Rabu, 17 Oktober 2012

RITUAL HAJI, PERAYAAN AKHIR TAHUN ~ TASAWUF HAJI 2012 (02) ~

oleh Agus Mustofa pada 17 Oktober 2012 pukul 8:40

HARI RAYA HAJI adalah perayaan akhir tahun. Karena itu, puncaknya ditempatkan di bulan ke-12 dalam penanggalan Hijriyah: bulan Dzulhijjah. Namun karena bersifat sangat kolosal dari berbagai penjuru dunia, Al Qur’an memberikan keleluasaan untuk menyelenggarakan event ini selama 3 bulan. Yakni sejak seusai Ramadan: mulai dari Syawal, Dzulqaidah sampai Dzulhijjah.

Berbeda dengan perayaan budaya yang hanya bersifat hura-hura, ritual Haji menyajikan prosesi yang penuh makna. Bukan bertabur tawa, melainkan penuh dengan linangan air mata. Haru biru antara kesedihan dan kebahagiaan, antara kegelisahan dan keyakinan, antara rasa berdosa, pertaubatan, dan syukur tiada terkira.

Inilah hari raya yang sebenarnya lebih besar dari Idul Fitri. Meskipun, di Indonesia justru hari raya Idul Fitrilah yang lebih besar dibandingkan dengan Idul Adha. Sampai-sampai pemerintah merasa perlu untuk membuat libur bersama selama berhari-hari. Tak jarang, sejumlah kantor dan perusahaan masih menambahkan cuti bersama, beberapa hari lagi. Di Mesir libur Idul Fitri hanya satu hari.

Islam mengajarkan Idul Fitri itu sebagai Idul Shaghir alias ‘hari raya kecil’. Demikianlah yang dipraktekkan di Arab Saudi, Mesir, atau negara-negara Islam lainnya. Mereka lebih membesarkan Idul Adha sebagai Hari Raya Besar. Yang di Jawa pun disebut sebagai Riyoyo Besar. Namun entahlah, bagaimana awalnya, Idul Fitri di Indonesia lantas bergeser atau setidak-tidaknya berkembang menjadi peristiwa budaya, yang lebih menonjolkan kehebohan fisikal.

Kebesaran Idul Adha dibandingkan dengan Idul Fitri, salah satunya, tampak dari lamanya takbiran, mengumandangkan puja-puji untuk Tuhan Semesta Alam. Pada saat Idul Fitri, takbiran diselenggarakan hanya semalam saja. Yakni, seusai Ramadan sampai keesokan harinya menjelang shalat Id. Sedangkan Idul Adha menggelar takbiran selama empat hari empat malam penuh. Yakni, tanggal 10, 11, 12, 13 Dzulhijjah.

Selain itu, Idul Fitri adalah perayaan yang bersifat lokal bersama handai tolan dan keluarga dimana kita berada, dan karenanya hisab-rukyatnya dilakukan di tempat masing-masing. Sementara, Idul Adha adalah perayaan internasional yang dihadiri oleh saudara seiman dari segala bangsa, dengan beragam budaya dan bahasa. Inilah ritual ibadah yang tidak mempermasalahkan mazhab ataupun aliran agama. Pokoknya, selama hanya bertuhan kepada Allah dan berteladan kepada Rasulullah Muhammad SAW, mereka berhak untuk memperoleh ‘undangan’ datang ke tanah suci mengikuti acara tahunan ini.

Untuk apa? Apakah untuk berhura-hura dan bersuka ria? Bukan. Mereka diundang untuk hadir dan merasakan berbagai ritual haji yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim dan keluarganya. Sebuah ritual untuk meneguhkan keyakinan bertuhan hanya kepada Allah, Sang Penguasa Jagat Semesta. Sang Pencipta kehidupan yang memegang kendali tertinggi atas segala peristiwa yang kita lakoni.

Selama beberapa hari di tanah suci itulah jamaah haji dilarutkan ke dalam miniatur kehidupan manusia secara universal. Menerapkan hablum minallah – interaksi dengan Allah – sekaligus hablum minannas – interaksi dengan manusia dalam realitas sehari-hari. Hanya orang-orang yang sudah menyelami makna ajaran islam dengan baik sajalah yang bisa memadukan dan meleburkan interaksi ilahiah - insaniah itu secara simultan. Sungguh, di dalam peleburan kedua macam interaksi itulah terkandung pelajaran Haji yang sangat kompleks dan mendalam.

