Kamis, 25 Oktober 2012

WUQUF DI ARAFAH MEMBUKA HIJAB JIWA ~ TASAWUF HAJI 2012 (10) ~

oleh Agus Mustofa pada 25 Oktober 2012 pukul 7:02

Jutaan jamaah haji dari seluruh penjuru dunia hari ini sudah berada di Padang Arafah. Sebuah padang bebatuan dimana mereka akan memulai seluruh rangkaian ibadahnya dengan perenungan suci. Yakni sejak Zhuhur sampai tenggelamnya matahari. Inilah puncak ibadah haji, yang kata Rasulullah SAW tidak sah haji seseorang jika tidak melakukan wuquf.

Sayang, kebanyakan jamaah haji lantas hanya berusaha memenuhi sahnya haji secara syariat belaka. Yakni, berdiam di Arafah selama waktu siang sampai sore hari. Asal tidak meninggalkan Arafah di waktu tersebut, maka hajinya pun menjadi sah. Sehingga, saya melihat, tak sedikit jamaah haji yang lantas menghabiskan waktu wuquf hanya dengan tidur-tiduran, ngobrol ke tenda sebelah, dan kegiatan-kegiatan tak bermakna lainnya.

‘’Toh tidak membatalkan ibadah haji,’’ begitu barangkali pikirnya. Padahal, di tempat inilah Nabi Ibrahim memahami substansi ibadah hajinya. Yakni setelah beliau meyakini kebenaran mimpinya, sebagai ujian kesabaran yang diberikan Allah kepada keluarganya.

Di Padang Arafah itulah keyakinan Ibrahim menjadi mantap, dikarenakan bisa menangkap pesan mimpi anehnya: menyembelih anak yang dikasihinya. Padahal dia sendiri adalah penentang praktek agama pagan yang mengorbankan manusia kepada dewa-dewi. Kini ia malah memperoleh perintah untuk mengorbankan anaknya. Tapi, dengan ritual ini, kelak Ibrahim justru tahu bahwa berkurban yang benar adalah menyembelih ternak yang bermanfaat untuk banyak orang. Bukan seperti yang dilakukan oleh penganut agama pagan itu.

Ibrahim tahu betul bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Bijaksana. Sehingga, hati kecilnya tetap yakin semua ini hanya bersifat ujian untuk mengetahui seberapa besar tingkat berserah dirinya kepada Allah. Agar terbukti ikrar kepasrahan yang selalu ia lantunkan setiap hari:‘’sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah semata...’’

Saya membayangkan betapa dahsyat pergulatan batin Ibrahim untuk memperoleh keyakinan bahwa mimpi itu adalah perintah Allah. Bukan bisikan setan. Pada orang awam yang kejernihan batinnya belum setingkat Nabi, pasti sangat sulit untuk membedakan antara perintah Allah dan bujukan setan. Tetapi, dengan cara wuquf itu Nabi Ibrahim lantas memperoleh kemantapan. Apakah yang terjadi ketika itu?

Intinya adalah terbukanya hijab alias tabir dalam jiwa Ibrahim. Sebuah proses menjernihkan hati, yang dilakukan dengan sepenuh jiwa lewat dzikir-dzikir yang intensif. Inilah yang secara umum telah saya sampaikan di tulisan-tulisan sebelumnya, dan lebih khusus di buku ‘Ma’rifat Di Padang Arafah’. Bahwa dzikir adalah proses untuk menyambungkan jiwa kita kepada Allah. Mengisi seluruh kesadaran hanya dengan nama-Nya. Dan kemudian merasakan kehadiran-Nya.

Semua itu terjadi di dalam inner-cosmos yang meleburkan kesadaran nafsiyah ke dalam kesadaranruhiyah. Kesadaran nafsiyah adalah kesadaran ego sebagai manusia, sedangkan kesadaran ruhiyahadalah kesadaran akan hadirnya Tuhan dalam diri. Karena ruh kita memang sudah membawa sifat-sifat ketuhanan. Itulah sebabnya Allah mengatakan Dia telah hadir begitu dekat dengan kita, lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Sehingga bisa mengetahui seluruh bisikan jiwa setiap manusia.

QS. Qaaf (50): 16
Dan sesungguhnya Kami-lah yang telah menciptakan manusia. Dan Kami mengetahui segala yang dibisikkan oleh jiwanya. Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.

