Saya kira, Anda sudah familiar
dengan anekdot ‘Tujuh Orang Buta yang Berusaha Memahami Gajah’. Sebuah anekdot
yang menggambarkan tentang ‘lucunya’ atau mungkin ‘memprihatinkannya’ proses
pemahaman tentang sesuatu yang ‘besar’ oleh kemampuan yang ‘sangat terbatas’.
Menjadi lucu, atau sekaligus memprihatinkan, karena ketujuh orang buta itu
membangun pemahamannya yang terbatas dengan penuh ‘kesombongan’, tanpa mau
mendengarkan pendapat yang lebih holistik.
Si A mengatakan gajah itu makhluk
yang mirip ular, karena dia hanya bisa meraba belalainya.
Si B mengatakan gajah
mirip cambuk, karena hanya bisa meraba ekornya.
Si C berpendapat gajah itu
mirip kipas, karena hanya bisa meraba telinganya.
Si D mengatakan gajah mirip
batang pohon, karena hanya bisa meraba kakinya.
Si E bersikukuh dengan
pendapatnya bahwa gajah itu mirip tembok, karena meraba bagian perutnya.
Dan
seterusnya, mereka bertengkar mempertahankan pendapat masing-masing dengan
‘sombong’, seakan-akan pendapatnya paling benar.
Padahal pemahaman mereka itu
terbentuk oleh keterbatasan mereka dalam mempersepsi gajah. Bukankah lebih
bijak, jika ketujuh orang buta itu ‘duduk bareng’ saling sharing pengalaman tanpa
melakukan ‘penghakiman’ terhadap pendapat yang lain? Bahwa, gajah adalah
makhluk yang memiliki bentuk: ada mirip ularnya, sekaligus ada mirip cambuknya,
sekaligus ada mirip pohonnya, ada mirip kipasnya, dan seterusnya. Tentu,
hasilnya akan lebih holistik jika semua informasi itu dipadukan secara simultan.
Meskipun, tentu masih ada juga diantara orang buta itu yang kebingungan dalam
menyimpulkannya.
Maka, kalau ada yang berbicara
tentang Takdir, kata Rasulullah: ‘diamlah’. Bukan karena disuruh menelan
mentah-mentah tanpa boleh membantah, melainkan cernalah dengan mendalam dan
bijaksana, sehingga memperoleh kesimpulan yang lebih holistik. Karena, ‘takdir’
ini telah menjadi perennial
issue alias 'misteri abadi' sejak zaman dulu.
Kalau pengennya hanya menggunakan
‘alat penglihatan’ model Newtonian yang paling sederhana, ya monggo-monggo saja. Yakni
memandang segala peristiwa di alam semesta ini sebagai suatu ketetapan atau
konstanta yang tidak berubah. Bahwa, ‘ruang’ alam semesta dipandang sebagai
sesuatu yang konstan. Sedangkan ‘waktu’ dipandang sebagai variable.
Kevariabelan 'waktu' dalam konteks ini hanya dikarenakan ia ‘bergerak’ dari T =
nol sampai waktu tak berhingga. Bukan, karena waktu bisa 'mulur mungkret'
secara relatif.
Sehingga, seluruh peristiwa
Takdir yang terjadi di alam semesta ini dianggap sebagai ‘kejadian baru’ yang
terpisah dan bahkan mandiri dari dimensi ruang & waktu. Yakni, ‘ruang’
dipandang sebagai 'wadah steril' yang tak terlibat sedikit pun dengan kejadian.
Entah ada kejadian ataupun tidak, ruang ya tetap ruang yang tak terpengaruh apa
pun. Sedangkan ‘waktu’ hanya dipandang sebagai tolak ukur ‘urutan kejadian’.
Yang juga ‘bersifat steril’ dari kejadian. Yakni, ada kejadian atau tidak ada
kejadian, waktu tetap berjalan dengan mandiri. Jika sudut pandang kita seperti
ini, maka kita adalah orang-orang yang penginnya membatasi diri dengan sudut
pandang Newtonian. Apakah tidak boleh? Oh, ya boleh-boleh saja. Apakah salah?
Oh, ya tidak semuanya salah. Ada benarnya, meskipun ada juga kadar
kesalahannya.. ;)
Dalam contoh yang sederhana, ini
sama dengan menjawab pertanyaan: air mendidih dalam suhu berapa derajat
Celsius? Ada yang menjawab: pada suhu 100 derajat Celsius. Apakah salah? Ya
bisa salah, bisa benar. Kalau Anda memasak air di tepi pantai, maka Anda akan
mendapati air itu akan mendidih pada suhu 100 derajat Celsius.
