Kamis, 19 Januari 2012

RUH TIDAK DIMINTAI PERTANGGUNG-JAWABAN ~ 'MENGINTIP’ EKSISTENSI RUH (2) ~

MASIH banyak yang rancu antara JIWA dan RUH. Dalam bahasa aslinya di Al Qur’an, keduanya menggunakan istilah yang berbeda. JIWA menggunakan kata NAFS (tunggal) dan ANFUS (jamak). Sedangkan RUH tetap menggunakan istilah RUH (tunggal), dan jamaknya ARWAH. Tetapi, saya belum menemukan penggunaan kata ruh dalam bentuk jamak di Al Qur’an. Selalu dalam bentuk tunggal.

Kerancuan itu, bahkan juga terjadi di terjemahan ayat-ayat Qur’an keluaran Depag. Yakni menerjemahkan kata ‘nafs’ atau ‘anfus’ dengan ruh. Mestinya diterjemahkan sebagai ‘jiwa’. Misalnya, dalam ayat berikut ini.

QS. At Takwiir (81): 7
Dan apabila ruh-ruh (anfus) dipertemukan (dengan tubuh),

Dan kemudian merembet ke pemahaman ayat berikut ini, saat JIWA diminta bersyahadat oleh Allah di dalam rahim. Di ayat ini jelas menggunakan istilah ANFUS (jiwa-jiwa). Tetapi, masih banyak umat Islam yang memahaminya sebagai ‘ruh-ruh’. Meskipun dalam Al Qur’an Depag sebenanya sudah diterjemahkan sebagai  ‘jiwa’. Sehingga ada kepahaman yang salah kaprah tentang adanya ‘alam ruh’ dimana ruh-ruh manusia diminta bersyahadat. Padahal, mestinya proses bersyahadat itu terjadi di dalam rahim, sesaat setelah bertemunya sel telur dan sperma.

QS. Al A’raaf (7): 172
Dan, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari organ reproduksi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap JIWA-JIWA (anfus) mereka: "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Benar (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi". (Yang demikian itu) agar di hari kiamat kalian tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lalai terhadap ini (keesaan Tuhan)",

Dari sini, kita juga bisa memperoleh informasi penting bahwa RUH itu TUNGGAL, dan SAMA untuk seluruh makhluk. Sedangkan JIWA bisa berbeda-beda pada setiap makhluk hidup. Jadi ruh saya dan ruh Anda SAMA. Tetapi jiwa kita berbeda.

Ibarat komputer dengan sumber listriknya. Jika Listrik diibaratkan ruh, maka komputer itu ibarat badan manusia dengan jiwanya. Badannya berupa hardware, jiwanya berupa software. Listriknya sama. Anda bisa menancapkan colokan listrik itu dimana saja, hasilnya tetap sama. Meskipun komputer Anda dari merek dan spesifikasi yang berbeda-beda.

Nah, lagi-lagi ibarat komputer, substansi dasarnya adalah software. Bukan hardware ataupun listrik. Keberadaan hardware dan listrik itu ada dalam rangka mewujudkan peran software. Kurang lebih begitulah manusia. Yang substansial adalah JIWA. Bukan jasad atau ruh. Karena itu yang kelak dimintai pertanggungjawaban oleh Allah (dan manusia) juga bukan jasad ataupun ruh, melainkan jiwa.

Tidak ada ‘ruh baik’ dan ‘ruh jahat’. Ruh itu sekedar potensi ketuhanan. Bergantung pada jiwanya, apakah dia mau menggunakan potensi itu untuk kebaikan ataukah kejahatan. Misal, sifat BERKUASA, bisa saja digunakan untuk kebaikan atau kejahatan. Sifat BERKEHENDAK, juga bisa untuk kebaikan atau kejahatan. Sifat Mendengar, Melihat, Berilmu, Berbuat, dan seterusnya, awalnya sekedar potensi ruh, dan kemudian menjadi baik atau jahat ketika diterapkan oleh jiwa. Maka, jiwa harus mempertanggung-jawabkan semua itu. Bukan ruh, bukan jasad.

Potensi kemanusiaan berada di Jiwa. Dan kualitas jiwa itu pula yang membedakan seseorang dengan orang yang lain. Baik ataupun jahat. Karena itu kalau jiwanya sakit, ia tidak dimintai pertanggung-jawaban. Kalau badannya yang sakit, masih dimintai pertanggungjawaban. Meskipun nanti menunggu saat kesehatannya sudah membaik. Sedangkan ruh tidak bisa sakit ataupun sehat. Dia sekedar potensi dasar. Karena itu, berbagai ayat Al Qur’an menjelaskan tentang kualitas jiwa yang terus mengalami proses penyempurnaan itu.

QS. Asy Syams (91): 7-10
Demi JIWA (nafs) serta proses penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (potensi) KEBURUKAN (fujur) dan KEBAIKAN (takwa), sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.

Maka kita mengenal beberapa kualitas jiwa. Diantaranya, ada jiwa yang jelek dan merusak, disebut sebagai ‘hawa NAFSu’ atau ‘NAFSul hawa’. Ada yang emosional tak terkendali disebut ‘NAFSul amarah’. Ada yang sedang berproses menjadi baik dan suka menyesali perbuatan buruknya, disebut NAFSul lawwamah. Dan ada pula jiwa yang sudah TENANG & DAMAI, disebut ‘NAFSul Muthmainnah’. Yang terakhir ini disebut sebagai tingkatan yang sangat tinggi dari kualitas jiwa, yang digambarkan dalam ayat berikut ini.

QS. Al Fajr (89): 27 – 30
Hai jiwa yang tenang dan damai (nafsul muthmainnah). Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.

Lantas, bagaimanakah hubungan antara badan, jiwa dan ruh itu? BADAN adalah eksistensi yang bersifat material, JIWA adalah eksistensi yang bersifat energial, sedangkan RUH adalah eksistensi yang belum diketahui zatnya, tetapi memuat informasi. Tanpa ada informasi, badan dan jiwa kita tidak akan berfungsi. Sel-sel kita akan berhenti berproses. Tidak ada metabolisme, tidak ada regenerasi, tidak ada duplikasi, tidak ada reaksi-reaksi apa pun di tingkat selular, organik, maupun tubuh secara keseluruhan. Tubuh kita tak lebih hanya akan menjadi onggokan material tanpa aktifitas kehidupan.

