Minggu, 16 September 2012

10 ALASAN MENGAPA HADITS PATUT DIPERTANYAKAN


ALASAN 1 :
QUR’AN MEMPERTANYAKAN HADITS

Ini adalah alasan terpenting. Beberapa ayat dalam Qur’an mempertanyakan baik isi hadits (perkataan-perkataan) yang dibuat oleh manusia maupun orang-orang yang mengikutinya.

QS. Al-‘An’am [6]: 114-116
Maka patutkah aku mencari hakim SELAIN daripada ALLAH, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Qur'an) kepadamu dengan TERPERINCI? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Qur'an itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu.

Telah SEMPURNALAH kalimat Tuhanmu (Qur'an), sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah-rubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Dan jika kamu menuruti KEBANYAKAN orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti PERSANGKAAN belaka, dan mereka tidak lain hanyalah BERDUSTA (terhadap Allah).”

QS. Az-Zumar [39]: 23
Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Qur'an yang SERUPA (konsisten/tidak saling bertentangan) lagi berulang-ulang... “

QS. An-Nahl [16]: 89
Dan Kami turunkan kepadamu Kitab (Qur'an) untuk MENJELASKAN SEGALA SESUATU dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”

QS. Al-Jathiyah [45]: 6
Itulah ayat-ayat Allah yang Kami membacakannya kepadamu dengan sebenarnya; maka dengan HADITS (perkataan) MANA LAGI mereka akan beriman sesudah (kalam) Allah dan keterangan-keterangan-Nya.

ALASAN 2:
(ADA) HADITS ITU SENDIRI MELARANG HADITS (SEBAGAI HUKUM)

Ada hadist yang melarang penggunaan hadits sebagai hukum Islam. Ini adalah beberapa contoh :

“Nabi berkata: ‘ JANGAN tuliskan apa pun dariku SELAIN Qur’an.”

“Nabi berkata: ‘ JANGAN tuliskan apa pun dariku SELAIN Qur’an. Siapa saja yang telah menuliskan perkataanku SELAIN daripada Qur’an, hendaknya MENGHAPUSNYA.”

“Zaid bin Tsabit (penulis wahyu yang terdekat dengan Nabi) mengunjungi Khalifah Mu’awiyah (lebih dari 30 tahun setelah wafatnya Nabi) dan menceritakan kisah kehidupan Nabi. Mu’awiyah menyukai kisah itu dan memerintahkannya untuk menulisnya dalam buku. Akan tetapi Zaid berkata: “Rasulullah MELARANGKU untuk menuliskan perkataan-perkataan (hadits) beliau.”

“Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah diberi tahu bahwa beberapa orang menuliskan perkataan-perkataan beliau. Nabi membawa orang-orang itu ke masjid dan berkata: “Apa yang telah kalian tulis? AKU HANYALAH MANUSIA BIASA! Siapa saja yang telah menuliskan perkataan-perkataanku hendaklah menyerahkannya disini”. Abu Hurairah berkata: “Kami mengumpulkan tulisan-tulisan tersebut dan membakarnya.”

(Ironis : Abu Hurairah mengisahkan hadits lebih banyak dari siapa pun!)

“Abu Said Al-Khudry berkata: “Aku meminta izin kepada Rasulullah untuk menuliskan perkataan-perkataan beliau, namun beliau menolak memberikan izin tersebut.”

Saya pribadi tidak senang dengan kenyataan bahwa saya harus menggunakan hadits untuk membuktikan argumen saya. Qur’an seharusnya sudah cukup untuk meyakinkan anda betapa berbahayanya mengada-adakan hukum yang diatasnamakan kepada Rasulullah.

Qur’an sangat jelas mengatakan:

QS. Ash-Shu’ara’ [26]: 221-223
Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa setan-setan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa. Mereka BERPURA-PURA MENDENGAR, akan tetapi kebanyakan mereka adalah PENDUSTA.”


ALASAN 3:
TERDAPAT BANYAK KONTRADIKSI PADA HADITS

Qur’an mengatakan:

QS. An-Nisa’ [4]: 82
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an? Kalau kiranya Al Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah BANYAK TERDAPAT PERTENTANGAN (kontradiksi) di dalamnya.”

Kontradiksi adalah hal yang sering saya temukan di dalam hadits, yaitu:

1). Bertentangan dengan Qur’an.
2). Bertentangan dengan antar sesama hadits.
3). Bertentangan dengan logika dan kewajaran.


ALASAN 4 :
TELAH TERJADI DISTORSI PADA MAKNA KATA “SHAHIH”.

Hadits yang dianggap benar biasa disebut “shahih”. Keaslian atau keotentikan dari perkataan Nabi lebih didasarkan pada “kredibilitas” rantai periwayat hadits (perawi) daripada isi dari hadits itu sendiri.

Para periwayat hadits seringkali disebut dengan “sahabat Nabi”. Ini adalah kata yang telah diselewengkan!

Umat Islam menyebut kata “sahabat” sebagai orang-orang yang dekat dengan Nabi. Sebagian besar dari mereka menolak kenyataan bahwa kata “sahabat” tidak selalu berarti orang yang dekat dan loyal kepada Nabi.

Berdasarkan definisi yang dirumuskan oleh Bukhari, kata “sahabat” adalah: “siapa saja yang pernah bertemu dan melihat Nabi. “ (Fakta ini seharusnya menyadarkan anda!)

Qur’an menceritakan bahwa para nabi dan rasul sebelumnya juga telah dikhianati oleh para pengikutnya. Apakah anda yakin bahwa para pengikut Nabi Muhammad pasti lebih baik daripada para pengikut Nabi Isa?

Faktanya adalah: kita tidak yakin!

Qur’an telah menunjukkan sebaliknya :

QS. ‘Ali ‘Imran [3]: 52-54
Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani Israel) berkatalah dia: ‘Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?’ Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: ‘Kami lah penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri.’Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah)". Orang-orang kafir itu MEMBUAT TIPU DAYA, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.

QS. Al-‘Isra’ [17]: 77
(Kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu KETETAPAN terhadap RASUL-RASUL Kami yang Kami utus sebelum kamu dan TIDAK AKAN ADA kamu dapati PERUBAHAN bagi ketetapan Kami itu. “

QS. At-Tawbah [9]: 96-97
Mereka akan bersumpah kepadamu (wahai Muhammad), agar kamu rida kepada mereka. Tetapi jika sekiranya kamu rida kepada mereka, maka sesungguhnya Allah TIDAK RIDA kepada orang-orang yang FASIK itu.”

Orang-orang ARAB Badui itu, adalah yang terburuk KEKAFIRAN dan KEMUNAFIKANNYA, dan BODOH dalam memahami hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

QS. At-Tawbah [9]: 101
Di antara orang-orang ARAB Badui yang di SEKELILINGMU(wahai Muhammad) itu, ada orang-orang MUNAFIK; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) TIDAK MENGETAHUI MEREKA, (tetapi) Kami-lah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar. “

QS. Al-Baqarah [2]: 79
Maka KECELAKAAN yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Kitab dengan TANGAN MEREKA SENDIRI, lalu dikatakannya: "INI DARI ALLAH", (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan.


