Minggu, 10 November 2013

RUH PEMBAWA SISTEM INFORMASI ILAHIAH ~ AL QUR’AN SEBAGAI SUMBER FILOSOFI BAGI SAINS (11)

Al Qur’an sebagai kitab petunjuk bagi manusia berisi ‘clue’ untuk memahami realitas alam semesta maupun diri kita sendiri. Yang jauh maupun yang dekat. Yang besar maupun yang kecil. Yang lalu maupun yang masa depan. Yang nyata/ syahadah maupun yang gaib. Karena itu, terkuaknya realitas akan seiring dengan proses pengetahuan yang dikuasai oleh manusia. Itulah sebabnya, Allah menghargai para ilmuwan atau ulama, karena mereka menjadi bagian dari mata rantai terkuaknya hikmah dan petunjuk yang ditebarkan Allah di sekitar kita.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Saya memahami jiwa dan ruh sebagai substansi yang berbeda. Karena, Al Qur’an memang memberikan clue secara berbeda. Dan istilahnya pun dibuat berbeda. Bahkan, clue perbedaan itu menjadi semakin jelas ketika Allah mengingatkan soal kemisteriusan keduanya. Ruh sangat misterius, sedangkan jiwa ‘agak misterius’. Hal itu bisa dipahami dari ayat-ayat berikut ini.

QS. Al Israa’ (17): 85
Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: "Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan cuma sedikit."

QS. Az Zumar (39): 42
Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain (ketika terbangun dari tidurnya) sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda (pelajaran) Allah bagi kaum yang berfikir.

Lihatlah, ketika Allah berbicara tentang ruh, Dia mengakhiri dengan kalimat yang membatasi: ‘’...diberi pengetahuan hanya sedikit.’’ Tetapi ketika berbicara tentang jiwa, Dia mengakhiri dengan clue yang terbuka: ‘’... terdapat tanda- tanda (pelajaran) Allah bagi kaum yang berfikir.’’ Dengan kata, lain soal ruh, Allah memberikan peringatan; tetapi tentang jiwa, kita malah disuruh berpikir.

Ini menunjukkan ruh jauh lebih misterius dibandingkan dengan jiwa. Itulah sebabnya, ilmu jiwa (psikiatri)  mengalami perkembangan yang sangat pesat dan menghasilkan psikiater maupun psikolog yang banyak, tetapi ilmu tentang ruh mengalami perkembangan yang sangat lambat dan sedikit sekali 'ahlinya'. Karena, ilmunya memang cuma sedikit. Di dalam Al Qur’an kata ruh hanya diulang belasan kali, sedangkan kata jiwa (nafs/ anfus) diulang sebanyak ratusan kali. Begitulah clue yang diberikan oleh Allah.

Berdasar berbagai ayat yang kemudian saya pahami lewat kacamata sains, saya memahami diri manusia tersusun dari 3 lapisan eksistensi, yaitu: badan (jasad), jiwa (nafs) dan ruh (ruh). Badan adalah materi, jiwa adalah energi, dan ruh adalah sistem informasi. Badan dan jiwa adalah sosok yang mati. Ia menjadi hidup dan lantas berdinamika dikarenakan ada sistem informasi yang bekerja padanya. Tanpa sistem informasi yang menggerakkannya, badan dan jiwa akan tetap sebagai sosok yang tak berdaya alias mati.

Tetapi ruh bukanlah sembarang sistem informasi, melainkan sistem informasi yang membawa sifat-sifat ketuhanan. Seperti: hidup, berkehendak, mendengar, melihat, berbuat, kreatif, berbicara, dan lain sebagainya. Ruh adalah sistem informasi yang ‘ditularkan’ oleh Allah kepada makhluk ciptaan-Nya. Dan bekerja pada media yang dikenai sistem informasi itu. 

Yang membuat sang ruh ini misterius adalah dia ini ‘sistem informasi aktif’ yang hidup dan menghidupkan. Sehingga, setiap mengenai materi ataupun energi, sang ruh akan menghidupkannya. Tinggal, bergantung pada seberapa canggih media yang dihidupkan itu. Maka, perwujudan sistem informasi yang ada di dalam ruh itu pun menjadi dibatasi oleh medianya.

Jika media yang dihidupi oleh ruh itu punya tangan, maka si media tersebut akan bisa berbuat dengan tangannya. Tetapi, jika ia tidak punya tangan, tentu saja tidak bisa melakukannya, meskipun potensinya ada. Jika si media tidak punya kaki, ia pun tidak bisa melangkah. Demikian pula jika tidak punya mulut atau pita suara, tentu saja ia tidak bisa berbicara. Dan seterusnya, kita bisa melanjutkan sendiri dengan contoh-contoh makhluk yang tidak punya mata, tidak punya telinga, tidak punya organ-organ dalam, dan bahkan tidak punya otak, dan lain sebagainya.

Perwujudan fungsi ruh bergantung pada media atau makhluk yang ditempatinya. Seluruh makhluk yang hidup pasti mempunyai ruh, karena terbukti dia sudah tertulari oleh sifat ketuhanan Yang Maha Hidup. Tetapi, jika ia masih berada di fase tumbuhan, perwujudan potensi ruh itu hanya akan sebatas karakteristik tumbuhan. Demikian pula pada hewan, perwujudan potensi ruh akan mengikuti kualitas hewan. Dan, selanjutnya pada manusia, kualitas perwujudan ruhnya akan mengikuti karakteristik desain kemanusiaannya.

Nah, perwujudan kualitas ruh pada badan itulah yang kita kenal sebagai jiwa alias nafs. Sesuatu yang hidup, dikarenakan sudah terimbas oleh sistem informasi kehidupan yang dibawa oleh ruh. Namun demikian, sama-sama hidup, antara hewan, tumbuhan dan manusia, memiliki kualitas jiwa yang berberda-beda dikarenakan spesifikasi desainnya memang tidak sama. Bahkan pada sesama manusia pun, jiwanya bisa berbeda dikarenakan karakter desainnya berbeda. Kualitas otaknya berbeda, sistem penginderaannya berbeda, dan lebih jauh sistem genetikanya pun berbeda pula.

Dengan penjelasan semacam ini, saya kira kita sudah mengerti dengan sendirinya, kenapa al basyar purba memiliki kualitas jiwa (nafs) yang berbeda dengan manusia modern. Ya, karena desain tubuhnya berbeda. Diantaranya, yang paling dominan adalah struktur dan volume otaknya. Dari sisi volume otak saja, sudah diketahui kenapa peradaban manusia purba kalah jauh dibandingkan dengan manusia modern, karena manusia purba hanya memiliki volume otak sekitar separo dari yang dimiliki oleh manusia modern.

Ruhnya sama, tetapi perwujudan potensinya berbeda karena ‘media’ yang ditempati ruh itu berbeda. Jiwanya pun menjadi berbeda. Apalagi dengan binatang. Apalagi dengan tumbuhan. Apalagi dengan makhluk bersel satu. Tentu saja semakin berbeda. Bukan ruhnya yang berbeda, melainkan jiwa sebagai perwujudan dari potensi ruh yang membawa sistem informasi ilahiah itu.

Inilah salah satu alasan, kenapa saya berpendapat bahwa sejak stem cell pun sebenarnya manusia sudah terimbas ruh ketuhanan itu. Buktinya sudah hidup. Dan bisa membelah. Bahkan, membelahnya pun memiliki arah dan tujuan yang jelas. Artinya, ada suatu kehendak yang mengontrol semua aktivitas sel itu. Inilah ‘sistem informasi aktif’ yang disebut ruh itu. Tentu saja ia belum bisa menendang, karena memang belum punya kaki. Tentu saja ia belum bisa bersuara, karena belum punya mulut dan pita suara. Dan tentu juga ia belum bisa mendengar ataupun melihat, karena memang belum punya mata dan telinga. Tetapi, ia sudah hidup, berkehendak dan beraktivitas, sebagai perwujudan ruh-Nya dalam skala makhluk.