Demikian pula, tanpa ada informasi dari ruh, jiwa kita juga bakal stagnan. Karena struktur energi dalam jiwa kita bekerja seiring dengan struktur materi badan. Khususnya otak. Jika otak mati, maka energi kehidupan yang berupa jiwa di balik otak itu pun ikut mati. Sinyal-sinyal kelistrikan yang dipandu oleh informasi ruh di miliaran sel-sel sarafi itulah yang menghasilkan kualitas jiwa.

Maka, dimanakah ruh dan dimanakah jiwa? Ruh meliputi seluruh tubuh manusia, mulai dari tingkat selular, organik, sampai totalitas tubuh. Pokoknya dimana ada informasi kehidupan, maka disitu ada ruh. Rambut kita hidup, maka ia diliputi oleh ruh. Kuku jari kaki kita juga hidup, ia pun diliputi ruh. Sedangkan jiwa, adalah software yang inheren di dalam sirkuit-sirkuit sarafi otak kita. Sehingga kalau sirkuit-sirkuit itu mengalami kerusakan, jiwa pun akan mengalami masalah.

Hubungan antara badan, jiwa dan ruh pada manusia yang hidup, memang tidak bisa dipisah-pisahkan. Badan dan jiwa itu mirip dua sisi yang berbeda dari satu keping mata uang yang sama. Karena, materi dan energi memang bisa saling berubah menjadi satu sama lain. Sedangkan ruh, ‘menyifati’ keduanya. Atau, mengendalikan proses-proses material-energial secara informasi berdasar ‘sifat-sifat’ itu.

Maka, ketika suatu saat badan seseorang manusia rusak total, dan kemudian mati, struktur energialnya masih bisa lepas sendiri di dalam pengaruh ruh. Dalam ilmu kedokteran jiwa disebut sebagai badan halus alias bioplasma. Itulah yang diceritakan Al Qur’an, bahwa orang yang mati itu sebenarnya masih hidup di alam jiwa. Alam energial. Mirip peristiwa mimpi, dimana badan kita masih berada di atas kasur, tetapi jiwa kita bisa melanglang buana kemana-mana.

QS. Al Baqarah (2): 154
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang GUGUR di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; sebenarnya mereka itu HIDUP. Tetapi kamu tidak menyadarinya.

~ Salam Mengintip Eksistensi Ruh ~

oleh Agus Mustofa pada 18 Januari 2012 pukul 6:52


Rabu, 18 Januari 2012

DIA TELAH MELIPUTI SELURUH CIPTAANNYA ~ 'MENGINTIP' EKSISTENSI RUH (1) ~

oleh Agus Mustofa pada 17 Januari 2012 pukul 8:12

Dikarenakan adanya ruh yang masuk ke dalam jasadnya, maka manusia menjadi ‘terimbas’ sifat-sifat ketuhanan. Seperti: Hidup, Mendengar, Melihat, Berbicara, Berkehendak, Berkuasa, Berbuat, dan lain sebagainya. Ketika ruh telah terlepas dari jasad, maka seluruh sifat-sifat itu pun lenyap dari tubuh manusia.

Jasad adalah onggokan benda mati. Tak lebih dari itu. Meskipun susunannya sangat canggih. Mulai dari energi yang ‘memadat’ menjadi quark, ‘mengkristal’ menjadi partikel, berkelompok menyusun atom, bergerombol membentuk molekul, bekerjasama menjadi sel, dan seterusnya menjadi jaringan, organ, dan tubuh manusia. Semua itu sekedar ‘benda mati’..!

Kehidupan bukan muncul dari proses pembentukan jasad. Karena ‘kehidupan’ muncul dengan cara yang lain, yang sampai sekarang tetap menjadi misteri bagi siapa pun. Apalagi bagi kalangan penganut ‘materialistik’ yang hanya berkutat di benda-benda tampak. Bahkan, kalangan ‘energial’ yang lebih ‘gaib” dibandingkan penganut ‘materilistik’ pun masih bingung dibuatnya. Sehingga keduanya tak berani menyentuh soal ini. Dan menganggapnya sebagai ‘ilmu gaib’ yang ‘tidak saintifik’.

Sedangkan kalangan ‘psikologis’ lebih maju secara saintifik. Mereka bergerak semakin mendekatinya, meskipun hanya berhenti pada ilmu tentang jiwa. Bukan tentang ruh. Karena ilmu tentang ruh ini memang cuma ‘sedikit’. Persis seperti ‘diklaim’ oleh Allah berikut ini.

QS. Al Israa’ (17): 85
Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: "Ruh itu urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".

Nah, karena cuma sedikit itulah maka ilmu tentang ruh ini tidak berkembang. Carilah di seluruh dunia sepanjang peradaban manusia, termasuk manusia modern, perkembangan ilmu tentang ruh sangat lamban. Kalau tidak boleh dikatakan ‘stagnan’.

Ini berbeda dengan ilmu jiwa yang berkembang sangat pesat. Dan, lagi-lagi sesuai dengan ‘klaim’ Allah Sang Pemilik ilmu, bahwa ilmu jiwa itu memang ‘bisa dipikirkan’ dan dieksplorasi. Sehingga bermunculanlah ilmu-ilmu tentang jiwa, seperti: psikologi, psikiatri, psikotronika, psiko-neuro imunologi, psiko-cibernetika, dan lain sebagainya.

QS. Az Zumar (39): 42
Allah memegang JIWA (nafs) ketika matinya dan jiwa yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang DEMIKIAN itu terdapat tanda-tanda (pelajaran) Allah bagi orang-orang yang (mau) BERPIKIR.

Begitulah, ketika berbicara tentang RUH, Allah sudah mengingatkan bahwa ilmunya cuma sedikit. Tetapi, ketika berbicara tentang jiwa malah disuruh memikirkannya. Namun, meskipun ‘sedikit’, TIDAK ADA LARANGAN untuk membicarakan ruh. Misalnya, “berbicara ruh hukumnya haram’’, nggak ada. Silakan saja. Tapi, ilmunya ‘cuma sedikit’ lho ya.. :) Karena itu, supaya aman, tetaplah berpegang kepada informasi-informasi ilahiyah. Bukankah kita memang sedang berbicara tentang sifat-sifat-Nya, dalam skala makhluk..? Sifat-sifat Allah yang bersemayam di dalam diri kita: Sang Ruh.

