Rabu, 06 November 2013

AL QUR’AN TAK PERNAH MENYEBUT ADAM MANUSIA PERTAMA ~ AL QUR’AN SEBAGAI SUMBER FILOSOFI BAGI SAINS (7)

Pembuktian empiris akan mengalami kesulitan ketika kondisinya ekstrim. Misalnya, lokasinya terlalu jauh, waktu kejadiannya terlalu lama – ke masa depan maupun ke masa lalu, obyeknya terlalu besar atau terlalu kecil, dan sebagainya. Dalam kondisi seperti ini sains bakal berputar-putar pada hipotesa yang sulit memperoleh pembuktian empirisnya. Dalam hal ini tanda-tanda (clue) dari dalam Al Qur’an menjadi inspirasi yang penting agar kita tidak salah arah dalam memahami realitas.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Salah satu kajian sains dalam kondisi ekstrim itu adalah tentang munculnya kehidupan dan peradaban manusia di muka bumi. Masalah yang dihadapi adalah tidak mungkinnya kita menyaksikan realitas sesungguhnya tentang apa dan bagaimana peristiwa munculnya kehidupan dan peradaban itu. Yang bisa dilakukan hanyalah melakukan rekonstruksi berdasar ‘jejak-jejak’ masa lalu dari berbagai sumber yang mungkin, seperti catatan sejarah, fosil-fosil, prediksi umur material, dan lain sebagainya.

Tapi harus diingat, bahwa catatan sejarah sangat bergantung kepada subyektivitas penulis sejarah. Atau setidak-tidaknya interpretasi dan persepsi mereka. Apalagi, untuk kasus seekstrim munculnya kehidupan manusia tidak ada catatan sejarah apa pun yang telah dilakukan oleh manusia. Demikian pula ilmu tentang fosil adalah sebuah prediksi artistik terhadap bentuk makhluk yang sesungguhnya kita tidak tahu, karena yang tertinggal memang hanya tulang belulangnya, meskipun sebagiannya ada yang terekam secara lebih utuh pada tanah lembek yang kemudian mengeras. Tak beda juga dengan prediksi umur material yang didasarkan pada rumus peluruhan radioaktif Carbon, Rubidium maupun Berilium, yang juga hanya akan menghasilkan kesimpulan berupa pendekatan belaka.

Ringkas kata, memprediksi masa lalu hanya akan menghasilkan kesimpulan yang bersifat perkiraan yang paling logis dan rasional, tanpa ada pembuktian yang valid dan telak. Karena itu, hipotesa yang bermunculan menjadi sangat terbuka, dan cenderung mengandalkan ‘keimanan’ alias keyakinan atas hipotesa-hipotesa yang diajukan, berdasar argumentasi yang paling masuk akal.

Munculnya kehidupan manusia dan peradaban manusia juga disinggung di dalam Al Qur’an dalam bentuk tanda-tanda. Sehingga selain data-data empiris yang masih sangat debatable dari Sains, kita memiliki clue yang bisa membantu ‘kesimpulan yang bersifat keimanan’ itu untuk lebih proporsional, logis & rasional, sekaligus terarah.

Terkait dengan berita Al Qur’an, munculnya Adam adalah salah satu informasi yang debatable secara ilmu tafsir, khususnya ketika dihubungkan dengan Sains. Benarkah Adam adalah manusia pertama? Di zaman apa ia hidup? Sudah berakal ataukah belum? Hasil evolusi atau bukan? Jatuh dari surga ataukah tercipta di muka Bumi? Dan seabrek pertanyaan lain yang hasilnya selalu menjadi perdebatan tiada akhir. Baik dari tafsir Al Qur’an maupun tafsir sains.

Jawabannya memang menjadi sangat panjang dan harus komprehensif, agar bisa menjelaskan bagian-bagian yang ‘membingungkan’ secara lebih transparan dari segi logika dan rasionalitas. Dan terkait dengan Al Qur’an, harus sangat kuat untuk dijadikan dalil penafsiran. Sehingga, dengan space yang sangat terbatas dalam forum ini sudah pasti menjadi kurang leluasa untuk mengurainya secara mendetil, yang ketika ditulis dalam bentuk buku pun, saya menjabarkan dalam dua serial, DTM-14: Ternyata ADAM DILAHIRKAN dan DTM-15: ADAM TAK DIUSIR DARI SURGA.

Untuk mengurai secara ringkas di notes ini, kita bisa memulainya dari pertanyaan: Apakah menurut Al Qur’an Adam adalah manusia pertama? Saya mencoba menelusurinya, dan hasilnya memang cukup kontroversial. Karena, saya tidak menemukan secara tekstual ayat-ayat yang menyebut Adam sebagai manusia pertama. Entahlah kalau ada yang terlewatkan. Yang dengan senang hati saya akan menerima masukan dari kawan-kawan yang sudah menelusuri masalah ini.

Ayat yang sering ditafsiri sebagai informasi diciptakannya manusia pertama adalah ayat berikut ini. Dan menurut saya, agaknya terjadi distorsi pemahaman atau penafsiran.

QS. Al Baqarah (2): 30
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang KHALIFAH di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."

Kalau kita cermati, sebenarnya ayat ini sama sekali tidak bercerita tentang manusia pertama. Melainkan KHALIFAH PERTAMA. Yakni, seseorang yang ditugasi untuk mengelola planet Bumi. Karena, menurut ayat tersebut, saat itu Bumi mulai tidak terkelola dengan baik, sehingga terjadi berbagai kerusakan dan pertumpahan darah. Maka, Bumi harus dipimpin oleh seorang khalifah yang mumpuni secara akhlak maupun ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya, Allah lantas menguji Adam secara ilmu dan akhlak, untuk menunjukkan bahwa dia pantas menjadi seorang khalifah bagi peradaban Bumi.

QS. Al Baqarah (2): 31-33
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (ilmu pengetahuan) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat seraya berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!"

Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?"

Rangkaian ayat di atas menunjukkan lulusnya Adam sebagai seorang khalifah yang mumpuni, yang semula dipandang sebelah mata oleh para malaikat. Bahwa, Adam adalah manusia yang pantas dijadikan sebagai khalifah Bumi karena telah dibekali oleh Allah dengan beragam ilmu pengetahuan.

Selain ilmu pengetahuan itu, Allah juga memberikan bekal ketakwaan yang bersumber pada akhlak. Dan itu ditunjukkan oleh-Nya ketika Adam telah berbuat kesalahan atas apa yang dilarang-Nya. Bahwa, seseorang yang bertakwa adalah mereka yang jika berbuat kesalahan akan langsung teringat kepada Tuhannya, memohon ampunan dan berjanji tidak mengulangi lagi. Pertobatan itulah yang dilakukan oleh Adam ketika ia berbuat dosa, dan menjadi kunci kelulusannya dalam fit and proper test sebagai calon khalifah

QS. Thaahaa (20): 121-122
Maka keduanya memakan buah pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan dedaunan surga, dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia. Kemudian Tuhannya memilihnya maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk.

Ayat ini sebenarnya sangat menarik dan panjang jika diuraikan, karena ada informasi yang cukup ‘aneh’, bahwa Allah memilih Adam sebagai khalifah itu justru dikaitkan dengan terjadinya kesalahan atau dosa yang dilakukan oleh Adam yang diikuti dengan pertobatan. Disinilah salah satu kunci pemahaman, kenapa Adam dipilih sebagai khalifah. Karena, dia telah menunjukkan ciri-ciri sebagai orang yang bertakwa, sebagaimana ditunjukkan oleh ayat berikut ini.

QS. Ali Imran (3): 135
Dan (mereka yang bertakwa itu adalah) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji (dosa) atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun atas dosa-dosa mereka. Dan siapa lagikah yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.

