MASIH banyak yang rancu antara
JIWA dan RUH. Dalam bahasa aslinya di Al Qur’an, keduanya menggunakan istilah yang
berbeda. JIWA menggunakan kata NAFS (tunggal) dan ANFUS (jamak). Sedangkan RUH tetap
menggunakan istilah RUH (tunggal), dan jamaknya ARWAH. Tetapi, saya belum menemukan
penggunaan kata ruh dalam bentuk jamak di Al Qur’an. Selalu dalam bentuk tunggal.
Kerancuan itu, bahkan juga terjadi
di terjemahan ayat-ayat Qur’an keluaran Depag. Yakni menerjemahkan kata ‘nafs’ atau
‘anfus’ dengan ruh. Mestinya diterjemahkan sebagai ‘jiwa’. Misalnya, dalam ayat
berikut ini.
QS. At Takwiir
(81): 7
Dan apabila ruh-ruh (anfus) dipertemukan (dengan
tubuh),
Dan kemudian merembet ke pemahaman
ayat berikut ini, saat JIWA diminta bersyahadat oleh Allah di dalam rahim. Di ayat
ini jelas menggunakan istilah ANFUS (jiwa-jiwa). Tetapi, masih banyak umat Islam
yang memahaminya sebagai ‘ruh-ruh’. Meskipun dalam Al Qur’an Depag sebenanya sudah
diterjemahkan sebagai ‘jiwa’. Sehingga ada
kepahaman yang salah kaprah tentang adanya ‘alam ruh’ dimana ruh-ruh manusia diminta
bersyahadat. Padahal, mestinya proses bersyahadat itu terjadi di dalam rahim, sesaat
setelah bertemunya sel telur dan sperma.
QS. Al A’raaf
(7): 172
Dan, ketika Tuhanmu
mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari organ reproduksi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap JIWA-JIWA (anfus) mereka: "Bukankah Aku ini Tuhanmu?"
Mereka menjawab: "Benar (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi". (Yang demikian
itu) agar di hari kiamat kalian tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami adalah
orang-orang yang lalai terhadap ini (keesaan Tuhan)",
Dari sini, kita juga bisa memperoleh
informasi penting bahwa RUH itu TUNGGAL, dan SAMA untuk seluruh makhluk. Sedangkan
JIWA bisa berbeda-beda pada setiap makhluk hidup. Jadi ruh saya dan ruh Anda SAMA.
Tetapi jiwa kita berbeda.
Ibarat komputer dengan sumber listriknya.
Jika Listrik diibaratkan ruh, maka komputer itu ibarat badan manusia dengan jiwanya.
Badannya berupa hardware, jiwanya berupa
software. Listriknya sama. Anda bisa
menancapkan colokan listrik itu dimana saja, hasilnya tetap sama. Meskipun komputer
Anda dari merek dan spesifikasi yang berbeda-beda.
Nah, lagi-lagi ibarat komputer, substansi
dasarnya adalah software. Bukan hardware ataupun listrik. Keberadaan
hardware dan listrik itu ada dalam
rangka mewujudkan peran software.
Kurang lebih begitulah manusia. Yang substansial adalah JIWA. Bukan jasad atau ruh.
Karena itu yang kelak dimintai pertanggungjawaban oleh Allah (dan manusia) juga
bukan jasad ataupun ruh, melainkan jiwa.
Tidak ada ‘ruh baik’ dan ‘ruh jahat’.
Ruh itu sekedar potensi ketuhanan. Bergantung pada jiwanya, apakah dia mau menggunakan
potensi itu untuk kebaikan ataukah kejahatan. Misal, sifat BERKUASA, bisa saja digunakan
untuk kebaikan atau kejahatan. Sifat BERKEHENDAK, juga bisa untuk kebaikan atau
kejahatan. Sifat Mendengar, Melihat, Berilmu, Berbuat, dan seterusnya, awalnya sekedar
potensi ruh, dan kemudian menjadi baik atau jahat ketika diterapkan oleh jiwa. Maka,
jiwa harus mempertanggung-jawabkan semua itu. Bukan ruh, bukan jasad.
Potensi kemanusiaan berada di Jiwa.
Dan kualitas jiwa itu pula yang membedakan seseorang dengan orang yang lain. Baik
ataupun jahat. Karena itu kalau jiwanya sakit, ia tidak dimintai pertanggung-jawaban.
Kalau badannya yang sakit, masih dimintai pertanggungjawaban. Meskipun nanti menunggu
saat kesehatannya sudah membaik. Sedangkan ruh tidak bisa sakit ataupun sehat. Dia
sekedar potensi dasar. Karena itu, berbagai ayat Al Qur’an menjelaskan tentang kualitas
jiwa yang terus mengalami proses penyempurnaan itu.