Bagaimanakah Anda memahami sebuah ‘jarak’ yang lebih dekat daripada sesuatu yang ‘tak berjarak’? Bukankah urat leher itu sudah di dalam diri kita, yang dengan kata lain sudah tak berjarak? Tetapi Allah masih mengatakan lebih dekat daripada yang tak ada jaraknya itu. Kesimpulannya, kita ini sebenarnya sudah berada di dalam Diri-Nya. Sudah diliputi-Nya.

Nah, dengan dzikir saat wuquf itulah seseorang akan merasakan kehadiran Allah dalam seluruh kesadarannya. Meleburkan sifat-sifat yang egoistik ke dalam sifat-sifat ruh yang universal. Sifat-sifat kemakhlukan ke dalam sifat-sifat ketuhanan.

Hubungan antara ego manusia dengan Ego Tuhan itu ibarat timbangan. Jika ego kita membesar, maka Ego Tuhan akan mengecil dalam kesadaran kita. Sebaliknya, jika Ego Tuhan kita hadirkan sebesar-besarnya dalam kesadaran, ego kita akan mengecil bahkan bisa hilang sama sekali. Itulah substansi dari kalimat laa ilaaha illallah – tidak ada lagi yang mendominasi kesadaran kita kecuali Dia.

Orang yang bisa menghadirkan rasa ini di dalam dzikirnya, dia telah menghilangkan hijab yang membatasi jiwanya terhadap ruhnya sendiri. Energi ruhiyah akan memancar menerangi jiwa. Dan menerobos sampai kepada ucapan, serta tingkah lakunya. Menjadi rahmat bagi seluruh alam. Itulah yang diperoleh Nabi Ibrahim saat wuquf di Padang Arafah.

Kemantapan yang dia peroleh itu disebabkan telah terbukanya hijab antara jiwa yang egoistik dengan ruhnya yang universal. Kekhawatirannya menjadi sirna seketika. Karena kekhawatiran itu memang bersumber dari jiwa yang terkungkung oleh ego pribadi. Dengan wuqufnya, Ibrahim bisa memusnahkan kekhawatiran berganti dengan keyakinan yang tak tergoyahkan. Bahwa, mimpinya itu adalah wahyu ilahiah untuk menguji keimanan dan kesabarannya. Dan akan menjadi skenario besar yang diwariskan kepada umat Islam sampai ribuan tahun kemudian.

Tidak mudah untuk mencapai kesadaran spiritual semacam ini. Dan tidak sembarang orang bisa mencapainya. Tetapi, kita bisa mengusahakannya sampai tingkat tertentu, supaya hijab antara jiwa dan ruh kita tidak sedemikian tebalnya sehingga menghalangi informasi-informasi ilahiyah sebagai petunjuk kehidupan. Sesungguhnya segala macam petunjuk itu memang sudah ada di dalam diri kita sendiri. Bersumber di dalam ruh. Sedangkan, informasi dari luar diri – outer cosmos – tak lebih hanya bersifat menstimulasi atau mengaktifkan sifat-sifat ketuhanan yang sudah inheren itu.

Maka, sebanyak apa pun seseorang melakukan interaksi dengan dunia luar – termasuk membaca ayat-ayat Qur’an – jika sifat-sifat ketuhanan yang ada di dalam dirinya tidak terbangkitkan, orang tersebut tidak akan memperoleh petunjuk. Kita menyebut: hatinya belum terbuka. Tertutup oleh hijab. Meskipun bacaanya setiap hari adalah Al Qur’an Al Karim..!

Jadi, wuquf yang baik adalah perenungan yang bisa membuka hijab itu. Perbanyaklah dzikir saat wuquf di Arafah. Maupun saat berpuasa Arafah di tanah air. Dan dzikir yang paling baik adalah dengan mengerjakan shalat sebagaimana Allah ajarkan di dalam Al Qur’an. Maka, saat berwuquf, saya mengisinya dengan shalat dua rakaat berulang-ulang sejak tergelincirnya matahari di siang hari, sampai tenggelam di senja hari. Mudah-mudahan Allah berkenan membukakan hijab jiwa kita, dan mengaruniakan hidayah kepada siapa saja yang mengikhlaskan hidupnya hanya untuk Allah semata..!

QS. Thaahaa (20): 14
Sesungguhnya Aku ini adalah Allah. Tidak ada Tuhan selain Aku. Maka sembahlah Aku dan dirikanlah SHALAT untuk BERDZIKIR kepada-Ku.

QS. Az Zumar (39): 11
Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam beragama. Dan aku diperintahkan supaya menjadi orang yang pertama-tama berserah diri (hanya kepada-Nya)."