ALASAN 5:
KEABSAHAN HADITS DIRAGUKAN

Qur’an menyatakan bahwa sebuah dokumen bisa dianggap sah jika ada minimal dua orang saksi. Namun sebagian besar hadits hanya didasarkan pada kesaksian satu orang saja. Bahkan pada peristiwa penting yaitu menjelang wafatnya Nabi yang disaksikan oleh ratusan pengikutnya, ternyata ada tiga versi hadits yang tersedia:

1. “Aku tinggalkan dua perkara untuk kalian. Selama kalian berpegang teguh dengan keduanya tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu KITABULLAH dan SUNNAHKU.”

2. “Aku tinggalkan dua perkara untuk kalian. Selama kalian berpegang teguh dengan keduanya tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu KITABULLAH dan KELUARGAKU.”

3. “Aku tinggalkan perkara untuk kalian. Selama kalian berpegang teguh dengannya tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu KITABULLAH.”

Jadi, versi manakah yang benar?

Carilah jawaban untuk pertanyaan ini kepada cahaya Qur’an. Insya Allah anda akan mendapat jawabannya dengan jelas!

Sangat menyedihkan melihat kenyataan bahwa setelah Nabi Muhammad wafat, pengikutnya saling berdebat, bertengkar, dan terpecah belah demi perebutan kekuasaan!

QS. Ash-Shuraa [42]: 14
Dan mereka TERPECAH BELAH melainkan SESUDAH datangnya pengetahuan (Qur’an) kepada mereka karena KEDENGKIAN antara mereka. Kalau tidaklah karena sesuatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulunya (untuk menangguhkan azab) sampai kepada waktu yang ditentukan, pastilah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang diwariskan kepada mereka Kitab sesudah mereka, benar-benar berada dalam KERAGUAN yang menggoncangkan tentang kitab itu. “

QS. Ar-Rum [30]: 31-32
Dengan kembali bertobat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah salat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang MEMECAH BELAH agama mereka dan mereka menjadi BEBERAPA GOLONGAN. Tiap-tiap golongan merasa BANGGA dengan apa yang ada pada golongan mereka”.


ALASAN 6 :
ISLAM TELAH “SEMPURNA” HANYA DENGAN QUR’AN JAUH SEBELUM HADITS DIBUKUKAN

Banyak orang yang tidak paham bahwa satu-satunya misi Ilahiah kepada Nabi Muhammad adalah menyampaikan kitab suci Qur’an. Beliau tidak pernah diperintahkan oleh Allah untuk mengajarkan kepada kita bagaimana beliau makan, tidur, buang air, dsb.

Kita diperintahkan untuk mengikuti Rasulullah sebagai penyampai wahyu Allah yaitu Qur’an, bukan mengikuti beliau sebagai manusia! Mematuhi Nabi adalah perintah Allah untuk mengikuti cahaya Qur’an yang telah diturunkan Allah kepada Rasul-Nya.

Mematuhi Nabi bukanlah berarti mengikuti perkataan-perkataan yang telah diatasnamakan kepada Nabi, yang disebut “Sunnah”, di mana hal ini memang TIDAK PERNAH SEKALI PUN disebut dalam Qur’an!

Satu-satunya sunnah yang diperintahkan kepada kita untuk diikuti adalah Sunatullah yaitu ketetapan Allah!

Bagaimana mungkin kisah-kisah tentang kehidupan Nabi yang bersifat privat bisa kita KETAHUI saat ini (entah itu fakta atau kebohongan), jika bukan orang-orang pada zaman itu MENGABAIKAN firman Allah dalam Qur’an

QS. Al-‘Ahzab [33]: 53
Hai orang-orang yang beriman, JANGANLAH kamu MEMASUKI rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu DIIZINKAN untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu TANPA asyik MEMPERPANJANG PERCAKAPAN. Sesungguhnya yang demikian itu akan MENGGANGGU Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu ke luar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar...”


ALASAN 7 :
SEGALA PUJI HANYA KEPADA ALLAH SEMATA

Hanya Allah yang sempurna!

Sayangnya, banyak umat Islam yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad adalah manusia yang sempurna, tanpa cacat sedikit pun.

Dalam hal menyampaikan wahyu Allah, pendapat mereka itu 100% benar. Nabi Muhammad telah menyelesaikan tugas ini dengan menyampaikan Qur’an, dan tidak ada lain HANYA Qur’an!

Namun demikian, Nabi Muhammad seperti halnya nabi-nabi yang lainnya, hanyalah manusia biasa. Segala perkataan dan tindakan atas kemauan mereka sendiri sebagai manusia, tidaklah luput dari kesalahan.

Allah tidak akan terpengaruh dengan segala tindak tanduk para nabi, akan tetapi Dia adalah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang telah memaafkan segala kesalahan manusia, termasuk para nabi. Peristiwa ini juga bisa kita baca dalam Qur’an, contohnya:

QS. At-Tahrim [66]: 1
“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Beberapa penjelasan dari Hadits tentang ayat ini telah diselewengkan maknanya, dengan dibuat seolah-olah Nabi Muhammad adalah manusia sempurna yang berhak dipuja-puja sebagaimana Allah.

Tapi ingat! Bukan berarti jika anda tidak menyimpan patung Nabi Muhammad maka anda akan terbebas dari dosa pemberhalaan!


ALASAN 8 :
QUR’AN BISA MENJELASKAN DIRINYA SENDIRI

Qur’an tidak bergantung kepada penjelasan hadits! Tidak sulit bagi Allah jika Dia berkehendak menurunkan kitab-kitab yang ditulis dengan tinta yang menghabiskan seluruh air laut. Jika anda berpendapat ada yang kurang dalam Qur’an, itu sama sekali bukan karena Allah lupa. Justru karena kemaha pemurahan-Nya, ada beberapa hal yang tidak dituliskan di dalam Qur’an. Justru Allah telah membukakan pintu ijtihad, penafsiran, dan pengembangan sebagai berkah Allah akan anugerah terbaik bagi manusia yaitu akal.

Qur’an membawa pesan universal yang bisa melintasi ruang dan waktu. Kita harus senantiasa mencari jalan keluar untuk permasalahan yang ada di sekitar kita hari ini.
Dan jawabannya tidak harus dipaksakan oleh “Hukum Islam” yang diwariskan oleh masyarakat Arab di abad pertengahan. Sudah seharusnya ulama di zaman ini melakukan evaluasi terhadap hukum-hukum masa lampau dan menggantikannya dengan pendekatan-pendekatan yang sesuai dengan kekinian, untuk menghadapi dilema yang kita hadapi saat ini.