Ayat-ayat yang saya bahas di atas adalah bagian dari argumentasi saya bahwa Adam sebenarnya bukanlah manusia pertama yang diciptakan Allah di muka bumi. Karena memang, sejauh yang saya ketahui, tidak ada ayat Al Qur’an yang menyebut Adam sebagai manusia pertama. Yang ada ialah Adam sebagai khalifah pertama yang memimpin peradaban Bumi.

Kesimpulan yang ada selama ini - Adam sebagai manusia pertama - menurut saya disebabkan oleh penafsiran atas sejumlah ayat yang menginformasikan bahwa Adam diciptakan Allah dari tanah. Tetapi, sebenarnya bukan hanya Adam yang yang diciptakan Allah dari tanah, melainkan manusia secara keseluruhan. Tidaklah otomatis, kalau manusia diciptakan Allah dari tanah lantas ia adalah manusia pertama yang tidak lewat proses kelahiran. Dan dengan sederhananya kita lantas membayangkan Allah mengambil segumpal tanah yang dibentuk seperti tubuh manusia, kemudian diucapi kun fayakun, dan menjelma menjadi manusia. Contohnya adalah ayat berikut ini, yang menceritakan proses penciptaan manusia di dalam rahim, meskipun awalnya disebut diciptakan dari tanah.

QS. Al Mukminuun (23): 12-14
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (al Insaan) dari suatu saripati (berasal) dari tanah (tsulaalatin min thiin). Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani di dalam tempat yang kokoh (organ reproduksi). Kemudian air mani itu Kami jadikan alaqah, lalu alaqah itu Kami jadikan mudghah, dan mudghah itu Kami jadikan izhama, lalu izhama itu Kami bungkus dengan lahma. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang lain (bayi manusia). Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.

Al Qur’an sendiri menyebut tanah dengan istilah yang beragam, sehingga membutuhkan penafsiran yang komprehensif tentang penciptaan manusia. Ada yang menggunakan istilahthiin (tanah keras), tsulaalatin min thiin (saripati tanah keras), Thiini llaziib (tanah keras yang melapuk), shalshaal (tanah liat), hamaa’ (lumpur hitam) dan turaab (tanah gembur – topsoil), dan sebagainya.

Ringkas kata, menurut kesimpulan saya, Adam bukanlah manusia pertama. Melainkan khalifah pertama yang menurunkan peradaban manusia modern. Ia adalah manusia yang sudah menguasai ilmu pengetahuan dan mempunyai budi pekerti luhur. Dan, karena ia adalah seorang khalifah, maka sesungguhnya pada zaman Adam itu sudah ada komunitas manusia yang akan dipimpinnya. Itulah sebabnya, dalam ayat berikut ini Allah menggunakan kata isthofa Adam – memilih Adam – sebagai khalifah, dari komunitas yang sudah ada, sebagaimana juga Nuh, Ibrahim dan Imran.

QS. Ali Imran (3): 33
Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga 'Imran melebihi segala umat (di zaman mereka masing-masing), satu keturunan yang sebagiannya (adalah keturunan) dari yang lain. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Maka, pemahaman semacam ini akan menjadi clue yang menarik sekaligus terarah untuk memahami munculnya peradaban manusia modern yang diperkirakan baru berusia puluhan ribu tahun ini. Jutaan tahun setelah munculnya manusia-manusia purba yang belum memiliki peradaban seperti Adam. Dimana anak-anak Adam – Qabil dan Habil – adalah orang-orang yang - diceritakan Al Qur'an - sudah mengembangkan budidaya peternakan dan pertanian. Sehingga, zaman Adam diperkirakan adalah berbarengan atau tak jauh dari zaman munculnya ilmu budidaya yang menjadi salah satu ciri peradaban modern tersebut.. :)

Wallahu a’lam bissawab
~ salam ~



NB: Selamat Tahun Baru Hijriyah 1435. Semoga, tahun-tahun mendatang kita menjadi umat yang lebih baik.. :)

Selasa, 05 November 2013

MELAHIRKAN INSPIRASI SAINTIFIK DARI AL QUR’AN ~ AL QUR’AN SEBAGAI SUMBER FILOSOFI BAGI SAINS (6)

Memang Al Qur’an bukanlah kitab sains. Tetapi kandungannya sangat menginspirasi orang-orang yang bergelut di dunia sains jika mereka meyakininya. Tentu tidak sembarang orang bisa terinspirasi olehnya. Hanya, orang-orang yang ‘yakin’ saja – istilah Al Qur’an - yakni mereka yang sangat dekat dan selalu ‘bergelut’ dengannya, sekaligus menghayati profesinya secara total. Karena sesungguhnya, inspirasi itu hanya akan muncul kepada mereka yang melakukan tafakur sekaligus tadzakur secara intens terhadap apa yang diyakininya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ayat-ayat Al Qur’an sungguh sangat inspiratif, dan memiliki power besar dalam mendorong siapa saja untuk melakukan sesuatu. Tapi uniknya, dorongan itu akan selaras dengan niat si pencari inspirasi. Kalau niatnya jelek, ia akan terinspirasi jelek. Sebaliknya, jika niatnya baik, ia akan terinspirasi baik. Kesimpulan ini memang sangat subyektif, tetapi itulah yang saya rasakan selama berinteraksi secara intensif dengan Al Qur’an sepuluh tahun terakhir.

Dikarenakan profesi saya sebagai penulis buku DTM, hampir tiap hari saya melakukan eksplorasi terhadap kandungan Al Qur’an, sejak pagi hingga petang hari. Sudah puluhan buku yang saya tulis, dan hampir semuanya terinspirasi oleh ayat-ayat Al Qur’an yang saya baca. Semakin emosional – penuh penghayatan – semakin besar pula inspirasi yang saya peroleh. Dalam hal ini, saya bisa mengatakan bahwa saya telah mencapai fase haqqul yaqin – karena sudah merasakan dan memperoleh inspirasi itu secara berulang-ulang selama bertahun-tahun.

Tapi, sekali lagi, yang unik adalah inspirasi itu bergantung kepada niat hati kita dalam mencari hikmah dari dalam Al Qur’an. Orang yang berniat jelek akan mendapat inspirasi jahat, sebaliknya orang yang berniat baik akan memperoleh inspirasi untuk berbuat kebajikan. Persis seperti yang diinformasikan oleh ayat-ayat ini.

QS. At Taubah (9): 124-125
Dan apabila diturunkan suatu surat (Al Qur’an), maka di antara mereka (yang munafik) ada yang berkata: "Siapakah di antara kamu yang bertambah keimanannya dengan (turunnya) surat ini?" Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah keimanannya, dan mereka merasa gembira. Sedangkan orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit (berniat jahat), maka dengan surat itu bertambah keingkaranmereka, disamping keingkarannya (yang telah ada), dan mereka mati dalam keadaan ingkar.

Contoh konkretnya begini. Bagi orang yang ingin memuas-muaskan hawa nafsunya, dan kemudian mencari ayat-ayat Al Qur’an sebagai pembenar atas rencana jahatnya, maka mereka akan memperoleh ‘inspirasi’ dari ayat-ayat yang dibacanya. Dapat landasan hukumnya. Sehingga, dia pun lantas melakukan kawin kontrak dan poligami dengan niatan buruk, misalnya. Sebuah praktek perkawinan, yang menurut Al Qur’an layak disebut sebagai ‘pelacuran terselubung’.

QS. An Nuur (24): 33
‘’... Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian...’’

Sebaliknya, bagi mereka yang lurus hatinya, akan menjadikan perkawinan sebagai lembaga yang sakral untuk menghasilkan generasi masa depan yang salih dan salihah, serta sebagai media untuk beribadah kepada-Nya. Ayat-ayat yang diambil sebagai landasan hukumnya bisa saja sama, tetapi hasil yang diperolehnya sangat berbeda.

