah manifestasi dari kehadiran Allah di alam mikro. Semua sedang bertasbih kepada-Nya dalam gerak abadi tiada henti. Demikian pula, alam semesta di skala makrokosmos, tak ada yang tidak bergerak dan bertasbih. Langit berlapis tujuh dan semua yang ada di dalamnya sedang bergerak dalam pusaran abadi mengelilingi Arsy Allah Sang Penguasa jagat semesta: melakukan tawaf abadi, hanya kepada Ilahi Rabbi..!

QS. Al Israa’ (17): 44
Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya (sedang) bertasbih kepada Allah. Dan tak ada sesuatu pun melainkan bertasbih memuji-Nya. Tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.

QS. Az Zumar (39): 75
Dan kamu akan melihat para malaikat bergerak berkeliling di seputar 'Arsy (Allah). (Mereka) bertasbih sambil memuji Tuhannya. Dan diberi putusan diantara hamba-hamba Allah dengan adil serta diucapkan: "Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam."

Wallahu a’lam bishsawab. (Bersambung).

Sabtu, 27 Oktober 2012

LEMPAR JUMRAH, MENGUSIR SIFAT-SIFAT SETANIYAH ~ TASAWUF HAJI 2012 (11) ~

oleh Agus Mustofa pada 27 Oktober 2012 pukul 8:34

Tiga hari ke depan ini jamaah haji di tanah suci sedang menggenapkan ritual ibadahnya. Di hari tasyrik – sampai tanggal 13 Dzulhijjah – seusai wuquf di Arafah jamaah haji melakukan lempar jumrah di Mina atau Tawaf dan sa’i di Mekah. Tertunainya keempat ritual itu menjadi tanda sempurnanya ibadah haji secara syariat. Meskipun, boleh jadi, tak sedikit jamaah yang tak mampu menyelami substansi hajinya.

Sebagaimana telah saya sampaikan di tulisan sebelumnya, Nabi Ibrahim memperoleh kemantapan iman saat berwuquf di Padang Arafah. Namun, hal itu baru menjadi awal ujian kesabaran yang sebenarnya. Beragama tidak cukup hanya bersifat internal di dalam keyakinan diri, melainkan harus sampai mengimbas keluar, dipraktekkan dalam kehidupan nyata. Seberapa mantap Ibrahim memenuhi ujian Allah itu, setan pun memperoleh peran untuk menghadang perjalanan Ibrahim menuju Jabal Qurban.

Jabal Qurban adalah sebuah bukit yang ada di kawasan Mina. Dimana seusai menjalani wuquf, Ibrahim bersama istri dan anaknya berjalan menuju ke Mekah melewati kaki bukit itu. Ibrahim yang sudah mantap untuk menjalani ujian Allah, meminta istrinya menunggu di bawah bukit. Ia mengajak Ismail yang tak tahu apa yang akan dilakukan ayahnya ke atas bukit.

Di lereng bukit itulah Ibrahim dan Ismail dihadang oleh setan dengan segala rayuannya, agar membatalkan niat mengorbankan anaknya. Sebuah rayuan maut, yang seakan-akan membela Ibrahim dan menyodok perasaan cinta kepada anak yang dikasihinya. Tapi keimanannya telah menghunjam jiwa, hatinya telah terbuka dari hijab yang menutupinya. Ia bisa melihat dengan jernih bahwa yang menghadangnya adalah setan yang menunggangi kesadaran egoistiknya sebagai manusia. Sementara, kesadaran ilahiah telah memancar ke dalam relung-relung jiwa yang paling dalam, mencahayai segala perbuatannya.

Dengan tegar Ibrahim melangkah ke atas bukit sambil menggandeng Ismail. Setan yang menghadang dengan rayuan itu tak digubrisnya, bahkan dilemparinya dengan bebatuan. Bukan hanya sekali si setan merayu Ibrahim, melainkan sampai tiga kali, hingga menjelang puncak bukit. Ibrahim kukuh dengan keimanannya. Peristiwa melempar setan itulah yang kemudian diabadikan secara simbolik menjadi ‘lempar jumrah’: jumratul Aqobah, jumratul Wustha, dan jumratul ‘Ula di kota Mina, yang hari-hari ini sedang dilakukan jamaah haji di tanah suci.