Bahwa, umat Islam mesti bisa bersifat hasanah kepada sesama makhluk-Nya, sebagai landasan sekaligus puncak penghambaan kita kepada Allah, Sang Pencipta segala. Karena, sesungguhnya Allah tidak butuh ibadah-ibadah kita secara individual. Tanpa kita menyembah-Nya sebagai Tuhan pun, Allah tetap saja menjadi Tuhan atas segala ciptaan-Nya. Yang Allah ‘inginkan’ adalah agar kita meniru Dia, yang senantiasa berbuat kebaikan kepada makhluk-Nya tanpa meminta balas jasa. Semata-mata karena sifat Rahman dan Rahim-Nya belaka.

QS. Al Qashash [28]: 77
‘’...dan berbuat baiklah (kepada siapa saja) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.’’

Itulah sebabnya, selama berada di tanah suci, jamaah haji dilarang untuk berkata-kata tidak baik, apalagi berbuat kejahatan. Membunuh binatang dan merusak tumbuhan pun diharamkan. Sebaliknya, justru diperintahkan untuk berbuat kebaikan sambil terus melantunkan dzikir kepada Allah sebanyak-banyaknya.

QS. Al Baqarah [2]: 197-198
(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats (berkata-kata buruk), berbuat fasik (jahat) dan bertengkar selama mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebajikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.

Tidaklah berdosa bagimu untuk mencari karunia Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafah, berdzikirlah (sebanyak-banyaknya) kepada Allah di Masy'aril haram. Dan berdzikirlah (kepada) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya sebelum itu kamu termasuk orang-orang yang tersesat.

Penghayatan ritual haji dengan sepenuh-penuhnya akan mengantarkan seorang muslim menjadi lebih utuh dalam menjalankan spiritualitasnya untuk ‘berserah diri’ hanya kepada Allah, Tuhan yang selalu mencurahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada semesta alam..!

Wallahu a’lam bishshawab. (Bersambung).

Selasa, 16 Oktober 2012

99,9 PERSEN UMAT ISLAM ‘BERHAJI’ DI TANAH AIR ~ TASAWUF HAJI 2012 (01) ~

oleh Agus Mustofa pada 15 Oktober 2012 pukul 9:44

Memasuki bulan Haji 1433 H, Kaltim Post menurunkan rubrik khusus bertajuk: TASAWUF HAJI. Rubrik yang akan berlangsung selama puncak musim Haji  ini akan diisi oleh AGUS MUSTOFA, yang kita kenal sebagai penulis buku ‘Serial Diskusi Tasawuf Modern’.

Penulis yang sangat produktif dengan puluhan judul buku itu, diantaranya telah menulis buku best seller ‘Pusaran Energi Ka’bah’, ‘Menjadi Haji Tanpa Berhaji’, dan ‘Makrifat di Padang Arafah’. Dengan pengalamannya belasan kali beribadah ke tanah suci, mantan wartawan Jawa Pos ini akan mengajak pembaca untuk memperoleh makna haji secara mendalam, meskipun belum berkesempatan untuk berhaji.

Siapa tahu, dengan cara ini Anda telah menjadi ‘lebih haji’ dibandingkan dengan jamaah haji yang pulang dari tanah suci. Terutama mereka yang tidak menyelami makna ibadahnya, sehingga hajinya tak lebih hanya berdarmawisata belaka. Salam bertasawuf Haji disini..!
-------------------------------------------------------------------------------------------

TAHUKAH ANDA berapa persen umat Islam Indonesia yang bisa berangkat haji ke tanah suci, setiap tahunnya? Ternyata hanya sekitar 0,1 persen saja! Yakni, 200 ribu orang diantara 200 juta umat Islam Indonesia. Yang 99,9 persen harus rela ‘berhaji’ di tanah air, dikarenakan berbagai alasan, terutama: karena tidak punya biaya atau tak punya kesempatan.