Seiring dengan proses menyempurna itulah ruh akan menghasilkan jiwa yang semakin menyempurna pula. Mulai dari jiwa yang masih sangat primitif di skala stem cell, sampai pada jiwa yang berkualitas tinggi saat ia sudah menjadi janin manusia. Dan, bahkan terus berkembang sesudah terlahir ke dunia seiring dengan pengalaman hidup yang mendidik jiwanya. Itulah sebabnya, Allah memberikan clue berikutnya, bahwa jiwa manusia akan terus mengalami penyempurnaan, bahkan sampai habisnya usia.

QS. Asy Syams (91): 7-10
Demi jiwa dan seluruh proses penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu (dengan informasi-informasi yang baik), dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (dengan informasi-informasi yang buruk).

Lebih jauh, kita lantas bisa memahami badan dan jiwa sebagai derivasi alias turunan dari sistem informasi ruh itu. Di dalam diri setiap manusia terdapat sistem informasi yang menjadikan ruh bisa bekerja padanya secara proporsional. Mulai dari sistem informasi yang ada di dalam inti sel berupa sistem genetika, sistem informasi yang bekerja pada jaringan sel-sel, sistem informasi yang bekerja pada organ-organ, sampai sistem informasi yang bekerja pada tubuh manusia sebagai kesatuan utuh yang dikendalikan oleh otak. Semua itu berada di dalam pengaruh potensi ruh.

Ketika ruh masih bekerja pada tubuh, maka jiwa pun masih bersemayam di dalamnya pula. Tetapi, ketika ruh sudah dicabut darinya, maka sang jiwa pun bakal terlepas darinya. Itulah saat-saat kematian datang menghampirinya. Setiap yang berjiwa bakal mengalami kematian, yakni saat ‘sistem informasi aktif’ itu di-off-kan oleh Allah sebagai Sang Pemilik segala sifat yang ada di dalamnya. Innalillaahi wa inna ilaihi raaji’uun..

QS. Al Anbiyaa (21): 35
Setiap yang berjiwa (nafs) akan mengalami kematian. Kami akan mencobaimu dengan keburukan dan kebaikan sebagai ujian. Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.

Wallahu a’lam bissawab
~ salam ~

Sabtu, 09 November 2013

RUH DITIUPKAN SEIRING TUBUH YANG MENYEMPURNA ~ AL QUR’AN SEBAGAI SUMBER FILOSOFI BAGI SAINS (10)

Kejelian dalam memahami struktur bahasa Al Qur’an memberikan andil yang besar bagi penafsiran kita terhadap informasi di dalamnya. Meskipun, penguasaan bahasa yang baik saja tidaklah mencukupi untuk memperoleh hikmah dari kitab mulia ini. Sangat banyak orang yang memahami bahasa Arab tidak memperoleh hikmah dari dalam Al Qur’an. Bahkan, para kafir Quraisy di zaman Rasulullah adalah jagoan-jagoan sastra Arab, tetapi toh mereka tetap ingkar kepada kebenaran Al Qur’an. Hanya orang-orang yang membuka hati selebar-lebarnya yang akan menerima hikmah dari-Nya, lewat cara yang dikehendaki-Nya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kapankah ruh ditiupkan ke dalam tubuh manusia? Pertanyaan ini mirip dengan judul notes sebelumnya: Kapan manusia bisa disebut sebagai nafs? Keduanya memiliki keterkaitan yang sangat erat. Bahwa seseorang bisa disebut sebagai nafs adalah di saat-saat awal penciptaannya, di dalam rahim. Yakni, sesaat setelah meleburnya sel telur dan sel sperma membentuk stem cell. Saat itu, sel sudah hidup dan bisa melakukan aktivitas membelah diri, mirip dengan proses perkembangbiakan pada makhluk-makhluk bersel satu di alam bebas.

Hanya saja, di dalam rahim pembelahan sel induk itu mengarah kepada pembentukan makhluk bersel banyak yang sangat kompleks. Dan melewati 3 tahapan: ‘fase tumbuhan’, ‘fase hewan’, dan ‘fase manusia’. Oleh sebab itu, setelah mengalami pembelahan menjadi 16 sel di sepanjang saluran tuba falopii, gerombolan sel yang disebut morula itu lantas menempel dan melekat pada dinding rahim, menjadi semacam tumbuhan parasit di sana.

Di fase ini, cikal bakal manusia itu bertingkah laku seperti tanaman. Sambil membelah diri terus menerus, ia membentuk ‘akar’ dengan cara merusak dinding rahim dan menyerap sari-sari makanan lewat pembuluh-pembuluh darah kapiler yang mulai bermunculan di sekitar plasenta alias ari-ari. Proses bertumbuh ini terjadi sekitar 13 hari setelah pembuahan, dimana gumpalan sel tersebut semakin membesar dan digenangi oleh sel-sel darah tanpa inti yang disebut sebagai hematopoietic. Di dalam Al Qur’an, gumpalan merah itu diistilahkan sebagai alaqah – semacam ‘gumpalan darah’ yang melekat di dinding rahim.

Fase tumbuhan ini terus berlangsung sampai selama sekitar 3 minggu dari masa pembuahan, dimana bentuk gumpalan sel mulai melonjong seperti buah pir. Bagian atas membesar untuk mengarah kepada pembentukan kepala, sedangkan bagian bawah mengecil mengarah kepada pembentukan ekor. Dalam waktu yang bersamaan, sang embrio mulai membentuk jaringan pembuluh darah. Dan kemudian membentuk cikal bakal jantung, beserta pembuluh-pembuluh darah sekundernya.

Melewati minggu ketiga, sel-sel embrio bertumbuh semakin cepat, dan membentuk sistem saraf di sepanjang tubuhnya yang semakin memanjang ke atas-bawah. Jantung mulai berdenyut, dan melakukan sinkronisasi dengan denyut jantung ibunya lewat saluran tali pusar. Di sekitar minggu keempat sistem saraf pusat mulai terbentuk, diiringi cikal bakal tulang belakang yang mulai kelihatan transparan. Dan dilanjutkan dengan terbentuknya berbagai organ vital seperti otak, liver, pencernaan, pankreas, paru-paru, sambil menyiapkan pembentukan alat penginderaan mata dan telinga. Di fase ini, embrio memasuki fase hewan, dengan bentuk ekor yang sangat jelas kelihatan.

Sampai di minggu kelima dan keenam, embrio mengalami proses penyempurnaan menjadi makhluk yang semakin kompleks. Otak menyempurna dengan membentuk bagian-bagian otak depan, otak belakang, belahan kanan dan kiri, serta terus membentuk jaringan dengan sistem saraf tulang belakang. Demikian pula jantung sudah memiliki bilik kanan-kiri, serambi kanan-kiri. Paru-paru juga sudah memiliki kelengkapan saluran trakea, dan keterkaitan dengan pembuluh darah ke jantung. Dan seterusnya, organ-organ dalam lainnya mengalami perkembangan yang semakin sempurna.

Minggu-minggu berikutnya, gelombang otak mulai terdeteksi. Organ-organ vital mulai melakukan koordinasi dengan dikontrol oleh otak. Dan puncaknya adalah terbentuknya kelenjar pituitary yang mengendalikan berbagai aktivitas organ tubuh janin melalui sistem hormonal, diantaranya dengan kelenjar tiroid, adrenal dan gonad. Perkembangan embrio mulai memasuki fase yang semakin rumit, mengarah kepada terbentuknya makhluk manusia yang sangat kompleks.

