Kamis, 16 Agustus 2012

RAMADAN BERAKHIR JUM’AT KENAPA SHALAT IDUL FITRI MINGGU ~ TAFAKUR RAMADAN 2012 (30) ~

oleh Agus Mustofa pada 16 Agustus 2012 pukul 6:04


Saya masih merasa gundah dengan sejumlah pertanyaan dari para sahabat saya tentang awal Ramadan dan Awal Syawal. Sungguh kasihan menyaksikan mereka kebingungan memahami ‘fenomena’ penetapan waktu ibadah yang berbeda itu. Dan, lebih kasihan, karena ternyata kebingungan tersebut terulang lagi saat menyongsong datangnya Idul Fitri. Karena itu, saya ingin berbagi pemahaman lebih jauh tentang hal ini.

‘’Saya benar-benar bingung mas Agus. Awal Ramadan bingung, akhir Ramadan juga bingung. Saya takut berdosa, karena melakukan ibadah tanpa mengetahui ilmunya. Bukankah Al Qur’an mengajari agar kita punya alasan yang jelas dalam menjalani agama ini?’’ Kata kawan saya memulai ‘curhat’nya, sambil mengutip QS. Al Israa [17]: 36. ‘’Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung-jawaban.’’

Yang menjadi kegundahannya adalah, kenapa shalat Idul Fitri 1433 H ini digelar di hari Minggu, 19 Agustus 2012. Padahal menurut hisab dan rukyat, Insya Allah bulan Ramadan akan berakhir Jum’at malam, 17 Agustus 2012. Mestinya kan shalat Id digelar hari Sabtu, karena sudah masuk 1 Syawal.Lha kok shalat Id dilakukan Minggu. Kenapa bisa demikian?

Seperti telah saya bahas di awal Ramadan, kerancuan ini mestinya tidak perlu terjadi jika sejak awal kita bisa memisahkan pemahaman Astronomi dan pemahaman fikihnya. Astronomi adalah sebuah fakta posisi benda langit yang tak bisa dimanipulasi. Sedangkan fikih adalah hukum yang bisa ‘disesuaikan’ seiring dengan kondisi yang terjadi.

Untuk memahami secara runtut, marilah kita flash-back sedikit ke awal Ramadan. Bahwa semua pihak yang berkompeten waktu itu sepakat: bulan Syakban berakhir Kamis, 19 Juli 2012, pukul 11.25 wib. Sehingga, ketika saat Maghrib datang, bulan Syakban sudah benar-benar berakhir, digenapkan dalam usia 30 hari. Tentunya, Jum’at sudah masuk 1 Ramadan. Adalah tidak mungkin untuk memasukkan Jum’at ke bulan Syakban, karena akan menjadikan bulan Syakban berumur 31 hari. Menetapkan hari Jum’at sebagai penggenapan bulan Syakban adalah sebuah keputusan yang absurd, karena usia bulan-bulan Hijriyah hanya berkisar antara 29 atau 30 hari.

Menyongsong datangnya bulan Syawal, insya Allah semua pihak juga bakal sepakat bahwa akhir Ramadan akan jatuh besok, Jum’at malam (17/8). Cara menghitungnya sederhana saja, yakni: akhir bulan Syakban ditambah 29,5 hari akan menghasilkan akhir bulan Ramadan. Karena akhir Syakban adalah Kamis, 19 Juli 2012, pukul 11.25, maka diperolehlah akhir Ramadan jatuh pada hari Jum’at (17/8) sekitar jam 23.00 wib. Saya kira, semua pihak tidak akan berbeda pendapat tentang hal ini.

Tapi, jika benar besok semua pihak menyepakati bahwa Ramadan telah berakhir, kenapa shalat Idul Fitri baru digelar di hari Minggu? Disinilah diperlukan penjelasan fikihnya. Karena secara Astronomi sihsudah sangat jelas, bahwa Bulan Ramadan berakhir besok, dan lusa hari sabtu, posisi bulan sudah berada di tanggal 1 Syawal. Dan berarti, Minggunya bulan sudah berada di posisi 2 Syawal. Tetapi secara fikih, kita memang memiliki pilihan untuk mengakhiri puasa atau menggenapkannya, meskipun Ramadan telah berakhir.

Dikarenakan bulan Ramadan baru habis di Jum’at malam, sekitar pukul 23.00 wib, maka saat matahari tenggelam itu memang masih berada di bulan Ramadan. Itu berlanjut sampai sekitar 5 jam kemudian. Dalam penanggalan Hijriyah batas hari ditetapkan saat Maghrib, bukan tengah malam seperti kalender Masehi. Oleh karena itu, setelah Maghrib, hari sudah berganti menjadi Sabtu Hijriyah, dan Ramadannya masih tersisa sekitar 5 jam sampai jam 23.00 wib.

Secara fikih, jika hari terakhir Ramadan masih menyisakan bulan, maka Rasulullah mengajari kita agar menggenapkannya sampai datangnya waktu Maghrib. Dan shalat Id baru digelar esoknya. Itulah alasannya kenapa kita masih berpuasa di hari Sabtu, yang notabene posisi bulan sudah 1 Syawal. Tidak apa-apa. Karena secara fikih memang demikian hukumnya. Meskipun, penggenapan itu sendiri lantas dipahami secara berbeda-beda, yakni: ada yang ‘menggenapkan’ puasanya menjadi 29 hari; dan ada pula yang menggenapkan puasanya menjadi 30 hari. Ya, sudahlah. Dengan demikian, shalat Idul Fitri, baru kita lakukan pada hari Minggu, 19 Agustus 2012, yang notabene sebagian harinya sudah masuk 2 Syawal. Juga tidak apa-apa, karena dasar hukumnya jelas. Dan karena penggenapan 30 hari itu, maka meskipun posisi bulan sudah berada di 1 Syawal, hari Sabtu itu masih boleh disebut bulan Ramadan hari ke-30. Dan, berdasar kesepakatan, hari Minggunya pun bisa disebut 1 Syawal.