Sifat Hidup, Sifat Mendengar, Sifat Melihat, Sifat Berkehendak, Sifat Berilmu Pengetahuan, Sifat Mencipta, Sifat Menghancurkan, Sifat Memelihara, dan segala sifat-sifat-Nya yang lain. Apakah bisa dipelajari dan dipahami? Tentu saja bisa. Tapi, pasti nanti akan mentok lho ya..! Karena, ini memang tidak muncul dari benda penyusun tubuh kita. Melainkan dari ‘Sesuatu’ yang ‘meliputinya’.

Sifat ‘Hidup’ itu bukan sifat benda. ‘Mendengar’ itu juga bukan sifat benda. ‘Melihat’ juga bukan sifat benda. ‘Berkehendak’ juga bukan. Demikian pula Berilmu, Mencipta, Memelihara, dan lain sebagainya. Itu adalah sifat ‘Sesuatu’ yang hidup. Berasal dari luar materi dan energi. Materi dan energi cuma ketempatan saja. Dari SIAPA ini sumbernya? [Saya ingatkan jangan ‘keliru bertanya’: dari APA ini sumbernya..? :)] Tentu saja, mudah menjawabnya bagi yang ber-Tuhan, tetapi ‘bikin puyeng’ bagi yang tidak bertuhan… :(

QS. Al Baqarah (2): 255
Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang HIDUP, lagi terus menerus MENGURUS (alam semesta beserta isinya). Tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tidak ada yang dapat memberi pertolongan di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui SEGALA  yang ada di hadapan mereka dan di belakang mereka. Dan mereka tidak mengetahui apa pun dari ilmu Allah melainkan yang dikehendaki-Nya. Singgasana (kekuasaan) Allah MELIPUTI langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya. Dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.

QS. Al An’aam (6): 95
Sesungguhnya Allah MENUMBUHKAN butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan yang HIDUP dari yang MATI dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. (Yang memiliki sifat-sifat) demikian ialah ALLAH, maka mengapa kamu masih berpaling (kepada selain Dia)?

QS. Yunus (10): 31
Katakanlah: "SIAPAKAH yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) PENDENGARAN dan PENGLIHATAN, dan siapakah yang mengeluarkan yang HIDUP dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang MENGATUR segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah". Maka katakanlah: "MENGAPA kamu tidak BERTAKWA (kepada-Nya)?"

Ya, ruh adalah representasi ‘zat ketuhanan’ yang membawa sifat-sifat-Nya. Apakah itu sifat? Sifat adalah INFORMASI yang menceritakan karakteristik sesuatu. Sifat ‘HIDUP’ membawa informasi tentang kehidupan. Sifat MENDENGAR membawa informasi tentang kemampuan untuk memahami lewat gelombang suara. Sifat MELIHAT membawa informasi tentang kemampuan memahami lewat gelombang cahaya. Sifat MENCIPTA membawa informasi tentang kemampuan mengadakan sesuatu dari ketiadaan. Sifat BERKEHENDAK membawa informasi tentang adanya dorongan untuk melakukan apa saja. Dan seterusnya, dan lain sebagainya.

Itulah Sifat Tuhan. Dan kemudian diimbaskan dalam skala makhluk ke dalam seluruh ciptaan-Nya. Sejak kapan? Sejak Dia menciptakan alam semesta. Dan kemudian berkembang menjadi segala macam benda, energi, ruang, waktu dan peristiwa. Informasi Sifat-sifat-Nya telah inheren di dalam seluruh proses itu.

Maka kemana pun kita menghadap, sebenarnya kita berhadapan dengan-Nya. Dengan Zat-Nya, dengan Sifat-sifat-Nya. Dengan ilmu-Nya. Dengan Kehendak-Nya. Dengan apa saja yang terkait dengan-Nya. Karena semua ini memang telah diliputi-Nya. Bahkan semua ini adalah ‘bagian’ dari Eksistensi-Nya, yang kita pahami dalam sudut pandang makhluk yang serba terbatas.

QS. Al Baqarah (2): 115
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka KEMANA pun kamu MENGHADAP di situlah wajah ALLAH. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Berilmu.

QS. An Nisaa’(4): 126
Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah ALLAH Maha MELIPUTI segala sesuatu.

Itulah yang di dalam al Qur’an disebut sebagai kalimat KUN. Kalimat yang mengandung informasi penciptaan yang mengimbaskan sifat-sifat ketuhanan ke dalamnya, dalam skala makhluk. Lantas bergantung kepada makhluk yang diciptakan itu. Seberapa tinggi kualitas kesempurnaannya. ‘Benda mati’ tentu berbeda derajatnya dibandingkan dengan tumbuhan. Juga berbeda lagi tingkat kesempurnaannya dibandingkan hewan. Dan semakin berbeda dibandingkan manusia.

Tetapi semua makhluk itu mengandung sifat-sifat ilahiah. Hanya saja, kemunculan sifat ilahiah itu adalah seiring dengan derajat kesempurnaan desainnya. Kalau makhluk itu tidak punya mata, tentu saja dia tidak bisa merepresentasikan sifat Maha Melihat. Kalau makhluk itu tidak punya telinga, tentu tidak bisa merepresentasikan sifat Maha Mendengar. Demikian pula dengan mulut untuk berbicara, kaki-tangan untuk bertindak, otak untuk berpikir, dan seterusnya.