Secara fisiologis, bentuk embrio sudah mulai bisa dibedakan antara hewan dan manusia. Ekornya memendek dan berangsur-angsur menghilang berganti dengan kaki-tangan yang semakin jelas. Panca indera, jenis kelamin, dan bentuk kepala yang semakin proporsional dengan anggota badan lainnya terjadi di sekitar minggu kedelapan. Setelah itu, embrio akan memasuki fase terakhir sebagai makhluk manusia. Ukuranya masih sekitar 2,5 cm tetapi sudah memiliki kelengkapan yang utuh, hanya tinggal membesarkan dan menyempurnakan fungsinya hingga datangnya hari kelahiran.

Demikianlah garis besar dari proses penciptaan manusia di dalam rahim. Dimana sebelum menjadi manusia yang sempurna, ia harus ‘ber-EVOLUSI’ melewati fase makhluk bersel satu, lantas membelah menjadi makhluk bersel banyak di fase tumbuhan, fase hewan dan fase manusia. Yang semua itu, clue-nya kita dapati di dalam Al Qur’an Al Karim.

QS. As Sajdah (32): 7-8
(Dialah) Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya, dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina.

QS. Nuh (71): 17
Dan Allah menumbuhkan kamu dari tanah dengan pertumbuhan yang sebaik-baiknya.

QS. As Sajdah (32): 9
Kemudian Dia menyempurnakan DAN meniupkan ke dalamnya (sebagian) ruh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.

Pertanyaan yang kemudian bermunculan adalah, kapan ruh itu ditiupkan. Apakah seiring dengan terbentuknya nafs seperti yang kita bahas di notes sebelumnya, ataukah di minggu ke delapan, ataukah di 120 hari seperti yang diceritakan dalam hadits berikut ini.

Abu Abdurrahman bin Mas'ud ra berkata bahwa Rasulullah saw telah bersabda: ‘’Sesungguhnya, setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nuthfah, kemudian menjadi 'alaqah selama itu juga, kemudian menjadi mudhghah selama itu juga, kemudian diutuslah malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya...’’ (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim)

Saya termasuk yang mengkritisi hadits ini dari sisi matan (isi), karena tidak sesuai dengan data-data ilmiah. Bahwa, nuthfah bisa bertahan selama 40 hari, alaqah 40 hari dan mudghah 40 hari. Sehingga, setelah 120 hari barulah ditiupkan ruh kepada manusia. Apalagi, menurut hadits di atas ruh bukan ditiupkan oleh Allah, melainkan oleh malaikat. Ini bertentangan dengan informasi Al Qur'an. Sebagaimana yang saya tunjukkan di atas, nuthfah di dalam rahim hanya bisa bertahan beberapa jam, sedangkan ‘alaqah dan mudghah hanya beberapa hari. Dimana, janin berusia 60 hari pun sudah lengkap berbentuk manusia, meskipun ukurannya masih sekitar 2,5 cm. Ia sudah bisa bergerak-gerak secara spontan. Lebih detilnya silakan baca buku DTM-16: BERSYADAHAT DI DALAM RAHIM.

Lantas, apakah tidak di minggu ke delapan? Sebagai catatan: sebenarnya saya kurang tahu alasan apa yang dipakai oleh kawan-kawan yang berpendapat ruh baru ditiupkan di minggu ke delapan. Apakah berdasar hadits ataukah Al Qur’an, ataukah data empiris kedokteran. Tetapi, secara empiris, janin berusia 7 minggu sudah memancarkan gelombang otak yang bisa dideteksi dengan peralatan dari luar rahim.

Saya sendiri berpendapat, ruh ditiupkan saat terbentuknya stem cell. Dasarnya adalah clue dari ayat-ayat Al Qur’an. Yakni, sesaat setelah terjadinya pembuahan sel telur oleh sel sperma. Dimana saat itu, Allah sudah menyebutnya sebagai nafs seperti kita bahas sebelum ini. Dan karenanya, dia juga sudah mempunyai ruh.

Lantas, pertanyaan yang muncul adalah: bagaimana dengan QS. As Sajdah (32): 9, yang mengatakan peniupan ruh adalah SETELAH proses penyempurnaan tubuh janin? Menurut saya, tafsiran tersebut agak terdistorsi sedikit. Karena ayat itu tidak menggunakan kata sambung tsumma (kemudian) ataupun fa (maka) yang memiliki makna berurutan antara fase penyempurnaan dan fase peniupan ruh. Melainkan menggunakan kata sambung wa (DAN), sebagaimana saya kutipkan berikut ini. ‘’Kemudian Dia menyempurnakan DAN meniupkan ke dalamnya (sebagian) ruh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.’’

Sehingga makna yang semestinya adalah: peniupan ruh itu bukan SETELAH tubuh janin berbentuk manusia sempurna, melainkan bersamaan atau SEIRING dengan proses penyempurnaan. Yakni, sejak pembuahan yang menghasilkan stem cell sampai saat-saat kelahirannya. Karena, yang disebut sebagai ‘sempurna’ itu memang tidak jelas batasnya. Yang jelas, dari hari ke hari sang jabang bayi menjadi semakin sempurna selama di dalam rahim ibunya.

Dengan demikian, apakah ruh dan jiwa itu lantas juga mengalami perkembangan di dalam diri yang bertumbuh secara bertingkat-tingkat, mulai dari satu sel, tumbuhan, hewan, dan akhirnya manusia seutuhnya yang lahir ke muka bumi itu? Bagaimana menjelaskan hal ini? Dan, sebenarnya apakah ruh itu? Bagaimana kaitannya dengan ruh & jiwa manusia purba dan manusia modern? Tunggu notes selanjutnya.. :)

Wallahu a’lam bissawab
~ salam ~

Jumat, 08 November 2013

SEJAK KAPAN MANUSIA BISA DISEBUT ‘NAFS’ ~ AL QUR’AN SEBAGAI SUMBER FILOSOFI BAGI SAINS (9)

Mempelajari Al Qur’an sebagai sumber inspirasi akan menggiring kita untuk terus menyelam semakin jauh ke dalam kitab suci ini. Karena, ternyata setiap ayat memiliki keterkaitan dengan ayat-ayat lain. Ketidak-jelasan informasi di dalam suatu ayat, memperoleh penjelasan di ayat lainnya. Maka, tak terhindarkan lagi, kita seperti didorong untuk terus membuka lembaran-lembaran kitab suci untuk menemukan ayat-ayat yang terkait dengan tema yang sedang kita bahas.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Terkait dengan penciptaan manusia ini, banyak sekali clue yang bisa kita tangkap dari dalam Al Qur’an untuk menggiring pemahaman kita terhadap realitas yang misterius. Di notes sebelumnya, saya telah mengemukakan tiga clue yang membingkai proses pemahaman kita terhadap eksistensi Adam. Yakni, 
pertama: Adam bukan manusia pertama melainkan khalifah pertama. 
Yang kedua: Adam diciptakan dengan mengikuti sunnatullah, yakni dilahirkan dari komunitas yang sudah ada. 
Dan yang ketiga, manusia laki-laki maupun perempuan memiliki asal-usul yang sama, dari yang disebut sebagai nafsin waahidatin alias stem cell.

Khusus mengenai nafsin waahidatin kita bisa memperoleh penjelasan lebih jauh, agar memperoleh penafsiran yang lebih mengerucut. Siapakah yang disebut Al Qur’an sebagai diri yang satu itu, dan mulai kapan seorang manusia bisa disebut sebagai nafs? Apakah sesudah terlahir sebagai manusia ke muka Bumi, ataukah ketika berupa janin berusia 120 hari sebagaimana disebut di dalam hadits, ataukah 8 minggu seperti sebagian pendapat, ataukah sesaat setelah bertemunya sel telur dan spermatozoa ketika ia sudah menjadi stem cell? Ayat berikut ini agaknya bisa menjadi penjelasnya.

QS. Al A’raaf (7): 172
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan bani Adam dari (sumsum) tulang belakang mereka dan Allah mengambil syahadat atas NAFS (jiwa) mereka (seraya berfirman): ‘’Bukankah Aku ini Tuhanmu?’’ Mereka menjawab: ‘’Betul, kami bersaksi.’’ (Yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘’Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap hal ini.’’

