Senin, 07 Juni 2021

LIE TJENG YAN (1889-1972)

LIE TJENG YAN (1889-1972)
Oleh Hisyam Ihsan

Terkenal sebagai Grand Master Kungfu Tao Kun Neijia Quan (internal) di Indonesia. Lie Tjeng Yan adalah Penerus Kungfu Tiongkok Zhen Thaykekkun HengIekoan Patkwaciang Sistem Li-Wang.

Ilmu beladiri Lie Tjeng Yan mencapai tingkat ilmu batin atau sering disebut Liok Hap (enam keselarasan) dan pada akhirnya mecapai tingkat hawa sebagai kemudi (Yi Quan).

Lie Tjeng Yang mulai mengajarkan Kungfunya di Makassar pada 1940 silam, kemudian ke Surabaya dan kembali ke Makassar, wafat di Makassar pada 1972.

Murid-muridnya tersebar di seluruh Indonesia, Belanda dan negara lainnya, dan murid-murid tersebut adalah generasi pelanjut dalam mengajarkan kungfu ini.

Kungfu ini adalah Kungfu Nei Jia Quan (Lay Kee Koan) dengan Tiga bagian, yaitu:
1). Tai Ji Gong (Thay Kek Kun), 
2). Xin Yi Quan (Heng Ie Koan), dan 
3). Ba Gua Zhang (Pat Kwa Ciang).

Ketiganya adalah perwujudan dari perilaku benar sesuai ajaran Tuhan (Thian Tee Kun Cin Su) dengan mengikuti kehendak penguasa alam semesta (Thian Tay Jin) sebagai keyakinan. 
Kungfu ini menggunakan esensi batin (inner essence) yang mengalir secara wajar yang disebut Sistem Li-Wang dengan dorongan lima unsur (Cu Ngo Tui) atas tiga curahan (Sam Koan), yaitu langit, bumi dan manusia.

Pada bagian Taiji Gong diajarkan jurus-jurus pamungkas Sangong Li-Wang Thay Kek dan Jurus 66 Langkah Zhen Taijiquan.

Bagian Xinyi Quan diajarkan jurus-jurus Liugong Li-Wang Xin Yi dan 36 Jurus Seri Zhen Xingyiquan.

Selanjutnya pada bagian Bagua Zhang diajarkan jurus-jurus Jiugong Li-Wang Ba Gua dan 4 kelompok jurus Zhen Baguazhang.

Kamis, 05 Maret 2020

JANGAN SEPERTI ORANG BUTA MELIHAT GAJAH ~ LEBIH JAUH TENTANG TAKDIR & KEHENDAK (1) ~

oleh Agus Mustofa pada 27 Maret 2012 pukul 9:57

Saya kira, Anda sudah familiar dengan anekdot ‘Tujuh Orang Buta yang Berusaha Memahami Gajah’. Sebuah anekdot yang menggambarkan tentang ‘lucunya’ atau mungkin ‘memprihatinkannya’ proses pemahaman tentang sesuatu yang ‘besar’ oleh kemampuan yang ‘sangat terbatas’. Menjadi lucu, atau sekaligus memprihatinkan, karena ketujuh orang buta itu membangun pemahamannya yang terbatas dengan penuh ‘kesombongan’, tanpa mau mendengarkan pendapat yang lebih holistik.

Si A mengatakan gajah itu makhluk yang mirip ular, karena dia hanya bisa meraba belalainya. 
Si B mengatakan gajah mirip cambuk, karena hanya bisa meraba ekornya. 
Si C berpendapat gajah itu mirip kipas, karena hanya bisa meraba telinganya. 
Si D mengatakan gajah mirip batang pohon, karena hanya bisa meraba kakinya. 
Si E bersikukuh dengan pendapatnya bahwa gajah itu mirip tembok, karena meraba bagian perutnya. 
Dan seterusnya, mereka bertengkar mempertahankan pendapat masing-masing dengan ‘sombong’, seakan-akan pendapatnya paling benar.

Padahal pemahaman mereka itu terbentuk oleh keterbatasan mereka dalam mempersepsi gajah. Bukankah lebih bijak, jika ketujuh orang buta itu ‘duduk bareng’ saling sharing pengalaman tanpa melakukan ‘penghakiman’ terhadap pendapat yang lain? Bahwa, gajah adalah makhluk yang memiliki bentuk: ada mirip ularnya, sekaligus ada mirip cambuknya, sekaligus ada mirip pohonnya, ada mirip kipasnya, dan seterusnya. Tentu, hasilnya akan lebih holistik jika semua informasi itu dipadukan secara simultan. Meskipun, tentu masih ada juga diantara orang buta itu yang kebingungan dalam menyimpulkannya.