Qur’an tidak hanya berbicara dengan masyarakat Arab di abad pertengahan, tetapi MASIH berbicara dengan umat manusia di zaman ini di belahan bumi mana pun.

Qur’an sendiri berbicara bahwa Ia (Qur’an) mudah untuk dipahami bagi orang-orang yang benar-benar beriman, dan sulit dipahami bagi orang-orang munafik dan penyembah berhala. Mereka (orang munafik dan penyembah berhala) selalu khawatir bahwa ayat-ayat itu akan membuka kebobrokan mereka.

Apakah anda menyadari bahwa betapa nyamannya bagi mereka (orang munafik) untuk mencomot-comot dalil dari Hadits untuk memutarbalikkan makna dalam ayat-ayat Qur’an?

Mari kita baca ayat berikut ini!

QS. Luqman [31]: 6
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan HADITS-HADITS (perkataan) YANG TIDAK BERGUNA untuk MENYESATKAN (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.”

Mereka tidak akan membiarkan ayat ini membuka kebobrokan mereka, maka mereka tidak berani menterjemahkan kata “Hadits” ini apa adanya. Biasanya mereka menterjemahkan menjadi “perkataan”, bahkan ada yang keterlaluan dengan menterjemahkannya menjadi “nyanyian dan musik!”

Selalu lebih mudah bagi orang-orang yang selalu merasa paling benar sendiri itu untuk mengacungkan jari telunjuk ke arah orang lain yang tidak sepaham, daripada introspeksi diri dan memperbaiki kesalahan mereka sendiri!

QS. Al-‘An’am [6]: 112-113
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-PERKATAAN YANG INDAH-INDAH UNTUK MENIPU (manusia). Jika Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. Dan (juga) agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat cenderung kepada bisikan itu, mereka merasa senang kepadanya dan supaya mereka mengerjakan apa yang mereka (setan) kerjakan.”

QS. Al-‘Araf [7]: 30
Sebahagian diberi-Nya petunjuk dan sebahagian lagi telah pasti kesesatan bagi mereka. Sesungguhnya mereka menjadikan setan-setan pelindung (mereka) selain Allah, dan MEREKA MENGIRA BAHWA MEREKA MENDAPATKAN PETUNJUK.”

QS. Muhammad [47]: 16
Dan di antara mereka ada orang yang MENDENGAR PERKATAANMU (wahai Muhammad) sehingga apabila mereka keluar dari sisimu mereka berkata kepada orang yang telah diberi ilmu pengetahuan (sahabat-sahabat Nabi): "APAKAH YANG DIKATAKANNYA (Muhammad) TADI?" Mereka itulah orang-orang yang DIKUNCI MATI HATI mereka oleh Allah dan MENGIKUTI HAWA NAFSU mereka.”


ALASAN 9 :
MEMPERTANYAKAN HADITS TIDAK MENJADIKAN ANDA KAFIR!

Justru anda sedang menjalankan tepat apa yang diperintahkan Allah di dalam Qur’an! Allah berfirman kepada kita bahwa kita bertanggung jawab atas pendengaran, penglihatan, dan pola berpikir yang logis yang dikaruniakan kepada kita, dan untuk membuktikan sebuah kebenaran.

QS. Az-Zumar [39]: 18
“Yang MENDENGARKAN PERKATAAN lalu MENGIKUTI APA YANG PALING BAIK di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah PETUNJUK dan mereka itulah orang-orang yang MEMPUNYAI AKAL.

Qur’an mengatakan bahwa Nabi Muhammad kelak pada Hari Penghakiman akan berkeluh kesah kepada Allah dengan berkata, “Umatku telah menjadikan Qur’an sesuatu yang tidak diacuhkan.”

Apakah anda pernah bertanya kepada diri sendiri, siapakah yang dimaksud dengan “umatku” oleh Rasulullah? Ataukah lebih mudah menunjuk ke arah umat Yahudi dan Nasrani?

QS. Al-‘Isra’ [17]: 36
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya PENDENGARAN, PENGLIHATAN, dan HATI, semuanya itu akan diminta PERTANGGUNGAN JAWABNYA”

QS. Al-Baqarah [2]: 171
Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang TIDAK MENDENGAR SELAIN PANGGILAN DAN SERUAN saja. Mereka TULI, BISU, DAN BUTA, maka (oleh sebab itu) mereka TIDAK MENGERTI.”

Sebagian besar Hukum Syariat dalam “Islam” yang diambil di luar Qur’an adalah berdasarkan Fikih dan Hadits. Mari kita bertanya kepada diri sendiri : berserah diri (Islam) macam apa kita ini jika berani mengingkari firman-firman Allah demi sekedar mengikuti tradisi dan Hadits?

Siapakah sebenarnya “orang-orang zalim dan fasik” itu?

Qur’an berkata :

QS. Al-Ma’idah [5]: 45
Barang siapa TIDAK MEMUTUSKAN perkara menurut APA YANG DITURUNKAN ALLAH, maka mereka itu adalah orang-orang ZALIM.”

QS. Al-Ma’idah [5]: 47
“Barang siapa TIDAK MEMUTUSKAN perkara menurut APA YANG DITURUNKAN ALLAH, maka mereka itu adalah orang-orang FASIK.”

Kediktatoran, kejahatan terhadap kemanusiaan, penindasan terhadap wanita, korupsi, pelanggaran terhadap hak berbicara/beragama/ berpandangan politik bisa kita saksikan di belahan bumi manapun. Akan tetapi mengapa kasus terbanyak terjadi di negeri-negeri mayoritas “muslim?”

QS. An-Nisa’ [4]: 60
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang MENGAKU dirinya telah BERIMAN kepada APA YANG DITURUNKAN (Qur’an) kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak BERHAKIM kepada kemungkaran, padahal mereka telah diperintah mengingkari kemungkaran itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) PENYESATAN yang sejauh-jauhnya.“

QS. Al-Qalam [68]: 36-37
Mengapa kamu (berbuat demikian): bagaimanakah kamu MENGAMBIL KEPUTUSAN? Atau adakah kamu mempunyai sebuah KITAB LAIN yang kamu ikuti?

QS. Al-Kahf [18]: 26
“...Dia TIDAK mengambil seorang pun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan HUKUM".


ALASAN 10 :
QUR’AN ADALAH PEMBEDA ANTARA YANG “BENAR” DAN YANG “SALAH”.

QS. Al-Furqan [25]: 1
Maha Suci Allah yang telah menurunkan KITAB PEMBEDA (antara yang benar dan salah) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam,”

QS. Yunus [10]: 17-18
Maka siapakah yang LEBIH LALIM daripada orang yang MENGADA-ADAKAN KEDUSTAAN terhadap Allah atau MENDUSTAKAN ayat-ayat-Nya? Sesungguhnya, tiadalah beruntung orang-orang yang berbuat dosa. Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudaratan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: "Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah". Katakanlah: "Apakah kamu mengabarkan kepada Allah APA yang TIDAK diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) di bumi?" Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (itu).”