Meskipun, sempat berbeda di awal Ramadan, kita tetap wajib mensyukuri kebersamaan lebaran kali ini. Karena, jika lebarannya yang berbeda ‘ongkos sosialnya’ bakal lebih mahal lagi. Kita berharap, mudah-mudahan tahun depan bukan hanya Idul Fitrinya yang bersamaan, melainkan umat Islam sudah bisa bergandengan tangan sejak memasuki awal Ramadan. Betapa indahnya jika umat ini bersatu padu, mengeratkan persaudaraan di dalam ridha Allah. Sungguh kita semua merindukan datangnya kebersamaan itu..!

QS. Ali Imran [3] : 103
‘’Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah. Dan janganlah kamu bercerai berai. Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, kemudian Allah mempersatukan hatimu. Lalu kamu menjadi orang-orang yang bersaudara karena nikmat Allah. Padahal (ketika itu) kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.’’

Wallahu a’lam bishshawab.


BERDZIKIR KEPADA ALLAH DI SETIAP HELAAN NAFAS ~ TAFAKUR RAMADAN 2012 (29) ~

oleh Agus Mustofa pada 16 Agustus 2012 pukul 6:00

Dzikrullah alias mengingat Allah adalah pelajaran puncak dalam spiritulitas Islam. Sehingga di dalam Al Qur’an bertaburan pelajaran tentang dzikir itu. Berdzikir bukan hanya bermakna mengucapkan kalimat dzikir, melainkan menghadirkan Allah dalam seluruh kesadaran kita. Apa pun yang sedang kita lakukan, tak pernah lepas dari interaksi dengan-Nya.

Karena itu, selain diperintahkan untuk melakukan dzikir sebanyak-banyaknya,

QS. Al Ahzab [33] : 41
Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.

Allah juga mengajarkan untuk berdzikir dalam kondisi apa pun. Istilah Al Qur’an adalah mengingat Allah dalam segala keadaan: berdiri, duduk, maupun berbaring.

QS. Ali Imran [3] : 191
“(yaitu) orang-orang yang berdzikir mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka bertafakur tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.’’.

Ayat di atas menunjukkan bahwa dzikir adalah inti dari semua ibadah. Shalat mesti mengingat Allah, berpuasa mesti mengingat Allah, demikian pula zakat, haji, dan apa pun bentuk ibadah yang kita lakukan.

Bahkan bukan hanya ibadah-ibadah khusus seperti itu, melainkan juga dalam segala kondisi: makan, minum, mandi, berkendara, bekerja, berolahraga, menuntut ilmu, berdarmawisata, dan segala macam kegiatan sehari-hari, termasuk saat beristirahat ataupun tidur, semuanya tak pernah lepas dari dzikrullah: menyambungkan hati kepada Allah.

Karena itu, kita menjadi paham ketika Allah menyebut dzikrullah sebagai amalan yang paling besar dibandingkan dengan segala ibadah.

QS. Al 'Ankabuut [29]: 45
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Saya lantas ingat bagaimana ayah saya – yang juga guru tasawuf saya sendiri – mengajari pentingnya dzikir itu. Beliau menggambarkan begini: kalau kita ingin selalu berinteraksi dengan Allah, yang harus dilakukan adalah sering-sering membaca Al Qur’an. Sebab, kitab suci itu berisi ucapan alias firman-firman Allah. Membaca Al Qur’an dengan khusyu’ sama dengan sedang berdialog dengan Allah.

Tetapi, karena kita tidak mungkin khatam Al Qur’an setiap hari, maka kita bisa membaca kandungan Al Qur’an itu di dalam ‘ringkasannya’, yaitu surat Al Fatihah. Itulah sebabnya surat pembuka kitab suci ini disebut sebagai ummul kitab – induk Al Kitab. Isinya mewakili kandungan Al Qur’an secara global. Membaca Al Fatihah bisa kita lakukan jauh lebih banyak dibandingkan dengan mengkhatamkan Al Qur’an. Minimal tujuh belas kali sehari semalam, kita melakukannya saat shalat.

Menurut ayah saya, meskipun surat Al Fatihah itu sudah merupakan ringkasan dari Al Qur’an, sebenarnya ia masih bisa diringkas lagi, yakni menjadi kalimat bismillahirrahmanirrahim yang ditempatkan di awal surat itu. Yang karenanya, kita diajari untuk melafadzkan kalimat basmallah ini lebih banyak dibandingkan membaca Al Fatihah. Bukan hanya setiap shalat, melainkan setiap mau berbuat apa saja. Mau makan baca bismillah, mau minum baca bismillah, mau bekerja, mau bepergian, mau belajar, mau tidur, dan apa saja aktivitas sehari-hari yang mau kita lakukan, kita mesti membacabasmallah.