Maka, kalau ada yang berbicara tentang Takdir, kata Rasulullah: ‘diamlah’. Bukan karena disuruh menelan mentah-mentah tanpa boleh membantah, melainkan cernalah dengan mendalam dan bijaksana, sehingga memperoleh kesimpulan yang lebih holistik. Karena, ‘takdir’ ini telah menjadi perennial issue alias 'misteri abadi' sejak zaman dulu.

Kalau pengennya hanya menggunakan ‘alat penglihatan’ model Newtonian yang paling sederhana, ya monggo-monggo saja. Yakni memandang segala peristiwa di alam semesta ini sebagai suatu ketetapan atau konstanta yang tidak berubah. Bahwa, ‘ruang’ alam semesta dipandang sebagai sesuatu yang konstan. Sedangkan ‘waktu’ dipandang sebagai variable. Kevariabelan 'waktu' dalam konteks ini hanya dikarenakan ia ‘bergerak’ dari T = nol sampai waktu tak berhingga. Bukan, karena waktu bisa 'mulur mungkret' secara relatif.

Sehingga, seluruh peristiwa Takdir yang terjadi di alam semesta ini dianggap sebagai ‘kejadian baru’ yang terpisah dan bahkan mandiri dari dimensi ruang & waktu. Yakni, ‘ruang’ dipandang sebagai 'wadah steril' yang tak terlibat sedikit pun dengan kejadian. Entah ada kejadian ataupun tidak, ruang ya tetap ruang yang tak terpengaruh apa pun. Sedangkan ‘waktu’ hanya dipandang sebagai tolak ukur ‘urutan kejadian’. Yang juga ‘bersifat steril’ dari kejadian. Yakni, ada kejadian atau tidak ada kejadian, waktu tetap berjalan dengan mandiri. Jika sudut pandang kita seperti ini, maka kita adalah orang-orang yang penginnya membatasi diri dengan sudut pandang Newtonian. Apakah tidak boleh? Oh, ya boleh-boleh saja. Apakah salah? Oh, ya tidak semuanya salah. Ada benarnya, meskipun ada juga kadar kesalahannya.. ;)

Dalam contoh yang sederhana, ini sama dengan menjawab pertanyaan: air mendidih dalam suhu berapa derajat Celsius? Ada yang menjawab: pada suhu 100 derajat Celsius. Apakah salah? Ya bisa salah, bisa benar. Kalau Anda memasak air di tepi pantai, maka Anda akan mendapati air itu akan mendidih pada suhu 100 derajat Celsius.

Tetapi, kalau Anda memasak air di puncak gunung, air Anda akan mendidih sebelum 100 derajat Celsius. Bisa pada 95, 90, atau bahkan 80 derajat Celsius. Kenapa? Ya, karena, titik didih itu 'bukan konstanta', yang dimana pun akan mendidih pada suhu 100. Titik didih itu variable terhadap tekanan udara. Semakin tinggi tekanannya semakin tinggi pula titik didihnya, sebaliknya semakin rendah tekanannya, semakin rendah pula titik didihnya. Jadi, kalau begitu, mana yang benar dong?! Hhehe.., jangan keukeuh pada keterbatasan Anda. Nanti, menjadi seperti orang buta melihat gajah..! :)

TAKDIR air mendidih pada 100 derajat Celsius itu bukan konstanta..! Takdir titik didih itu VARIABLE. Bakal terjadi seiring dengan perubahan ruang dan waktu. Apakah, Allah sudah menakdirkan air mendidih pada suhu 100? Jawabnya: ya, sudah. Sejak dulu, bersamaan dengan penciptaan alam semesta. Tetapi, disertai dengan kondisi, yakni: KALAU air itu dimasak pada tekanan 1 atmosfer. Kalau tidak 1 atm, ya tidak mendidih di angka 100 itu. Bergantung pada USAHA Anda dalam memperlakukan air yang dimasak itu. Mau dimasak di gunung, atau dimasak di pantai. Atau, dalam press-cooker dengan tekanan tinggi, yang tulang sapi maupun duri bandeng bisa menjadi lunak, karena titik didih airnya meningkat tajam.

Contoh kecil ini bisa Anda kembangkan dalam kehidupan Anda sehari-hari. Ataupun, dalam pengamatan-pengamatan sains yang lebih rumit. Bahwa, segala kejadian atau peristiwa ternyata tidak bebas ruang-waktu. Setiap peristiwa selalu ditakdirkan BERSAMAAN dengan ruang-waktu dimana kejadian tersebut berlangsung. Ini menjadi argumentasi penjelas secara sederhana, tentang kelemahan pandangan klasik ala Newtonian bahwa ruang & waktu adalah konstanta.