Manusia menurut Al Qur’an adalah makhluk yang paling sempurna secara desain penciptaan, dibandingkan dengan benda mati, tumbuhan, dan hewan. Bahkan juga dibandingkan dengan malaikat dan iblis yang berkebangsaan jin. Manusia paling komplet merepresentasikan sifat-sifat ketuhanan. Benda mati misalnya, tidak merepresentasikan sifat Maha Hidup. Hewan misalnya, kurang merepresentasikan sifat Maha Berkarya, Maha Berilmu, dan Maha Berkehendak. Malaikat, juga kurang mererepresentasikan sifat Maha Berkehendak dan Mencipta. Dan iblis kurang merepresentasikan sifat Maha Bijaksana. Tetapi manusia, merangkum seluruh sifat-sifat benda mati, tumbuhan, hewan, iblis dan malaikat di dalam dirinya. Sifat-sifat ketuhanan lebih komplet di dalam diri manusia, dan kemudian disebutlah sebagai Ruh-Nya. Tetapi, manusia cuma mendapat ‘sebagian kecil’ saja: dalam skala makhluk.

QS. Al Hijr (15): 29
Maka ketika telah Ku-sempurnakan kejadiannya, dan telah Ku-hembuskan ke dalamnya sebagianruh-Ku (min ruuhii), maka tunduklah kamu (malaikat dan jin) kepadanya (manusia) dengan bersujud.

Kata ‘min ruuhii’ bermakna ‘sebagian kecil’ ruh-Ku. Dan sejak itulah, manusia membawa sifat-sifat ketuhanan di dalam dirinya. Yang kualitasnya mewujud dalam bentuk jiwa yang beragam sesuai dengan kualitas desain badannya. Ada yang tidak bijak, kurang bijak, lebih bijak, sampai sangat bijak. Ada yang tidak bisa berkarya, lebih bisa berkarya, sampai pandai berkarya. Ada yang tidak berkuasa, lebih berkuasa, sampai sangat berkuasa. Semua itu adalah representasi sifat-sifat ketuhanan di dalam dirinya. Bukan sifat benda-benda penyusun tubuhnya..! Itulah Ruh, yang berisi potensi ilahiah.

Sejak kapan, ruh kemanusiaan ini dihembuskan ke dalam dirinya. Tentu saja sejak ia diciptakan. Kapan tepatnya? Ya, sejak Allah mempertemukan sel sperma dengan sel telur, di dalam rahim maupun di luar rahim. Bayi normal maupun bayi tabung. Sejak saat itulah Allah menghembuskan sebagian ruh-Nya dan meminta jiwanya untuk bersyahadat mengakui Allah sebagai Tuhan dengan segala sifat-Nya. Dan kemudian terekam di alam bawah sadarnya, menjadi sifat-sifat kemanusiaan.

QS. Al A’raaf (7): 172
Dan, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari organ reproduksi mereka (berupa sel telur dan sel sperma). Dan Allah mengambil kesaksian terhadap JIWA (nafs) mereka: "Bukankah Aku ini TUHAN-mu?" Mereka menjawab: "BENAR (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi". (Yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lalai terhadap ini (keesaan Tuhan)",

QS. As Sajdah (32): 9
Kemudian Dia menyempurnakan dan menghembuskan ke dalamnya sebagian ruh-Nya. Dan Dia menjadikan bagi kamu (kemampuan) pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu SEDIKIT SEKALI bersyukur (kepada-Nya).


~ Salam Berupaya Memahami Sifat-Sifat Allah di Dalam Ruh ~

Kamis, 22 Desember 2011

SAYA SUKA MAKAN SESAJI!

Oleh Deasy Ibune Rahman pada 21 Desember 2011 pukul 14:16

"Seorang rekan sekedar bertanya, "Bagaimana hukumnya makan sesajen?"

Hiks.. Nggak tahu deh gimana hukum Al-Qurannya. Karena Al-Quran tidak mengatur sesajen, hanya melarang kita untuk menyekutukan Tuhan. Dan yang pasti, saya bisa membuktikan secara empiris bahwa dalam sesajen tidak ada hal-ihwal dan niatan untuk menyekutukan Allah SWT!

Koq bisa? Itu kan ngasih makan setan?

Sederhana aja bro & sist, emang ada bukti, sedikit dan secuil aja deh, yg menunjukkan kalo setan makan itu nasi sama ayam panggang sama urap-urap dan minum kopi? Kalo manusia berlagak kayak setan iya kali... Tapi kalo setan? Setan yg mana coba? :D Trus, buat apa dong itu sesaji?"

***

Well, kalo saya malah suka banget nungguin makanan gituan, untuk saya habiskan.. Kalo bisa sendirian. Wakakakakak!

Kenapa?

Pertama, masakan yg kata orang untuk sesajen itu, dimasak tanpa diincipi bumbunya. Artinya, cuma tukang masak jagoan, kawakan, punya jam terbang, intinya berpengalaman saja yg bisa masak menu itu.

Kedua, barang dan dzatnya halal koq.. Ayamnya disembelih pake bismillah. Belinya juga dibeli pake uang sendiri, bukan karena merampas milik orang. Dan hampir semuanya dibeli bukan dg pake ngutang :D

Ketiga, semua sesajen itu disajikan "dg cara Islam". Bukan dg cara lain... Lho, koq bisa namanya sesajen itu Islami? Ingat, inna a malu binniat... Sejauh ini yg saya ketahui, bahwa semua pihak yg meletakkan sesuatu apa yg sama orang masih didefinisikan sebagai sesajen itu di meja ternyata bukan buat memberikan makanan buat roh halus atau setan!

Saat akung saya meninggal, nenek dengan telaten meletakkan nasi, ayam, pisang raja, juga kopi dan kembang dalam baskom kecil. Iseng saya tungguin, ternyata beliau, nenek saya yg nggak pernah makan sekolah dan nggak bisa baca-tulis, KTP-nya Islam tapi nggak pernah mengerjakan sholat atau puasa itu, dg lembut dan senyum mengatakan, "Ini semua kegemaran Akungmu saat masih hidup. Ini semua buat mengenang Akung-mu, buat mengenang spirit dalam hidupnya, saat beliau berjuang habis-habisan untuk menghidupi keluarga dan membesarkan Ibu (dan paman-paman)mu hingga dewasa dan kemudian menikah serta melahirkan kamu :D"

Dan ada satu kaca mata hitam juga! Nenek menjelaskan, "Ini kaca mata yg selalu disimpan Akungmu, untuk mengenang perjuangan beliau bersama Bung Karno dulu..."