Tetapi, kalau Anda memasak air di
puncak gunung, air Anda akan mendidih sebelum 100 derajat Celsius. Bisa pada
95, 90, atau bahkan 80 derajat Celsius. Kenapa? Ya, karena, titik didih itu
'bukan konstanta', yang dimana pun akan mendidih pada suhu 100. Titik didih
itu variable terhadap
tekanan udara. Semakin tinggi tekanannya semakin tinggi pula titik didihnya,
sebaliknya semakin rendah tekanannya, semakin rendah pula titik didihnya. Jadi,
kalau begitu, mana yang benar dong?! Hhehe.., jangan keukeuh pada keterbatasan
Anda. Nanti, menjadi seperti orang buta melihat gajah..! :)
TAKDIR air mendidih pada 100
derajat Celsius itu bukan konstanta..! Takdir titik didih itu VARIABLE. Bakal
terjadi seiring dengan perubahan ruang dan waktu. Apakah, Allah sudah
menakdirkan air mendidih pada suhu 100? Jawabnya: ya, sudah. Sejak dulu,
bersamaan dengan penciptaan alam semesta. Tetapi, disertai dengan kondisi,
yakni: KALAU air itu dimasak pada tekanan 1 atmosfer. Kalau tidak 1 atm, ya
tidak mendidih di angka 100 itu. Bergantung pada USAHA Anda dalam memperlakukan
air yang dimasak itu. Mau dimasak di gunung, atau dimasak di pantai. Atau,
dalam press-cooker dengan tekanan tinggi, yang tulang sapi maupun duri bandeng
bisa menjadi lunak, karena titik didih airnya meningkat tajam.
Contoh kecil ini bisa Anda
kembangkan dalam kehidupan Anda sehari-hari. Ataupun, dalam
pengamatan-pengamatan sains yang lebih rumit. Bahwa, segala kejadian atau
peristiwa ternyata tidak bebas ruang-waktu. Setiap peristiwa selalu ditakdirkan
BERSAMAAN dengan ruang-waktu dimana kejadian tersebut berlangsung. Ini menjadi
argumentasi penjelas secara sederhana, tentang kelemahan pandangan klasik ala
Newtonian bahwa ruang & waktu adalah konstanta.
Lantas, apakah Newtonian tidak
bermanfaat? Oh, jangan berlebihan. Pendapat klasik ini sangat bermanfaat.
Meskipun, tidak bisa menjelaskan semua fenomena. Terutama untuk menjelaskan
fakta-fakta yang lebih rumit. Titik didih air yang 100 derajat itu adalah
benar, hanya bagi orang-orang yang tidak pernah memasak di gunung. Alias, bagi
orang-orang yang tahunya hanya memasak di pantai. Kalau pingin tahu tentang
titik didih air yang 80 derajat Celsius, tanyakanlah kepada orang gunung.. ;)
Suatu ketika saya sedang
mengikuti kuliah Fisika Inti yang diajarkan oleh dosen saya yang lulusan Rusia:
Prof Sumihar Hutapea. Dia bercerita tentang perilaku aneh partikel-partikel sub
atomik bermuatan positive yang ada di dalam inti atom. Menurut hukum Coulomb,
jika partikel-partikel bermuatan sama berada berdekatan, maka akan terjadi gaya
tolak-menolak yang semakin besar secara kuadrat, seiring dengan kedekatannya.
Jadi, kalau ada electron
didekatkan dengan electron (sama-sama bermuatan negative), mereka akan
menghasilkan gaya tolak yang berbanding lurus dengan kuadrat jarak. Demikian
pula, antara proton dengan proton yang sama-sama bermuatan positive. Semakin
dekat, akan semakin besar gaya tolaknya, sehingga dalam skala tertentu bisa
menghasilkan ledakan yang sangat dahsyat.
Tetapi anehnya, kata pak Hutapea,
proton-proton yang berada di dalam inti atom itu tidak menghasilkan gaya
tolak-menolak. Malah menghasilkan gaya tarik menarik. Saya spontan bertanya
kepada beliau: 'kenapa bisa demikian? Bukankah itu ‘menyalahi’ hukum Coulomb?'
Dia tertawa lepas, dan menjawab: Entah kenapa, ketika partikel-partikel sub
atomic itu berada pada jarak lebih dekat dari 10^(-13), gaya tolaknya berubah
menjadi gaya tarik..! :(
Saya langsung tercenung oleh
dahsyatnya desain yang diciptakan oleh Sang Maha Berilmu dan Maha Bijaksana.