Wallahu a’lam bishshawab. (Bersambung)

Rabu, 24 Oktober 2012

UJIAN BERAT ITU DIMULAI DI MINA ~ TASAWUF HAJI 2012 (09) ~

oleh Agus Mustofa pada 24 Oktober 2012 pukul 8:00

Hari ini, 8 Dzulhijjah, jamaah haji di tanah suci sedang bersiap-siap memulai seluruh rangkaian ibadahnya. Mereka berkumpul di kota Mina, sebuah kawasan yang berjarak sekitar 8 kilometer dari Mekah, menuju ke Arafah. Diharapkan malam ini jutaan jamaah dari seluruh penjuru dunia itu sudah bisa berkemah di Arafah – yang masih berjarak 14 kilometer lagi. Karena, besok siang mereka mesti melakukan wuquf sebagai awal sekaligus puncak ibadah hajinya.

Lebih dari 4000 tahun yang lalu, Nabi Ibrahim bersama Istri dan anaknya – Siti Hajar dan Ismail – juga sedang berada di tempat yang sama: Mina. Sebuah lembah yang diapit perbukitan dimana keluarga Ibrahim sering menggembalakan ternaknya, sampai di kawasan Arafah. Di tempat inilah Ibrahim mulai diuji oleh Allah dengan ujian yang sangat berat, yang kemudian menjadi ritual haji.

Waktu itu, Ibrahim sedang melepas rindu karena bertahun-tahun tidak bertemu istri dan anaknya. Sejak bayi memang Ismail telah ditinggalkan oleh Ibrahim di sebuah lembah tandus, cikal bakal kota Mekah. Ismail tinggal di Mekah bersama ibundanya, Siti Hajar hingga masa remaja. Sedangkan Ibrahim pulang ke Palestina, dan tinggal bersama istri dan anaknya yang lain – Sarah dan Ishak. Kota Palestina berjarak sekitar 1.500 kilometer dari Mekah.

Sejak meninggalkan mereka belasan tahun yang lalu itulah Ibrahim melepas rindu untuk pertama kalinya, dengan mengunjungi Hajar dan Ismail di kota Mekah. Ia begitu bangga dengan istrinya yang telah berhasil membesarkan Ismail menjadi anak yang saleh dan penyabar. Ia juga bangga dengan Ismail yang telah tumbuh sebagai remaja yang sangat penyantun dan taat kepada Allah serta orang tuanya. Maka, Ibrahim pun mulai melibatkan Ismail dalam syiar agama Islam. Dan lantas, mengajaknya untuk meninggikan pondasi Kakbah menjadi sebuah rumah ibadah, pusat penyebaran agama Islam di Jazirah Arabiyah.

QS. Al Baqarah (2): 127-128
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim membangun pondasi Baitullah bersama Ismail. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah (amal ibadah) kami, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".

Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang berserah diri kepada-Mu. Demikian pula (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang berserah diri kepada-Mu. Dan tunjukkanlah kepada kami cara dan tempat-tempat ibadah haji kami. Dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.

Maka Allah pun menunjukkan tatacara ibadah haji kepada keluarga Ibrahim. Mereka diperintahkan untuk berjalan ke arah Arafah, sebuah padang berjarak sekitar 22 kilometer dari tempat tinggal mereka di Mekah, dimana Hajar dan Ismail biasa menggembalakan ternak mereka. Nah, pada tanggal 8 Dzulhijjah itu sampailah mereka di Mina, lantas beristirahat disana.

Dalam tidurnya Ibrahim bermimpi aneh, yakni disuruh menyembelih anaknya – Ismail. Ia tergeragap, terbangun karenanya. Sebuah mimpi yang sangat jelas, dan menggetarkan hatinya. Ia termenung memikirkan mimpi itu. Tetapi, tidak bercerita kepada istri dan anaknya. Ia pun mengajak mereka untuk meneruskan perjalanan ke Arafah yang masih belasan kilometer lagi. Di Arafah itulah Ibrahim ingin berkemah untuk memperoleh petunjuk Allah tentang tatacara ibadah haji.

Ibrahim dan keluarganya sampai di Arafah menjelang malam hari, memasuki tanggal 9 Dzulhijjah. Mereka pun berkemah disana. Malam itu, Ibrahim bermimpi kembali dengan sangat jelas: lagi-lagi diperintahkan untuk menyembelih anak yang sangat dicintainya. Hatinya semakin gemetar, ia gundah jangan-jangan ini adalah perintah Allah terkait dengan ibadah haji yang sedang dimintakan petunjuk kepada-Nya.