Kakek-nenek kami memang berasal dan tinggal di Blitar selatan. Dan memang kaca mata itu --dibeli Akung belakangan setelah kondisi Indonesia udah mulai enak dan beliau udah punya cucu-- adalah barang kegemarannya.

"Biar mirip Bung Karno :D" Terang Akung saya kala itu hampir sok memiripkan diri dg teman perjuangannya dulu. Sayangnya kaca mata itu pas saya pakai gk cukup. Maklum, saya kan besar kepala... :))

So, kembali ke menu, saya malah berdosa kalo sampe menuduh itu menu disajikan ke roh atau malah setan... Sebab, usai menata itu sejaian, Uti pun berdoa kepada Allah, agar Akung yg sekarang di alam kubur sana diampuni dosa-dosanya; diterima amalannya; dan dimaafkan segala kesalahannya... Uti berdoa kepada Allah SWT, hakim Maha Adil atas semua hal dan kejadian...

Keempat, bahan menu yg disajikan alami dan enak. Pisang raja terbaik yg dipetik dari kebun belakang rumah. Nasi yg berasnya dari sawah peninggalan Akung saya sendiri, juga ayam kampung yg ditangkap dari pekarangan sendiri. Dan Alhamdulillah yg ditangkap sama Paman saya adalah ayam sendiri, bukan ayam tetangga yg sedang melintas di pekarangan kami untuk mencari jodohnya...

Jadi begitu menu itu "selesai disajikan" hingga sejurus kemudian dianggap nggak bisa dibiarkan terlalu lama lagi karena dikhawatirkan akan segera menghadapi fase melewati batas normalitas kesegaran makanan, segeralah saya pretheli satu per satu.

Slurp... Nasi gurih...
Slurp... Ayam panggang/bakar/goreng bumbu gurih atau bumbu lodho...
Slurp... Urap-urap kangkung....
Slurp... Jenang merah-putih...

Terakhir, pisang raja nan manisnya luar biasa, manis tapi nggak bikin muak kaya gula gitu rasanya :D

Penutupnya, meski agak dingin, berhubung ini kopi sangraian sendiri, tetap saya seruput saja pelan-pelan. Dan berkali-kali saya menyeruput kopi dingin hasil sangraian sendiri gini, perut saya nyatanya nggak pernah kembung. *Perut saya baru langsung kembung kalo kena AC mobil... :(

***

Well... Belakangan tepat setahun setelahnya, Uti saya pun menyusul Akung saya --suaminya tercinta yg telah menemaninya sepanjang hidupnya-- ke alam kubur. Mereka berdua, adalah sisa peninggalan zaman saat para wali udah berhasil mengtrasformasi budaya jaman sebelum Islam ke budaya simbolik Jawa yg lebih Islami.

Bukan untuk ngasih makan setan, namun untuk membuat rangkaian karya seni dalam bentuk kuliner, yg hasil karya kuliner tersebut ternyata -Masya Allah Subhanallah...- untuk mengenang spirit hidup almarhum Akung saya.

Kenapa untuk mengenang Akung saya mesti pakai menu-menu seperti sesajen tersebut, bukan dengan Uti (Nenek) saya bercerita saja di depan cucu-cucunya?

Itu tetap dilakukan. Tapi dg menata menu sedemikian rupa di meja kecil agak di pojokan (agar nggak kena tendangan anak saya yg suka berlarian ke sana ke mari), kami jadi bisa lebih merenung. Lebih kontemplatif dalam mengenang jasa perjuangan hidup Akung kami tercinta.

Jadi, rangkaian menu --yg namanya nggak diubah, tetap disebut sesajen, sesaji, atau sesajian itu-- sebenarnya kalo saya cermati lebih mirip bahasa simbolik. Sebagaimana orang mengatakan dan menceritakan sesuatu yg panjang dan lebar dengan sejumput lirik lagu, seuntai syair puisi, sepenggal prosa, atau sebidang lukisan. Hal yg sepotong tersebut ternyata mengandung makna yang luas, berjuta kali lipat ketimbang lama waktu lagunya, panjang paragraf dalam syair atau prosanya, atau luasan bidang lukisannya.

Rangkaian menu sederhana dalam meja kecil itu, adalah sebuah bahasa simbolik yang merupakan parts pro toto atas sebuah cerita panjang. Yang lama ceritanya adalah sepanjang waktu kehidupan itu sendiri...

***

Saat ini, saat menghadirkan menu lagi untuk mengenang spirit hidup almarhum Akung dan dan almarhumah Uti, Paman saya yg menempati rumah peninggalan kelurga tetap menyajikan menu yg sama.

Hanya terpaksa sekarang ayamnya beli di pasar.. Tapi tetap ayam Jawa/ayam kampung. Dan rasanya tetap sama enaknya.

Sebab di balik gurihnya bumbu yg meresap ke daging ayam tsb, ada cerita tentang leluhur saya: Kakek dan Uti yg dimuliakan para tetangganya; pantas menjadi teladan dan panutan para keluarganya dan masyarakat; dan penuh hikmah dalam mewariskan garis cerita kehidupan kepada anak-cucunya ini...

Satu yg saya dengan dari mulut mereka sendiri, "Akung-Utimu ini Islam.. Tapi mohon maaf, kami memang jauh dari bimbingan para wali yg bertugas menyebarkan agama, yg harusnya memberi tahu kepada kami bagaimana benarnya melaksanakan ibadah dan syariah... Sehingga kami masih belum tahu bagaimana beribadah yg benar. Saat negara sudah enak, kami sudah renta dan sudah tak bisa ngapa-ngapain lagi..."

"Tapi kalian semua sekarang sudah bersekolah. Jadilah anak Indonesia yg baik, dan jadilah moslem yg baik..."

Dan kami bener-bener mendapatkan banyak cerita dari tetangga, dari buanyak orang yg mengetahui dan bisa menjelaskan secara urut, runut, dan runtut tentang kisah hidup Akung kami, memang hari-hari beliau dulu benar-benar sibuk dengan menggarap sawah, yang begitu panen kemudian hasilnya dirampas Jepang.

Hari-hari beliau sibuk keluar-masuk hutan, dengan senjata celurit pun berani melawan Jepang.

Hari-hari Akung adalah sibuk meninggalkan keluarga selama berminggu-minggu: Nenek dan Ibunda saya saat masih kecil, karena harus melarikan diri saat diuber Jepang.