Namun, kalimat bismillahirrahmanirrahim ini pun sebenarnya memiliki inti kandungan makna, yang terdapat pada kata “Allah’’. Oleh karena itu, teringat betul bagaimana Bapak saya mengajari anak-anaknya agar melafadzkan kata ‘Allah’ ini lebih banyak lagi. Yaitu, seiring dengan helaan nafas:”Allaahu… Allaahu…’’. Maka melafadzkan kata “Allah’’ itu adalah sama dengan membaca intisari seluruh firman-Nya yang berjumlah 6.236 ayat. Itulah dzikir paling intensif yang bisa dilakukan seorang hamba terhadap Tuhannya. Ada juga yang masih meringkas kalimat ‘Allahu’ itu menjadi: “Hu… hu..’’ yang bermakna “Dia’’ (Allah), seiring dengan tarikan dan keluarnya nafas.

Begitulah cara para pelaku dzikir berinteraksi dengan Allah. Mereka ingin menyambut ajakan Allah agar setiap saat mengisi kesadarannya dengan mengingat Allah. Dalam keadaan berdiri, duduk, maupun berbaring, sebagaimana diajarkan dalam firman-firman-Nya. Tidak harus diucapkan dengan lisan, karena dzikir itu bisa dilafadzkan di dalam jiwa dan kesadarannya.
Ibarat pelajaran membaca antara anak SD dengan mahasiswa, seorang anak SD membaca buku-buku pelajarannya dengan cara mengeraskan suara, tetapi para mahasiswa sudah membacanya di dalam hati dengan penghayatan yang jauh lebih tinggi. Semua itu hanya soal kebiasaan saja, dan kita semua bisa melakukannya kalau mau.

Orang-orang yang sudah mencapai tataran ini diibaratkan Allah sebagai orang yang selalu berhadapan dengan Allah dimana pun dia berada. Menghadap ke barat bertemu Allah, menghadap ke timur juga bertemu Allah. Karena, barat dan timur itu memang milik Allah, dan seluruh apa yang ada diantaranya sudah diliputi-Nya, tanpa ada jarak yang memisahkannya.

QS. Qaaf [50] : 16
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.’’

QS. Al Baqarah [2]: 115
“Dan sesungguhnya Kamilah yang telah menciptakan manusia, dan Kami mengetahui segala yang dibisikkan oleh jiwanya. Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya (sendiri).’’

Wallahu a’lam bishshawab.


DZIKIR SEBANYAK-BANYAKNYA, BERDOA SEDIKIT SAJA ~ TAFAKUR RAMADAN 2012 (28) ~

oleh Agus Mustofa pada 16 Agustus 2012 pukul 5:56

Suatu ketika Pak Dahlan Iskan (menteri BUMN, red.) bertanya kepada saya: “Apakah di dalam Al Qur’an ada perintah untuk berdoa sebanyak-banyaknya?’’ Saya jawab: “tidak ada. Yang ada ialah perintah untuk BERDZIKIR sebanyak-banyaknya.’’ Rupanya, Pak Dahlan sedang galau tentang banyaknya orang yang sangat suka berdoa, tetapi kurang berusaha. Sehingga, terasa kurang menghargai karunia Allah yang telah diberikan kepada kita untuk bekerja keras dalam menggapai tujuan.

Saya memang tidak menemukan perintah untuk berdoa sebanyak-banyaknya itu. Bahkan para nabi dan rasul beserta para pengikutnya yang sedang berjuang menegakkan agama Allah pun ketika sedang menghadapi masalah tidak diperintahkan untuk berdoa, melainkan disuruh banyak-banyak berdzikir.

QS. Al Anfaal [8]: 45
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan berdzikirlah menyebut (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu memperoleh kemenangan.’’

Dan perintah itu diulang-ulang di dalam berbagai ayat untuk kepentingan yang lebih umum. Bahwa, dalam kondisi apa pun Allah memerintahkan kepada kita untuk memperbanyak dzikir.

QS. Al Ahzab [33]: 41
“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya.’’

Kenapakah kita disuruh banyak berdzikir dibandingkan minta tolong? Agaknya kita sudah bisa menebak alasan yang ada di baliknya. Bahwa, orang yang terlalu sering meminta tolong justru akan memperlemah daya juangnya sendiri. Sebaliknya, orang yang banyak berdzikir mengingat Allah akan menguatkan.

Berdzikir memiliki makna selalu merasa dekat dengan Allah secara lahiriah maupun batiniah. Menyebut dengan lisan maupun mengingat dengan hati. Ada perasaan selalu bersama dengan-Nya kapan saja dan dimana saja, sehingga memunculkan rasa tenteram dan percaya diri untuk memperoleh pertolongan dan perlindungan dari-Nya.

QS. Ar Ra’d [13]: 28
"(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berdzikir kepada Allah, Ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati manusia menjadi tenteram.’’

Di dalam dzikir itu, sebenarnya sudah terkandung doa meminta pertolongan dan perlindungan kepada-Nya. Tetapi tidak semata-mata diungkapkan sebagai permintaan tolong yang berkepanjangan. Yang seringkali, justru melemahkan motivasi untuk berjuang dan bekerja keras mencapai tujuan. Allah sudah memberikan segala anugerah berupa kecerdasan, ilmu pengetahuan, kekuatan, kekuasaan, rezeki, dan sebagainya yang harus kita gunakan secara maksimal. Dalam kerja keras dan perjuangan itulah Allah bakal menilai kita apakah kita pantas memperoleh karunia yang lebih besar lagi.

Karena itu tidak heran, Allah menginformasikan kepada kita bahwa ganjaran surga pun bakal diberikan kepada orang-orang yang telah berusaha dan bekerja keras. Bukan kepada orang-orang yang gemar berdoa sambil bemalas-malasan.