QS. Al-‘Ahzab [33]: 67-68
Dan mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah MENAATI PEMIMPIN dan PEMBESAR kami, lalu mereka MENYESATKAN kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar".

QS. An-Nisa’ [4]: 48
Sesungguhnya Allah TIDAK AKAN mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang SELAIN dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang MEMPERSEKUTUKAN Allah, maka sungguh ia telah berbuat DOSA yang BESAR. “

Kembalilah kepada petunjuk Allah di dalam Qur’an, sebelum terlambat! Karena anda tidak dapat menyalahkan orang-orang yang telah menyesatkan kita pada Hari Penghakiman nanti!

Keselamatan anda tergantung pada anda sendiri, dan ampunan dari Allah!

Allah telah memudahkan agama ini bagi kita. Jika anda merasakan begitu banyak kesulitan dan kerepotan dalam berserah diri (Islam), maka patut anda pertanyakan kepada diri sendiri, Islam apakah yang sedang kita jalani?

Berserah diri hanya kepada Sunnah Allah (Sunatullah) adalah sesuatu hal yang akan dilakukan oleh orang yang benar siapa pun dia, dengan penuh kenikmatan.

Sistem Allah sangat luar biasa, hebat, humanis, dan sehat. Tidak demikian dengan sistem yang dibuat-buat sendiri oleh manusia.

Sangatlah penting bagi siapa saja, Muslim maupun Non-Muslim untuk menyadari perbedaan di antara sistem buatan Allah dan sistem buatan manusia.

Pengingkaran terhadap fakta ini akan berakibat:

QS. Al-‘An’am [6]: 26
Mereka MELARANG (orang lain) MENDENGARKAN Al Qur'an dan mereka sendiri MENJAUHKAN diri daripadanya, dan mereka hanyalah MEMBINASAKAN diri mereka sendiri, sedang mereka TIDAK MENYADARI.

Peace!



Kamis, 16 Agustus 2012

RAMADAN BERAKHIR JUM’AT KENAPA SHALAT IDUL FITRI MINGGU ~ TAFAKUR RAMADAN 2012 (30) ~

oleh Agus Mustofa pada 16 Agustus 2012 pukul 6:04


Saya masih merasa gundah dengan sejumlah pertanyaan dari para sahabat saya tentang awal Ramadan dan Awal Syawal. Sungguh kasihan menyaksikan mereka kebingungan memahami ‘fenomena’ penetapan waktu ibadah yang berbeda itu. Dan, lebih kasihan, karena ternyata kebingungan tersebut terulang lagi saat menyongsong datangnya Idul Fitri. Karena itu, saya ingin berbagi pemahaman lebih jauh tentang hal ini.

‘’Saya benar-benar bingung mas Agus. Awal Ramadan bingung, akhir Ramadan juga bingung. Saya takut berdosa, karena melakukan ibadah tanpa mengetahui ilmunya. Bukankah Al Qur’an mengajari agar kita punya alasan yang jelas dalam menjalani agama ini?’’ Kata kawan saya memulai ‘curhat’nya, sambil mengutip QS. Al Israa [17]: 36. ‘’Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung-jawaban.’’

Yang menjadi kegundahannya adalah, kenapa shalat Idul Fitri 1433 H ini digelar di hari Minggu, 19 Agustus 2012. Padahal menurut hisab dan rukyat, Insya Allah bulan Ramadan akan berakhir Jum’at malam, 17 Agustus 2012. Mestinya kan shalat Id digelar hari Sabtu, karena sudah masuk 1 Syawal.Lha kok shalat Id dilakukan Minggu. Kenapa bisa demikian?

Seperti telah saya bahas di awal Ramadan, kerancuan ini mestinya tidak perlu terjadi jika sejak awal kita bisa memisahkan pemahaman Astronomi dan pemahaman fikihnya. Astronomi adalah sebuah fakta posisi benda langit yang tak bisa dimanipulasi. Sedangkan fikih adalah hukum yang bisa ‘disesuaikan’ seiring dengan kondisi yang terjadi.

Untuk memahami secara runtut, marilah kita flash-back sedikit ke awal Ramadan. Bahwa semua pihak yang berkompeten waktu itu sepakat: bulan Syakban berakhir Kamis, 19 Juli 2012, pukul 11.25 wib. Sehingga, ketika saat Maghrib datang, bulan Syakban sudah benar-benar berakhir, digenapkan dalam usia 30 hari. Tentunya, Jum’at sudah masuk 1 Ramadan. Adalah tidak mungkin untuk memasukkan Jum’at ke bulan Syakban, karena akan menjadikan bulan Syakban berumur 31 hari. Menetapkan hari Jum’at sebagai penggenapan bulan Syakban adalah sebuah keputusan yang absurd, karena usia bulan-bulan Hijriyah hanya berkisar antara 29 atau 30 hari.

Menyongsong datangnya bulan Syawal, insya Allah semua pihak juga bakal sepakat bahwa akhir Ramadan akan jatuh besok, Jum’at malam (17/8). Cara menghitungnya sederhana saja, yakni: akhir bulan Syakban ditambah 29,5 hari akan menghasilkan akhir bulan Ramadan. Karena akhir Syakban adalah Kamis, 19 Juli 2012, pukul 11.25, maka diperolehlah akhir Ramadan jatuh pada hari Jum’at (17/8) sekitar jam 23.00 wib. Saya kira, semua pihak tidak akan berbeda pendapat tentang hal ini.

Tapi, jika benar besok semua pihak menyepakati bahwa Ramadan telah berakhir, kenapa shalat Idul Fitri baru digelar di hari Minggu? Disinilah diperlukan penjelasan fikihnya. Karena secara Astronomi sihsudah sangat jelas, bahwa Bulan Ramadan berakhir besok, dan lusa hari sabtu, posisi bulan sudah berada di tanggal 1 Syawal. Dan berarti, Minggunya bulan sudah berada di posisi 2 Syawal. Tetapi secara fikih, kita memang memiliki pilihan untuk mengakhiri puasa atau menggenapkannya, meskipun Ramadan telah berakhir.

Dikarenakan bulan Ramadan baru habis di Jum’at malam, sekitar pukul 23.00 wib, maka saat matahari tenggelam itu memang masih berada di bulan Ramadan. Itu berlanjut sampai sekitar 5 jam kemudian. Dalam penanggalan Hijriyah batas hari ditetapkan saat Maghrib, bukan tengah malam seperti kalender Masehi. Oleh karena itu, setelah Maghrib, hari sudah berganti menjadi Sabtu Hijriyah, dan Ramadannya masih tersisa sekitar 5 jam sampai jam 23.00 wib.