Padahal, kita semua tahu bahwa haji adalah ibadah puncak dalam rukun Islam. Sebuah pertanda bahwa seseorang telah menjalankan keislamannya secara paripurna. Tetapi kenapa hanya ‘diperuntukkan’ 0,1 persen umat Islam saja? Apakah memang demikian pemahamannya? Betapa beruntungnya orang-orang yang punya duit dan punya kesempatan, mereka bisa ‘membeli’ kesempurnaan ibadahnya kepada Allah..!

Tetapi, benarkah mereka yang pulang haji itu telah menjadi haji secara maknawi? Jangan-jangan hanya menjadi haji secara simbolis? Karena, ternyata mereka belum memperoleh puncak pelajaran haji: berserah diri hanya kepada Allah semata.

Berhaji bukanlah sekedar bepergian ke tanah suci semata. Karena rukun Islam kelima ini menjadi simbol puncak kualitas keislaman seseorang. Diharapkan, orang yang sudah menjalani ibadah haji akan memperoleh tingkat spritualitas yang tinggi sebagaimana ikon utama agama Islam, yakni Nabi Ibrahim dan keluarganya. Dimana Nabi Muhammad SAW adalah salah satu keturunan Nabi Ibrahim dari jalur Nabi Ismail.

Apakah yang bisa dipetik dari sejarah Nabi Ibrahim dan keluarganya itu? Ada beberapa pelajaran penting yang akan menjadi pondasi sekaligus kesempurnaan bagi keislaman kita. Yang paling utama adalah pelajaran tauhid. Yakni, kesungguhan untuk hanya bertuhan kepada Allah, Sang Penguasa Jagat Semesta. Itulah warisan utama dari agama Ibrahim ini.

Ya, ternyata Islam disebut sebagai agama Ibrahim. Bukan agama Muhammad. Dan bahkan Nabi Muhammad diperintah Allah untuk mengikuti agama Ibrahim, nenek moyang beliau sendiri. Al Qur’an-lah yang menceritakan semua itu, diantaranya ayat-ayat berikut ini.

QS. Al Baqarah [2]: 130-132
‘’Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh.’’

Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: Berislamlah!" Ibrahim menjawab: "Aku berserah diri kepada Tuhan semesta alam". Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula (kepada) Ya'qub (cucunya). (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan berislam".

Sehingga tidak heran Allah pun memerintahkan kepada Nabi Muhammad, sebagai keturunan Ibrahim, untuk mengikuti agama nenek moyangnya.

QS. An Nahl [16]: 123
Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif (lurus). Dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.

Itulah sebabnya, puncak kualitas keislaman seseorang disandarkan pada ibadah haji yang ritualnya adalah napak tilas sejarah keluarga Nabi Ibrahim. Tetapi, bukan hanya dengan datang ke tanah suci dimana peristiwa ritual haji itu terjadi. Melainkan lebih mendalam dari itu. Dimana pun kita berada, kita bisa memperoleh substansi pelajaran puncak keislaman itu. Meskipun, idealnya adalah bagi mereka yang menyelami substansi sambil berada di tanah suci. Tapi, sungguh tak sedikit diantara kita yang bisa menjadi ‘lebih haji’ dibandingkan mereka yang pulang dari tanah suci..! (Bersambung).


NB: ulasan TASAWUF HAJI ini saya tulis untuk koran KALTIM POST. Agar memberikan manfaat lebih besar, saya muat juga di forum ini. Mudah-mudahan memperoleh barokah dan ridha-Nya. Salam.

Minggu, 14 Oktober 2012

CATATAN PAMUNGKAS Tentang 'KETIDAK-KEKALAN AKHIRAT'

~ AYAT MUTASYABIHAT YANG MUHKAMAT ~
oleh Agus Mustofa pada 14 Oktober 2012 pukul 8:23

Rasanya aneh juga membaca judul di atas. Masa ada ayat mustasyabihat yang muhkamat? Bukankah ayat mustasyabihat itu bermakna ‘samar’ dan butuh penjelasan panjang serta mendalam? Sedangkan ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang ‘gamblang’ tanpa perlu dijelaskan secara ‘njlimet’, apalagi muter-muter. Jangan-jangan, nanti ada ayat yang sebaliknya: muhkamat tapi mustasyabihat?