QS. Ali Imran [3]: 142
"Apakah kamu mengira akan masuk surga, padahal belum terbukti bagi Allah orang-orang yang berjuang di antaramu, dan belum terbukti orang-orang yang sabar.’’

Dengan kata lain, lha wong belum berjuang dan berusaha keras untuk mencapainya, kok sudah berangan-angan dapat surga. Demikian pula, belum terbukti bisa menaklukkan masalah dengan penuh kesabaran, kok sudah berharap kesuksesan. Bukan begitu. Hanya orang-orang yang pantas dapat kesuksesanlah yang bakal diberi kesuksesan oleh Allah. Dan hanya orang-orang yang pantas memperoleh kegagalanlah yang akan diberi kegagalan oleh-Nya.

Dalam ayat berikut ini, Allah juga memberikan informasi semacam itu. Kita dipersilakan untuk memilih menjadi orang yang mau maju atau mau mundur. Semua bergantung kepada kita sendiri. Setiap diri bertanggungjawab sepenuhnya atas keputusan yang diambilnya.

QS. Al Mudatstsir [74]: 37-38
Liman syaa-a minkum an yataqaddama au yata-akhkhar. Kullu nafsin bimaa kasabat rahiinah – Bagi siapa saja diantara kalian yang mau maju atau mau mundur (silakan). Setiap diri bertanggungjawab atas apa yang diperbuatnya..!

Maka dalam konteks dzikir dan doa ini, kita diajari untuk melakukannya secara proporsional. Dzikir dianjurkan dilakukan sebanyak-banyaknya agar jiwa kita selalu ‘nyambung’ dengan Allah. Maka, ketika jiwa sudah tersambung kepada-Nya, doa tidak perlu banyak-banyak, sudah sangat mustajab. Karena jiwanya telah terisi penuh oleh eksistensi Allah.

Sebaliknya, tidak sedikit orang yang berdoa tetapi jiwanya tidak tersambung kepada Allah. Dzikirnya buruk, karena tidak sepenuh hati, sehingga jiwanya pun jauh dari Allah. Bagaimana mungkin doa yang demikian bisa terkabul. Lha wong doa itu hanya meluncur dari lisannya, tanpa melibatkan hatinya. Sementara itu, Allah mengajari agar kita tidak lalai saat berdzikir kepada-Nya dengan merendahkan suara maupun berbisik-bisik mesra di dalam jiwa.

QS. Al A’raaf [7]: 205
Dan berdzikirlah menyebut (nama) Tuhanmu di dalam jiwamu, dengan merendahkan diri dan rasa takut serta dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang hari. Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.’’

Wallahu a’lam bishshawab.

Rabu, 15 Agustus 2012

JANGAN BERIBADAH HANYA KARENA SURGA ~ TAFAKUR RAMADAN 2012 (27) ~

oleh Agus Mustofa pada 15 Agustus 2012 pukul 6:17

Seorang kawan saya bertanya: “Benarkah alam semesta beserta isinya ini bakal lenyap setelah berusia belasan miliar tahun ke depan?’’ Saya katakan: “agaknya begitu’’. Karena, Al Qur’an sendirilah yang menceritakan bahwa fase terakhir drama kehidupan manusia memang bukan alam akhirat, QS. Al-Baqarah [2]: 28, sebagaimana telah kita bahas di tulisan sebelum ini. Ternyata, alam akhirat baru menempati fase keempat, yang akan segera disusul fase kelima: runtuhnya alam semesta, lenyap menuju ketiadaan. Yakni, fase kembali kepada-Nya – ilaihi turja’un.

Kawan saya pun melanjutkan pertanyaannya: “Berarti surga juga bakal lenyap?’’ Saya menjawab: “Agaknya demikian.’’ Bukankah surga itu memang bagian dari alam akhirat, dan baru berada di fase keempat? Sehingga ketika alam semesta digulung oleh-Nya, dengan sendirinya surga dan neraka bakal ikut lenyap’

QS. Al Anbiyaa’: 104
“(Yaitu) pada hari Kami gulung langit seperti menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati; sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya.’’

Kawan saya bersungut-sungut: “kalau begitu buat apa saya beribadah capai-capai begini? Toh surga bakal lenyap?’’ Saya menimpali: “Oh, jadi ibadahmu selama ini bukan karena Allah toh? Hanya karena surga? Sehingga ketika surga tidak ada maka engkau pun menjadi malas beribadah untuk menyembah Allah? Katamu, semua ibadah harus lillahi ta’ala – hanya karena Allah. Lha kok ternyata hanya karena surga?’’

Dialog diatas hanya sekelumit dari realitas yang banyak terjadi di sekitar kita. Sebuah gambaran tentang bergesernya kualitas ketauhidan umat. Ibadah yang semula diperuntukkan Allah semata, mulai kehilangan orientasi, dan menjadi untuk diri sendiri. Padahal, orientasi ibadah itu bisa menjadi salah satu parameter kepada siapakah kita bertuhan: kepada Allah ataukah kepada yang lain – termasuk kepada diri sendiri?

Orang yang ibadahnya karena surga, tentu bukan beribadah karena Allah. Dia lebih mencintai surga daripada mencintai Allah. Dan lebih takut neraka daripada takut kepada Allah. Sehingga, Allah tak lebih hanyalah pihak yang disuruh-suruh untuk memenuhi keinginan kita. Termasuk untuk memberi kebahagiaan surga dan menghindarkan dari neraka.