Contoh lainnya, jika ada orang yang ingin berbuat kriminal, membunuh, korupsi, ataupun merampas hak orang lain, mereka bisa memperoleh inspirasi yang boleh jadi legal secara syariah, tetapi cacat secara akhlak. Apalagi, jika ayat-ayat yang diambil sebagai landasan hukumnya itu tidak holistik. Melainkan parsial, sesuai yang dibutuhkan saja, hasilnya pasti adalah kemunkaran. Sehingga, Allah pun menurunkan peringatan seperti ini.

QS. Al Baqarah (2): 188
Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamudengan jalan yang bathil (jahat) dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, (hanya karena) supaya kamu dapat memakan sebagian harta benda orang lain itu dengan (jalan) dosa, padahal kamu mengetahui.

Ayat ini menunjukkan, bahwa keputusan hakim pun bisa memiliki substansi yang cacat secara akhlak, meskipun secara hukum yang berlaku sudah terpenuhi. Buktinya sangat banyak di sekitar kita yang melakukan kejahatan dengan cara menyiasati peraturan, baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maupun dalam beragama. Niatan yang baik dan akhlak yang mulia menjadi landasan yang sangat penting dalam memahami petunjuk-petunjuk dari dalam Al Qur’an.

Demikian pula dalam hal menggali inspirasi saintifik dari dalam Al Qur’an. Niatan yang baik akan melahirkan inspirasi yang baik dan bermanfaat, sebaliknya niatan yang buruk akan menghasilkan inspirasi yang buruk pula. Hal yang demikian ini, berlaku dalam ruang lingkup apa saja, termasuk sains. Inilah yang dalam notes sebelumnya saya sebut sebagai pengaruh subyektivitas dalam membuat kesimpulan yang obyektif.

Inspirasi-inspirasi yang bersifat saintifik akan mengalir deras kepada mereka yang membuka hati seluas-luasnya, tanpa mengedepankan pretensi terlebih dahulu. Pretensi alias dugaan yang disertai harapan bahwa pendapatnya sudah pasti benar, merupakan faktor yang sangat berbahaya dalam berburu hikmah. Karena, semua kemungkinan bakal tertutup baginya. Seseorang yang ingin memperoleh hikmah dari dalam AlQur’an, harus membuka radar jiwanya selebar-lebarnya. Dan membuka ‘ruang kesalahan’ yang mungkin terjadi pada penafsirannya.

Yang kedua, inspirasi akan mengalir deras kepada orang-orang yang menghayati bidangnya sepenuh hati dan perasaan. Yakni, mereka yang mencintai aktivitasnya secara total. Dalam bidang sains, adalah kepada mereka yang memang setiap saat bergelut dengan dunia sains – baik yang teoritis maupun yang eksperimental secara intensif. Istilah Al Qur’an adalah orang-orang yang selalu teringat dalam keadaan berdiri, duduk maupun berbaring.

Yang ketiga, adalah mereka yang rendah hati dan mau menerima masukan dari mana saja, karena segala yang ada di sekitarnya itu sebenarnya adalah ayat-ayat Allah juga (ayat-ayat kauniyah). Para pemburu hikmah adalah mereka yang mengikuti motivasi dari ayat berikut ini, sambil terus berharap Allah memberikan hikmah lebih banyak lagi kepadanya dari berbagai penjuru kehidupannya.

QS. Yusuf (12): 105
Dan banyak sekali tanda-tanda (clue)di langit dan di bumi yang mereka lalui, sayangnya mereka berpaling darinya (tidak mempedulikannya).

Contoh konkret di abad modern, saintis yang memperoleh inspirasi dari Al Qur’an, salah satunya adalah Prof Abdus Salam. Seorang ilmuwan – dengan seabrek medali penghargaan atas karya-karyanya – yang sangat religius di dalam menggeluti profesinya sebagai seorang saintis. Sehingga ketika memperoleh hadiah Nobel pun dia memberikan pidato sambutan sambil menyitir sejumlah ayat-ayat Al Qur’an yang menginspirasinya. Berikut ini adalah cuplikan dari sambutannya, diantaranya bisa dibaca dihttp://en.wikipedia.org/wiki/Abdus_Salam.

‘’Al Qur’an memerintahkan kepada kita untuk merenungkan beragam hukum-hukum alam yang diciptakan-Nya. Sebuah karunia dan rahmat yang sangat istimewa, yang diberikan kepada generasi kita untuk terlibat dalam memahami Desain-Nya, dimana saya sangat mensyukurinya dengan segala kerendahan hati.

Dia kemudian berkata: ‘’Ini pada dasarnya adalah keyakinan (faith) dari semua fisikawan. Semakin dalam kita mencari , semakin dalam pula keingin tahuan yang membuat kita bersemangat, dan semakin mempesona apa yang kita lihat..!’’

Lantas dia mengutip QS. Mulk (67): 3-4, dimana dia menyandarkan keyakinannya.
‘’Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu pun dalam keadaan payah.’’

Maka, ringkas kata, Al Qur’an adalah sumber inspirasi filosofis bagi siapa saja yang ingin dan meyakininya. Meskipun, sebenarnya inspirasi bisa datang dari mana saja, Al Qur’an telah memberikan nilai lebih sebagai inspirasi yang menjadi shortcut bagi realitas secara lebih terarah. Kenapa demikian? Karena, Al Qur’an adalah petunjuk dari Sang Pencipta Yang Maha Berkuasa lagi Maha Mengetahui. Apalagi, bagi kasus-kasus ekstrim dimana sains mulai kesulitan untuk mengungkapkan data-data empiris yang menjadi andalannya, sebagaimana kita lihat dewasa ini..!

Wallahu a’lam bissawab
~ salam ~

Sabtu, 02 November 2013

SOAL KETAUHIDAN DAN ILMU PENGETAHUAN KEALAMAN ~ AL QUR’AN SEBAGAI SUMBER FILOSOFI BAGI SAINS (5)

Inspirasi filosofis di dalam Al Qur’an tidak hanya tentang ketuhanan. Meskipun, soal ketauhidan ini mendominasi kandungan Al Qur’an. Termasuk, mendominasi masa pewahyuan selama sekitar 12 tahun dari 23 tahun masa turunnya Al Qur’an. Selain mengusung tema utama soal ketauhidan, Al Qur’an juga memberikan inspirasi-inspirasi yang bersifat obyektif kepada ilmu pengetahuan kealaman alias sains. Yang prosesnya, tentu saja melalui ulama atau ilmuwan sebagai pelakunya. Karena, memang sains adalah kumpulan ‘hasil karya’ dari para ulama dan saintis secara kolektif. Sehingga, tidaklah mungkin menjaga kesterilan sains dari pelakunya. Dalam notes kali ini, selain menjawab pertanyaan Mas Budi Pramono soal ketauhidan, saya juga menjawab komentar Koko Brian dan kang Eka Iman.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pertanyaan Mas Budi tentang konsep WUJUD di dalam Islam sangatlah fundamental. Bahwa menurutnya, ketiadaan mutlak itu sebenarnya tidak ada. Yang ada ialah keber-ADA-an yang bertingkat. Dimana Allah ‘menempati level’ keberadaan mutlak, dan selebihnya adalah makhluk yang menempati level keberadaan terdegradasi – semakin tidak mewujud.

Jika kita konsisten mengikuti filosofi ini, maka kita akan bertemu dengan grade yang paling rendah sebagai ke-TIADA-an berada di seberang keber-ADA-an. Kecuali kita memang sepakat untuk meniadakan kata ‘TIADA’ dari perbendaharaan bahasa kita. Tapi menurut saya, ketiadaan ini sebenarnya diperlukan untuk menjadi komparasi bagi keber-ADA-an. Sehingga dalam syahadat Tauhid pun kita menggunakan kata tersebut: laa ilaaha illallaahTIADA Tuhan selain (keber-ADA-an) Allah. 