Lantas, apakah Newtonian tidak bermanfaat? Oh, jangan berlebihan. Pendapat klasik ini sangat bermanfaat. Meskipun, tidak bisa menjelaskan semua fenomena. Terutama untuk menjelaskan fakta-fakta yang lebih rumit. Titik didih air yang 100 derajat itu adalah benar, hanya bagi orang-orang yang tidak pernah memasak di gunung. Alias, bagi orang-orang yang tahunya hanya memasak di pantai. Kalau pingin tahu tentang titik didih air yang 80 derajat Celsius, tanyakanlah kepada orang gunung.. ;)

Suatu ketika saya sedang mengikuti kuliah Fisika Inti yang diajarkan oleh dosen saya yang lulusan Rusia: Prof Sumihar Hutapea. Dia bercerita tentang perilaku aneh partikel-partikel sub atomik bermuatan positive yang ada di dalam inti atom. Menurut hukum Coulomb, jika partikel-partikel bermuatan sama berada berdekatan, maka akan terjadi gaya tolak-menolak yang semakin besar secara kuadrat, seiring dengan kedekatannya.

Jadi, kalau ada electron didekatkan dengan electron (sama-sama bermuatan negative), mereka akan menghasilkan gaya tolak yang berbanding lurus dengan kuadrat jarak. Demikian pula, antara proton dengan proton yang sama-sama bermuatan positive. Semakin dekat, akan semakin besar gaya tolaknya, sehingga dalam skala tertentu bisa menghasilkan ledakan yang sangat dahsyat.

Tetapi anehnya, kata pak Hutapea, proton-proton yang berada di dalam inti atom itu tidak menghasilkan gaya tolak-menolak. Malah menghasilkan gaya tarik menarik. Saya spontan bertanya kepada beliau: 'kenapa bisa demikian? Bukankah itu ‘menyalahi’ hukum Coulomb?' Dia tertawa lepas, dan menjawab: Entah kenapa, ketika partikel-partikel sub atomic itu berada pada jarak lebih dekat dari 10^(-13), gaya tolaknya berubah menjadi gaya tarik..!  :(

Saya langsung tercenung oleh dahsyatnya desain yang diciptakan oleh Sang Maha Berilmu dan Maha Bijaksana. Hheheh.., Betapa runyamnya, kalau sampai gaya Coulomb itu bekerja di inti atom. Antara proton dengan proton akan terjadi gaya tolak menolak yang sedemikian dahsyatnya yang menghancurkan inti atom itu sendiri. Dan dengan sendirinya pula, alam semesta ini tidak akan pernah terbentuk seperti yang kita lihat sekarang. Tidak ada atom-atom yang memiliki jumlah proton lebih dari satu seperti He, Li, Be, dan ratusan unsur lainnya di alam, yang membentuk benda-benda. Yang ada hanyalah atom Hidrogen yang inti atomnya hanya memuat 1 proton. Tubuh Anda pun tidak akan pernah bisa terbentuk karenanya.

Lantas, kalau begitu yang benar yang mana? Apakah muatan sejenis akan menghasilkan tolak menolak ataukah tarik menarik. Hhehe.., jangan ngeyel ta, nanti kayak orang buta yang tidak bisa memahami bentuk gajah itu lho. Hukum Coulomb itu tetap benar dan berlaku kok. Tetapi, ya itu, hanya terbatas di kulit atom. Bukan di inti atom. Kalau ada yang tetap ngeyel, ya biarkan saja, karena pengetahuannya yang memang baru segitu.

Maka, yang benar itu 'takdir tolak-menolak' ataukah 'takdir tarik-menarik'? Ya, tentu benar kedua-duanya, sesuai kondisi yang menyertainya. Karena ternyata takdir itu berjalan seiring dengan terpenuhinya kondisi yang dipersyaratkan. Dan 'perbedaan kondisi' itu terjadi karena 'ruang' dan 'waktu' bukan konstanta, melainkan variable. Apakah, ketentuan alias takdir bahwa air mendidih itu bisa beragam: 80, 90, 100 derajat itu sudah ada sejak dulu? Jawabnya: tentu saja. Tetapi, untuk bisa terjadi, ya harus berada di dalam kondisi yang melingkupinya. Begitulah Takdir Anda terjadi.

Nah, kembali pembahasan awal. 
Hukum-hukum Newtonian yang sederhana dalam memandang realitas alam semesta ini juga tidak salah kok. Cuma, tidak bisa digunakan untuk menjelaskan kompleksitas realitas alam semesta secara lebih menyeluruh. Jika ingin lebih canggih, gunakan teori-teori Einstein yang sudah memandang dimensi ruang dan waktu sebagai variable yang mempengaruhi sudut pandang kita dalam memahami realitas.