Kita mesti berhati-hati, karena tanpa terasa ketauhidan kita mulai bergeser bukan lagi kepada Allah, melainkan kepada diri sendiri. Ternyata, tuhan kita bukan Allah, melainkan diri kita sendiri. Sedangkan Allah tak lebih hanyalah ‘pelengkap penderita’ yang kita mintai ini-itu saat kita perlu. Dan ketika segala keinginan itu tidak dipenuhi kita marah-marah dan ‘ngambek’ kepada-Nya. Emangnya kita ini siapa?

Inilah yang dikritisi oleh seorang sufi wanita yang sangat terkenal di abad pertengahan: Rabi’ah Al Adawiyah. Suatu ketika dia membawa obor dan seember air melintasi keramaian masyarakat. Ia pun ditanya, untuk apakah membawa obor dan seember air itu kemana-mana. Ia menjawab, akan membakar surga dan menyiram api neraka. Tentu saja banyak yang heran dan bertanya kepadanya tentang jawaban yang aneh itu. Tapi dengan lugas ia menjawab, semua itu dia lakukan agar umat Islam kembali bertuhan hanya kepada Allah. Dan mencintai serta mengabdikan segala ibadahnya lillahi ta’ala, hanya karena Allah semata. Bukan sebaliknya, bertuhan kepada surga dan neraka, sehingga melupakan Allah sebagai Tuhan. Serta menjadikan-Nya sebagai ‘pelengkap penderita’ belaka.

QS. Al Qashash: 88
“Janganlah kamu sembah bersama Allah, tuhan apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang pantas disembah) selain Dia. Segala sesuatu bakal binasa, kecuali Allah. Bagi-Nyalah segala ketentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.’’

Begitulah Allah mengajarkan di dalam Kitab Suci. Itulah yang disebut sebagai pemurnian tauhid dalam menuhankan Allah. Tidak ada sesuatu pun yang pantas dipersekutukan dengan-Nya. Meskipun itu adalah surga, malaikat ataupun nabi. Apalagi diri sendiri. Bertuhan adalah mengikhlaskan hati untuk hanya mengakui keagungan-Nya. Dan berserah diri menaati segala perintah-Nya. Dzat Tunggal penguasa jagat semesta raya.

Sedangkan surga dan neraka, tak lebih hanyalah ciptaan yang bakal diganjarkan kepada siapa saja yang memang pantas memperolehnya. Tak ada satu pun makhluk yang mampu menghalangi, jika Dia berkehendak memberikan surga kepada hamba-hamba-Nya, sebagaimana juga tak ada yang bisa menolak jika Dia memberi ganjaran neraka bagi orang yang berdosa.

Allah Maha Adil atas segala kehendak-Nya. Dia menjadi sumber segala kebahagiaan dan kesejahteraan makhluk-Nya. Karena, Dialah Sang Penguasa jagat raya Yang Maha Mulia, Maha Agung, lagi Maha Bijaksana. “Allaahumma antassalam waminkassalaam tabaarakta rabbana yaa dzal jalaali wal ikraam – Ya Allah, Engkaulah kebahagiaan dan kesejahteraan yang sebenar-benarnya, dan dari Engkau sajalah bersumber segala kebahagiaan dan kesejahteraan. Maha Suci Engkau wahai Tuhan kami, Sang Pemilik segala Keagungan dan Kemuliaan...’’

Wallahu a’lam bishshawab.


‘FASE LENYAP’ SETELAH ALAM AKHIRAT ~ TAFAKUR RAMADAN 2012 (26) ~

oleh Agus Mustofa pada 15 Agustus 2012 pukul 6:12

Segala sesuatu ini muncul dari ‘ketiadaan’ dan bakal kembali kepada ‘ketiadaan’. Dalam istilah Al Qur’an, kalimat yang sering kita dengar itu berbunyi: inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun – sesungguhnya (semua ini) milik Allah, dan bakal kembali kepada-Nya.’’
Ternyata, drama kehidupan manusia, menurut Al Qur’an, melewati lima fase: dari tiada menuju tiada kembali.

Dalam konteks pengetahuan manusia yang terbatas, keberadaan ‘sebelum ada’ itu disebut sebagai ‘ketiadaan’. Belum eksis, bahkan tidak eksis. Dan sesudah drama kehidupan ini selesai, kita juga bakal kembali tidak ada, alias kehilangan eksistensi kembali. Sebuah ‘kehilangan’ yang sebenarnya tidak pantas kita sebut kehilangan, karena memang kita tidak pernah memilikinya. Sejak awal kita sudah tidak ada, sebab yang ada itu memang hanya Dia: Allah azza wajalla.

QS. Al Insaan: 1
“Bukankah telah datang atas manusia satu fase dari perjalanan waktu, dimana ketika itu dia belum merupakan sesuatu yang bisa disebut?’’

Ya, orang tua kita saja belum menikah, tentu saja kita pun belum ada. Itulah fase pertama dari drama kehidupan manusia. Dalam istilah Al Qur’an di ayat yang berbeda, fase itu disebut sebagai fase kematian. Setelah itu, Allah menciptakan manusia di dalam rahim ibunda, dan kemudian menjalani drama kehidupannya di dunia, selama bertahun-tahun, di fase kedua. Ada yang mati usia muda, dan ada yang meninggal setelah berusia tua. Fase ini disebut sebagai fase kehidupan.

Fase ketiga, manusia bakal dimatikan lagi. Badannya hancur terurai menjadi tanah, atau unsur-unsur biokimiawi, tapi jiwanya masih hidup, beralih ke dimensi yang lebih tinggi. Al Qur’an menyebutnya sebagai fase alam barzakh alias alam kubur.