Namun apakah penggunaan kata ‘tiada’ itu menggambarkan kondisi yang benar-benar bersifat mutlak? Menurut saya, bergantung pada cara kita melihat dan menerapkannya. Jika kita sedang berbicara makhluk, maka ketiadaan itu bisa bermakna mutlak. Tetapi, ketika kita berbicara tentang Tuhan, maka ketiadaan itu adalah bagian dari keberadaan-Nya.

Analogi Himpunan dalam ilmu Matematika saya kira bisa digunakan untuk menjelaskannya. Dikarenakan sifat Tuhan yang Maha Meliputi segala sesuatu, maka kita bisa menganalogikan Tuhan sebagai semesta pembicaraan. Di dalam semesta pembicaraan itu ada himpunan makhluk yang diciptakan-Nya sekaligus diliputi-Nya. Ada himpunan malaikat, himpunan manusia, himpunan jin, himpunan binatang, himpunan tumbuhan, dan himpunan benda-benda mati. Dan, ini yang menarik, ada himpunan-himpunan kosong pada setiap himpunan makhluk.

Artinya, kekosongan alias ketiadaan bisa diberlakukan kepada makhluk, bukan kepada Tuhan. Kepada setiap himpunan, tetapi tidak kepada semesta pembicaraan. Karena semesta pembicaraan adalah segala-galanya, sedangkan segala jenis himpunan –termasuk himpunan kosong– adalah bagian saja dari semesta pembicaraan.

Dengan analogi ini, kita bisa memperoleh gambaran yang agak mirip dengan konsep Al Qur’an dalam menerangkan ketauhidan. Bahwa Allah meliputi segalanya: alam semesta beserta seluruh isinya. Termasuk apa yang disebut ADA dan TIADA. Tetapi, perlu digarisbawahi bahwa ADA dan TIADA itu sebenarnya adalah makhluk. Sehingga, ketika berbicara tentang KETIADAAN, maka kita harus mensejajarkan dengan makhluk. Bukan dengan Tuhan.

Manusia ADA, dan suatu ketika bisa TIADA. Malaikat dan Jin juga ADA, tapi suatu ketika bisa TIADA. Pepohonan dan binatang ADA, namun suatu ketika juga bisa TIADA. Sebagaimana juga alam semesta ADA, tetapi suatu ketika bisa TIADA. Yakni, ketika variabel-variabel ruang-waktu-materi-energi musnah, alam semesta pun bakal lenyap beserta seluruh peristiwa yang ada di dalamnya. Dan yang ADA tinggallah SESUATU yang tidak bisa didefinisikan lagi oleh segala macam bahasa dan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia. Dialah Sang Semesta Pembicaraan. Dialah Zat yang ‘Laisa Kamitslihi Syai-un’, sebagai keber-ADA-an Mutlak, karena tak ada lagi variabel yang bisa dikenakan kepada-Nya.

Mengenai QS. Al Insaan (76) : 1, yang saya gunakan dalam notes sebelum ini memang lebih menggambarkan ketiadaan dalam skala makhluk. Dan lebih khusus lagi adalah manusia. Tetapi, ayat itu bisa dikembangkan lebih luas sebagai analogi bagi ketiadaan makhluk, dengan menggunakan logika filosofis yang saya uraikan di atas.

Sedangkan yang khusus terkait dengan alam semesta, Allah menjelaskannya dalam ayat-ayat yang bercerita tentang penciptaan langit & bumi dari tidak ada menjadi ada, sebagaimana telah dikutipkan oleh nyong Dhasryl Arya Bima. Dan kemudian ditambahkan lagi oleh Mas Budi sendiri dengan mengutip istilah-istilah di dalam Al Qur’an terkait proses penciptaan: KHALAQA, JA’ALA, BARI’U, MUSHAWWIRU, FATHIR, dan khususnya BADA’A.

Sebagaimana juga saya menutup notes ke-4 dengan QS. Al Hasyr (59) : 24 yang menggambarkan semua makhluk diciptakan dari tidak ada menjadi ada. Saya kutipkan lagi berikut ini. ‘’Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih kepadaNya segala yang ada di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.’’

Ringkas kata, saya sependapat bahwa keber-ADA-an mutlak hanya milik Allah. Sedangkan makhluk bisa berada dalam keber-ADA-an dan ke-TIADA-an relatif. ‘Ada’ dan ‘tiada’nya terjadi di dalam Zat yang MAHA ADA..!

                                                                      * * *

Selanjutnya mengenai masalah ‘Inspirasi bagi SAINS’ ataukah ‘inspirasi bagi SAINTIS’, saya ingin memberikan komentar pendek saja. Bahwa secara bahasa sebenarnya tidak perlu menjadi masalah. Karena, kedua-duanya bisa dipakai. Berikut ini, saya berikan contoh yang lebih umum. 

Jika ada suatu peristiwa yang memberi inspirasi kepada saya sebagai seorang penulis buku, maka seseorang bisa mengatakan dengan dua cara. Yang pertama‘’Peristiwa itu menjadi SUMBER inspirasi bagi AGUS MUSTOFA untuk menulis buku’’. Atau yang kedua: ''Peristiwa itu menjadi SUMBER inspirasi bagi BUKU Agus Mustofa.'' Dalam tata bahasa Indonesia, kalimat semacam ini tidak bermasalah. Dan memilki makna yang sama. Yang berbeda adalah PERSEPSI orang yang membacanya, terkait dengan rasa bahasa yang muncul di benaknya. Karena itu, diskusi soal ini tidak perlu memakan space lebih besar lagi, intinya persepsi subyektif saya dan Koko Brian berbeda terhadap obyek atau kalimat yang sama. Saya kira pembaca dan peserta diskusi ini sudah bisa mengambil kesimpulannya sendiri.

Yang kedua, tentang contoh soal menghitung lama perjalanan dari Denpasar ke Sydney memang sengaja saya buat ‘terbuka’, agar bisa menunjukkan korelasi antara penetapan asumsi dengan efek kesimpulannya. Bahwa asumsi yang berbeda akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Dan asumsi tersebut bisa ditetapkan secara obyektif maupun subyektif. Itu saja. 

Yang ketiga, soal Einstein dan Hawking. Bukan cuma Einstein yang ilmuwan teoritis, Hawking pun adalah seorang matematikawan alias ilmuwan teoritis. Tetapi, tetap saja keduanya adalah SAINTIS  yang menerapkan kaidah-kaidah saintifik dalam setiap karyanya. Namun, bukan disitu masalah yang sedang saya bahas. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa bagi seorang saintis - selevel Einstein maupun Hawking – pada PRAKTEKNYA tidak bisa menghindar dari subyektivitas asumsi yang berpengaruh pada obyektivitas kesimpulan. Itu saja. Namun, secara TEORITIS, saya kira kita sependapat bahwa Sains mesti dijaga obyektivitasnya.

                                                                        * * *

Untuk pertanyaan lainnya, dari Kang Eka Iman, adalah soal apakah Al Qur’an bisa digunakan untuk memprediksi masa depan sebagaimana sains. Saya kira perlu diproporsionalkan dulu pemahaman kita tentang keterkaitan antara Al Qur’an dan Sains. Bahwa, Islam tidak pernah memposisikan Al Qur’an dan sains berhadap-hadapan. Sehingga, adalah tidak tepat jika ada pertanyaan seperti ini: ‘’Apakah Al Qur’an dapat digunakan untuk memprediksi gejala alam dan hukum alam yang belum ditemukan oleh Sains?’’