Secara fikih, jika hari terakhir Ramadan masih menyisakan bulan, maka Rasulullah mengajari kita agar menggenapkannya sampai datangnya waktu Maghrib. Dan shalat Id baru digelar esoknya. Itulah alasannya kenapa kita masih berpuasa di hari Sabtu, yang notabene posisi bulan sudah 1 Syawal. Tidak apa-apa. Karena secara fikih memang demikian hukumnya. Meskipun, penggenapan itu sendiri lantas dipahami secara berbeda-beda, yakni: ada yang ‘menggenapkan’ puasanya menjadi 29 hari; dan ada pula yang menggenapkan puasanya menjadi 30 hari. Ya, sudahlah. Dengan demikian, shalat Idul Fitri, baru kita lakukan pada hari Minggu, 19 Agustus 2012, yang notabene sebagian harinya sudah masuk 2 Syawal. Juga tidak apa-apa, karena dasar hukumnya jelas. Dan karena penggenapan 30 hari itu, maka meskipun posisi bulan sudah berada di 1 Syawal, hari Sabtu itu masih boleh disebut bulan Ramadan hari ke-30. Dan, berdasar kesepakatan, hari Minggunya pun bisa disebut 1 Syawal.

Meskipun, sempat berbeda di awal Ramadan, kita tetap wajib mensyukuri kebersamaan lebaran kali ini. Karena, jika lebarannya yang berbeda ‘ongkos sosialnya’ bakal lebih mahal lagi. Kita berharap, mudah-mudahan tahun depan bukan hanya Idul Fitrinya yang bersamaan, melainkan umat Islam sudah bisa bergandengan tangan sejak memasuki awal Ramadan. Betapa indahnya jika umat ini bersatu padu, mengeratkan persaudaraan di dalam ridha Allah. Sungguh kita semua merindukan datangnya kebersamaan itu..!

QS. Ali Imran [3] : 103
‘’Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah. Dan janganlah kamu bercerai berai. Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, kemudian Allah mempersatukan hatimu. Lalu kamu menjadi orang-orang yang bersaudara karena nikmat Allah. Padahal (ketika itu) kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.’’

Wallahu a’lam bishshawab.


BERDZIKIR KEPADA ALLAH DI SETIAP HELAAN NAFAS ~ TAFAKUR RAMADAN 2012 (29) ~

oleh Agus Mustofa pada 16 Agustus 2012 pukul 6:00

Dzikrullah alias mengingat Allah adalah pelajaran puncak dalam spiritulitas Islam. Sehingga di dalam Al Qur’an bertaburan pelajaran tentang dzikir itu. Berdzikir bukan hanya bermakna mengucapkan kalimat dzikir, melainkan menghadirkan Allah dalam seluruh kesadaran kita. Apa pun yang sedang kita lakukan, tak pernah lepas dari interaksi dengan-Nya.

Karena itu, selain diperintahkan untuk melakukan dzikir sebanyak-banyaknya,

QS. Al Ahzab [33] : 41
Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.

Allah juga mengajarkan untuk berdzikir dalam kondisi apa pun. Istilah Al Qur’an adalah mengingat Allah dalam segala keadaan: berdiri, duduk, maupun berbaring.

QS. Ali Imran [3] : 191
“(yaitu) orang-orang yang berdzikir mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka bertafakur tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.’’.

Ayat di atas menunjukkan bahwa dzikir adalah inti dari semua ibadah. Shalat mesti mengingat Allah, berpuasa mesti mengingat Allah, demikian pula zakat, haji, dan apa pun bentuk ibadah yang kita lakukan.

Bahkan bukan hanya ibadah-ibadah khusus seperti itu, melainkan juga dalam segala kondisi: makan, minum, mandi, berkendara, bekerja, berolahraga, menuntut ilmu, berdarmawisata, dan segala macam kegiatan sehari-hari, termasuk saat beristirahat ataupun tidur, semuanya tak pernah lepas dari dzikrullah: menyambungkan hati kepada Allah.

Karena itu, kita menjadi paham ketika Allah menyebut dzikrullah sebagai amalan yang paling besar dibandingkan dengan segala ibadah.

QS. Al 'Ankabuut [29]: 45
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Saya lantas ingat bagaimana ayah saya – yang juga guru tasawuf saya sendiri – mengajari pentingnya dzikir itu. Beliau menggambarkan begini: kalau kita ingin selalu berinteraksi dengan Allah, yang harus dilakukan adalah sering-sering membaca Al Qur’an. Sebab, kitab suci itu berisi ucapan alias firman-firman Allah. Membaca Al Qur’an dengan khusyu’ sama dengan sedang berdialog dengan Allah.

Tetapi, karena kita tidak mungkin khatam Al Qur’an setiap hari, maka kita bisa membaca kandungan Al Qur’an itu di dalam ‘ringkasannya’, yaitu surat Al Fatihah. Itulah sebabnya surat pembuka kitab suci ini disebut sebagai ummul kitab – induk Al Kitab. Isinya mewakili kandungan Al Qur’an secara global. Membaca Al Fatihah bisa kita lakukan jauh lebih banyak dibandingkan dengan mengkhatamkan Al Qur’an. Minimal tujuh belas kali sehari semalam, kita melakukannya saat shalat.

Menurut ayah saya, meskipun surat Al Fatihah itu sudah merupakan ringkasan dari Al Qur’an, sebenarnya ia masih bisa diringkas lagi, yakni menjadi kalimat bismillahirrahmanirrahim yang ditempatkan di awal surat itu. Yang karenanya, kita diajari untuk melafadzkan kalimat basmallah ini lebih banyak dibandingkan membaca Al Fatihah. Bukan hanya setiap shalat, melainkan setiap mau berbuat apa saja. Mau makan baca bismillah, mau minum baca bismillah, mau bekerja, mau bepergian, mau belajar, mau tidur, dan apa saja aktivitas sehari-hari yang mau kita lakukan, kita mesti membacabasmallah.

Namun, kalimat bismillahirrahmanirrahim ini pun sebenarnya memiliki inti kandungan makna, yang terdapat pada kata “Allah’’. Oleh karena itu, teringat betul bagaimana Bapak saya mengajari anak-anaknya agar melafadzkan kata ‘Allah’ ini lebih banyak lagi. Yaitu, seiring dengan helaan nafas:”Allaahu… Allaahu…’’. Maka melafadzkan kata “Allah’’ itu adalah sama dengan membaca intisari seluruh firman-Nya yang berjumlah 6.236 ayat. Itulah dzikir paling intensif yang bisa dilakukan seorang hamba terhadap Tuhannya. Ada juga yang masih meringkas kalimat ‘Allahu’ itu menjadi: “Hu… hu..’’ yang bermakna “Dia’’ (Allah), seiring dengan tarikan dan keluarnya nafas.