QS. Asy Syams
(91): 7-10
Demi JIWA (nafs)
serta proses penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (potensi)
KEBURUKAN (fujur) dan KEBAIKAN (takwa), sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan
jiwanya, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.
Maka kita mengenal beberapa kualitas
jiwa. Diantaranya, ada jiwa yang jelek dan merusak, disebut sebagai ‘hawa NAFSu’
atau ‘NAFSul hawa’. Ada yang emosional tak terkendali disebut ‘NAFSul amarah’. Ada
yang sedang berproses menjadi baik dan suka menyesali perbuatan buruknya, disebut
NAFSul lawwamah. Dan ada pula jiwa yang sudah TENANG & DAMAI, disebut ‘NAFSul
Muthmainnah’. Yang terakhir ini disebut sebagai tingkatan yang sangat tinggi dari
kualitas jiwa, yang digambarkan dalam ayat berikut ini.
QS. Al Fajr (89):
27 – 30
Hai jiwa yang
tenang dan damai (nafsul muthmainnah). Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang
puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah
ke dalam surga-Ku.
Lantas, bagaimanakah hubungan antara
badan, jiwa dan ruh itu? BADAN adalah eksistensi yang bersifat material, JIWA adalah
eksistensi yang bersifat energial, sedangkan RUH adalah eksistensi yang belum diketahui
zatnya, tetapi memuat informasi. Tanpa ada informasi, badan dan jiwa kita tidak
akan berfungsi. Sel-sel kita akan berhenti berproses. Tidak ada metabolisme, tidak
ada regenerasi, tidak ada duplikasi, tidak ada reaksi-reaksi apa pun di tingkat
selular, organik, maupun tubuh secara keseluruhan. Tubuh kita tak lebih hanya akan
menjadi onggokan material tanpa aktifitas kehidupan.
Demikian pula, tanpa ada informasi
dari ruh, jiwa kita juga bakal stagnan. Karena struktur energi dalam jiwa kita bekerja
seiring dengan struktur materi badan. Khususnya otak. Jika otak mati, maka energi
kehidupan yang berupa jiwa di balik otak itu pun ikut mati. Sinyal-sinyal kelistrikan
yang dipandu oleh informasi ruh di miliaran sel-sel sarafi itulah yang menghasilkan
kualitas jiwa.
Maka, dimanakah ruh dan dimanakah
jiwa? Ruh meliputi seluruh tubuh manusia, mulai dari tingkat selular, organik, sampai
totalitas tubuh. Pokoknya dimana ada informasi kehidupan, maka disitu ada ruh. Rambut
kita hidup, maka ia diliputi oleh ruh. Kuku jari kaki kita juga hidup, ia pun diliputi
ruh. Sedangkan jiwa, adalah software yang inheren di dalam sirkuit-sirkuit sarafi
otak kita. Sehingga kalau sirkuit-sirkuit itu mengalami kerusakan, jiwa pun akan
mengalami masalah.
Hubungan antara badan, jiwa dan ruh
pada manusia yang hidup, memang tidak bisa dipisah-pisahkan. Badan dan jiwa itu
mirip dua sisi yang berbeda dari satu keping mata uang yang sama. Karena, materi
dan energi memang bisa saling berubah menjadi satu sama lain. Sedangkan ruh, ‘menyifati’
keduanya. Atau, mengendalikan proses-proses material-energial secara informasi berdasar
‘sifat-sifat’ itu.
Maka, ketika suatu saat badan seseorang
manusia rusak total, dan kemudian mati, struktur energialnya masih bisa lepas sendiri
di dalam pengaruh ruh. Dalam ilmu kedokteran jiwa disebut sebagai badan halus alias
bioplasma. Itulah yang diceritakan Al Qur’an, bahwa orang yang mati itu sebenarnya
masih hidup di alam jiwa. Alam energial. Mirip peristiwa mimpi, dimana badan kita
masih berada di atas kasur, tetapi jiwa kita bisa melanglang buana kemana-mana.
QS. Al Baqarah
(2): 154
Dan janganlah
kamu mengatakan terhadap orang-orang yang GUGUR di jalan Allah, (bahwa mereka itu)
mati; sebenarnya mereka itu HIDUP. Tetapi kamu tidak menyadarinya.
~ Salam Mengintip Eksistensi Ruh ~
oleh Agus Mustofa pada 18 Januari 2012
pukul 6:52