Ayat di atas seringkali ditafsiri sebagai cerita tentang alam ruh, dimana para ruh disumpah oleh Allah untuk mengakui-Nya sebagai Tuhan, sebelum ditiupkan ke dalam tubuh manusia. Tetapi, saya memahaminya secara berbeda. Ayat itu, sebenarnya tidak bercerita tentang ruh melainkan tentang JIWA. Karena itu, Anda tidak akan menemukan istilah ruh ataupun arwah (jamak) dalam ayat di atas. Istilah yang digunakan adalah anfus, jamak dari NAFS yang bermakna jiwa. Wa asyhadahum ‘ala anfusihim – Dan (Allah) mengambil syahadat atas jiwa-jiwa mereka.

Kebanyakan penafsir berpendapat ruh dan jiwa adalah sama. Tetapi, saya memahaminya sebagai entitas yang berbeda. Apalagi, Al Qur’an pun menyebutnya dengan istilah yang berbeda – yang satu ruh yang lainnya nafs. Dan menariknya, Al Qur’an tidak pernah menyebut kata ruh dalam bentuk jamak, arwah. Hal ini menunjukkan ruh adalah entitas tunggal, yang sama untuk seluruh manusia, berupa potensi kehidupan dari Sang Maha Pencipta. Yang bisa berbeda bukanlah ruh, melainkan jiwa. Sehingga Al Qur’an pun mengenalkan sebutan jamak terhadap jiwa, yaitu anfus (jiwa-jiwa). Lebih detilnya bisa dibaca di buku DTM-5: ‘MENYELAM KE SAMUDERA JIWA & RUH’.

Kembali kepada nafsin waahidatin yang menjadi sumber berkembangbiaknya laki-laki dan perempuan dari keturunan bani Adam, saya memahaminya sebagai stem cell. Apakah tafsir seperti ini tidak berlebihan? Bukankah nafs adalah sebutan untuk sesuatu yang sudah berjiwa? Apakah sel sudah berjiwa? Demikianlah pertanyaan yang lantas bermunculan.

Tentu saya tidak berani sembarangan menafsiri jika tidak ada dasar ayatnya. Apalagi, kita memang sedang mencari petunjuk atau clue dari ayat-ayat Al Qur’an. Nah, ayat di atas menjadi petunjuk itu. Bahwa, keturunan bani Adam ini sudah disebut NAFS oleh Allah semenjak di dalam rahim. Pada usia berapa? Pada saat-saat awal penciptaan. Yang istilah Al Qur’an: ‘’... ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan bani Adam dari (sumsum) tulang belakang mereka..’’.

Inilah saat-saat paling awal dari proses penciptaan manusia, dimana sel telur dan sperma baru terbentuk dari stem cell yang memang bersumber di sumsum tulang belakang manusia. Dan kemudian membentuk stem cell janin setelah proses pembuahan, yang menjadi momentum peleburan sel telur dan sel sperma, sebagai mekanisme penciptaan manusia baru.

Saat itu, Allah sudah menyebut sel induk itu sebagai NAFS. Bahkan sudah diminta bersyahadat, mengakui keesaan Tuhan. Tentu saja, tidak verbal seperti syahadat kita yang sudah hidup di luar rahim, karena bentuknya memang masih berupa sel tunggal. Namun, bukankah di dalam sel itu sudah tersimpan kode-kode genetika yang menjadi sistem informasi dasar untuk mengendalikan proses penciptaan keturunan Adam? Dan, bukankah substansi kalimat-kalimat yang kita ucapkan pun adalah wujud dari sebuah sistem informasi? Bahwa, bersyahadat adalah sebuah pengakuan atas keesaan Allah sebagai satu-satunya Penguasa Jagat Semesta. Dimana, sistem informasi di dalam genetika itu pun telah menunjukkan kecanggihan sistem yang mengarah kepada Zat yang Maha Kreatif sebagai Aktor Tunggalnya..!

Sekedar catatan, mengenai cikal bakal manusia yang disebut Al Qur’an berasal dari sumsum tulang belakang ini, memang ada yang mengkritiknya. Karena, sel telur dan sperma tidaklah ‘bersarang’ di tulang belakang, melainkan di organ-organ reproduksi. Hal ini telah saya uraikan dalam buku DTM-37: ‘Menjawab Tudingan KESALAHAN SAINTIFIK AL QUR’AN’. Bahwa, menurut penelitian terbaru – diantaranya dilakukan oleh tim ilmuwan Jerman Prof. Karim Nayernia – sel sperma maupun sel telur itu terbentuk dari stem cell yang bersarang di sumsum tulang belakang. Sedangkan organ-organ reproduksi itu menjadi ‘terminal antara’ sebelum sperma dipancarkan ataupun sel telur dilepaskan dari indung telurnya.

Tim peneliti itu, diantaranya, berhasil membuat sperma primitif dari sumsum tulang belakang. Bahkan, bukan cuma membuat sperma laki-laki, melainkan juga ‘sperma perempuan’. Sebuah penemuan – terlepas dari masalah etika – yang menurut mereka akan membuka peluang bagi pasangan lesbi untuk memiliki anak, karena ‘sperma perempuan’ itulah yang digunakan sebagai pengganti untuk membuahi sel telur pasangannya. Sperma perempuan itu dibiakkan dari sumsum tulang belakang seorang wanita.

Jadi, ayat di atas menjadi salah satu clue tentang asal usul Bani Adam yang diistilahkan sebagai ‘satu diri’ itu. Bahwa, cerita tentang nafsin waahidatin bukanlah menunjuk kepada Adam sebagai sosok tunggal yang menjadi asal usul penciptaan Hawa, dan kemudian dari keduanya berkembang biak manusia modern yang disebut al insaan. Melainkan, bercerita tentang stem cell yang sudah berjiwa meskipun dalam skala yang masih sangat primitif, sehingga disebut sebagai nafs. Ia sudah memiliki pusat kecerdasan informasi di dalam inti sel dalam bentuk sistem genetika. Sebuah sistem yang bekerja berdasar perintah cerdas tertentu yang inheren, sekaligus bisa merespon aksi dari luar sel, yang akan berpengaruh pada proses pembentukan makhluk bernama manusia lewat pembelahan-pembelahan sel yang terkontrol. Subhanallaah..

QS. As Sajdah (32): 7-9
(Dialah) Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya, dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya (sebagian) ruh-Nya, dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.


Wallahu a’lam bissawab
~ salam ~

Kamis, 07 November 2013

MANUSIA DICIPTAKAN DARI SATU DIRI ~ AL QUR’AN SEBAGAI SUMBER FILOSOFI BAGI SAINS (8)

Yang ingin saya kemukakan, sebelum saya menulis notes ini lebih jauh, adalah jangan sampai Anda berharap terlalu jauh bahwa diskusi kita ini bisa mengungkap segala keingin tahuan Anda. Tema yang kita angkat adalah ‘sumber filosofi bagi sains’ dari ayat-ayat Al Qur’an. Yang tentu saja masih harus ditindak lanjuti lewat berbagai penelitian langsung di lapangan. Karena, itu kita harus bisa membatasi dan menempatkan diri secara proporsional, bahwa ayat-ayat qauliyah harus dilengkapi dengan ayat-ayat kauniyah.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Di notes sebelumnya saya telah mengemukakan clue yang kesatu, bahwa Adam bukanlah manusia pertama. Atau, setidak-tidaknya, Al Qur’an tidak pernah menyebut Adam sebagai manusia pertama secara eksplisit. Kesimpulan Adam sebagai manusia pertama adalah tafsir terhadap berbagai ayat yang menginformasikan bahwa beliau diciptakan dari tanah, dan diucapi kun fayakun.