Begitulah cara para pelaku dzikir berinteraksi dengan Allah. Mereka ingin menyambut ajakan Allah agar setiap saat mengisi kesadarannya dengan mengingat Allah. Dalam keadaan berdiri, duduk, maupun berbaring, sebagaimana diajarkan dalam firman-firman-Nya. Tidak harus diucapkan dengan lisan, karena dzikir itu bisa dilafadzkan di dalam jiwa dan kesadarannya.
Ibarat pelajaran membaca antara anak SD dengan mahasiswa, seorang anak SD membaca buku-buku pelajarannya dengan cara mengeraskan suara, tetapi para mahasiswa sudah membacanya di dalam hati dengan penghayatan yang jauh lebih tinggi. Semua itu hanya soal kebiasaan saja, dan kita semua bisa melakukannya kalau mau.

Orang-orang yang sudah mencapai tataran ini diibaratkan Allah sebagai orang yang selalu berhadapan dengan Allah dimana pun dia berada. Menghadap ke barat bertemu Allah, menghadap ke timur juga bertemu Allah. Karena, barat dan timur itu memang milik Allah, dan seluruh apa yang ada diantaranya sudah diliputi-Nya, tanpa ada jarak yang memisahkannya.

QS. Qaaf [50] : 16
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.’’

QS. Al Baqarah [2]: 115
“Dan sesungguhnya Kamilah yang telah menciptakan manusia, dan Kami mengetahui segala yang dibisikkan oleh jiwanya. Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya (sendiri).’’

Wallahu a’lam bishshawab.


DZIKIR SEBANYAK-BANYAKNYA, BERDOA SEDIKIT SAJA ~ TAFAKUR RAMADAN 2012 (28) ~

oleh Agus Mustofa pada 16 Agustus 2012 pukul 5:56

Suatu ketika Pak Dahlan Iskan (menteri BUMN, red.) bertanya kepada saya: “Apakah di dalam Al Qur’an ada perintah untuk berdoa sebanyak-banyaknya?’’ Saya jawab: “tidak ada. Yang ada ialah perintah untuk BERDZIKIR sebanyak-banyaknya.’’ Rupanya, Pak Dahlan sedang galau tentang banyaknya orang yang sangat suka berdoa, tetapi kurang berusaha. Sehingga, terasa kurang menghargai karunia Allah yang telah diberikan kepada kita untuk bekerja keras dalam menggapai tujuan.

Saya memang tidak menemukan perintah untuk berdoa sebanyak-banyaknya itu. Bahkan para nabi dan rasul beserta para pengikutnya yang sedang berjuang menegakkan agama Allah pun ketika sedang menghadapi masalah tidak diperintahkan untuk berdoa, melainkan disuruh banyak-banyak berdzikir.

QS. Al Anfaal [8]: 45
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan berdzikirlah menyebut (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu memperoleh kemenangan.’’

Dan perintah itu diulang-ulang di dalam berbagai ayat untuk kepentingan yang lebih umum. Bahwa, dalam kondisi apa pun Allah memerintahkan kepada kita untuk memperbanyak dzikir.

QS. Al Ahzab [33]: 41
“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya.’’

Kenapakah kita disuruh banyak berdzikir dibandingkan minta tolong? Agaknya kita sudah bisa menebak alasan yang ada di baliknya. Bahwa, orang yang terlalu sering meminta tolong justru akan memperlemah daya juangnya sendiri. Sebaliknya, orang yang banyak berdzikir mengingat Allah akan menguatkan.

Berdzikir memiliki makna selalu merasa dekat dengan Allah secara lahiriah maupun batiniah. Menyebut dengan lisan maupun mengingat dengan hati. Ada perasaan selalu bersama dengan-Nya kapan saja dan dimana saja, sehingga memunculkan rasa tenteram dan percaya diri untuk memperoleh pertolongan dan perlindungan dari-Nya.

QS. Ar Ra’d [13]: 28
"(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berdzikir kepada Allah, Ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati manusia menjadi tenteram.’’

Di dalam dzikir itu, sebenarnya sudah terkandung doa meminta pertolongan dan perlindungan kepada-Nya. Tetapi tidak semata-mata diungkapkan sebagai permintaan tolong yang berkepanjangan. Yang seringkali, justru melemahkan motivasi untuk berjuang dan bekerja keras mencapai tujuan. Allah sudah memberikan segala anugerah berupa kecerdasan, ilmu pengetahuan, kekuatan, kekuasaan, rezeki, dan sebagainya yang harus kita gunakan secara maksimal. Dalam kerja keras dan perjuangan itulah Allah bakal menilai kita apakah kita pantas memperoleh karunia yang lebih besar lagi.

Karena itu tidak heran, Allah menginformasikan kepada kita bahwa ganjaran surga pun bakal diberikan kepada orang-orang yang telah berusaha dan bekerja keras. Bukan kepada orang-orang yang gemar berdoa sambil bemalas-malasan.

QS. Ali Imran [3]: 142
"Apakah kamu mengira akan masuk surga, padahal belum terbukti bagi Allah orang-orang yang berjuang di antaramu, dan belum terbukti orang-orang yang sabar.’’

Dengan kata lain, lha wong belum berjuang dan berusaha keras untuk mencapainya, kok sudah berangan-angan dapat surga. Demikian pula, belum terbukti bisa menaklukkan masalah dengan penuh kesabaran, kok sudah berharap kesuksesan. Bukan begitu. Hanya orang-orang yang pantas dapat kesuksesanlah yang bakal diberi kesuksesan oleh Allah. Dan hanya orang-orang yang pantas memperoleh kegagalanlah yang akan diberi kegagalan oleh-Nya.

Dalam ayat berikut ini, Allah juga memberikan informasi semacam itu. Kita dipersilakan untuk memilih menjadi orang yang mau maju atau mau mundur. Semua bergantung kepada kita sendiri. Setiap diri bertanggungjawab sepenuhnya atas keputusan yang diambilnya.

QS. Al Mudatstsir [74]: 37-38
Liman syaa-a minkum an yataqaddama au yata-akhkhar. Kullu nafsin bimaa kasabat rahiinah – Bagi siapa saja diantara kalian yang mau maju atau mau mundur (silakan). Setiap diri bertanggungjawab atas apa yang diperbuatnya..!

Maka dalam konteks dzikir dan doa ini, kita diajari untuk melakukannya secara proporsional. Dzikir dianjurkan dilakukan sebanyak-banyaknya agar jiwa kita selalu ‘nyambung’ dengan Allah. Maka, ketika jiwa sudah tersambung kepada-Nya, doa tidak perlu banyak-banyak, sudah sangat mustajab. Karena jiwanya telah terisi penuh oleh eksistensi Allah.