Dan lebih jauh, teori-teori Einstein juga tidak bisa menjelaskan realitas yang lebih kompleks terkait dengan adanya interaksi real-time antar benda-benda yang berjarak jauh. Karena, hasil prediksi Einstein akan menghasilkan kontradiksi bagi teorinya sendiri, yakni memunculkan kecepatan lebih tinggi dari cahaya. Teori yang lebih canggih dalam memahami kompleksitas alam semesta ini adalah teori Holografik yang sudah saya jelaskan dalam notes terdahulu. Karena itu, kalau ada yang mengatakan bahwa teori Einstein dan teori Holografik tidak bisa digunakan untuk memahami realitas, kayaknya dia terlalu memaksakan kehendaknya. Mirip dengan anekdot orang buta yang memahami gajah...!  ;)

Allah menggambarkan orang-orang yang ilmunya 'belum sampai' tentang suatu hal, sebagai orang yang buta. Yang ragu-ragu tentang apa yang disampaikannya. Dan hanya bersumber pada 'dugaan-dugaan parsial' belaka. Ayat-ayat qauliyah di dalam Al Qur'an akan menjadi rujukan yang holistik ketika dipadukan dengan ayat-ayat kauniyah di alam semesta. Petunjuk yang dipadukan dengan evidence (bukti) ..

QS. An Naml (27): 66
Sebenarnya pengetahuan mereka tentang akhirat (hal-hal yang dianggap gaib) tidak sampai. Bahkan, mereka ragu-ragu tentangnya, dan mereka pun buta daripadanya.

QS. Yunus (10): 36
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.

Wallahu a’lam bishshawab
  
~ Salam ‘Memahami Gajah’ ~


Selasa, 09 Agustus 2016

[11] – BERIMAN + AMAL SALEH = BERTAKWA

Beriman saja memang belum menjamin seseorang akan memperoleh surga. Tetapi, ketika keimanan dipadukan dengan amal saleh, Allah telah menjanjikan di banyak ayat akan memberikan balasan surga kepada hamba-hamba-Nya yang demikian.

Seperti telah kita bahas dalam sesi-sesi sebelum ini, keimanan adalah keyakinan yang berpuncak pada komitmen untuk menjalankan ibadah dengan penuh penghayatan dan dengan kualitas terbaik yang bisa kita lakukan. Akan tetapi, baru sekedar “penghayatan”, “keyakinan” dan “komitmen”. 
Belum diamalkan.

Dengan kata lain, keimanan adalah kondisi internal di dalam jiwa kita sendiri. Karena itu perlu dieksternalkan menjadi sebuah amalan saleh. Dan amalan saleh itu akan “kelihatan kualitasnya” jika sudah diuji dengan berbagai cobaan. Itulah sebabnya, Allah berkali-kali mengatakan bakal menguji orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman.

Hanya ujianlah yang bisa membuktikan apakah seseorang itu benar-benar beriman, ataukah sekedar lips service di lisannya belaka. Ketika “dipaksa” menghadapi ujian itulah seorang hamba akan menunjukkan “kelasnya”. Apakah dia bisa tetap bersabar dan ikhlas dalam menjalankan kebajikan seperti yang selama ini digembar-gemborkan? Apakah dia mau berkorban di jalan Allah dan bertawakal hanya kepada-Nya dalam berjihad sebagaimana yang selama ini dia janjikan?

Jika “iya”, maka dia telah melengkapi keimanannya dengan amalan saleh. Keimanannya bukan hanya di mulut melainkan sudah dibuktikan dalam perbuatan. Maka, dia telah naik kelas menjadi orang yang bertakwa. Karena, sesungguhnya “iman + amal saleh = takwa”. Keimanan berbasis pada keyakinan yang bersifat internal, sedangkan ketakwaan berbasis pada amal perbuatan yang bersifat eksternal.

Dalam sejumlah ayat, orang-orang bertakwa diberi janji surga. Sebagaimana orang yang beriman ketika sudah menjalankan amal saleh juga dijanjikan surga.

Qs. Ali Imran (3) : 133
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan Tuhanmu dan kepada SURGA yang luasnya seluas langit dan bumi yang DISEDIAKAN untuk orang-orang yang BERTAKWA.”

Jadi, seseorang yang sudah mencapai tingkatan takwa dijamin masuk surga. Berbeda dengan orang beriman yang masih dipersyaratkan untuk melengkapi dulu dengan amal saleh. Maka, level takwa adalah level “Iman+amal saleh”.

Itulah sebabnya, orang beriman masih diperintahkan untuk meningkatkan keimanannya menjadi ketakwaan, sebagaimana difirmankan Allah dalam ayat berikut ini. Itupun dengan penegasan agar bersungguh-sungguh dalam berproses menuju ketakwaan.

Qs. Ali Imran (3) : 102
“Hai orang-orang yang ber-IMAN, ber-TAKWA-lah kepada Allah dengan SEBENAR-BENAR takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan berserah diri (muslimun).”