Saat Indonesia baru Merdeka, hari-hari mereka sibuk menata kehidupan. Belum selesai semuanya, sapi dan ternak lain milik Akung dirampas PKI bahkan TNI! Alasan mereka yg merampas adalah buat logistik perjuangan. Dan kedua belah pihak sama-sama mengatakan sebagai pejuang untuk Indonesia...

Saat mereka renta, mereka berdua tetap sibuk menimang cucunya, saat putra-putrinya sibuk bekerja mencari uang.

Dan saat mereka meninggal, kami anak-cucunya, alpa mengajarkan ibadah kepada mereka... :( Jadi sebenarnya, kepada kamilah seyogyanya dosa ini ditimpakan. Astagfirullah hal adzim...

Itulah kenapa, saat saya menggigit sedikit-demi sedikit menu yg terhidang di meja itu, saya pribadi bisa banget meresapi desir perjuangan Akung saya: perjuangan untuk turut mewariskan kemerdekaan sehingga akhirnya saya bisa fesbukan seperti sekarang ini; dan perjuangan menghidupi keluarga, sehingga saya bisa Jumatan seperti biasanya.

Hingga mereka bahkan lupa dan kelewatan untuk memperjuangkan diri mereka sendiri.

***

Saya kangen nasi gurih dan ayam panggang itu; saya rindu urap-urap kangkung dan pisang rajanya. Saya ingin kembali menyeruput kopi manis itu, seolah ada Akung di samping saya...

Apa yg dituturkan oleh Akung saya hanya berulang dan tak pernah berpindah dari hal bahwa: kita semua sebagai manusia adalah harus hidup untuk berjuang, bukan sekedar berjuang untuk hidup.

Dan jangan lupa, setiap langkah perjuangan kita, ada Tuhan bersama kita. Dia tak pernah pergi dari kita.. kitalah yg kadang berusaha meninggalkan-Nya...

Itulah Akung saya, yg dalam satu sisi ingin saya hadirkan melalui kopi hitam kesukaannya itu..."Ya Allah ya Tuhan kami seru sekalian alam Yang Maha Pengampun; ampunilah semua dosa para leluhur yang telah mendahuli kami... Terimalah amalan baik mereka semua... Berikan kepada mereka semua tempat terbaik-Mu... Dari merekalah kami belajar dan manuai hikmah kehidupan...

Dan berikanlah kepada kami yang masih menjalani sisa waktu kehidupan ini tuntunan, rahmat, dan ridha-Mu selalu... Jauhkanlah kami dari godaan setan yang terkutuk... Pampangkanlah segala kemudahan dan jalan kebaikan untuk menjalani hidup kami sebagaimana telah dicontohkan Muhammad semasa hidupnya... Dan berikanlah segala kemuliaan dan keutamaan kepadanya, Muhammad sang utusan-Mu... Ya Allah ya Tuhan kami Yang Maha Pemberi, kabulkanlah doa dan permohonan kami.. Amien Ya Rabbal Alamin..."

*Written by Freema HW, a moslem abal-abal. Just remembering Akung & Uti, just remembering para leluhur kami. Just missing the sesajian di atas meja kecil itu.. :D


Jumat, 16 Desember 2011

UMAT ISLAM DALAM BELENGGU MASA SILAM

Sebagian umat Islam bisa dibilang sedang terjebak di dalam belenggu masa silam, dengan berpendapat bahwa umat masa lampau selalu lebih baik daripada umat yang kemudian.

Beberapa indikator yang bisa kita lihat adalah betapa hampir setiap khutbah yang ada di mimbar-mimbar masjid selalu berbicara tentang umat terdahulu (yang merujuk kepada era zaman Nabi Muhammad dan para sahabat), adanya penolakan terhadap gagasan pembaruan dengan dalih bahwa apa yang sudah ditetapkan oleh umat terdahulu sudah final dan tidak dapat diganggu gugat, sampai pada gagasan untuk mengembalikan sistem pemerintahan abad pertengahan yaitu Khilafah.

Bahwa umat terdahulu adalah selalu lebih baik dibanding umat kemudian, itu tidaklah selalu benar. Peradaban manusia, termasuk peradaban umat Islam, bagaikan roda berputar, selalu naik turun, dan yang jelas masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya.

Jika dikatakan umat Islam di zaman Nabi Muhammad hidup adalah yang terbaik, saya sepakat. Karena fakta sejarah membuktikan bahwa pada masa itu umat Islam mengalami peningkatan kualitas SDM yang luar biasa, dengan menancapkan pondasi bagi perkembangan umat Islam menjadi umat teladan di muka bumi.

Namun semenjak Rasulullah wafat, pertengkaran di dalam umat yang berlanjut menjadi perpecahan mulai terjadi. Untung saja bahwa pondasi yang beliau letakkan begitu kokoh, sehingga untuk beberapa abad ke depan umat Islam terus melesat menjadi umat yang disegani dan bahkan bisa membangun peradaban maju yang unggul di bidang ilmu pengetahuan, kesenian, filsafat, ekonomi, dan militer. Bahkan umat Islam yang pada saat itu mayoritas dari bangsa Arab yang sebelumnya kurang diperhitungkan di mata dunia, bisa menaklukkan dua imperium besar dunia pada saat itu, yaitu kekaisaran Romawi dan Persia.

Akan tetapi patut diingat, bahwa semua itu ada dalam berbagai kondisi yang menyertainya. Ada yang tertulis dengan tinta emas di atas lembaran putih sejarah, namun tidak sedikit yang tertulis dengan tinta darah di atas lembaran hitam sejarah.

Misalkan saja pada era kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz (berkuasa 717-720 M) dan Harun Al Rasyid (berkuasa 786-803 M), sejarah mencatat bahwa umat Islam berada di zaman keemasan pada waktu itu, dan tentu saja jauh lebih baik dibandingkan era ketika Yazid bin Muawiyah (berkuasa 680-683 M), yang periode kehidupannya lebih dekat dengan zaman Rasulullah, di mana pertumpahan darah di antara sesama umat Islam terjadi sehingga menewaskan cucu Rasulullah yaitu Hasan dan Husain.