Sebaliknya, tidak sedikit orang yang berdoa tetapi jiwanya tidak tersambung kepada Allah. Dzikirnya buruk, karena tidak sepenuh hati, sehingga jiwanya pun jauh dari Allah. Bagaimana mungkin doa yang demikian bisa terkabul. Lha wong doa itu hanya meluncur dari lisannya, tanpa melibatkan hatinya. Sementara itu, Allah mengajari agar kita tidak lalai saat berdzikir kepada-Nya dengan merendahkan suara maupun berbisik-bisik mesra di dalam jiwa.

QS. Al A’raaf [7]: 205
Dan berdzikirlah menyebut (nama) Tuhanmu di dalam jiwamu, dengan merendahkan diri dan rasa takut serta dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang hari. Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.’’

Wallahu a’lam bishshawab.

Rabu, 15 Agustus 2012

JANGAN BERIBADAH HANYA KARENA SURGA ~ TAFAKUR RAMADAN 2012 (27) ~

oleh Agus Mustofa pada 15 Agustus 2012 pukul 6:17

Seorang kawan saya bertanya: “Benarkah alam semesta beserta isinya ini bakal lenyap setelah berusia belasan miliar tahun ke depan?’’ Saya katakan: “agaknya begitu’’. Karena, Al Qur’an sendirilah yang menceritakan bahwa fase terakhir drama kehidupan manusia memang bukan alam akhirat, QS. Al-Baqarah [2]: 28, sebagaimana telah kita bahas di tulisan sebelum ini. Ternyata, alam akhirat baru menempati fase keempat, yang akan segera disusul fase kelima: runtuhnya alam semesta, lenyap menuju ketiadaan. Yakni, fase kembali kepada-Nya – ilaihi turja’un.

Kawan saya pun melanjutkan pertanyaannya: “Berarti surga juga bakal lenyap?’’ Saya menjawab: “Agaknya demikian.’’ Bukankah surga itu memang bagian dari alam akhirat, dan baru berada di fase keempat? Sehingga ketika alam semesta digulung oleh-Nya, dengan sendirinya surga dan neraka bakal ikut lenyap’

QS. Al Anbiyaa’: 104
“(Yaitu) pada hari Kami gulung langit seperti menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati; sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya.’’

Kawan saya bersungut-sungut: “kalau begitu buat apa saya beribadah capai-capai begini? Toh surga bakal lenyap?’’ Saya menimpali: “Oh, jadi ibadahmu selama ini bukan karena Allah toh? Hanya karena surga? Sehingga ketika surga tidak ada maka engkau pun menjadi malas beribadah untuk menyembah Allah? Katamu, semua ibadah harus lillahi ta’ala – hanya karena Allah. Lha kok ternyata hanya karena surga?’’

Dialog diatas hanya sekelumit dari realitas yang banyak terjadi di sekitar kita. Sebuah gambaran tentang bergesernya kualitas ketauhidan umat. Ibadah yang semula diperuntukkan Allah semata, mulai kehilangan orientasi, dan menjadi untuk diri sendiri. Padahal, orientasi ibadah itu bisa menjadi salah satu parameter kepada siapakah kita bertuhan: kepada Allah ataukah kepada yang lain – termasuk kepada diri sendiri?

Orang yang ibadahnya karena surga, tentu bukan beribadah karena Allah. Dia lebih mencintai surga daripada mencintai Allah. Dan lebih takut neraka daripada takut kepada Allah. Sehingga, Allah tak lebih hanyalah pihak yang disuruh-suruh untuk memenuhi keinginan kita. Termasuk untuk memberi kebahagiaan surga dan menghindarkan dari neraka.

Kita mesti berhati-hati, karena tanpa terasa ketauhidan kita mulai bergeser bukan lagi kepada Allah, melainkan kepada diri sendiri. Ternyata, tuhan kita bukan Allah, melainkan diri kita sendiri. Sedangkan Allah tak lebih hanyalah ‘pelengkap penderita’ yang kita mintai ini-itu saat kita perlu. Dan ketika segala keinginan itu tidak dipenuhi kita marah-marah dan ‘ngambek’ kepada-Nya. Emangnya kita ini siapa?

Inilah yang dikritisi oleh seorang sufi wanita yang sangat terkenal di abad pertengahan: Rabi’ah Al Adawiyah. Suatu ketika dia membawa obor dan seember air melintasi keramaian masyarakat. Ia pun ditanya, untuk apakah membawa obor dan seember air itu kemana-mana. Ia menjawab, akan membakar surga dan menyiram api neraka. Tentu saja banyak yang heran dan bertanya kepadanya tentang jawaban yang aneh itu. Tapi dengan lugas ia menjawab, semua itu dia lakukan agar umat Islam kembali bertuhan hanya kepada Allah. Dan mencintai serta mengabdikan segala ibadahnya lillahi ta’ala, hanya karena Allah semata. Bukan sebaliknya, bertuhan kepada surga dan neraka, sehingga melupakan Allah sebagai Tuhan. Serta menjadikan-Nya sebagai ‘pelengkap penderita’ belaka.

QS. Al Qashash: 88
“Janganlah kamu sembah bersama Allah, tuhan apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang pantas disembah) selain Dia. Segala sesuatu bakal binasa, kecuali Allah. Bagi-Nyalah segala ketentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.’’

Begitulah Allah mengajarkan di dalam Kitab Suci. Itulah yang disebut sebagai pemurnian tauhid dalam menuhankan Allah. Tidak ada sesuatu pun yang pantas dipersekutukan dengan-Nya. Meskipun itu adalah surga, malaikat ataupun nabi. Apalagi diri sendiri. Bertuhan adalah mengikhlaskan hati untuk hanya mengakui keagungan-Nya. Dan berserah diri menaati segala perintah-Nya. Dzat Tunggal penguasa jagat semesta raya.

Sedangkan surga dan neraka, tak lebih hanyalah ciptaan yang bakal diganjarkan kepada siapa saja yang memang pantas memperolehnya. Tak ada satu pun makhluk yang mampu menghalangi, jika Dia berkehendak memberikan surga kepada hamba-hamba-Nya, sebagaimana juga tak ada yang bisa menolak jika Dia memberi ganjaran neraka bagi orang yang berdosa.

Allah Maha Adil atas segala kehendak-Nya. Dia menjadi sumber segala kebahagiaan dan kesejahteraan makhluk-Nya. Karena, Dialah Sang Penguasa jagat raya Yang Maha Mulia, Maha Agung, lagi Maha Bijaksana. “Allaahumma antassalam waminkassalaam tabaarakta rabbana yaa dzal jalaali wal ikraam – Ya Allah, Engkaulah kebahagiaan dan kesejahteraan yang sebenar-benarnya, dan dari Engkau sajalah bersumber segala kebahagiaan dan kesejahteraan. Maha Suci Engkau wahai Tuhan kami, Sang Pemilik segala Keagungan dan Kemuliaan...’’

Wallahu a’lam bishshawab.