Dalam buku DTM-14: Ternyata ADAM DILAHIRKAN, saya telah memberikan analisa lebih detil tentang istilah-istilah tanah yang digunakan oleh Al Qur’an terkait dengan penciptaan manusia. Bahwa jenis-jenis tanah itu ternyata memiliki kandungan unsur hara yang dibutuhkan dalam penciptaan tubuh manusia. Yang jika diringkas, akan menjadi sebuah cerita pelapukan jenis tanah keras (thiin) menjadi tanah gembur (turaab).

Cerita pelapukan ini akan menggiring kita untuk memahami sejarah geologis planet Bumi, yang berlangsung selama miliaran tahun. Itulah sebabnya, kehidupan manusia baru muncul setelah Bumi berusia lebih dari empat miliar tahun. Yang mana, Allah sudah memproses kondisinya sedemikian rupa sehingga lingkungan hidupnya memungkinkan untuk dihuni oleh manusia – diantaranya sudah ada tumbuh-tumbuhan dan beragam jenis hewan. Dan bahan-bahan dasar penyusun tubuh manusia sudah bertebaran di permukaan Bumi.

Maka, dalam ayat berikut ini Allah menginformasikan dari bahan apakah Adam itu diciptakan, dan bagaimana caranya. 

QS. Ali Imran (3): 59
Sesungguhnya masalah (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari turaab (tanah gembur – top soil), kemudian Allah berfirman kepadanya: "KUN" (jadilah seorang manusia), fayakun (maka jadilah dia).

Ayat di atas menceritakan dua kasus ‘keajaiban penciptaan’ dalam satu cerita. Yang pertama, soal Nabi Isa, dan yang kedua soal Nabi Adam. Allah menjadikan mereka sebagai analogi, karena memiliki kondisi yang sama. Yaitu, diciptakan dari bahan dasar turaab, dan diciptakan dengan mekanisme Kun fayakun.

Turaab adalah top soil alias tanah subur yang mengandung unsur hara sangat kaya. Seluruh unsur kimiawi penyusun tubuh manusia berada disini. Dan ini pula yang dimaksud sebagai tsulaalatin min thiin atau saripati tanah itu, yang kemudian berproses menjadi sperma dan ovum. Dari bahan dasar inilah tubuh manusia terbentuk, baik Adam maupun Isa, maupun manusia seluruhnya. Sedangkan kun fayakun adalah kalimat penciptaan yang sangat mendalam maknanya. Bukan seperti permainan sulap abrakadabra atau bim salabim. Melainkan sebuah proses alamiah dengan mengikuti hukum-hukum Allah alias sunnatullah. Yang mana, setiap kali menciptakan makhluk, Dia selalu 'mengucapkan' kun fayakun, sehingga terjadilah proses alamiah seperti telur menetas menjadi ayam, benih berkecambah menjadi tumbuhan, pembuahan menjadi buah-buahan, kuda bunting hingga melahirkan, dan seluruh peristiwa alam semesta yang terikat pada ruang dan waktu yang terus berdinamika. Semua itu terjadi karena kun fayakun.

Maka, clue yang kedua ialah: Adam sebenarnya diciptakan oleh Allah lewat mekanisme alamiah sesuai dengan sunnatullah, yakni lewat proses reproduksi dan dilahirkan. Apalagi, sesuai dengan clue kesatu, Nabi Adam bukanlah manusia pertama dengan argumentasi yang sudah saya paparkan di notes sebelumnya. Adam dilahirkan dari komunitas yang sudah ada waktu itu, dan dipilih Allah sebagai khalifah yang memimpin dunia. Kedua clue ini membentuk arah yang konsisten.

Mengenai siapa orang tuanya dan di zaman apa beliau dilahirkan, tentu harus ditelusuri lewat pendekatan ilmiah. Baik melalui ilmu Geologi, Sejarah Peradaban, Arkeologi, Palaentologi, bahkan genetika dan Biomolekuler.

Tetapi, jika kita konsisten dengan argumentasi di atas, maka zaman Adam adalah di sekitar 10.000 tahun sebelum Masehi – bisa kurang, bisa lebih. Ini terkait dengan zaman munculnya peradaban manusia modern yang sudah menggunakan ilmu budidaya pertanian dan peternakan. Juga tidak terlalu jauh dari prediksi sejarah kenabian, dimana Nabi Ibrahim disebut-sebut hidup di zaman sekitar 3000 tahun sebelum Masehi. Nabi Nuh mungkin di sekitar 6000-7000 tahun sebelum Masehi. Dan Nabi Adam di sekitar 10.000 tahun sebelum Masehi. Masih logis dan rasional. Sekali lagi, perhitungan detilnya mesti ditelusuri lewat pendekatan saintifik di lapangan.

Lantas bagaimana dengan teori Out of Africa dan Mitocondrial Eve yang berpendapat bahwa manusia pertama berasal dari Afrika sekitar 100 ribu tahun yang lalu. Saya kira boleh saja, meskipun teori Mitocondrial Eve juga mendapat tentangan, dikarenakan klaimnya yang mengatakan bahwa penurunan genetika mitokondria hanya terjadi pada wanita alias garis ibu. Padahal, ternyata juga bisa terjadi pada garis laki-laki. Misalnya, pada keluarga yang hanya memiliki keturunan laki-laki. Teori-teori ini masih sebatas hipotesa yang masih harus diuji lebih jauh.

Bahwa manusia pertama diperkirakan lebih tua dari Adam, menurut saya tidak bertentangan dengan argumentasi yang telah saya sampaikan, karena Adam memang bukan manusia pertama. Beliau adalah khalifah pertama yang memulai zaman peradaban baru, yang ditandai dengan ilmu budidaya alam yang muncul di sekitar 10.000 tahun yang lalu.

Lantas bagaimana memahami istilah Al Qur’an tentang bani Adam? Hal itu ada kaitannya dengan penjelasan saya di clue yang ketiga berikut ini. Menurut Al Qur’an manusia diciptakan dari ‘satu diri’, nafsin waahidatin. Istilah ini banyak ditafsiri sebagai: seluruh manusia berasal dari satu orang, yakni Adam. Bahkan Hawa pun dipahami sebagai berasal dari tulang rusuknya. Tetapi kalau kita telusuri lebih jauh, istilah nafsin waahidatin itu sebenarnya tidak menunjuk kepada Adam. Melainkan kepada ‘sesuatu’ yang menjadi asal-usul bersama bagi manusia – pria dan wanita. Inilah ayat-ayatnya.

QS. An Nisaa (4): 1
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan darinya Allah menciptakan pasangannya; dan dari keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta (tolong) satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.

Sepintas, ayat di atas seperti membenarkan pendapat bahwa seluruh manusia berasal dari satu diri: Adam. Tetapi, jika kita menggunakan metode tafsir ayat bil ayat, kita akan mengetahui bahwa yang dimaksud ‘satu diri’ itu bukanlah Adam. Penjelasannya di ayat berikut ini.

QS. Al A’raaf (7): 189-190
Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan darinya Dia menciptakan pasangannya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri itu) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur."

Tatkala Allah memberi kepada keduanya seorang anak yang sempurna, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan-Nya kepada keduanya itu. Maka Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan.

Ayat di atas bercerita bahwa ‘diri yang satu’ itu diberi pasangan, dan kemudian sang isteri mengandung hingga melahirkan seorang anak. Siapakah pasangan suami isteri yang sedang diceritakan Allah itu, apakah Adam dan Hawa? Bukan. Karena, di akhir ayat tersebut Allah melanjutkan ceritanya: mereka lantas berbuat kemusyrikan dengan menjadikan kecintaannya kepada anaknya melebihi kepada Tuhannya. Sayang anak, melupakan Tuhan. Ini jelas-jelas bukan kisah tentang Adam dan Hawa. Melainkan kisah manusia pada umumnya...