Karena, Al Qur’an memang bukan sains ataupun sesuatu yang layak ditandingkan dengan sains. Tidak apple to apple, ataupun bandeng to bandeng (meminjam istilah Koko Brian). Ayat-ayat Qur’an berada di ‘hulu’, sedangkan sains berada di ‘hilir’. Jadi bagaimana bisa menandingkannya? Yang bisa dilakukan adalah menjadikan yang di ‘hulu’ itu sebagai ‘sumber’ bagi yang di hilir. Itulah sebabnya, saya mengangkat serial notes ini dengan tema: ‘’Al Qur’an sebagai Sumber Filosofi bagi Sains’’. Kalaupun ada yang tidak setuju dan berbeda pendapat, boleh-boleh saja, wong namanya diskusi. Cuma, tentu dengan argumentasi yang jelas dan konsisten agar bisa menjadi pelajaran bersama.

Sebagian contohnya sudah saya kemukakan dalam notes terdahulu. Misalnya, Al Qur’an memberikan clue bahwa alam semesta ini berkembang dan berdinamika, tetapi dalam keseimbangannya. Di ayat yang lain lagi, Allah mengindikasikan bahwa akhir alam semesta ini bukan berupa nolnya entropi yang disebabkan mengembang tidak terkendali, karena Dia telah memberikan sinyal bahwa Allah menahan pergerakan langit itu agar tidak lenyap.

Dalam penciptaan Bumi, Allah menyebut dulunya berupa asap panas yang kemudian mendingin membentuk tata surya beserta planet-planetnya - termasuk Bumi. Dan lantas, memunculkan daratan, gunung-gunung, perairan, atmosfer, tanaman, binatang, dan manusia. Dan seterusnya.

Dalam penciptaan manusia, Al Qur’an juga memberikan banyak sekali clue yang bisa dijadikan inspirasi bagi pengembangan sains. Atau, katakanlah inspirasi bagi ilmuwan muslim - dan kelak akan menjadi khazanah sains :). Diantaranya, manusia diciptakan dari satu substansi tunggal (nafsin waahidatin) yang kini dikenal sebagai stem cell. Juga, tentang fase-fase penciptaannya di dalam rahim. Pun tentang biomolekuler dan sistem saraf. Tentang Jiwa dan Ruh. Dan sebagainya...

Dan masih banyak lagi inspirasi yang bisa digali dari dalam Al Qur’an untuk menstimulasi perkembangan sains - tentu lewat para ilmuwan - secara filosofis agar asumsinya on the right track. Mulai dari ilmu Astronomi, Geografi, Geologi, Biologi, Fisika, Kimia, Matematika, Anatomi, Psikiatri, Kesehatan, Ekonomi, Sosial, Politik, dan sebagainya, termasuk spiritualitas. Al Qur’an memancing manusia untuk memahami alam sekitarnya, termasuk dirinya dengan cara mengamati dan melakukan penelitian secara langsung di lapangan, yang kemudian dikenal sebagai sains itu. Jadi, bukan hanya berpegangan pada Al Qur’an - dalam bentuk teks - lantas bisa menguasai ilmu alam semesta. Inilah yang harus dipahami secara proporsional. Karena, justru Al Qur’an sendirilah yang telah memberikan dorongan untuk melakukan semua itu. Bahwa ayat qauliyah (teks) harus diterapkan sebagai ayat kauniyah (realitas).

QS. Adz Dzaariyaat (51): 20-21
Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (clue) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?

Ayat semacam ini bertaburan di dalam Al Qur’an, dengan maksud mendorong manusia agar memahami ciptaan Allah secara saintifik. Dan sebenarnya bukan hanya kepada umat Islam, melainkan kepada seluruh umat manusia. Supaya apa? Supaya manusia mengenal Tuhan yang telah menciptakan semua realitas ini - termasuk dirinya. Juga supaya tidak terjebak kepada pengembangan ilmu belaka, melainkan memanfaatkan ilmu itu untuk memahami Dia Yang Maha Berilmu, yang telah menciptakan dan mengadakan jagat raya ini berdasar ilmu dan kebijaksanaan-Nya. Tapi, tentu saja, hal itu bagi yang mau. Bagi yang tidak mau, ya monggo-monggo saja. Lha wong Allah saja tidak pernah memaksa hamba-Nya, apalagi saya.. :)

QS. Yunus (10): 99-100

Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, PASTI-lah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemarahan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya (dalam beriman)

Wallahu a’lam bissawab
~ salam ~

Jumat, 01 November 2013

MENGKLARIFIKASI PERBEDAAN PERSEPSI ~ AL QUR’AN SEBAGAI SUMBER FILOSOFI BAGI SAINS (4)

Persepsi yang muncul di benak kita ternyata jauh lebih dominan dibandingkan dengan realitas obyektif. Sebuah realitas obyektif yang sama bisa saja memunculkan persepsi yang berbeda. Dan sayangnya – atau bisa juga ‘celakanya’ – realitas obyektif itu baru memiliki makna setelah melewati persepsi manusia. Karena itu, dalam notes kali ini saya mengangkat masalah ini lebih detil, sekaligus untuk menjawab ‘kegalauan’ Koko Brian dalam menanggapi notes saya yang pertama.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Yang pertama, soal tema ‘AL QUR’AN SEBAGAI SUMBER FILOSOFI BAGI SAINS’ yang saya gunakan untuk ‘mewadahi’ diskusi kita kali ini. Koko Brian mempersepsi itu sebagai ‘kurang tepat’, karena seakan-akan menempatkan Al Qur’an sebagai satu-satunya sumber bagi sains. Tentu saja ini adalah persepsi dia. Bagi saya tidak demikian. Dan ‘realitas obyektif'nya memang tidak demikian.. :)

Secara bahasa, kalimat tersebut adalah berbicara tentang AL QUR’AN yang bisa menjadi sumber filosofi bagi apa saja dalam kehidupan seorang muslim. Bahkan juga bagi siapa saja secara umum. Salah satunya adalah bagi sains. Sama sekali tidak ada klaim yang tergambar disana, bahwa Al Qur’an ‘harus’ menjadi satu-satunya sumber filosofi bagi Sains. Saya kira persepsi Koko Brian dalam hal ini agak berlebihan. Yang kata anak muda sekarang: emang lagi sensi (tive) ya..?  ;)

Kecuali, jika kalimat tersebut dibalik susunannya menjadi begini: SUMBER FILOSOFI BAGI SAINS ADALAH AL QUR’AN. Nah, kalau yang ini Anda boleh menyalahkan saya karena telah melakukan klaim sepihak, bahwa ‘satu-satunya’ sumber filosofi sains adalah Al Qur’an. Karena itu, jawaban saya tentang ini juga bisa Anda dapati di tulisan-tulisan sesudahnya – khususnya notes ke-3 – yang dengan tegas menjelaskan bahwa asumsi filosofis bisa diambil dari mana saja:

‘’Sesungguhnya, asumsi bisa dibangun dengan cara apa saja. Bisa diambil dari pengalaman sebelumnya, bisa dari kesimpulan saintifik yang mendahuluinya, bisa dari intuisi dan inspirasi yang bersifat internal, ataupun dari sumber-sumber tepercaya lainnya, termasuk kitab suci. Bagi seorang ilmuwan muslim yang menjadikan Al Qur’an sebagai panduan hidupnya, ayat-ayat Al Qur’an bisa menjadi inspirasi yang luar biasa dalam membangun asumsi yang terarah.’’

Jadi, inilah bukti pertama bahwa persepsi subyektif ternyata jauh lebih dominan dibandingkan realitas obyektif. Bukti kedua, adalah komentar kedua Koko Brian berikut ini, tentang mental ‘pejalan spiritual’ dan ‘pejalan sains’ alias saintis. Menurut persepsinya, seorang pejalan spiritual memiliki mental ‘harus selalu benar’dalam memahami kitab sucinya terkait dengan realitas. Sedangkan seorang saintis memiliki mental gentle, yang berani mengakui kesalahan, jika hasil penelitiannya memang salah. 