‘FASE LENYAP’ SETELAH ALAM AKHIRAT ~ TAFAKUR RAMADAN 2012 (26) ~

oleh Agus Mustofa pada 15 Agustus 2012 pukul 6:12

Segala sesuatu ini muncul dari ‘ketiadaan’ dan bakal kembali kepada ‘ketiadaan’. Dalam istilah Al Qur’an, kalimat yang sering kita dengar itu berbunyi: inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun – sesungguhnya (semua ini) milik Allah, dan bakal kembali kepada-Nya.’’
Ternyata, drama kehidupan manusia, menurut Al Qur’an, melewati lima fase: dari tiada menuju tiada kembali.

Dalam konteks pengetahuan manusia yang terbatas, keberadaan ‘sebelum ada’ itu disebut sebagai ‘ketiadaan’. Belum eksis, bahkan tidak eksis. Dan sesudah drama kehidupan ini selesai, kita juga bakal kembali tidak ada, alias kehilangan eksistensi kembali. Sebuah ‘kehilangan’ yang sebenarnya tidak pantas kita sebut kehilangan, karena memang kita tidak pernah memilikinya. Sejak awal kita sudah tidak ada, sebab yang ada itu memang hanya Dia: Allah azza wajalla.

QS. Al Insaan: 1
“Bukankah telah datang atas manusia satu fase dari perjalanan waktu, dimana ketika itu dia belum merupakan sesuatu yang bisa disebut?’’

Ya, orang tua kita saja belum menikah, tentu saja kita pun belum ada. Itulah fase pertama dari drama kehidupan manusia. Dalam istilah Al Qur’an di ayat yang berbeda, fase itu disebut sebagai fase kematian. Setelah itu, Allah menciptakan manusia di dalam rahim ibunda, dan kemudian menjalani drama kehidupannya di dunia, selama bertahun-tahun, di fase kedua. Ada yang mati usia muda, dan ada yang meninggal setelah berusia tua. Fase ini disebut sebagai fase kehidupan.

Fase ketiga, manusia bakal dimatikan lagi. Badannya hancur terurai menjadi tanah, atau unsur-unsur biokimiawi, tapi jiwanya masih hidup, beralih ke dimensi yang lebih tinggi. Al Qur’an menyebutnya sebagai fase alam barzakh alias alam kubur.

QS. Al Baqarah [2]: 154
“Dan janganlah kamu mengira orang-orang yang meninggal di jalan Allah itu mati; sebenarnyalah mereka itu hidup, tapi kamu tidak menyadarinya.’’

Fase ini disebut juga sebagai ‘fase menunggu’, yakni menunggu datangnya kiamat.

Fase keempat, adalah fase akhirat dimana manusia yang sudah mati bakal dihidupkan kembali. Sebuah fase yang seringkali dicemoohkan oleh orang-orang yang tidak percaya Tuhan. Bukan hanya oleh umat sekarang, melainkan sudah sejak zaman para rasul masih hidup.

QS. Al Israa’ [17]: 49
“Dan mereka berkata (mencemooh): apabila tubuh kami telah menjadi tulang belulang dan benda-benda yang hancur, benarkah kami akan dibangkitkan kembali sebagai makhluk yang baru?"

Dalam buku saya yang berjudul ‘Ternyata Akhirat Tidak Kekal’, saya menjelaskan secara saintifik bahwa segala benda yang hancur ini akan dengan sendirinya utuh kembali, jika Allah membalik pergerakan alam semesta. Fakta Astronomi menjelaskan, bahwa alam semesta sekarang sedang mengembang. Dikenal sebagai expanding universe. Karena pengembangannya itu, segala sesuatu mengalami peningkatan kekacauan. Dalam istilah Fisika disebut sebagai ‘kenaikan entropi’.

Akibat dari meningkatnya entropi itu, segala benda sedang menuju pada kerusakan. Yang utuh sedang menuju kehancuran. Yang hidup sedang mengarah kepada kematian. Yang segar sedang berproses membusuk. Dan seterusnya. Itulah hukum alam dunia, disebabkan alam semesta terus memproduksi entropi yang meningkat seiring dengan pengembangannya.

Tapi, ketika alam semesta ini mengerut kembali diakibatkan oleh gaya gravitasi pusat universe yang menyedot balik segala benda langit, hukum alam akan berjalan terbalik pula. Yang tadinya hancur bakal utuh kembali. Yang tadinya mati, akan hidup kembali. Dan yang tadinya busuk bakal segar kembali. Mirip dengan gelas pecah berantakan yang menjadi utuh kembali ke atas meja dimana ia diletakkan semula, dikarenakan film rekamannya diputar secara terbalik..! Fisika menyebutnya sebagai universe yang memiliki entropi menurun.

Maka, sesungguhnya tidak ada keberatan apa pun secara saintifik bahwa alam yang hancur ataupun manusia yang sudah mati bakal bisa hidup kembali. Secara teoritis, hanya memerlukan action untuk membalik pergerakan alam semesta dari mengembang menjadi menciut kembali. Dan ini sudah dijelaskan dalam teori Big Bang, yang diakui oleh mayoritas pakar Astrofisika modern. Dengan kata lain, informasi tentang dibangkitkannya manusia di hari pengadilan kelak, bukanlah hal yang mustahil. Karena semua itu telah memperoleh pijakan kuat dari teori-teori Fisika modern yang terus berkembang.

Yang lebih menarik, fase keempat yang kita kenal sebagai Alam Akhirat itu ternyata bukanlah fase terakhir drama kehidupan manusia. Karena, ternyata masih ada fase kelima, berupa hancurnya alam semesta di pusat ledakan kunonya. Dimana alam ini pernah terlahir, disitu pula alam semesta bakal berakhir.

Dalam teori Big Bang, fase hancurnya alam semesta itu disebut sebagai fase Big Crunch – kehancuran total. Itulah saat musnahnya segala yang ada. Seluruh benda-benda langit mulai dari galaksi-galaksi, bintang dan matahari, planet dan bulan yang mengitarinya, bakal lenyap disedot oleh black-hole maharaksasa di pusat jagat raya semesta. Bukan cuma hancur, melainkan runtuh dan lenyap kembali kepada ketiadaan..! Ayat berikut ini menyebutnya sebagai fase: ilaihi turja’un – (semua) bakal kembali kepada-Nya. Inilah fase kelima, yang bakal terjadi setelah berakhirnya alam akhirat, yang berjalan selama miliaran tahun.

QS. Al Baqarah [2]: 28
“Kenapa kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu tadinya MATI (fase 1: ketiadaan), lalu Allah MENGHIDUPKAN kamu (fase 2: alam dunia), kemudian kamu DIMATIKAN (fase 3: alam barzakh) dan DIHIDUPKAN-Nya kembali (fase 4: alam akhirat), kemudian kepada-Nya-lah kamu bakal DIKEMBALIKAN (fase 5: lenyap kembali)?’’

Wallahu a’lam bishshawab.