Menurut saya, memang bisa terjadi demikian. Karena ‘samar’ dan ‘gamblang’ itu memang relatif. Bagi saya gamblang, bagi Anda belum tentu. Sebaliknya, bagi Anda gamblang, bagi saya juga belum tentu. Itulah sebabnya, tidak ada seorang ahli tafsir pun yang berani secara tegas mengelompokkan ayat-ayat mana yang mutasyabihat, dan ayat-ayat mana yang muhkamat. Bagi saya, semua firman Allah memiliki makna yang sangat gamblang sekaligus mendalam. Tergantung seberapa luas ilmu yang kita miliki untuk memahami ayat-ayat tersebut.

Termasuk ayat-ayat tentang akhirat yang selama sembilan tahun terakhir kontroversial, tetap saja masuk kategori mutasyabihat dan muhkamat. Yang bagi saya muhkamat, ternyata bagi orang lain bisa mutasyabihat. Sebaliknya, yang bagi orang lain muhkamat bagi saya ternyata mutasyabihat. Itulah salah satu sebab, kenapa saya mengangkat kembali tema akhirat tidak kekal ini. Memang temanya sama, tetapi banyak penjelasan baru yang tadinya mutasyabihat, ternyata sekarang semakin muhkamat. Dan saya berharap, ini bisa menjadi penjelasan tambahan dan syukur-syukur pelengkap, sehingga saya tak perlu lagi menjelaskan lebih jauh.

Seiring dengan terbitnya buku ‘’TERNYATA AKHIRAT Masih TIDAK KEKAL’ ini, saya ingin mengangkat satu ayat utama sebagai pokok bahasan dalam memungkasi tema ‘Akhirat Tidak Kekal’ yang mutasyabihat ini menjadi lebih muhkamat. Karena secara logika agama maupun logika ilmu pengetahuan saya sudah bicara cukup panjang lebar: note 1 s/d 9 (bagi yang belum baca silakan baca dulu di notes sebelumnya, biar nyambung dengan note pamungkas ini). Bahwa, Tauhid Islam mengajarkan tidak ada satu pun yang berhak menyandang sifat Allah secara mutlak, mulai dari sifat melihat, mendengar, berbicara, berkehendak, berkuasa, dan sebagainya. Termasuk sifat Kekal.

Karena apa yang dimiliki oleh makhluk pasti TERBATAS dan TERGANTUNG kepada yang lain. Misalnya, penglihatan dibatasi oleh keberadaan mata, pendengaran dibatasi oleh keberadaan telinga, berbicara dibatasi oleh keberadaan pita suara, dan sebagainya. Langit dan bumi beserta segala isinya pun dibatasi oleh keberadaan ruang dan waktu. Kalau dimensi ruang & waktu dilenyapkan, maka seluruh isinya akan ikut lenyap. Meskipun, itu langit dan buminya akhirat.

Sementara itu, Allah bersifat mandiri, yang di dalam istilah Tauhid dikenal sebagai sifat Qiyamuhu Binafsihi – berdiri sendiri tidak membutuhkan apa pun. Atau di dalam Al Qur’an disebut dengan istilah laisa kamitslihi syai-untak ada sesuatu pun yang menyamai-Nya, QS. 42: 11. Jika ada seseorang yang masih menyamakan sifat makhluk dengan sifat Allah, maka patut dipertanyakan kepahaman Tauhidnya.

Sedangkan secara logika sains, juga tidak bisa dihindari bahwa alam semesta ini pasti akan berakhir. Planet Buminya berakhir - dengan cara apa pun - yang sudah saya jelaskan dalam notes sebelumnya. Dan alam semesta pun bakal berakhir – dengan cara apa pun – juga sudah saya jelaskan di notes. Kita boleh berbeda pendapat tentang mekanismenya, tetapi hampir pasti tidak berbeda dalam menyimpulkan ‘bakal kiamatnya’ alam semesta ini. Apalagi cuma planet Bumi, meskipun itu Buminya Akhirat. Pasti kiamat..!

Kalimat ‘kalau Allah menghendaki kan bisa saja dikekalkan’ sungguh tak bisa digunakan sebagai argumentasi untuk mengatakan bahwa akhirat itu kekal. Karena, kalimat yang sama itu pun bisa digunakan untuk alasan sebaliknya: ‘’Yaah, kalau Allah menghendaki kan juga bisa menghancurkan akhirat sehingga menjadi tidak kekal’... :(

Jadi logika tauhid maupun logika sains memiliki kesimpulan yang sama, bahwa alam semesta – dunia maupun akhirat – pasti bakal kiamat. Kiamatnya dunia disebut kiamat sughra atau ‘kiamat kecil’, sedangkan kiamatnya akhirat disebut kiamat kubra alias ‘kiamat besar’.