Terkait dengan ibadah puasa ini, Allah juga menegaskan bahwa orang beriman diharuskan berpuasa supaya menjadi BERTAKWA.

Qs. Al Baqarah (2) : 183
“Hai orang-orang yang BERIMAN, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu AGAR kamu BERTAKWA.”

Lagi-lagi, keimanan harus ditingkatkan menjadi ketakwaan. Dan salah satu cara memproses keimanan agar menjadi ketakwaan itu adalah dengan cara berpuasa. Jadi, puasa adalah sebuah amalan saleh. Di dalamnya kita melatih diri untuk menjadi lebih taat beribadah, lebih ikhlas menjalankannya, lebih sabar dalam menghadapi berbagai ujian, lebih dermawan dan berempati kepada kaum dhu’afa, lebih banyak membaca Al Qur’an dan berbagai kebajikan lainnya.

Jika kita berhasil meningkatkan keimanan menjadi ketakwaan, maka ganjarannya adalah kehidupan surgawi, di dunia maupun di akhirat. Bagaimana menurut Anda?


Rabu, 22 Juni 2016

SEJARAH DAN ASAL USUL PECI HITAM

Sebagai seorang muslim Indonesia pastinya sangat tidak asing lagi dengan benda yang sering digunakan oleh kaum laki-laki ketika sedang ibadah sholat ataupun untuk acara-acara tertentu yang masih berbau religi. Ya, itu adalah peci hitam yang umumnya dari bahan beludru. Peci, sejarahnya sangat kental dengan pergerakan nasional bangsa Indonesia. Dalam hal ini, Bung Karno memang pelopor.

Dalam buku otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno bercerita bagaimana ia bertekad mengenakan peci sebagai lambang pergerakan. Di masa itu kaum cendekiawan pro-pergerakan nasional enggan memakai blangkon, misalnya, tutup kepala tradisi Jawa. Jika kita lihat gambar Wahidin dan Cipto memakai blangkon, itu sebelum 1920-an.

Ada sejarah politik dalam tutup kepala ini. Di sekolah “dokter pribumi”, STOVIA, pemerintah kolonial punya aturan: siswa “inlander” (pribumi) tak boleh memakai baju eropa. Maka para siswa memakai blangkon dan sarung batik jika dari ”Jawa”. Bagi yg datang dari Maluku atau Menado, misalnya, lain. Bagi siswa asal Manado atau Maluku, yang biasanya beragama Kristen, boleh memakai pakaian eropa: pantalon, jas, dasi, mungkin topi.
Dari sejarah ini, tampak usaha pemerintah kolonial untuk membagi-bagi penduduk dari segi asal-usul “etnis”dan “agama”. Maka banyak aktivis pergerakan nasional menolak memakai blangkon. Apalagi mereka umumnya bersemangat “kemajuan”, modernisasi. Jadi penolakan terhadap kostum tradisi mengandung penolakan terhadap politik kolonial “divide et impera” dan penolakan terhadap adat lama. Lalu apa gantinya?

Untuk pakai topi seperti belanda-belanda itu akan terasa menjauhkan diri dari rakyat. Juni 1921, Bung Karno menemukan solusi. Ia memilih pakai peci. Waktu itu ada pertemuan Jong Java di Surabaya. Bung Karno datang,dan ia memakai peci. Tapi ia sebenarnya takut diketawakan. Tapi ia berkata pada dirinya sendiri, kalau mau jadi pemimpin, bukan pengikut, harus berani memulai sesuatu yang baru. Waktu itu, menjelang rapat mulai, hari sudah agak gelap. Bung Karno berhenti sebentar. Ia bersembunyi di balik tukang sate. Setelah ragu sebentar, ia berkata kepada diri sendiri: “Ayo maju. Pakailah pecimu. Tarik nafas yang dalam! Dan masuk SEKARANG!!!” Lalu ia masuk ke ruang rapat. “Setiap orang memandang heran padaku tanpa katakata”, kata Bung Karno mengenangkan saat itu. Untuk mengatasi kekikukan, Bung Karno bicara. “Kita memerlukan suatu lambang daripada kepribadian Indonesia”. Peci, kata Bung Karno pula, “dipakai oleh pekerja-pekerja dari bangsa Melayu”. Dan itu “asli kepunyaan rakyat kita. Menurut Bung Karno, kata “peci” berasal dari kata “pet” (topi) dan “je”, kata Belanda untuk mengesankan sifat kecil. Baik dari sejarah pemakaian dan penyebutan namanya,peci mencerminkan Indonesia: satu bangunan “inter-kultur”.