Menurut saya komentar Koko Brian ini tidak obyektif, dan agak ‘miring-miring’ alias campur aduk, hhehe.. Jika mau dibandingkan, maka yang bisa dikomparasi adalah antar ‘pelaku’ atau antar ‘realitas’. Sehingga tidak perlu muncul komentar di akhir paragraf yang subyektif seperti ini: ’Hasil penelitian scientific bisa jadi salah (dan harus diakui jika memang salah), sedangkan kitab suci tidak bisa (bahkan tidak boleh) salah.’’

Padahal sebelumnya, yang dibahas adalah mental ‘pelaku spiritual’ dengan ‘pelaku sains’. Lha kok ujung-ujungnya membandingkan ‘kitab suci’ dengan ‘hasil penelitian’? Tentu saja tidak apple to apple alias tidak selevel.

Jika mau membandingkan mental pelakunya, marilah kita batasi pada pelaku. Bagaimana mental seorang ‘pejalan spiritual’ dan bagaimana mental seorang ‘saintis’. Saya kira sama saja. Keduanya adalah orang-orang yang mencari kebenaran. Yang pertama mencari kebenaran holistik – memadukan antara subyektivitas dan obyektivitas – sedangkan yang kedua mencari kebenaran obyektif – dengan menolak subyektivitas.

Sepanjang yang saya ketahui, tidak ada seorang ‘pejalan spiritual’ sejati yang memaksa-maksakan kebenarannya. Dan menyodor-nyodorkan persepsinya atas Al Qur’an sebagai kebenaran mutlak. Dia pasti akan memposisikan dirinya sebagai pembelajar yang sangat boleh jadi mengalami kesalahan dalam memahami kebenaran sejati, yakni Al Qur’an. Dan pasti, akan mengoreksi kesalahan hipotesisnya dalam mencari kebenaran, jika tidak sesuai dengan Al Qur’an.

Apa bedanya dengan ‘pejalan sains’ yang juga memperlakukan alam semesta sebagai kebenaran mutlak yang tidak boleh salah. Sehingga, kalau ada penelitian yang salah hipotesis harus ‘dipaksa-paksa’ untuk sama dengan alam semesta? Sama saja tohmentalnya? Cuma, persepsinya menjadi BIAS ketika ‘hasil penelitian’ dikomparasi dengan ‘kitab suci’. Nggak level la yaw..!!, kata akan muda sekarang. Komparasinya baru akan selevel, kalau kebenaran mutlak Al Qur’an dibandingkan dengan kebenaran mutlak realitas alam semesta. Dan, itulah konsep yang diajarkan Islam, bahwa kitab suci dan alam semesta adalah sama-sama ayat Allah, yang satu disebut ayat qauliyah, lainnya disebut sebagai ayat kauniyah.

Bukti berikutnya tentang dominasi persepsi terhadap obyektivitas adalah komentar Koko Brian yang ketiga, tentang ‘kesimpulan obyektif yang bergantung kepada asumsi filosofisnya’. Dia ‘mengharamkan’ adanya subyektivitas dalam sains. Dan itu saya setuju, seperti tulisan yang dikutipnya dari notes saya: “Begitulah, sains yang obyektif ternyata bisa berujung pada persepsi yang subyektif sesuai dengan filosofi yang mendasari SESEORANG dalam menggunakan sains.”

Tetapi, obyektivitas murni dalam sains itu kan teorinya. Pada prakteknya, kita menemukan banyak kesimpulan ‘obyektif’ yang bersifat ‘pesanan’ disebabkan oleh penetapan asumsi yang ‘subyektif’. Sengaja istilah ‘obyektif’ dan ‘subyektif’ itu saya beri tanda petik, untuk menunjukan bahwa keduanya tidak bisa dilakukan dengan murni, sebagaimana diharapkan oleh Koko Brian. Berikut ini adalah contoh-contoh kasus yang bisa terjadi dikarenakan kesengajaan ataupun ketidak sengajaan meletakkan asumsi subyektif ke dalam proses obyektif sains.

Kasus 1.
Cobalah hitung berapa lama perjalanan dari Denpasar menuju ke Sydney.

Untuk bisa menghitung dengan baik, maka Anda harus menentukan asumsinya terlebih dahulu. Terserah Anda membuatnya. Dan itu akan menentukan hasil yang berbeda, sesuai dengan keinginan subyektif Anda. Mau 6 jam, 10 jam, 20 jam, atau sebulan. Jika asumsinya naik pesawat, tentu hasilnya akan berbeda dengan kalau asumsinya naik kapal laut. Naik pesawat pun, harus diasumsikan menggunakan pesawat jenis apa, kecepatannya berapa, konstan ataukah dipercepat, pilotnya siapa, sedang mabuk ataukah tidak, lagi ada gangguan cuaca atau tidak, dan seterusnya, dan sebagainya, dan lain-lainnya.

‘Subyektifitas’ kita dalam menentukan asumsi akan menentukan hasil akhirnya. Subyektivitas itu bisa dalam arti kesengajaan dalam memilih asumsi, ataupun ketidak sengajaan yang menyebabkan asumsi menjadi kurang holistik. Sehingga, hasil akhirnya meleset. Nah, kesengajaan atau tidak itulah faktor subyektif, yang ternyata berpengaruh pada hasil akhir yang ‘obyektif’.

Memang, bisa saja ada upaya untuk meminimalisir subyektivitas itu, tetapi hasilnya tidak pernah benar-benar obyektif. Diantaranya, dikarenakan ‘ketidaksengajaan’ meletakkan asumsi yang keliru ataupun ‘ketidakmampuan’ membuat asumsi yang tepat.

Kasus 2.
Pengaruh asumsi yang bersifat subyektif akan semakin kentara pada kasus-kasus ekstrim dimana kita sulit untuk memverifikasi hasil akhirnya. Yaitu, ketika bukti-bukti empiris sulit diperoleh untuk menguji hipotesis. Ataupun, ketika para penguji tidak tahu apakah sebuah hipotesis itu benar ataukah tidak. Kesimpulan ‘obyektif’ akan sangat didominasi oleh asumsi yang bersifat subyektif.

Contoh konkretnya, adalah ketika Albert Einstein menetapkan konstanta universe ke dalam persamaan matematikanya, sehingga menghasilkan sifat alam semesta yang tetap alias tidak mengembang. Hasil ‘obyektif’ dari persamaan matematisnya itu sepenuhnya dikendalikan oleh konstanta yang diasumsikan berdasar pertimbangan subyektivitasnya, yang berpendapat alam semesta tidak berkembang..!

Artinya, pada seorang ilmuwan selevel Einstein pun subyektivitas asumsi bisa masuk ke ranah sains yang diharapkan ‘obyektif’ tersebut. Bahwa kemudian konstanta itu terbukti salah ‘secara obyektif’, karena data empiris menunjukkan alam semesta mengembang, itu adalah soal berikutnya, yang boleh jadi juga harus diuji secara terus menerus apakah kesimpulan alam semesta yang mengembang itu sudah final. Karena, bukankah sains juga selalu berkembang dan akan melahirkan ‘obyektivitas-obyektivitas’ baru?

Kasus 3.
Demikian pula yang terjadi pada Stephen Hawking ketika membuat asumsi bahwa alam semesta lahir dari fluktuasi kuantum. Sehingga, ujung-ujungnya berpendapat bahwa alam semesta tidak memerlukan Tuhan. Ini hasil yang obyektif ataukah subyektif? Bergantung pada keperluannya.. :)

Jika keperluannya untuk ilmu, bisa saja disebut sebagai kesimpulan yang obyektif. Karena, jika kita cermati satu persatu proses saintifiknya semua terpenuhi. Asumsi tentang adanya fluktuasi kuantum memang benar adanya. Dan karena ada fluktuasi kuantum itu lantas memunculkan partikel-partikel dasar pembentuk alam semesta, juga bisa dipahami lewat probabilitas kuantum. Dan seterusnya, partikel-partikel itu akan berevolusi menjadi alam semesta yang kita huni ini, juga oke-oke saja. Sampai disini terpenuhi semua obyektivitasnya.