QS. Al Baqarah [2]: 154
“Dan janganlah kamu mengira orang-orang yang meninggal di jalan Allah itu mati; sebenarnyalah mereka itu hidup, tapi kamu tidak menyadarinya.’’

Fase ini disebut juga sebagai ‘fase menunggu’, yakni menunggu datangnya kiamat.

Fase keempat, adalah fase akhirat dimana manusia yang sudah mati bakal dihidupkan kembali. Sebuah fase yang seringkali dicemoohkan oleh orang-orang yang tidak percaya Tuhan. Bukan hanya oleh umat sekarang, melainkan sudah sejak zaman para rasul masih hidup.

QS. Al Israa’ [17]: 49
“Dan mereka berkata (mencemooh): apabila tubuh kami telah menjadi tulang belulang dan benda-benda yang hancur, benarkah kami akan dibangkitkan kembali sebagai makhluk yang baru?"

Dalam buku saya yang berjudul ‘Ternyata Akhirat Tidak Kekal’, saya menjelaskan secara saintifik bahwa segala benda yang hancur ini akan dengan sendirinya utuh kembali, jika Allah membalik pergerakan alam semesta. Fakta Astronomi menjelaskan, bahwa alam semesta sekarang sedang mengembang. Dikenal sebagai expanding universe. Karena pengembangannya itu, segala sesuatu mengalami peningkatan kekacauan. Dalam istilah Fisika disebut sebagai ‘kenaikan entropi’.

Akibat dari meningkatnya entropi itu, segala benda sedang menuju pada kerusakan. Yang utuh sedang menuju kehancuran. Yang hidup sedang mengarah kepada kematian. Yang segar sedang berproses membusuk. Dan seterusnya. Itulah hukum alam dunia, disebabkan alam semesta terus memproduksi entropi yang meningkat seiring dengan pengembangannya.

Tapi, ketika alam semesta ini mengerut kembali diakibatkan oleh gaya gravitasi pusat universe yang menyedot balik segala benda langit, hukum alam akan berjalan terbalik pula. Yang tadinya hancur bakal utuh kembali. Yang tadinya mati, akan hidup kembali. Dan yang tadinya busuk bakal segar kembali. Mirip dengan gelas pecah berantakan yang menjadi utuh kembali ke atas meja dimana ia diletakkan semula, dikarenakan film rekamannya diputar secara terbalik..! Fisika menyebutnya sebagai universe yang memiliki entropi menurun.

Maka, sesungguhnya tidak ada keberatan apa pun secara saintifik bahwa alam yang hancur ataupun manusia yang sudah mati bakal bisa hidup kembali. Secara teoritis, hanya memerlukan action untuk membalik pergerakan alam semesta dari mengembang menjadi menciut kembali. Dan ini sudah dijelaskan dalam teori Big Bang, yang diakui oleh mayoritas pakar Astrofisika modern. Dengan kata lain, informasi tentang dibangkitkannya manusia di hari pengadilan kelak, bukanlah hal yang mustahil. Karena semua itu telah memperoleh pijakan kuat dari teori-teori Fisika modern yang terus berkembang.

Yang lebih menarik, fase keempat yang kita kenal sebagai Alam Akhirat itu ternyata bukanlah fase terakhir drama kehidupan manusia. Karena, ternyata masih ada fase kelima, berupa hancurnya alam semesta di pusat ledakan kunonya. Dimana alam ini pernah terlahir, disitu pula alam semesta bakal berakhir.

Dalam teori Big Bang, fase hancurnya alam semesta itu disebut sebagai fase Big Crunch – kehancuran total. Itulah saat musnahnya segala yang ada. Seluruh benda-benda langit mulai dari galaksi-galaksi, bintang dan matahari, planet dan bulan yang mengitarinya, bakal lenyap disedot oleh black-hole maharaksasa di pusat jagat raya semesta. Bukan cuma hancur, melainkan runtuh dan lenyap kembali kepada ketiadaan..! Ayat berikut ini menyebutnya sebagai fase: ilaihi turja’un – (semua) bakal kembali kepada-Nya. Inilah fase kelima, yang bakal terjadi setelah berakhirnya alam akhirat, yang berjalan selama miliaran tahun.

QS. Al Baqarah [2]: 28
“Kenapa kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu tadinya MATI (fase 1: ketiadaan), lalu Allah MENGHIDUPKAN kamu (fase 2: alam dunia), kemudian kamu DIMATIKAN (fase 3: alam barzakh) dan DIHIDUPKAN-Nya kembali (fase 4: alam akhirat), kemudian kepada-Nya-lah kamu bakal DIKEMBALIKAN (fase 5: lenyap kembali)?’’

Wallahu a’lam bishshawab.


Selasa, 14 Agustus 2012

BERAGAMA TAK CUKUP HANYA BERMODAL IMAN ~ TAFAKUR RAMADAN 2012 (25) ~

oleh Agus Mustofa pada 14 Agustus 2012 pukul 6:54

Keimanan adalah level paling dasar dalam menjalani proses beragama. Orang beragama yang tidak beriman bisa dimaknai sebagai belum beragama dalam arti yang sesungguhnya. Barangkali hanya formalitas belaka, semisal hanya Islam KTP dan pakaiannya saja. Berislam dengan cara demikian tentu bukanlah yang dimaksudkan oleh Al Qur’an Al Karim. Karena, ‘Islam’ itu bermakna proses berserah diri hanya kepada Allah Tuhan Semesta Alam.