Jadi, yang dimaksud sebagai satu diri itu bukanlah Adam. Melainkan ‘sesuatu’ yang menjadi cikal bakal munculnya manusia – laki-laki maupun perempuan. Bahwa, pria dan wanita ini sebenarnya berasal dari substansi yang sama. Dari ‘sesuatu’ yang bisa membelah secara berpasangan, dan kemudian memunculkan sosok manusia yang terlahir sebagai laki-laki maupun perempuan. Sehingga, kemudian Allah menambahkan: ‘’... dan dari keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak...’’

Jadi, kisah tentang nafsin waahidatin bukanlah kisah tentang Adam dan Hawa, melainkan kisah tentang proses reproduksi manusia dari stem cell sebagai hasil pembuahan antara sperma dan ovum. Yang dengan cara inilah Allah memperkembang biakkan manusia di muka bumi.

Lantas, kenapa manusia modern ini disebut sebagai bani Adam? Apakah ini bermakna seluruh manusia modern adalah keturunan Adam? Atau, hanya sebagiannya saja? Bukankah sebelum Adam sudah ada komunitas manusia, meskipun tidak semodern Adam? Lantas kemana manusia-manusia yang bukan keturunan Adam itu?

Jika kita konsisten dengan argumentasi yang saya kemukakan, maka konsekuensinya memang ada manusia-manusia yang bukan keturunan Adam. Yakni, manusia-manusia purba yang fosil-fosilnya diketemukan di berbagai belahan dunia. Dan menariknya, entah kenapa, mereka mengalami kepunahan. Adalah tugas para ilmuwan untuk membuktikan kekerabatan antara manusia purba dan manusia modern, yang di dalam Al Qur’an disebut dengan dua istilah, yakni: al basyar dan al insaan.

Al basyar adalah spesies manusia secara umum, sedangkan al insaan digunakan untuk menyebut spesies manusia yang modern. Dengan kata lain, ada al basyar purba dan ada al basyar modern. Yang modern itulah yang disebut sebagai Al Insaan, dengan penekanan pada karakteristiknya yang berperadaban lebih tinggi, meskipun bentuk fisiknya kurang lebih sama dengan yang purba. Dan itu dimulai semenjak zaman Nabi Adam, sampai kita semua yang hidup di zaman ini.. :)

Wallahu a’lam bissawab
~ salam ~

Rabu, 06 November 2013

AL QUR’AN TAK PERNAH MENYEBUT ADAM MANUSIA PERTAMA ~ AL QUR’AN SEBAGAI SUMBER FILOSOFI BAGI SAINS (7)

Pembuktian empiris akan mengalami kesulitan ketika kondisinya ekstrim. Misalnya, lokasinya terlalu jauh, waktu kejadiannya terlalu lama – ke masa depan maupun ke masa lalu, obyeknya terlalu besar atau terlalu kecil, dan sebagainya. Dalam kondisi seperti ini sains bakal berputar-putar pada hipotesa yang sulit memperoleh pembuktian empirisnya. Dalam hal ini tanda-tanda (clue) dari dalam Al Qur’an menjadi inspirasi yang penting agar kita tidak salah arah dalam memahami realitas.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Salah satu kajian sains dalam kondisi ekstrim itu adalah tentang munculnya kehidupan dan peradaban manusia di muka bumi. Masalah yang dihadapi adalah tidak mungkinnya kita menyaksikan realitas sesungguhnya tentang apa dan bagaimana peristiwa munculnya kehidupan dan peradaban itu. Yang bisa dilakukan hanyalah melakukan rekonstruksi berdasar ‘jejak-jejak’ masa lalu dari berbagai sumber yang mungkin, seperti catatan sejarah, fosil-fosil, prediksi umur material, dan lain sebagainya.

Tapi harus diingat, bahwa catatan sejarah sangat bergantung kepada subyektivitas penulis sejarah. Atau setidak-tidaknya interpretasi dan persepsi mereka. Apalagi, untuk kasus seekstrim munculnya kehidupan manusia tidak ada catatan sejarah apa pun yang telah dilakukan oleh manusia. Demikian pula ilmu tentang fosil adalah sebuah prediksi artistik terhadap bentuk makhluk yang sesungguhnya kita tidak tahu, karena yang tertinggal memang hanya tulang belulangnya, meskipun sebagiannya ada yang terekam secara lebih utuh pada tanah lembek yang kemudian mengeras. Tak beda juga dengan prediksi umur material yang didasarkan pada rumus peluruhan radioaktif Carbon, Rubidium maupun Berilium, yang juga hanya akan menghasilkan kesimpulan berupa pendekatan belaka.

Ringkas kata, memprediksi masa lalu hanya akan menghasilkan kesimpulan yang bersifat perkiraan yang paling logis dan rasional, tanpa ada pembuktian yang valid dan telak. Karena itu, hipotesa yang bermunculan menjadi sangat terbuka, dan cenderung mengandalkan ‘keimanan’ alias keyakinan atas hipotesa-hipotesa yang diajukan, berdasar argumentasi yang paling masuk akal.

Munculnya kehidupan manusia dan peradaban manusia juga disinggung di dalam Al Qur’an dalam bentuk tanda-tanda. Sehingga selain data-data empiris yang masih sangat debatable dari Sains, kita memiliki clue yang bisa membantu ‘kesimpulan yang bersifat keimanan’ itu untuk lebih proporsional, logis & rasional, sekaligus terarah.

Terkait dengan berita Al Qur’an, munculnya Adam adalah salah satu informasi yang debatable secara ilmu tafsir, khususnya ketika dihubungkan dengan Sains. Benarkah Adam adalah manusia pertama? Di zaman apa ia hidup? Sudah berakal ataukah belum? Hasil evolusi atau bukan? Jatuh dari surga ataukah tercipta di muka Bumi? Dan seabrek pertanyaan lain yang hasilnya selalu menjadi perdebatan tiada akhir. Baik dari tafsir Al Qur’an maupun tafsir sains.

Jawabannya memang menjadi sangat panjang dan harus komprehensif, agar bisa menjelaskan bagian-bagian yang ‘membingungkan’ secara lebih transparan dari segi logika dan rasionalitas. Dan terkait dengan Al Qur’an, harus sangat kuat untuk dijadikan dalil penafsiran. Sehingga, dengan space yang sangat terbatas dalam forum ini sudah pasti menjadi kurang leluasa untuk mengurainya secara mendetil, yang ketika ditulis dalam bentuk buku pun, saya menjabarkan dalam dua serial, DTM-14: Ternyata ADAM DILAHIRKAN dan DTM-15: ADAM TAK DIUSIR DARI SURGA.

Untuk mengurai secara ringkas di notes ini, kita bisa memulainya dari pertanyaan: Apakah menurut Al Qur’an Adam adalah manusia pertama? Saya mencoba menelusurinya, dan hasilnya memang cukup kontroversial. Karena, saya tidak menemukan secara tekstual ayat-ayat yang menyebut Adam sebagai manusia pertama. Entahlah kalau ada yang terlewatkan. Yang dengan senang hati saya akan menerima masukan dari kawan-kawan yang sudah menelusuri masalah ini.

Ayat yang sering ditafsiri sebagai informasi diciptakannya manusia pertama adalah ayat berikut ini. Dan menurut saya, agaknya terjadi distorsi pemahaman atau penafsiran.

QS. Al Baqarah (2): 30
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang KHALIFAH di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."

Kalau kita cermati, sebenarnya ayat ini sama sekali tidak bercerita tentang manusia pertama. Melainkan KHALIFAH PERTAMA. Yakni, seseorang yang ditugasi untuk mengelola planet Bumi. Karena, menurut ayat tersebut, saat itu Bumi mulai tidak terkelola dengan baik, sehingga terjadi berbagai kerusakan dan pertumpahan darah. Maka, Bumi harus dipimpin oleh seorang khalifah yang mumpuni secara akhlak maupun ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya, Allah lantas menguji Adam secara ilmu dan akhlak, untuk menunjukkan bahwa dia pantas menjadi seorang khalifah bagi peradaban Bumi.