Tak terbayangkan, sebenarnya, betapa berat pergulatan batin Ibrahim saat menuju ke puncak Jabal Qurban itu. Tetapi, keimanannya telah memenangkan pertarungan melawan setan yang merayunya dengan segala cara. Sesampai di atas bukit, barulah Ibrahim menyampaikan maksudnya mengajak Ismail. Di atas bukit di kawasan Mina itulah drama keikhlasan dan kesabaran antara dua orang hamba yang saleh dipertontonkan. Dan kisah ini lantas diabadikan Allah di dalam kitab suci Al Qur’an Al Karim. Serta, diwariskan sebagai ajaran puncak dalam berislam kepada Allah, Tuhan Jagat Semesta Raya, kepada umat Islam sampai akhir zaman.

QS. Ash Shaaffaat (37): 102
Maka ketika anak itu (Ismail) sampai (pada usia sanggup) berusaha bersama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar."

Betapa mengharukan dialog antara dua orang yang sangat santun dan saling menyayangi ini. Sang Bapak tak melakukan pemaksaan apa pun kepada Anaknya, melainkan menyampaikan ‘perintah Allah’ itu dengan penuh kehati-hatian. Panggilan yaa bunayya dalam ayat di atas adalah ‘panggilan kesayangan’ kepada seorang anak, yang diterjemahkan sebagai: ‘wahai anakku tersayang’. Berbeda dengan yaa ibniy, yang meskipun juga diterjemahkan sebagai: ‘hai anakku’, tetapi bermakna lugas.

Panggilan kesayangan semacam itu menunjukkan, betapa trenyuhnya Nabi Ibrahim ketika akan menjalankan perintah Allah tersebut. Dan kemudian ia melanjutkan dengan kalimat yang sangat lembut untuk ‘meminta pendapat’ kepada Ismail tentang mimpinya yang aneh itu dengan pertanyaan: fikirkanlah apa pendapatmu? Tak ada kesan otoriter sama sekali. Tak ada kekejaman dan kebengisan seorang ayah kepada anaknya, meskipun itu atas nama perintah Tuhan.

Dan yang membuat air mata saya menetes tak tertahan adalah saat membaca jawaban sang anak. Ia membalas kalimat penuh sayang yang ‘mengancam jiwanya’ itu dengan kalimat santun dan penuh hormat: yaa abati if’al maa tu`maru. Satajiduniy insyaa Allaah minash shaabiriin – wahai ayahanda lakukanlah yang diperintahkan (Allah) kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.

Ini bukan tentang peristiwa seorang ayah yang mengorbankan anaknya, dimana sang ayah menjadi subyek dan sang anak menjadi obyek, tetapi sebuah drama keikhlasan dan kesabaran dari dua orang hamba Allah yang luar biasa mendalamnya. Kedua-duanya paham betul bahwa cobaan tersebut diberikan Allah kepada mereka berdua, bukan hanya salah satunya. Tak ada paksaan sama sekali di dalamnya. Juga tak ada rasa terpaksa pada sang anak, meskipun Ismail menjadi anak yang akan ‘dikorbankan’. Semua dijalani dengan penuh kesadaran dan keikhlasan. Sebuah kualitas ketaatan yang paripurna, yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang terbuka hijabnya. Sehingga setan pun tak mampu mempengaruhinya.

Sampai disini tak terbendung lagi air mata saya, yang tumpah berderai-derai di wajah. Tak mampu lagi saya mengukur suasana kebatinan dua Nabi teladan itu dalam mempraktekkan ikrar berserah dirinya kepada Allah..!

QS. Ash Shaaffaat (37): 103-110
Tatkala keduanya telah BERSERAH DIRI dan Ibrahim membaringkan anaknya pada pelipis(nya), (terbuktilah kesabaran dan keikhlasan mereka). Maka Kami seru dia: "Hai Ibrahim (cukup)..! Sungguh kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya begitulah Kami memperlakukan orang-orang yang berbuat baik.

Sesungguhnya ini benar-benar suatu UJIAN yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor binatang sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim (peristiwa) itu di kalangan orang-orang yang hidup di zaman kemudian. "Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim." Demikianlah Kami membalas orang-orang yang berbuat kebajikan.

Inilah simbolisasi keikhlasan dan kesabaran yang luar biasa. Yang dicapai dengan perjuangan dan kesengajaan dalam mencari ridha Allah. Yang dilakukan oleh orang-orang yang telah mencapai kejernihan spiritual, dengan menghalau sifat-sifat setaniyah yang telah menunggangi egonya. Sebuah kesadaran ilahiyah yang telah mampu menaklukkan kesadaran nafsiyah, sebagai puncak perjalanan spiritualitasnya: Ikhlas BERSERAH DIRI hanya kepada Allah.

Wallahu a’lam bishshawab.(Bersambung).