QS. Al Hujuraat [49]: 14
Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah (kepada mereka): "Kamu belum beriman, tetapi katakanlah: "Kami telah tunduk", karena IMAN itu BELUM MASUK ke dalam hatimu. Dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun amalanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".

Memang, secara hukum, orang yang sudah bersyahadat mengakui Allah sebagai Tuhan dan Nabi Muhammad sebagai Rasul, sudah bisa disebut sebagai orang Islam. Tetapi, berdasar ayat di atas, keislaman semacam itu belum dianggap cukup oleh Allah. Karena, masih bersifat seremonial dan formalitas belaka. Berislam harus merasuk ke dalam jiwa, menjadi sebuah kepahaman dan berujung pada keyakinan tak tergoyahkan –haqqul yaqin– sebagaimana telah kita bahas pada tulisan sebelumnya.

Keimanan adalah sebuah kepahaman utuh untuk menindak-lanjuti syahadat yang sudah kita ikrarkan. Kebulatan tekad yang dilandasi oleh kesadaran, bukan keterpaksaan. Bahwa bertuhan itu ya hanya kepada Allah. Dan caranya, adalah mengikuti Rasulullah SAW. Tidak ada yang lain. Untuk memperoleh kemantapan iman yang sedemikian itu, butuh proses panjang dalam memahamkannya, sehingga benar-benar mengunjam ke dalam jiwa. Masuk ke dalam relung-relung hati yang paling dalam, sebagaimana diceritakan ayat di atas.

Namun, ketika keimanan itu sudah memasuki sanubari kita, apakah lantas sudah selesai proses berislam kita? Ternyata belum. Berislam tak cukup hanya menjadi beriman. Karena, keimanan ini hanya bersifat internal di dalam diri kita. Keimanan yang kokoh harus diaplikasikan dalam perbuatan nyata, yang selaras dengan nilai-nilainya keimanan itu. Tidaklah cukup, seseorang yang sudah meyakini bahwa kejujuran itu baik, tetapi ia belum menerapkan kejujuran dalam hidupnya. Belum cukup pula, seseorang yang sudah meyakini Allah itu ada, tetapi setiap hari dia seperti tidak sedang bersama Allah.

Seseorang yang sudah mengimani Kebesaran Allah, misalnya, dia tidak akan menjadi sombong dalam kesehariannya. Cara bergaulnya ramah dan rendah hati. Karena, ia sudah memahami betapa kecil dan kerdil dirinya dibandingkan Sang Maha Besar. Demikian pula orang yang sudah mengimani bahwa Allah Maha Pemurah, dengan sendirinya ia akan menjadi seorang yang dermawan kepada sesama, meniru sifat-sifat-Nya. Nilai-nilai keimanannya teraplikasi dalam kehidupan nyata. Inilah yang disebut sebagai Takwa itu.

Jika keimanan bersifat internal dalam jiwa sebagai kepahaman dan komitmen, maka ketakwaan bersifat eksternal dalam bentuk perbuatan alias amal kebajikan. Karena itu, dalam ayat berikut ini Allah mengajari agar keimanan kita dinaikkan kualitasnya menjadi ketakwaan. Sebuah perjuangan untuk menerapkan nilai-nilai keimanan dalam kehidupan nyata, yang diistilahkan sebagai haqqa tuqaatihi–bertakwa kepada Allah dengan takwa yang sebenar-benarnya.

QS. Ali Imran [3]: 102
”Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan takwa yang sebenar-benarnya kepada-Nya. Dan janganlah kamu mati, melainkan dalam keadaan berserah diri (kepada Allah).’’

Dan menariknya lagi, ketakwaan yang sudah teraplikasi dalam amal perbuatan itu pun masih harus dilanjutkan lagi menjadi sebuah pengakuan spiritual tentang dominasi Allah dalam segala lini kehidupannya. Sehingga, ayat di atas masih mengimbau agar orang-orang bertakwa menjadi orang yang berserah diri – diistilahkan sebagai muslimun. Walaa tamuutunna illa wa antum muslimuun – janganlah kalian mati kecuali sudah dalam keadaan berserah diri kepada Allah.

Begitulah memang tingkatan kualitas seseorang dalam menjalani agama Islam. Dimulai dari komitmen yang bersifat internal dalam jiwa, diaplikasikan dalam perbuatan nyata sebagai amal kebajikan, dan berakhir dalam pengakuan yang sangat mendalam tentang dominasi Allah sebagai Tuhan satu-satunya yang menjadi pusat dari segala perjalanan batinnya. Inilah puncak kualitas yang harus kita tuju, sebagaimana telah kita ikrarkan dalam shalat-shalat shalat kita.

QS. Al An’aam [6]: 162-163
“Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya. Dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku. Dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (hanya kepada Allah)".

Wallahu a’lam bishshawab.


JANGAN BERIMAN HANYA KARENA ‘KATA ORANG’ ~ TAFAKUR RAMADAN 2012 (24) ~

oleh Agus Mustofa pada 14 Agustus 2012 pukul 6:39

Keimanan yang diperoleh dengan mudah, akan runtuh dengan mudah. Sebaliknya, keimanan yang diperoleh dengan perjuangan dan proses yang panjang, akan berakar kokoh di dalam sanubari. Tak mudah tergoyahkan, tak mudah dibeli, atau apa lagi diruntuhkan. Ia seperti pohon yang akarnya menghunjam kuat ke dalam tanah, dan cabang-cabangnya menjulang ke langit. Begitulah Al Qur’an memberikan perumpamaan.