Maka tak mengherankan bila dari mana pun asalnya, agama apapun yang dianutnya, kaum pergerakan memakai peci. Kesimpulan bawah sesungguhnya peci itu bukanlah sebuah simbol agama, tapi merupakan simbol budaya dari bangsa Indonesia khususnya dan bangsa Melayu pada umumnya. Dalam hal ibadah mengapa kebanyakan orang Islam mengenakan peci (yang laki-laki), itu dimaksudkan untuk menutup kepala dari tertutupnya rambut disaat sujud ketika sholat. Dan dibeberapa Negara memiliki penutup kepala sendiri yang dikenakan dalam sholat, seperti kain sorban oleh orang Arab, peci panjang orang Turki, bahkan di Indiapun juga berbeda. (Ed. Alfin El-Mlipaki).

Sejarah Songkok/Peci

Menurut Rozan Yunos dalam "The Origin of the Songkok or Kopiah" dalam The Brunei Times, 23 September 2007, songkok diperkenalkan para pedagang Arab, yang juga menyebarkan agama Islam. Pada saat yang sama, dikenal pula serban atau turban. Namun, serban dipakai oleh para cendekiawan Islam atau ulama, bukan orang biasa.

"Menurut para ahli, songkok menjadi pemandangan umum di Kepulauan Malaya sekitar abad ke-13, saat Islam mulai mengakar," tulis Rozan.

Lucunya, orang-orang arab yang dipandang sebagai penyebar peci atau songkok di tanah melayu malah meninggalkan tradisi itu. Sehingga pengamat sejarah berspekulasi soal keberadaan peci Indonesia.

Di beberapa negara Islam, sesuatu yang mirip songkok tetap populer. Di Turki, ada fez dan di Mesir disebut tarboosh. Fez berasal dari Yunani Kuno dan diadopsi oleh Turki Ottoman. Di Istanbul sendiri, topi fez ini juga dikenal dengan nama fezzi. Paling mendekati adalah fezzi, yang pelafalannya "pechi" mirip dengan peci di Indonesia.
Di Asia Selatan (India, Pakistan, dan Bangladesh) fez dikenal sebagai Roman Cap (Topi Romawi) atau Rumi Cap (Topi Rumi). Ini menjadi simbol identitas Islam dan menunjukkan dukungan Muslim India atas kekhalifahan yang dipimpin Kekaisaran Ottoman.

Namun bentuk peci agak berbeda. Pada bagian atas peci memilik lipatan jahitan lebih kaku dibanding penutup kepala dari negara-negara arab. Karenanya, ada yang menyebut bahwa peci hasil modifikasi blangkon Jawa dengan surban Arab.

Sunan Kalijaga
Konon, peci merupakan rintisan dari Sunan Kalijaga. Pada mulanya beliau membuat mahkota khusus untuk Sultan Fatah yang diberi nama kuluk yang memiliki bantuk lebih sederhana daripada mahkota ayahnya, Raja terakhir Majapahit Brawijaya V.

Kuluk ini mirip kopiah, hanya ukurannya lebih besar. Hal itu agar sesuai ajaran Islam yang egaliter. Raja dan rakyat sama kedudukannya di hadapan Allah SWT. Hanya ketakwaan yang membedakan.

Sempilan: Ada pula yang berpendapat Laksmana Ceng Ho yang membawa peci ke Indonesia. PECI berasal dari kata PE (artinya delapan) dan CHI (artinya energi), sehingga arti peci itu sendiri merupakan alat untuk penutup bagian tubuh yang bisa memancarkan energinya ke delapan penjuru angin.

Lalu SONGKOK yang berarti KOSONG DARI MANGKOK. Artinya, hidup ini seperti mangkok yang kosong. Harus diisi dengan ILMU dan BERKAH. Sementara kata KOPIAH berasal dari KOSONG KARENA DI PYAH. Maknanya: kosong karena dibuang (di pyah). Apa yang dibuang? Kebodohan dan rasa iri hati serta dengki yang merupakan penyakit bawaan syaitan.

Keabsahan kisah di atas masih perlu dipertanyakan tentunya. Yang jelas, peci merupakan pemandangan umum di tanah melayu sejak abad 13. Saat Raja Ternate Zainal Abidin (1486-1500) belajar agama Islam di madrasah Giri, ia membawa oleh-oleh peci saat pulang ke kampung halaman.

Jean Gelman Taylor, yang meneliti interaksi antara kostum Jawa dan kostum Belanda periode 1800-1940, menemukan bahwa sejak pertengahan abad ke-19, pengaruh itu tercermin dalam pengadopsian bagian-bagian tertentu pakaian Barat. Pria-pria Jawa yang dekat dengan orang Belanda mulai memakai pakaian gaya Barat. Menariknya, blangkon atau peci tak pernah lepas dari kepala mereka.