Tetapi, ketika ini dikaitkan dengan kesimpulannya bahwa alam semesta tak perlu Tuhan untuk menjadi ada, kita lantas perlu mengevaluasi proses penetapan asumsinya. Apa yang menjadi asumsinya, sehingga dia bisa berkesimpulan seperti itu? Owwh, ternyata karena dia menetapkan awal alam semesta dari fluktuasi kuantum. Tentu saja kesimpulan ‘obyektif’nya akan mengatakan tidak ada Tuhan. Akan menjadi lain, kalau dia meletakkan asumsinya berangkat dari ketiadaan.. :)

Ketiadaan bukanlah ‘ruang hampa’ yang menjadi dasar asumsi dia. Karena ruang hampa itu bukanlah ketiadaan. Masih ada ruang dan waktu yang mewadahi energi dan materi. Sehingga, benar saja kalau dia mengatakan partikel dan energi bisa bermunculan dari ruang hampa itu mengikuti probabilitas kuantum. 

Coba dia agak mundur sedikit lagi ke arah ‘masa lalu’ alam semesta dimana ketiadaan mutlak menjadi awal dari universe. Yakni, ketika seluruh variable alam semesta yang berupa ruang-waktu-materi-energi itu belum terbentuk, tentu hasilnya akan lain. Karena, di saat itu sains tidak lagi memiliki kemampuan untuk mengungkapnya. Sains runtuh seiring kondisi 'tiada', alias runtuh di titik singularitas. Dan inilah yang dihindari oleh saintis sekelas Hawking sekalipun. Karena sesungguhnya dia sangat paham bahwa di titik singular itu seluruh rumus matematik ataupun saintifik yang diterapkannya tidak lagi berguna. Maka, ia pun 'memilih' agak maju sedikit secara waktu, ketika fluktuasi kuantum sudah ada. Bagaimana menurut Anda..?

Dan akhirnya, tentang adanya rasa kekaguman, ketakjuban atau bahkan ‘ketakutan’ bagi seorang ‘pejalan spiritual’, memang itulah persepsi subyektif yang akan menjadi ending-nya. Dan itu pula yang membedakannya dengan ‘pejalan sains’ yang berhenti hanya pada realitas obyektifnya saja. Seorang ‘pejalan spiritual’ mendedikasikan seluruh aktivitasnya untuk memperoleh pengalaman spiritual yang sangat subyektif setelah mengembara dalam perjalanan panjang yang holistik – antara subyektivitas dan obyektivitas. Ujung-ujungnya adalah ‘meleburkan diri’ dalam Realitas Subyektif yang telah mengadakan dan menyelenggarakan seluruh drama kolosal alam semesta yang sangat menakjubkan dan mempesona ini. Subhanallaah..!

QS. Al Hasyr (59): 24
Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih kepadaNya segala yang ada di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Wallahu a’lam bissawab
~ salam ~

Kamis, 31 Oktober 2013

ADA APA SEBELUM UNIVERSE ~ AL QUR’AN SEBAGAI SUMBER FILOSOFI BAGI SAINS (3)

ni adalah pertanyan besar yang tidak mudah menjawabnya. Dan sedang menjadi mainstream pembicaraan di kalangan ilmuwan dunia. Baik yang bersifat filosofis maupun saintifik. Namun demikian, pembahasan di wilayah filosofis agaknya akan ‘lebih mudah’ – atau setidak-tidaknya memakan waktu lebih pendek – dibandingkan dengan pembahasan di wilayah saintifik. Kenapa bisa begitu? Karena, di wilayah filosofis ini kita ‘hanya’ membutuhkan ‘keyakinan’ asumsi – yang sumbernya bisa logika dan rasionalitas ataupun intuisi, ilham dan wahyu – sedangkan di wilayah sains membutuhkan pembuktian berdasar data empiris yang bergantung kepada banyak faktor yang menjadi kendalanya. Dalam sudut pandang Al Qur’an, wilayah filosofis itu bersumber dari ayat-ayat qauliyah, sedangkan wilayah sains bersumber dari ayat-ayat kauniyah.
-------------------------------------------------------------------------------------

Meskipun dasar filosofis ‘hanya’ menjadi asumsi bagi proses saintifik, tetapi sebenarnya disinilah awal dari semua langkah untuk mencapai kesimpulan yang baik – syukur-syukur benar. Jika asumsinya salah, secanggih apa pun proses saintifiknya, hasilnya pasti salah. Dengan kata lain, sebenarnya sains hanya berfungsi sebagai penjelas teknis dari sebuah filosofi yang menjadi asumsi. Dengan demikian, kita lantas bisa melihat betapa penting sebenarnya proses penyusunan asumsi yang baik dan benar itu. Ringkasnya: harus benar dulu secara filosofis, barulah kita berada di jalur yang benar dalam memperoleh kesimpulan saintifik yang benar.

Sesungguhnya, asumsi bisa dibangun dengan cara apa saja. Bisa diambil dari pengalaman sebelumnya, bisa dari kesimpulan saintifik yang mendahuluinya, bisa dari intuisi dan inspirasi yang bersifat internal, ataupun dari sumber-sumber tepercaya lainnya, termasuk kitab suci. Bagi seorang ilmuwan muslim yang menjadikan Al Qur’an sebagai panduan hidupnya ayat-ayat Al Qur’an bisa menjadi inspirasi yang luar biasa dalam membangun asumsi yang terarah.

Logika dasarnya, alam semesta dengan segala peristiwa di dalamnya adalah ciptaan Allah. Maka, jika ingin memahaminya, kita harus ‘bertanya’ kepada Yang Menciptakannya. Dan menariknya, ternyata Allah sudah ‘menjawab’ pertanyaan kita itu sebelum kita bertanya, lewat firman-firman-Nya di dalam Al Qur’an. Kita tinggal mencari saja ayat-ayat yang bisa menjadi inspirasi filosofis bagi semua peristiwa yang sedang kita hadapi. Disana ada ‘clue’ alias ‘tanda-tanda’, yang kemudian diistilahkan sebagai al ayat.

Ada yang disebut sebagai ayat-ayat qauliyah berupa teks Al Qur’an, dan ada yang dikenal sebagai ayat-ayat kauniyah berupa peristiwa alam yang dihamparkan di sekitar kita. Ayat-ayat qauliyah berfungsi sebagai dasar filosofis, sedangkan ayat-ayat kauniyah harus dieksplorasi menggunakan sains yang berbasis metode ilmiah.

Berikut ini adalah dalil dari ayat-ayat qauliyah sebagai dasar filosofis, maupun ayat kauniyah sebagai dasar observasi saintifik

QS. Yusuf [12]: 111
Sesungguhnya pada kisah-kisah (sejarah) mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi (kitab) yang membenarkan (meluruskan kitab-kitab) sebelumnya, dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk serta rahmat bagi kaum yang beriman.

QS. Yusuf [12]: 105
Dan banyak sekali tanda-tanda di langit dan di bumi yang mereka lalui, tapi mereka berpaling darinya (tidak menghiraukannya).

Maka, bagi seorang ilmuwan muslim, proses filosofis dan saintifik itu berada di dalam ‘satu tarikan nafas’ belaka. Karena, baik yang qauliyah maupun yang kauniyah, kedua-duanya adalah ayat-ayat Allah. Yakni, ‘tanda-tanda’ alias clue yang diberikan sebagai petunjuk untuk melangkah lebih jauh dalam memahami realitas ciptaan-Nya.