Yang masih ada perbedaan itu kan masalah teknis penjelasannya. Mekanismenya. Termasuk penafsiran ayat-ayat Al Qur’annya. Mereka yang menganggap ini termasuk masalah mutasyabihat, mencoba menjelaskan dengan segala ‘kerumitannya’. Sedangkan yang menganggap ini masalah muhkamat, menjelaskan hal ini dengan ‘sederhana’ saja.

Berikut ini adalah salah satu ‘ayat pokok’ yang menginspirasi saya untuk berkesimpulan bahwa Akhirat itu memang Tidak Kekal. Bagi saya ayat ini termasuk muhkamat, karena bisa dijelaskan dengan kaidah bahasa yang sangat sederhana. Bahkan tak perlu dengan logika tauhid dan sains yang saya uraikan di atas.

QS. Huud [11]: 107-108
Mereka KEKAL di dalamnya (neraka) SELAMA ada LANGIT dan BUMI, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.

Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga, mereka KEKAL di dalamnya SELAMA ada LANGIT dan BUMI, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.

Kata ‘khaalidiina’ dalam ayat tersebut sengaja saya terjemahkan sebagai ‘KEKAL’, mengikuti terjemahan pada umumnya, agar kita memperoleh makna yang sesungguhnya tentang kata KEKAL tersebut. Apakah ia ‘benar-benar kekal’, ataukah ‘kekal yang terbatas’, yang dengan kata lain sebenarnya ‘tidak kekal’.

Ini mirip dengan sifat ‘melihat, mendengar, berkehendak, dlsb’ yang melekat pada makhluk. Bahwa sifat-sifat itu sebenarnya adalah semu. Kita sebenarnya tidak ‘melihat, mendengar, dan berkehendak’, karena yang sesungguhnya Melihat, Mendengar dan Berkehendak itu adalah Allah. Sedangkan makhluk itu hanya ‘seakan-akan’ saja. Atau, setidak-tidaknya ‘terbatas’. Artinya, meskipun melihat ternyata banyak yang tidak terlihat. Meskipun mendengar banyak yang tak terdengar. Meskipun berkehendak, ternyata ‘hanya bisa memilih’ dengan segala keterbatasannya.

Karena itu, ketika bercerita tentang KEKEKALAN surga dan neraka itu pun, Allah MEMBATASI dengan kalimat SELAMA ADA LANGIT DAN BUMI. Kebanyakan penafsir terkecoh oleh kalimat ini, sehingga menafsirinya sebagai ungkapan KEKEKALAN. Biasanya ditambahkan kalimat untuk meyakinkan, bahwa itu adalah ungkapan orang Arab untuk mengatakan kekekalan. Saya justru berpendapat sebaliknya. Bahwa, kalimat ini menjadi PEMBATAS kekekalan alam akhirat.

Boleh saja akhirat dan segala isinya disebut khaaliduun (diterjemahkan ‘kekal’), tetapi kekalnya itu sebatas keberadaan langit dan bumi. Jika langit dan buminya dilenyapkan oleh Allah, alam akhirat beserta segala isinya pun bakal ikut lenyap.

Bagaimana penjelasannya? Sangat sederhana, yakni dengan menggunakan logika bahasa saja. Untuk itu, marilah kita bahas ayat tersebut, dengan membaginya dalam 3 frase.

Frase 1: Mereka kekal di dalam neraka SELAMA ada LANGIT dan BUMI,
Frase 2: KECUALI jika Tuhanmu menghendaki (yang lain).
Frase 3: Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.

Jika frase 1 dimaknai sebagai ‘kekal selama-lamanya’, maka frase 2 haruslah bermakna sebaliknya, dikarenakan adanya kata penghubung ‘KECUALI’. Sehingga kalimat itu menjadi setara dengan kalimat ini:

‘’Mereka KEKAL di dalam neraka SELAMA-LAMANYA, kecuali jika Tuhanmu menghendaki YANG LAIN (yakni: menghendaki TIDAK KEKAL)...’’