Ikon Nasional
Peci memang khas umat Islam, tapi patut diingat peci juga ikon nasional. Siapa pun berhak memakai peci sebagai lambang identitas Indonesia. Inilah yang digagas oleh Soekarno, sang Founding Father negeri ini.

Dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, sang penulis Cindy Adams menuturkan kisahnya begini...
Pemuda itu masih berusia 20 tahun. Dia tegang. Perutnya mulas. Di belakang tukang sate, dia mengamati kawan-kawannya, yang menurutnya banyak lagak, tak mau pakai tutup kepala karena ingin seperti orang Barat.
Dia harus menampakkan diri dalam rapat Jong Java itu, di Surabaya, Juni 1921. Tapi dia masih ragu. Dia berdebat dengan dirinya sendiri. "Apakah engkau seorang pengekor atau pemimpin?" "Aku seorang pemimpin." "Kalau begitu, buktikanlah," batinnya lagi. "Majulah. Pakai pecimu. Tarik nafas yang dalam! Dan masuklah ke ruang rapat… Sekarang!"
Setiap orang ternganga melihatnya tanpa bicara. Mereka, kaum intelegensia, membenci pemakaian blangkon, sarung, dan peci karena dianggap cara berpakaian kaum lebih rendah.
Dia pun memecah kesunyian dengan berbicara: "…Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang dipakai oleh para buruh bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka."
Itulah awal mula Sukarno mempopulerkan pemakaian peci.

Senin, 13 Juni 2016

[9] – ISLAM KTP vs KEIMANAN


DIMANAKAH posisi keimanan dalam proses spiritualitas beragama kita?
Lebih lugas lagi, apakah “keimanan” itu menjadi penanda seorang muslim sudah mencapai tingkat tertinggi dalam spiritual Islam? Dan kemudian dijamin masuk surga?

Ketika Anda ingin memahami Islam secara strategis, maka pemahaman akan fase-fase spiritual semacam ini menjadi penting. Dengan memahami ini, kita bisa memperoleh roadmap - peta jalan - menuju puncak spiritual yang diajarkan Islam. Sebaliknya, orang yang tidak memahaminya akan kehilangan arah, kemana seharusnya dia melangkah dalam proses beragamanya. Dan kemudian terjebak ke dalam ritual dan seremonial belaka.

Dari sekian banyak ayat yang menginformasikan hal ini, saya menemukan ada empat tingkatan proses spiritual dalam Islam. Yang pertama adalah “Islam KTP”. Inilah fase paling awal dari proses spiritual seseorang dalam menjalani kedalaman ajaran Islam. Bisa juga disebut sebagai “Islam administratif”.

Seseorang telah bisa disebut sebagai seorang muslim, ketika dia sudah membaca dua kalimat syahadat. Yang di era modern ini, khususnya di Indonesia, lantas dicatat secara administratif dan dicantumkan di KTP sebagai orang yang beragama Islam. Orang yang demikian ini baru Islam secara formalitas. Keimanan belum masuk ke dalam jiwanya. Persis apa yang diceritakan dalam ayat berikut ini.

Qs. Al-Hujurat (49) : 14
Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman”. Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk (islam)', karena keimanan itu belum masuk ke dalam hatimu. Namun jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Keimanan adalah keyakinan yang dibangun atas kepahaman, dan kemudian menghasilkan komitmen. Pada orang Badui itu, dia sudah berkomitmen lewat syahadatnya. Namun, sesungguhnya dia belum paham terhadap ajaran Islam ini. Sehingga komitmennya masih sangat rapuh. Dan gampang goyah. Keimanan adalah komitmen yang tidak tergoyahkan dikarenakan sudah memahami masalahnya.

Ketika keislaman dipraktekkan ke dalam ibadah sehari-harinya, akan kelihatan dan terasa perbedaan antara seseorang yang “berislam administratif” dengan yang sudah “berislam karena iman”. Keislaman yang administratif akan menghasilkan ibadah yang bersifat administratif pula, sedangkan yang karena iman akan meresap ke dalam jiwanya.

Sholatnya orang yang Islam KTP cenderung administratif. Yakni, sekedar sudah “tercatat oleh malaikat” dan orang-orang di sekitarnya bahwa dia sudah menjalani sholat –amilush sholah-. Bukan menegakkan shalat -aqimush sholah- dimana ia menjiwainya sampai meresap ke dalam jiwa.

Demikian pula puasanya adalah puasa administratif. Yakni puasa yang sekedar tidak makan dan minum atau yang membatalkannya, mulai dari fajar sampai maghrib. Tapi tidak mempuasakan jiwanya untuk memproses keimanannya supaya naik kelas menjadi bertakwa.