QS. Ibrahim [14]: 24
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.’’

Apakah keimanan itu? Seorang kawan saya menyebutnya sebagai ‘rasa percaya’. Tetapi saya lebih suka menyebut sebagai ‘rasa yakin’. Sebab, ‘yakin’ memiliki bobot lebih besar dibandingkan dengan ‘percaya’. Dan karenanya, ‘yakin’ memiliki kualitas bertingkat-tingkat seiring dengan proses keimanan yang terjadi. Di dalam Islam dikenal istilah ‘ilmul yaqin, ‘ainul yaqin, dan haqqul yaqin.

Level paling bawah dari sebuah keimanan atau keyakinan adalah ‘ilmul yaqin. Yakni, keyakinan yang diperoleh lewat proses pembelajaran dari orang lain, bisa guru, orang tua, ataupun teman. Kepahaman yang baik terhadap suatu persoalan bakal memunculkan keyakinan, meskipun ia belum mengalami sendiri. Misal, ketika kita bertanya kepada seseorang: “apakah Anda yakin Allah itu ada?’’. Bagi seseorang yang sudah belajar tentang eksistensi Sang Pencipta alam semesta, boleh jadi dia akan mengatakan: “ya saya yakin Allah itu ada!”

Tetapi, ketika kita tanyakan lagi: “Apakah Anda sudah bertemu dengan Allah, sehingga merasa yakin akan keberadaan-Nya?’’, dia menjawabnya: ‘‘belum’’. Lantas, kenapa kok yakin? Dia pun mengatakan, semua itu diperolehnya lewat proses belajar. “Begitulah kata guru saya. Saya memahaminya dan meyakininya,’’ tuturnya. Keyakinan yang demikian itu baru berada pada tataran ‘ilmul yaqin: yakin karena kata orang.

Keyakinan semacam ini, di dalam Islam belum dianggap cukup. Harus meningkat menjadi sebuah pengalaman yang bersifat personal: ‘ainul yaqin – ‘melihat’ sendiri atau merasakan sendiri. Pada level ini jika ia ditanya: Apakah Anda yakin Allah itu ada? Dengan mantap ia akan menjawab: “tentu saja yakin.’’ Dan ketika ditanya, apakah ia sudah bertemu dengan Allah sehingga sedemikian yakin, ia pun dengan mantap mengatakan: “sudah’’. Kapan bertemu dengan-Nya? Boleh jadi dia menjawab: “barusan, saat shalat dan berdoa. Semua doa dan shalat saya langsung dijawab dan direspon oleh-Nya!’’

Jika seseorang sudah menjawab seperti itu, Anda akan mulai sulit untuk menggoyakan imannya. Karena ia telah merasakan bukti-bukti yang dihadapinya sendiri. Bukan hanya kata orang. Dan akan semakin kokoh, ketika ia sudah mencapai tingkatan haqqul yaqin. Yakni, sebuah level keimanan dimana dia telah berulangkali dan terus menerus memperoleh bukti atas apa yang diimaninya. Selama bertahun-tahun.

Sehingga, ketika ia ditanya: Apakah Anda yakin bahwa Allah itu ada? Jawabannya tak mengandung keraguan sama sekali: ya jelas ada! Apakah sudah bertemu dengan Allah? Sambil tersenyum dia mengatakan: sudah, setiap saat! Shalat bertemu dengan-Nya. Berdoa bertemu dengan-Nya. Berdzikir bertemu dengan-Nya. Bahkan bekerja, bergaul, berumah tangga, berpesiar, dan beraktifitas apa saja, bertemu dengan-Nya. “Karena ia sudah bersama dengan saya dimana pun saya berada. Segala masalah dan anugerah selalu saya interaksikan dengan Dia, dan selalu dijawab-Nya. Setiap saat, setiap waktu. Kenapa saya masih tidak yakin bahwa Dia ada?’’

Wah, kalau sudah demikian, Anda tidak akan bisa menggoyahkan keimanannya. Dia telah haqqul yaqin atas apa yang dijalaninya. Kecuali, Anda bisa memberikan keyakinan yang lebih dahsyat bahwa semua yang diyakininya itu hanyalah ilusi. Salah lihat dan salah dengar, atau salah persepsi. Tapi, Anda akan semakin tidak berkutik, jika ia lantas menampilkan bukti-bukti yang tak terbantahkan, yang sudah dia dapatkan sepanjang perjalanan spiritualitasnya. Bisa-bisa Anda sendiri yang bakal ‘runtuh’ menghadapinya.

Demikianlah Al Qur’an mengajari umat Islam dalam mencapai keimanannya. Tidak boleh ikut-ikutan, tidak boleh asal-asalan, dan tidak boleh sekedar menyandarkan kepercayaan. Keimanan harus diperjuangkan. Keimanan mesti diperoleh lewat kepahaman. Keimanan harus didapatkan lewat diskusi-diskusi yang intens. Dan kemudian dibuktikan dalam kehidupan nyata. Sehingga, tidak heran orang-orang setingkat Nabi Ibrahim dan Nabi Musa pun berusaha membuktikan keberadaan Allah sebagai Tuhan penguasa jagat raya semesta, dimana seluruh makhluk memang hanya bergantung kepada-Nya.

QS. Al Ankabuut [29]: 61
“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada (siapa saja) mereka: "Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan bulan dan matahari?" Niscaya mereka akan menjawab: "Allah". Maka kenapakah mereka (masih bisa) dipalingkan (dari realitas ini).’’

Wallahu a’lam bishshawab.