Hheheh.., Betapa runyamnya, kalau sampai gaya Coulomb itu bekerja di inti atom.
Antara proton dengan proton akan terjadi gaya tolak menolak yang sedemikian
dahsyatnya yang menghancurkan inti atom itu sendiri. Dan dengan sendirinya pula,
alam semesta ini tidak akan pernah terbentuk seperti yang kita lihat sekarang.
Tidak ada atom-atom yang memiliki jumlah proton lebih dari satu seperti He, Li,
Be, dan ratusan unsur lainnya di alam, yang membentuk benda-benda. Yang ada
hanyalah atom Hidrogen yang inti atomnya hanya memuat 1 proton. Tubuh Anda pun
tidak akan pernah bisa terbentuk karenanya.
Lantas, kalau begitu yang benar
yang mana? Apakah muatan sejenis akan menghasilkan tolak menolak ataukah tarik
menarik. Hhehe.., jangan ngeyel ta,
nanti kayak orang buta yang tidak bisa memahami bentuk gajah itu lho. Hukum
Coulomb itu tetap benar dan berlaku kok.
Tetapi, ya itu, hanya
terbatas di kulit atom. Bukan di inti atom. Kalau ada yang tetap ngeyel, ya biarkan saja, karena
pengetahuannya yang memang baru segitu.
Maka, yang benar itu 'takdir
tolak-menolak' ataukah 'takdir tarik-menarik'? Ya, tentu benar kedua-duanya,
sesuai kondisi yang menyertainya. Karena ternyata takdir itu berjalan seiring
dengan terpenuhinya kondisi yang dipersyaratkan. Dan 'perbedaan kondisi' itu
terjadi karena 'ruang' dan 'waktu' bukan konstanta, melainkan variable. Apakah,
ketentuan alias takdir bahwa air mendidih itu bisa beragam: 80, 90, 100 derajat
itu sudah ada sejak dulu? Jawabnya: tentu saja. Tetapi, untuk bisa terjadi, ya
harus berada di dalam kondisi yang melingkupinya. Begitulah Takdir Anda
terjadi.
Nah, kembali pembahasan awal.
Hukum-hukum Newtonian yang sederhana dalam memandang realitas alam semesta ini
juga tidak salah kok. Cuma, tidak bisa digunakan untuk menjelaskan kompleksitas
realitas alam semesta secara lebih menyeluruh. Jika ingin lebih canggih,
gunakan teori-teori Einstein yang sudah memandang dimensi ruang dan waktu
sebagai variable yang mempengaruhi sudut pandang kita dalam memahami realitas.
Dan lebih jauh, teori-teori
Einstein juga tidak bisa menjelaskan realitas yang lebih kompleks terkait
dengan adanya interaksi real-time antar
benda-benda yang berjarak jauh. Karena, hasil prediksi Einstein akan
menghasilkan kontradiksi bagi teorinya sendiri, yakni memunculkan kecepatan
lebih tinggi dari cahaya. Teori yang lebih canggih dalam memahami kompleksitas
alam semesta ini adalah teori Holografik yang sudah saya jelaskan dalam notes
terdahulu. Karena itu, kalau ada yang mengatakan bahwa teori Einstein dan teori
Holografik tidak bisa digunakan untuk memahami realitas, kayaknya dia terlalu
memaksakan kehendaknya. Mirip dengan anekdot orang buta yang memahami
gajah...! ;)
Allah menggambarkan orang-orang
yang ilmunya 'belum sampai' tentang suatu hal, sebagai orang yang buta. Yang
ragu-ragu tentang apa yang disampaikannya. Dan hanya bersumber pada
'dugaan-dugaan parsial' belaka. Ayat-ayat qauliyah di dalam Al Qur'an akan
menjadi rujukan yang holistik ketika dipadukan dengan ayat-ayat kauniyah di
alam semesta. Petunjuk yang dipadukan dengan evidence (bukti) ..
QS. An Naml
(27): 66
Sebenarnya pengetahuan mereka tentang akhirat (hal-hal yang
dianggap gaib) tidak sampai. Bahkan, mereka ragu-ragu tentangnya, dan
mereka pun buta daripadanya.
QS. Yunus
(10): 36
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk
mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka kerjakan.
Wallahu a’lam bishshawab
~ Salam ‘Memahami Gajah’ ~