Fakta sejarah ini membuktikan bahwa tidak selalu umat terdahulu itu lebih baik dibandingkan umat kemudian. Juga berarti tidak selalu umat yang masa hidupnya lebih dekat dengan masa hidup Rasulullah selalu lebih baik dibandingkan umat yang masa hidupnya lebih jauh dengan masa hidup Rasulullah.

Ketika Rasulullah masih hidup, tidak pernah terjadi perbedaan yang prinsip di antara umat Islam, terutama mengenai penafsiran dari ayat-ayat Al Qur’an. Karena semua selalu dikembalikan kepada Rasul-Nya. Rasulullah adalah penjaga kemurnian ajaran Islam. Akan tetapi setelah beliau wafat, tidak ada lagi orang yang memiliki otoritas sebesar beliau.

Dengan demikian, semua orang di zaman setelah era Rasulullah memiliki otoritas yang sama di hadapan Allah, sehingga tidak ada yang berhak mengklaim dirinya paling benar. Karena hanya Allah yang paling mengetahui siapa yang mendapat petunjuk dan siapa yang tersesat dari jalan-Nya!

QS An Nahl [16] : 125
“ ….. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” ()

Mari kita pertegas hal ini di dalam diri kita, sehingga tidak terjadi kerancuan dalam menjalankan agama, yang seringkali menyebabkan munculnya kelompok-kelompok yang mengatasnamakan dirinya sebagai wakil Allah dan Rasul-Nya di muka bumi! Lebih buruk lagi, seringkali kelompok semacam ini bertindak sewenang-wenang dan menghakimi orang lain sesuai dengan cara pandangnya sendiri!

Hal ini terjadi akibat salah persepsi yang sedemikian parahnya, sehingga telah menyimpang dari apa yang telah diajarkan Nabi Muhammad. Perpecahan yang terjadi saat ini bukanlah meneladani apa yang diajarkan oleh Rasulullah, melainkan mengikuti umat-umat sesudahnya yang bertengkar mengklaim kebenaran, sehingga muncul perbedaan mazhab dan kelompok. Yang Sunni mengharamkan Syiah, begitu pula sebaliknya. Belum lagi keberadaan kelompok Salafi dan Wahabi, dan kelompok-kelompok kecil lainnya. Kesemuanya memiliki tata cara dan keilmuan yang diajarkan oleh guru masing-masing, dan tidak mau menerima sedikit pun apa yang dikemukakan oleh aliran lainnya. Yang penting: “asal beda” dan “asal bukan dia”.

Maka apakah masa lalu kelam semacam ini yang akan terus kita suburkan? Apakah klaim kebenaran yang selalu berakibat perpecahan ini yang akan terus kita lestarikan?

Ingat! Bahwa masa lalu ada untuk kita ambil pelajaran dan hikmahnya. Jangan sampai kita gagal mengambil pelajaran dan memetik hikmah dari perjalanan umat Islam dalam sejarah, sehingga kesalah itu terus-menerus kita ulang, sehingga keadaan umat ini dari hari ke hari semakin terpuruk dan memprihatinkan.

Jika kita ingin meneladani umat di zaman Rasulullah, maka kita teladani semangat beliau dan para sahabat dalam menegakkan ajaran Islam. Mari kita meneladani semangat ketulusan, semangat keterbukaan pikiran dan hati, semangat saling berbagi dan mengingatkan, semangat kesabaran, semangat pantang menyerah dalam berjuang, semangat dalam menuntut ilmu, dan berbagai semangat kebaikan lainnya yang telah dicatat dalam sejarah.

Bukannya malah meniru-niru hal-hal yang sifatnya fisik semata. Seperti cara berpakaian, penggunaan istilah-istilah Arab dalam berbicara, dan segala perilaku yang meniru-niru kehidupan masyarakat Arab di abad pertengahan. Apalagi meniru-niru kedengkian umat terdahulu yang telah menyebabkan umat ini terpecah belah!

Amat menyedihkan ketika melihat bahwa umat lain sudah berbicara mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi, gagasan penyelamatan bumi, konservasi lingkungan flora dan fauna, merumuskan model sistem ekonomi yang saling menguntungkan, namun ternyata umat kita masih disibukkan dengan persoalan-persoalan fikih, tentang ini cara berpakaian di zaman Rasul, ini berdoa yang benar seperti di zaman Rasul, ini haram karena tidak pernah diajarkan oleh Rasul, dan berbagai urusan kecil lainnya yang sukses menahan laju peradaban umat Islam itu sendiri.

Saya sangat berharap bahwa kajian dan diskusi keislaman tidak hanya pandai mengutip-ngutip catatan sejarah di masa lampau, akan tetapi juga bagaimana mengaktualisasi dalam kehidupan masa kini. Sekali-kali kita bisa mengangkat teladan dari tokoh-tokoh mukmin di masa kini, sehingga umat Islam di masa kini bisa merasa lebih dekat dengan realita yang ada dan mudah untuk meneladaninya.

Masa lalu biarlah menjadi masa lalu. Tidak mungkin bagi kita untuk mengembalikan kehidupan fisik masa lalu ke masa kini. Masa lalu ada untuk kita ambil pelajaran dan petik hikmahnya.

Mari kita menatap masa kini dan masa depan.

Karena tantangan umat Islam saat ini ada di masa kini dan masa depan, bukan masa lalu!

Allahu’alam …

Semoga bermanfaat!


Selasa, 13 Desember 2011

KETIKA 'ORANG TAK BERTUHAN' MASIH BERTANYA TENTANG TUHAN ~ SEBUAH 'CATATAN KECIL' TENTANG KETUHANAN

oleh Agus Mustofa pada 12 Desember 2011 pukul 4:44

Banyak orang berbicara tentang eksistensi Tuhan dengan menggunakan sudut pandang makhluk. Sehingga hasilnya bukan Tuhan, melainkan tetap makhluk. Pemikiran filsafat tidak pernah menemukan Tuhan dalam arti yang sesungguhnya, karena ia hanya berputar-putar dalam sudut pandang kemanusiaan atau makhluk belaka.