Termasuk pula, ibadah-ibadah lainnya seperti dzikir, zakat-sedekah, umroh-haji, dan lain sebagainya pun hanya bersifat administratif. Menggugurkan kewajiban belaka. Tak ada penghayatan yang menggetarkan jiwa dalam proses keberagamaannya.

Maka, inilah pentingnya “ngaji teori” sebelum kita ngaji praktek di dalam kehidupan nyata. Meskipun nilai beragama kita berada di tataran praktek, tetapi kalau tidak paham teorinya kita bakal “kesasar” alias tersesat. Setidak-tidaknya, prakteknya hanya akan berkualitas permukaan yang bersifat administratif belaka.

Bagaimana menurut Anda?


Sumber : http://agusmustofa.com/?page=ngaji&id=20

Minggu, 12 Juni 2016

[8] – BENARKAH ANDA MEYAKINI ALLAH?

Kadang kita perlu mengubah kalimat pertanyaan untuk meng-crosscheck keyakinan kita. Supaya dapat sudut pandang yang berbeda. Dan lantas yakin bahwa kita benar-benar yakin akan suatu masalah. Dalam hal ini terkait dengan pertanyaan di sesi sebelum ini:
Apakah Anda termasuk dalam kategori orang yang beriman?"

Jawaban“iya” yang saya sampaikan atas pertanyaan itu ternyata masih dianggap sebagai sebuah kesombongan. Adalah sombong, orang-orang yang memasukkan dirinya sendiri ke dalam golongan orang-orang beriman. Karena itu, saya merasa perlu membahas dan menegaskan kembali soal ini dengan sudut pandang yang berbeda. Agar tidak terjadi mispersepsi dan misleading dalam memahaminya.

“Apakah Anda meyakini Keberadaan Allah?”
Bagaimana Anda menjawab pertanyaan ini?
Kalau pertanyaan itu diarahkan kepada saya, maka saya akan menjawabnya dengan mantap: “tentu, sangat yakin!” Dengan kata lain, saya “sangat beriman” atas keberadaan Allah.
Lantas, apakah saya akan “dinilai sombong” dengan jawaban ini? Sehingga, saya sebaiknya mengatakan saja: “hanya Allah yang tahu”? Bagaimana menurut Anda?

Iman adalah komitmen. Maka, ketika saya mengatakan bahwa saya beriman kepada Allah, itu adalah komitmen saya untuk menjadikan Allah sebagai Tuhan satu-satunya dalam kehidupan saya. Tentu yang demikian ini bukan “sombong”. Melainkan “ikrar” untuk memasuki dan menjalani agama ini dengan benar.

Tanpa ikrar ini, proses keberagamaan kita menjadi kehilangan arah. Tidak ada komitmen. Bersyahadat adalah berkomitmen: hanya menuhankan Allah sebagai satu-satunya Tuhan, dan menjadikan Rasulullah sebagai teladan kehidupan. Itu artinya kita beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Lantas, apakah seseorang dikatakan “sombong” ketika menyatakan diri: “saya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya?”

Ketika kita sudah berkomitmen seperti ini, maka dengan sendirinya kita sudah termasuk dalam barisan orang-orang yang beriman. Jadi, sekarang apakah jawaban Anda ketika diberi pertanyaan: “Apakah Anda termasuk golongan orang-orang yang beriman?”

Mudah-mudahan jawabannya kini sudah lebih mantap: “Ya, saya termasuk dalam barisan orang-orang yang beriman”. Beriman kepada Allah. Beriman kepada Rasulullah. Beriman kepada para malaikat-Nya. Beriman kepada kitab-kitab-Nya. Beriman kepada Takdir. Dan beriman kepada hari Akhir. Alhamdulillah, kini Anda sudah termasuk ke dalaman golongan orang-orang yang beriman..

Itulah justru yang dikehendaki oleh Allah.

Qs. Al Baqarah (2) : 136
“(Hai orang-orang mukmin) katakanlah:"Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun diantara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.”.

Qs. Al Baqarah (2) : 3-4
“Mereka beriman kepada yang gaib, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka (juga) beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka meyakini akan adanya (kehidupan) akhirat.”

Jadi, sekali lagi, keimanan adalah komitmen. Dan komitmen atas keyakinan itulah yang kemudian kita perjuangkan sepanjang hidup. Di dalamnya kita akan mengalami fase-fase keimanan, yang lantas menjadi nilai kita di hadapan Allah.

Memang, “nilai keimanan” itu hanya Allah yang tahu. Tetapi, “keimanan” itu sendiri adalah komitmen yang harus kita deklarasikan, agar proses spiritual keagamaan kita memperoleh arah yang jelas. Yang dalam ayat di atas, justru diperintahkan untuk “mengatakan” secara eksplisit, sebagai ikrar dalam beragama.

Bagaimana menurut Anda?

Sumber : http://agusmustofa.com/?page=ngaji&id=19