Atau alternatif kedua, justru frase 1 itu bermakna TIDAK KEKAL, sehingga kalimatnya akan menjadi begini:

‘’Mereka KEKAL di dalam neraka SELAMA ada langit dan bumi (artinya TIDAK KEKAL), kecuali jika Tuhanmu menghendaki YANG LAIN (yakni: KEKEKALAN)...’’

Kata penghubung KECUALI mengharuskan kedua frase itu bermakna ‘berlawanan’. Sehingga para penafsir pun memberikan kalimat penjelas dalam kurung (YANG LAIN). Artinya, berbalikan dengan frase sebelumnya. Kalau di frase di depannya KEKAL, maka frase di belakang harus bermakna TIDAK KEKAL. Dan sebaliknya.

Dua altenatif itu akan sama-sama membawa konsekuensi ketidak-kekalan akhirat.

Alternatif 1:
‘’Mereka KEKAL, kecuali jika Allah menghendaki TIDAK KEKAL.

Alternatif 2:
‘’mereka TIDAK KEKAL, kecuali jika Allah menghendaki KEKAL’’.

Silakan Anda pilih salah satunya, karena Anda tidak bisa memaksakan kedua frase itu KEKAL SEMUANYA, sehingga kalimat itu menjadi ANEH:

‘’Mereka KEKAL di dalamnya, KECUALI Allah menghendaki KEKAL...’’ (???)

Nah, masalah ini akan menjadi semakin jelas, kalau kita membahas ayat selanjutnya, yakni

QS. Huud [11]: 108.
Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga, mereka KEKAL di dalamnya SELAMA ada LANGIT dan BUMI, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.

Frase 1: Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga.
Frase 2: mereka KEKAL di dalamnya SELAMA ada LANGIT dan BUMI.
Frase 3: kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain);
Frase 4: sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.

Sebagaimana pembahasan sebelumnya, jika frase ke-2 dimaknai KEKAL, maka kalimat itu menjadi ‘kalimat aneh’ begini:

‘’Mereka KEKAL di dalam surga selama-lamanya, kecuali jika Tuhanmu menghendaki KEKAL, sebagai karunia yang TIADA PUTUS-PUTUSNYA.’’ (???)

Kalimat ini jelas-jelas tidak pada tempatnya. Pilihannya hanya ada dua, dimana keduanya menempatkan frase ke-2 dan ke-3 dalam makna yang berbalikan:
1.   ‘’Mereka TIDAK KEKAL, kecuali jika Tuhan menghendaki KEKAL.’’ Atau,
2.   ‘’Mereka KEKAL kecuali Tuhan menghendaki TIDAK KEKAL’’.

Tetapi karena frase 4 mengandung kalimat: ‘karunia yang TIADA PUTUS-PUTUSNYA’, maka adalah lebih masuk akal untuk memaknai frase ke-2 sebagai TIDAK KEKAL. Sehingga, kalimat di atas, mau tidak mau, harus disetarakan begini:

‘’Mereka TIDAK KEKAL, kecuali Allah menghendaki ‘kekekalan’, yaitu karunia yang tiada putus-putusnya.

Sehingga kalimat ‘selama ada langit dan bumi’ itu justru lebih cocok dimaknai sebagai PEMBATAS kekekalan (khaalidiina). Yakni: mereka ‘kekal’ di dalam surga/ neraka SELAMA langit dan buminya masih ada. Jika langit dan buminya hancur, surga dan neraka pun menjadi ikut hancur.

Kesimpulannya:
Mereka KEKAL di dalamnya ‘SELAMA ada LANGIT dan BUMI’ = TIDAK KEKAL.

Dengan demikian, ini meruntuhkan pendapat bahwa kalimat ‘selama langit dan bumi masih ada’ itu bersifat ungkapan ‘kekekalan akhirat’. Yang benar, kalimat itu bermakna harfiah, bahwa akhirat memang ‘kekal’ KALAU alam semesta MASIH ADA. Ini sama dengan sifat-sifat makhluk lainnya, seperti sifat hidup, melihat, mendengar, dan lain sebagainya. Semua sifat itu masih berfungsi JIKA tubuhnya, matanya, telinganya, dan lain sebagainya masih ada. Kalau semua itu hancur, ya sifat-sifat itu pun akan ikut lenyap.