Islam berbicara tentang Tuhan dalam sudut pandang yang lebih holistik, keluar dari kemakhlukan. Bahwa Tuhan adalah ‘Sesuatu’ yang tidak serupa dengan makhluk apa pun (laisa kamitslihi syai-un). Sehingga setiap apa pun yang bisa kita persepsi, bukanlah Tuhan. DIA berada dalam wilayah ‘ketidaktahuan’ kita sebagai makhluk. Selama kita masih tahu tentang ‘dia’, maka itu bukanlah DIA.

Yang kedua, Islam mengajarkan bahwa Tuhan adalah Maha Besar (Allahu Akbar) mewadahi seluruh makhluk. Maka, selama masih ada sesuatu yang mewadahi ‘tuhan’, dia itu bukanlah Tuhan. Karena itu, Islam menolak tuhan-tuhan yang masih berada di dalam alam semesta. Tuhan tidak terwadahi oleh apa pun termasuk alam semesta – ruang, waktu, materi & energi. Justru alam semesta itulah yang berada di dalam Tuhan. Bahkan juga, Tuhan tidak terwadahi oleh pikiran manusia ataupun pancaindera. Karena kalau masih terwadahi, berarti ‘tuhan’ itu masih kalah besar dengan pikiran dan kemampuan indera kita. Ini menyalahi kaidah Allahu Akbar. Itu pasti bukan Tuhan.

Yang ketiga, Tuhan sangat dekat dengan makhluk-Nya (aqrabu ilaihi min hablil warid). Diistilahkan lebih dekat daripada urat nadi yang ada di leher kita sendiri. Tentu, antara kita dengan urat leher tidak berjarak, karena urat leher itu sudah di dalam tubuh kita. Tetapi Allah menggambarkan Dirinya sebagai lebih dekat daripada yang tidak ada jaraknya itu. Ini sekaligus membantah orang-orang yang mempersepsi Tuhan sebagai sosok.

Yang keempat, Tuhan mewadahi segala yang kontradiktif (huwal awwalu wal akhiru, wazhahiru wal bathinu). Dulu dan nanti, ada di dalam Dirinya. Kelihatan dan gaib berada di dalam Dirinya. Disana-disini-disitu juga berada di dalam Dirinya.

Ringkas kata, kalau kita berbicara tentang eksistensi ketuhanan di dalam islam, ibarat sedang membicarakan ‘Semesta Pembicaraan’ dalam suatu himpunan angka. Bahwa seluruh angka yang ada di dalam himpunan itu adalah bagian atau anggota dari semesta pembicaraan. Berbicara apa pun tentang makhluk, adalah berbicara tentang eksistensi ketuhanan itu sendiri. Karena sekecil apa pun eksistensi makhluk, ia adalah bagian dari semesta pembicaraan yang ‘tak berhingga’. Namun, tentu saja, semesta pembicaraan tidaklah sama dengan apa pun yang ada di dalam himpunan angka.

Jadi, Tuhan bukanlah sekedar pengisi kekosongan saat ‘tidak tahu’ terhadap sesuatu, karena kita sedang berbicara totalitas eksistensi. Bahwa ‘kekosongan’ adalah bagian dari eksistensi ketuhanan, itu adalah iya, sebagaimana ‘keberadaan’ juga adalah bagian dari eksistensi ketuhanan. Bahwa ‘ketidaktahuan’ adalah berbicara tentang eksistensi ketuhanan juga iya, sebagaimana ‘ketahuan’ juga berbicara tentang eksistensi ketuhanan.

Karena itu, untuk menjadi ‘tahu’ bahwa diri kita ‘tidak tahu’, kita harus berproses menjadi tahu dulu. Disinilah terjadi proses saintifik dari: tidak tahu, belum tahu, lebih tahu, semakin tahu, tapi tidak akan pernah ‘benar-benar tahu’. Karena ternyata di balik ‘ketahuan’ selalu muncul ‘ketidak tahuan’ yang baru. Disanalah Tuhan sedang ‘memberi tahu’ tentang kesombongan manusia yang ‘sok tahu’. Sains tidak pernah bisa menjawab segalanya, karena ia hanya membuka tirai-tirai 'ketidak tahuan' manusia terhadap realitas yang selalu memunculkan misteri baru di baliknya.

Lebih dari itu semua, karena Tuhan adalah semesta pembicaraan, dan bukan anggota himpunan, maka segala operasi bilangan tidak berlaku bagi-Nya. Pertanyaan ‘dimana Tuhan’, ‘bagaimana Tuhan’, ‘sebelum & sesudahnya ada Tuhan apa nggak’, dan seterusnya tidak akan pernah bisa menggambarkan Tuhan dalam arti sebenarnya.

Untuk apa kita bertanya ‘Tuhan Ada Dimana’ misalnya. Lha wong, ruang alam semesta ini berada di dalam-Nya. Pertanyaan ‘dimana’ itu hanya berlaku untuk makhluk, yang sekali waktu ada disini, disitu, atau disana. Karena Tuhan sudah meliputi seluruh ruang alam semesta, maka dalam waktu yang bersamaan DIA sudah berada disini, disitu, dan disana. Jadi buat apa kita bertanya ‘DIA berada dimana?’ Pertanyaan semacam itu hanya berlaku untuk makhluk yang terikat oleh dimensi ruang.

Sama juga ketika kita bertanya tentang eksistensi Tuhan dengan pertanyaan ‘Apa, Bagaimana, dan Kapan’. Tidak bermakna apa-apa, karena seluruh waktu, materi, dan energi sudah berada di dalam eksistensi-Nya. DIA adalah DIA, yang tidak pernah bisa kita persepsi, karena eksistensi-Nya berada di luar jangkauan persepsi manusia. Tetapi, kehadiran-Nya bisa dirasakan dengan hati yang jernih. Kecuali bagi orang-orang yang tidak punya hati… ;)

Hmm, bagaimana mungkin kita bisa menceritakan bentuk sebuah gedung yang megah, kalau kita berada di dalamnya dan tak ada peluang untuk keluar darinya? Paling-paling kita hanya akan berputar-putar menceritakan interiornya belaka. Itu pun hanya sejauh kemampuan mata kita memandang.. :)


~ Salam Bertuhan kepada Tuhan yang Benar-Benar Tuhan ~