QS. Al Baqarah (2): 31-33
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (ilmu pengetahuan) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat seraya berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!"

Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?"

Rangkaian ayat di atas menunjukkan lulusnya Adam sebagai seorang khalifah yang mumpuni, yang semula dipandang sebelah mata oleh para malaikat. Bahwa, Adam adalah manusia yang pantas dijadikan sebagai khalifah Bumi karena telah dibekali oleh Allah dengan beragam ilmu pengetahuan.

Selain ilmu pengetahuan itu, Allah juga memberikan bekal ketakwaan yang bersumber pada akhlak. Dan itu ditunjukkan oleh-Nya ketika Adam telah berbuat kesalahan atas apa yang dilarang-Nya. Bahwa, seseorang yang bertakwa adalah mereka yang jika berbuat kesalahan akan langsung teringat kepada Tuhannya, memohon ampunan dan berjanji tidak mengulangi lagi. Pertobatan itulah yang dilakukan oleh Adam ketika ia berbuat dosa, dan menjadi kunci kelulusannya dalam fit and proper test sebagai calon khalifah

QS. Thaahaa (20): 121-122
Maka keduanya memakan buah pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan dedaunan surga, dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia. Kemudian Tuhannya memilihnya maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk.

Ayat ini sebenarnya sangat menarik dan panjang jika diuraikan, karena ada informasi yang cukup ‘aneh’, bahwa Allah memilih Adam sebagai khalifah itu justru dikaitkan dengan terjadinya kesalahan atau dosa yang dilakukan oleh Adam yang diikuti dengan pertobatan. Disinilah salah satu kunci pemahaman, kenapa Adam dipilih sebagai khalifah. Karena, dia telah menunjukkan ciri-ciri sebagai orang yang bertakwa, sebagaimana ditunjukkan oleh ayat berikut ini.

QS. Ali Imran (3): 135
Dan (mereka yang bertakwa itu adalah) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji (dosa) atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun atas dosa-dosa mereka. Dan siapa lagikah yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.

Ayat-ayat yang saya bahas di atas adalah bagian dari argumentasi saya bahwa Adam sebenarnya bukanlah manusia pertama yang diciptakan Allah di muka bumi. Karena memang, sejauh yang saya ketahui, tidak ada ayat Al Qur’an yang menyebut Adam sebagai manusia pertama. Yang ada ialah Adam sebagai khalifah pertama yang memimpin peradaban Bumi.

Kesimpulan yang ada selama ini - Adam sebagai manusia pertama - menurut saya disebabkan oleh penafsiran atas sejumlah ayat yang menginformasikan bahwa Adam diciptakan Allah dari tanah. Tetapi, sebenarnya bukan hanya Adam yang yang diciptakan Allah dari tanah, melainkan manusia secara keseluruhan. Tidaklah otomatis, kalau manusia diciptakan Allah dari tanah lantas ia adalah manusia pertama yang tidak lewat proses kelahiran. Dan dengan sederhananya kita lantas membayangkan Allah mengambil segumpal tanah yang dibentuk seperti tubuh manusia, kemudian diucapi kun fayakun, dan menjelma menjadi manusia. Contohnya adalah ayat berikut ini, yang menceritakan proses penciptaan manusia di dalam rahim, meskipun awalnya disebut diciptakan dari tanah.

QS. Al Mukminuun (23): 12-14
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (al Insaan) dari suatu saripati (berasal) dari tanah (tsulaalatin min thiin). Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani di dalam tempat yang kokoh (organ reproduksi). Kemudian air mani itu Kami jadikan alaqah, lalu alaqah itu Kami jadikan mudghah, dan mudghah itu Kami jadikan izhama, lalu izhama itu Kami bungkus dengan lahma. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang lain (bayi manusia). Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.

Al Qur’an sendiri menyebut tanah dengan istilah yang beragam, sehingga membutuhkan penafsiran yang komprehensif tentang penciptaan manusia. Ada yang menggunakan istilahthiin (tanah keras), tsulaalatin min thiin (saripati tanah keras), Thiini llaziib (tanah keras yang melapuk), shalshaal (tanah liat), hamaa’ (lumpur hitam) dan turaab (tanah gembur – topsoil), dan sebagainya.

Ringkas kata, menurut kesimpulan saya, Adam bukanlah manusia pertama. Melainkan khalifah pertama yang menurunkan peradaban manusia modern. Ia adalah manusia yang sudah menguasai ilmu pengetahuan dan mempunyai budi pekerti luhur. Dan, karena ia adalah seorang khalifah, maka sesungguhnya pada zaman Adam itu sudah ada komunitas manusia yang akan dipimpinnya. Itulah sebabnya, dalam ayat berikut ini Allah menggunakan kata isthofa Adam – memilih Adam – sebagai khalifah, dari komunitas yang sudah ada, sebagaimana juga Nuh, Ibrahim dan Imran.

QS. Ali Imran (3): 33
Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga 'Imran melebihi segala umat (di zaman mereka masing-masing), satu keturunan yang sebagiannya (adalah keturunan) dari yang lain. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Maka, pemahaman semacam ini akan menjadi clue yang menarik sekaligus terarah untuk memahami munculnya peradaban manusia modern yang diperkirakan baru berusia puluhan ribu tahun ini. Jutaan tahun setelah munculnya manusia-manusia purba yang belum memiliki peradaban seperti Adam. Dimana anak-anak Adam – Qabil dan Habil – adalah orang-orang yang - diceritakan Al Qur'an - sudah mengembangkan budidaya peternakan dan pertanian. Sehingga, zaman Adam diperkirakan adalah berbarengan atau tak jauh dari zaman munculnya ilmu budidaya yang menjadi salah satu ciri peradaban modern tersebut.. :)

Wallahu a’lam bissawab
~ salam ~



NB: Selamat Tahun Baru Hijriyah 1435. Semoga, tahun-tahun mendatang kita menjadi umat yang lebih baik.. :)

Selasa, 05 November 2013

MELAHIRKAN INSPIRASI SAINTIFIK DARI AL QUR’AN ~ AL QUR’AN SEBAGAI SUMBER FILOSOFI BAGI SAINS (6)

Memang Al Qur’an bukanlah kitab sains. Tetapi kandungannya sangat menginspirasi orang-orang yang bergelut di dunia sains jika mereka meyakininya. Tentu tidak sembarang orang bisa terinspirasi olehnya. Hanya, orang-orang yang ‘yakin’ saja – istilah Al Qur’an - yakni mereka yang sangat dekat dan selalu ‘bergelut’ dengannya, sekaligus menghayati profesinya secara total. Karena sesungguhnya, inspirasi itu hanya akan muncul kepada mereka yang melakukan tafakur sekaligus tadzakur secara intens terhadap apa yang diyakininya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ayat-ayat Al Qur’an sungguh sangat inspiratif, dan memiliki power besar dalam mendorong siapa saja untuk melakukan sesuatu. Tapi uniknya, dorongan itu akan selaras dengan niat si pencari inspirasi. Kalau niatnya jelek, ia akan terinspirasi jelek. Sebaliknya, jika niatnya baik, ia akan terinspirasi baik. Kesimpulan ini memang sangat subyektif, tetapi itulah yang saya rasakan selama berinteraksi secara intensif dengan Al Qur’an sepuluh tahun terakhir.

Dikarenakan profesi saya sebagai penulis buku DTM, hampir tiap hari saya melakukan eksplorasi terhadap kandungan Al Qur’an, sejak pagi hingga petang hari. Sudah puluhan buku yang saya tulis, dan hampir semuanya terinspirasi oleh ayat-ayat Al Qur’an yang saya baca. Semakin emosional – penuh penghayatan – semakin besar pula inspirasi yang saya peroleh. Dalam hal ini, saya bisa mengatakan bahwa saya telah mencapai fase haqqul yaqin – karena sudah merasakan dan memperoleh inspirasi itu secara berulang-ulang selama bertahun-tahun.