Karena, yang KEKAL memang ya hanya ALLAH semata..!

Wallahu a’lam bishsawab

~ salam ~

Jumat, 05 Oktober 2012

DALIL MIRAJ: SURAH ANNAJM

Detail Surat An-Najm Ayat 13
ولقد   : dan sesungguhnya
رءاه  : dia telah melihatnya
نزلة   : satu kali turun
أخرى : yang lain

Detail Surat An-Najm Ayat 14
عند    : di sisi
سدرة   : Sidratil
المنتهى : Muntaha

Detail Surat An-Najm Ayat 15
عندها   : di sisinya
جنة    : surga
المأوى : tempat tinggal

Detail Surat An-Najm Ayat 16
إذ      : ketika
يغشى  : meliputi
السدرة : Sidratil
ما     : apa/sesuatu
يغشى  : yang meliputi

Detail Surat An-Najm Ayat 17
ما      : tidak
زاغ    : berpaling
البصر : penglihatan
وما    : dan tidak
طغى   : melampaui batas

Detail Surat An-Najm Ayat 18
لقد     : sesungguhnya
رأى    : dia telah melihat
من     : dari/sebagian
ءايت   : tanda-tanda
ربه    : Tuhannya
الكبرى : Maha Besar

pada ayat di atas ada kata SIDRATIL (سدرة : Sidratil)

Siin-Dal-Ra = untuk membelah (pakaian), hang atau dikecewakan pakaian, kehilangan (rambut seseorang), terpesona / bingung / bingung, terpesona oleh hal di mana yang tampak.

sidratun - Lote-pohon. ketika bayangan pohon bidara-menjadi padat dan ramai itu sangat menyenangkan dan dalam iklim panas dan kering Arabia wisatawan lelah dan lelah berteduh dan menemukan beristirahat di bawah itu dan dengan demikian itu dibuat untuk melayani sebagai sebuah perumpamaan untuk naungan surga dan berkah pada rekening ampleness bayangannya. Kualifikasi Sidrah oleh kata al-muntahaa menunjukkan bahwa itu adalah tempat yang luar pengetahuan manusia tidak pergi.

Sidrah n.f. (gb. sidrun) 34:16, 53:14, 53:16, 56:28
-----------
المنتهى : Muntaha

Nun-ha-Waw/Ya = untuk mencegah, melarang, menegur diri, melarang, membuat satu untuk berhenti dari, menahan, melarang, menghambat, berhenti, menahan diri.

muntaha n.m. 53:14, 53:42, 79:44

===========
Detail Surat An-Najm Ayat 13
ولقد : dan sesungguhnya
رءاه : dia telah melihatnya
نزلة : satu kali turun
أخرى : yang lain 

Detail Surat An-Najm Ayat 14
عند di sisi
سدرة Sidratil / POHON BIDARA/ LOTE TREE
المنتهى Muntaha / (untuk) MENAHAN DIRI

Detail Surat An-Najm Ayat 15
عندها : di sisinya
جنة : surga/TAMAN
المأوى : (untuk) tempat tinggal

Detail Surat An-Najm Ayat 16
إذ : ketika
يغشى : meliputi
السدرة : Sidratil / POHON BIDARA/ LOTE TREE
ما : apa/sesuatu
يغشى : yang meliputi

Detail Surat An-Najm Ayat 17
ما : tidak
زاغ : berpaling
البصر : penglihatan
وما : dan tidak
طغى : melampaui batas

Detail Surat An-Najm Ayat 18
لقد : sesungguhnya
رأى : dia telah melihat
من : dari/sebagian
ءايت : tanda-tanda
ربه : Tuhannya
الكبرى : Maha Besar (Al Kabir)...... gk tau kok Akbar di bilang Maha Besar?????
========================

Kalo pada terjemahan di atas, kok keliatannya, kasus terjadi masih di bumi, dimana terjadinya di tempat yg ada pohon bidara yg berfungsi untuk bersantai, menghindari sengatan sinar matahari...... dan ketika Muhammad berteduh di pohon bidara itu, Muhammad justru melihat tanda2 kekuasan Allah.