Dikarenakan keduanya masih berupa clue, maka keduanya memang memerlukan penafsiran. Ada tafsir terhadap teks Al Qur’an, ada pula tafsir terhadap realitas alam semesta. Tafsir Al Qur’an berada di ranah filosofis yang cenderung subyektif, dan membutuhkan perangkat ilmu tafsir. Sedangkan tafsir alam semesta berada di dalam ranah obyektif yang membutuhkan perangkat sains. Meskipun, obyektivitas sains sendiri akan cenderung semakin subyektif ketika berada di wilayah soft science.

Karena semua itu adalah tafsir – baik yang qauliyah maupun kauniyah – maka kesimpulannya memang tidak akan pernah mutlak. Yang filosofis maupun yang saintifik, semuanya bersifat relatif. Kebenaran mutlak hanya tersimpan di dalam Al Qur’an sebagai sumber ayat qauliyah, dan alam semesta sebagai sumber ayat kauniyah. Itulah sebabnya, seluruh bentuk tafsir Al Qur’an selalu akan mengalami perubahan dan perkembangan, sebagaimana juga yang terjadi pada sains.

Dengan memahami semua ini, kita menjadi tahu peta persoalannya. Dan bisa memposisikan diri secara proporsional. Apalagi, ketika memasuki ranah diskusi antar pemikiran yang berbeda. Harus disamakan dulu frame-nya, agar diskusinya bisa ‘klik’ alias ‘nyambung’. Kalau tidak, hanya akan terjadi hit and run, dan dijamin tidak akan menemukan titik temu sebagai kesimpulannya. Yang satu berada di wilayah subyektif, yang lainnya berada di wilayah obyektif, misalnya. Atau, yang satu dan lainnya punya definisi berbeda terhadap masalah yang sama. Bagaimana mungkin bisa terjadi diskusi yang bagus dan berkualitas?

Lantas, bagaimanakah Al Qur’an memberikan dasar filosofi bagi eksistensi alam semesta ini? Ada apa sebelum universe? Sungguh ini pertanyaan yang sangat kental dengan filosofi yang cenderung subyektif, serta sangat sulit dijawab oleh sains yang mengandalkan obyektivitas. Kenapa? Karena, memang tidak ada obyeknya..!! Jadi,bagaimana bisa obyektif..??

Ketiadaan adalah kekosongan. Suatu kondisi dimana tidak ada apa-apa yang bisa kita sebut secara terinci. Dalam konteks alam semesta, yang disebut kosong mutlak itu adalah lenyapnya seluruh variabel penyusun universe. Materi tidak ada. Energi tidak ada. Ruang dan waktu pun tidak ada. Jika masih ada salah satunya, belum bisa disebut kosong alias tiada.

Ini berbeda dengan ‘kehampaan’. Hampa itu tidak kosong. Masih berisi, setidak-tidaknya energi. Meskipun saya tidak yakin ada sebuah ruang yang bisa benar-benar hampa secara mutlak terhadap materi. Diantaranya, terhadap ‘materi hantu’ yang dikenal sebagai neutrino yang bisa menembus apa saja tanpa bisa dideteksi ataupun dihalangi. Berdasar atas temuan materi hantu inilah, kemudian berkembang lebih luas menjadi dark matteryang misterius itu. Terdeteksi keberadaannya, tetapi tidak diketahui wujudnya. Bahwa ruang alam semesta yang tadinya dikira hampa itu ternyata tidaklah hampa. Melainkan berisi ‘materi gelap’.

Apalagi energi. Hampir bisa dipastikan, seluruh ruang alam semesta ini berisi energi, meskipun juga tidak bisa dideteksi secara langsung, sehingga disebut sebagai dark energy. Perbedaannya, hanyalah soal kerapatannya. Ruangan yang semula dikira hampa materi, ternyata mengandung materi dengan kerapatan yang rendah atau tak terdeteksi. Demikian pula, ruangan yang semula dikira hampa energi, dikarenakan kerapatan energinya yang sedemikian rendah sehingga tak terdeteksi. Atau, bisa juga dikarenakan peralatan kita yang tak bisa menangkapnya. Selama disitu ada gaya yang bekerja – termasuk gaya gavitasi yang mengisi seluruh penjuru alam semesta – maka disitu pun ada energi. Dan jika disitu ada energi, sangat boleh jadi hadir pula materi. Meskipun disebut sebagai materi gelap.

Walhasil, tidak ada ruang hampa yang benar-benar kosong di alam semesta. Apalagi, yang dimaksud kekosongan itu hanya isinya, yakni: materi dan energi. Sedangkan ruang dan waktu sebagai ‘wadahnya’ masih ada. Ini bukan kekosongan, melainkan ‘kehampaan’, yang sesungguhnya tidak benar-benar hampa.

Kekosongan adalah ketiadaan mutlak. Tak ada materi, tak ada energi, sekaligus tak ada ruang dan tak ada waktu..! Dalam kondisi ini, sains sudah tidak bisa lagi mengukur dan menghitungnya. Juga tak mampu menyodorkan bukti-bukti empiris yang menjadi andalannya. Bahkan secara filosofis disebut sebagai runtuh di titik singularitas. Ya, SAINS ternyata runtuh di fase KETIADAAN..!!

Maka, apalagi yang bisa disebut saat seluruh variabel penyusun alam semesta ini tiada. Karena sesungguhnya, tanpa adanya keempat variabel alam semesta itu, tidak ada peristiwa apa pun yang bakal terjadi. Termasuk bahasa yang kita gunakan untuk menyebut sesuatu. Itulah yang oleh Al Qur’an disebut sebagai suatu keadaan dimana kita belum bisa disebut.

QS. Al Insaan [76]: 1
Bukankah telah datang kepada manusia suatu masa dari (pergerakan) waktu, dimana ketika itu dia belum merupakan sesuatu yang bisa disebut?

Ayat ini sungguh luar biasa secara filosofis. Allah menginformasikan bahwa waktu mengalami dinamika, yang di suatu saat yang lalu segala realitas ini (termasuk manusia) belum  bisa disebut. Bukan ‘tidak ada’, melainkan tidak bisa disebut. Karena, di fase ini sangat boleh jadi segala variabel penyusun alam semesta belum eksis.

Kalau RUANG saja belum ada, bagaimana Anda bisa menentukan posisi sebuah peristiwa. Pertanyaan ‘dimana’, ‘kemana’, ‘yang mana’, dan semacamnya tidak memiliki pijakan sama sekali. Lha wong, tak ada ukuran apa pun untuk menentukan posisi. Demikian pula, ketika WAKTU tidak ada, maka pertanyaan ‘sebelum itu apa’, ‘sesudah itu bagaimana’, ‘kapan’, dan semacamnya juga tak ada maknanya. Termasuk ketika Anda bertanya: SEBELUM ada universe ini ada apa ya..?? Hhehe, pertanyaan ini kayaknya salah deh. Meaningless.Bukan salah yang tidak bisa menjawab pertanyaan ini, melainkan salah yang bertanya. Ternyata untuk bertanya pun harus punya ilmunya.. :)

Jadi, sebelum ada universe, berarti tidak ada ruang, waktu, materi, dan energi. Lantas apa yang ada? Hanyalah ‘Sesuatu’ yang TIDAK BISA DISEBUT, karena tidak ada perbendaharaan bahasa yang bisa menjelaskan Zat yang Tak Ada Yang Menyerupainya itu. Zat yang tak bisa lagi dijelaskan lewat pengetahuan manusia – yang memang sangat bergantung kepada keberadaan variabel-variabel alam semesta. Persis seperti yang diceritakan oleh ayat berikut ini - laisa kamitslihi syai'un - sebagai dasar filosofis untuk mengenali Eksistensi-Nya...

QS. Asy Syuura [42]: 11
(Dialah) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagimu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangannya (pula). Dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya. Dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.

Wallahu a’lambissawab

~ salam ~