Tapi, sekali lagi, yang unik adalah inspirasi itu bergantung kepada niat hati kita dalam mencari hikmah dari dalam Al Qur’an. Orang yang berniat jelek akan mendapat inspirasi jahat, sebaliknya orang yang berniat baik akan memperoleh inspirasi untuk berbuat kebajikan. Persis seperti yang diinformasikan oleh ayat-ayat ini.

QS. At Taubah (9): 124-125
Dan apabila diturunkan suatu surat (Al Qur’an), maka di antara mereka (yang munafik) ada yang berkata: "Siapakah di antara kamu yang bertambah keimanannya dengan (turunnya) surat ini?" Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah keimanannya, dan mereka merasa gembira. Sedangkan orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit (berniat jahat), maka dengan surat itu bertambah keingkaranmereka, disamping keingkarannya (yang telah ada), dan mereka mati dalam keadaan ingkar.

Contoh konkretnya begini. Bagi orang yang ingin memuas-muaskan hawa nafsunya, dan kemudian mencari ayat-ayat Al Qur’an sebagai pembenar atas rencana jahatnya, maka mereka akan memperoleh ‘inspirasi’ dari ayat-ayat yang dibacanya. Dapat landasan hukumnya. Sehingga, dia pun lantas melakukan kawin kontrak dan poligami dengan niatan buruk, misalnya. Sebuah praktek perkawinan, yang menurut Al Qur’an layak disebut sebagai ‘pelacuran terselubung’.

QS. An Nuur (24): 33
‘’... Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian...’’

Sebaliknya, bagi mereka yang lurus hatinya, akan menjadikan perkawinan sebagai lembaga yang sakral untuk menghasilkan generasi masa depan yang salih dan salihah, serta sebagai media untuk beribadah kepada-Nya. Ayat-ayat yang diambil sebagai landasan hukumnya bisa saja sama, tetapi hasil yang diperolehnya sangat berbeda.

Contoh lainnya, jika ada orang yang ingin berbuat kriminal, membunuh, korupsi, ataupun merampas hak orang lain, mereka bisa memperoleh inspirasi yang boleh jadi legal secara syariah, tetapi cacat secara akhlak. Apalagi, jika ayat-ayat yang diambil sebagai landasan hukumnya itu tidak holistik. Melainkan parsial, sesuai yang dibutuhkan saja, hasilnya pasti adalah kemunkaran. Sehingga, Allah pun menurunkan peringatan seperti ini.

QS. Al Baqarah (2): 188
Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamudengan jalan yang bathil (jahat) dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, (hanya karena) supaya kamu dapat memakan sebagian harta benda orang lain itu dengan (jalan) dosa, padahal kamu mengetahui.

Ayat ini menunjukkan, bahwa keputusan hakim pun bisa memiliki substansi yang cacat secara akhlak, meskipun secara hukum yang berlaku sudah terpenuhi. Buktinya sangat banyak di sekitar kita yang melakukan kejahatan dengan cara menyiasati peraturan, baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maupun dalam beragama. Niatan yang baik dan akhlak yang mulia menjadi landasan yang sangat penting dalam memahami petunjuk-petunjuk dari dalam Al Qur’an.

Demikian pula dalam hal menggali inspirasi saintifik dari dalam Al Qur’an. Niatan yang baik akan melahirkan inspirasi yang baik dan bermanfaat, sebaliknya niatan yang buruk akan menghasilkan inspirasi yang buruk pula. Hal yang demikian ini, berlaku dalam ruang lingkup apa saja, termasuk sains. Inilah yang dalam notes sebelumnya saya sebut sebagai pengaruh subyektivitas dalam membuat kesimpulan yang obyektif.

Inspirasi-inspirasi yang bersifat saintifik akan mengalir deras kepada mereka yang membuka hati seluas-luasnya, tanpa mengedepankan pretensi terlebih dahulu. Pretensi alias dugaan yang disertai harapan bahwa pendapatnya sudah pasti benar, merupakan faktor yang sangat berbahaya dalam berburu hikmah. Karena, semua kemungkinan bakal tertutup baginya. Seseorang yang ingin memperoleh hikmah dari dalam AlQur’an, harus membuka radar jiwanya selebar-lebarnya. Dan membuka ‘ruang kesalahan’ yang mungkin terjadi pada penafsirannya.

Yang kedua, inspirasi akan mengalir deras kepada orang-orang yang menghayati bidangnya sepenuh hati dan perasaan. Yakni, mereka yang mencintai aktivitasnya secara total. Dalam bidang sains, adalah kepada mereka yang memang setiap saat bergelut dengan dunia sains – baik yang teoritis maupun yang eksperimental secara intensif. Istilah Al Qur’an adalah orang-orang yang selalu teringat dalam keadaan berdiri, duduk maupun berbaring.

Yang ketiga, adalah mereka yang rendah hati dan mau menerima masukan dari mana saja, karena segala yang ada di sekitarnya itu sebenarnya adalah ayat-ayat Allah juga (ayat-ayat kauniyah). Para pemburu hikmah adalah mereka yang mengikuti motivasi dari ayat berikut ini, sambil terus berharap Allah memberikan hikmah lebih banyak lagi kepadanya dari berbagai penjuru kehidupannya.

QS. Yusuf (12): 105
Dan banyak sekali tanda-tanda (clue)di langit dan di bumi yang mereka lalui, sayangnya mereka berpaling darinya (tidak mempedulikannya).

Contoh konkret di abad modern, saintis yang memperoleh inspirasi dari Al Qur’an, salah satunya adalah Prof Abdus Salam. Seorang ilmuwan – dengan seabrek medali penghargaan atas karya-karyanya – yang sangat religius di dalam menggeluti profesinya sebagai seorang saintis. Sehingga ketika memperoleh hadiah Nobel pun dia memberikan pidato sambutan sambil menyitir sejumlah ayat-ayat Al Qur’an yang menginspirasinya. Berikut ini adalah cuplikan dari sambutannya, diantaranya bisa dibaca dihttp://en.wikipedia.org/wiki/Abdus_Salam.

‘’Al Qur’an memerintahkan kepada kita untuk merenungkan beragam hukum-hukum alam yang diciptakan-Nya. Sebuah karunia dan rahmat yang sangat istimewa, yang diberikan kepada generasi kita untuk terlibat dalam memahami Desain-Nya, dimana saya sangat mensyukurinya dengan segala kerendahan hati.

Dia kemudian berkata: ‘’Ini pada dasarnya adalah keyakinan (faith) dari semua fisikawan. Semakin dalam kita mencari , semakin dalam pula keingin tahuan yang membuat kita bersemangat, dan semakin mempesona apa yang kita lihat..!’’

Lantas dia mengutip QS. Mulk (67): 3-4, dimana dia menyandarkan keyakinannya.
‘’Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu pun dalam keadaan payah.’’

Maka, ringkas kata, Al Qur’an adalah sumber inspirasi filosofis bagi siapa saja yang ingin dan meyakininya. Meskipun, sebenarnya inspirasi bisa datang dari mana saja, Al Qur’an telah memberikan nilai lebih sebagai inspirasi yang menjadi shortcut bagi realitas secara lebih terarah. Kenapa demikian? Karena, Al Qur’an adalah petunjuk dari Sang Pencipta Yang Maha Berkuasa lagi Maha Mengetahui. Apalagi, bagi kasus-kasus ekstrim dimana sains mulai kesulitan untuk mengungkapkan data-data empiris yang menjadi andalannya, sebagaimana kita lihat dewasa ini..!

Wallahu a’lam bissawab
~ salam ~