Sampai keesokan harinya, Ibrahim terpanggang dalam kegelisahan. Hatinya ragu-ragu dengan mimpi yang aneh itu. Tetapi, mau bercerita kepada istri dan anaknya ia tidak sampai hati. Akhirnya Ibrahim memutuskan untuk bermunajat kepada Allah seusai Zhuhur. Ia berdiam di dalam kemahnya melakukan wuquf – menghentikan segala kegiatannya untuk memfokuskan diri berdzikr dan berdoa kepada-Nya memohon petunjuk.

Wuquf itu dilakukannya sampai menjelang matahari terbenam. Di dalam wuqufnya itulah Ibrahim memperoleh keyakinan, bahwa mimpi yang dialaminya itu adalah perintah dari Allah. Sebuah proses terbukanya hijab jiwa, yang membuatnya bisa menangkap informasi kebenaran yang ditunjukkan Allah kepadanya. Maka ia pun menyudahi wuqufnya, dan mengajak keluarganya melanjutkan perjalanan untuk kembali ke Mekah.

Menjelang tengah malam, keluarga Ibrahim sampai di suatu tempat bernama Muzdalifah. Di tempat ini keluarga Ibrahim beristirahat, dan untuk ketiga kalinya Ibrahim bermimpi dengan isi yang sama: diperintahkan mengorbankan Ismail. Hatinya pun menjadi mantap, bahwa ini memang perintah dari Allah untuk menguji keimanannya.

Tiba-tiba terlintas di benaknya tentang janji yang pernah diucapkannya puluhan tahun yang lalu. Sejak muda Ibrahim suka melakukan qurban. Puluhan kambing dan unta disembelihnya untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang yang miskin dan kelaparan. Sekaligus untuk mencontohkan kepada manusia bahwa praktek berkurban yang diajarkan oleh sejumlah agama pagan adalah tidak benar, dikarenakan mereka membuang daging-daging ternak secara mubazir, bahkan kadang-kadang diselingi mengorbankan manusia untuk dipersembahkan kepada para dewa. Berkurban ala Ibrahim adalah memadukan keikhlasan untuk Allah sekaligus menebarkan manfaat untuk orang-orang yang membutuhkan pertolongan.

QS. Al Hajj (22): 36
Dan telah Kami jadikan untukmu unta-unta itu sebagian dari syi'ar (agama) Allah. Kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya. Maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri. Kemudian apabila telah roboh, maka makanlah sebagian (daging)nya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk makan orang-orang miskin yang tidak meminta-minta. Dan (juga) untuk orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.

Nah, sesaat setelah berkurban dalam jumlah besar itulah Ibrahim sempat berkata, bahwa seandainya Allah menghendaki dia untuk berkurban lebih banyak lagi ia pasti akan melakukannya. Termasuk apa saja yang paling dicintainya. Begitulah memang keikhlasan Ibrahim dalam bertuhan kepada Allah sebagaimana doanya yang sering kita baca dalam shalat: ‘’sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah semata...’’

Ternyata ucapan Ibrahim waktu masih muda itu kini ‘ditagih’ oleh-Nya. Ibrahim diminta untuk mengorbankan Ismail yang sangat dikasihinya. Anak yang diharapkan akan meneruskan syiar agama Tauhid yang sedang diperjuangkannya. Betapa berat beban jiwa Ibrahim ketika itu. Tetapi, karena ini adalah perintah Allah, maka dengan kesabaran dan kepasrahan yang sangat mendalam ia pun bertekat untuk menjalankannya..!

Wallahu a’lam bishshawab. (Bersambung).

AKHLAK MULIA BERENERGI TINGGI, AKHLAK BURUK RENDAH ~ TASAWUF HAJI 2012 (08) ~


oleh 
Agus Mustofa pada 23 Oktober 2012 pukul 9:18

Seluruh interaksi keseharian kita membutuhkan energi. Baik yang bersifat internal di dalam badan fisik dan jiwa kita, maupun yang bersifat eksternal berupa interaksi dengan orang lain dan lingkungan sekitar. Semuanya membutuhkan energi agar bisa berdinamika ke arah lebih baik atau sebaliknya menjadi lebih buruk.

Otak membutuhkan energi, jantung membutuhkan energi, paru-paru, liver, pencernaan, kelenjar-kelenjar, jaringan tubuh, sampai triliunan sel semuanya berdinamika dengan menyerap atau memancarkan energi. Jika energi kehidupan di tubuh kita habis, maka tubuh sebagai wadah kehidupan itupun rusak dan kemudian disebut meninggal. Lantas, triliunan sel-sel tubuhnya pun bakal terurai.

Jiwa kita juga butuh energi. Tidak seperti energi badan yang bisa diukur secara fisikal, energi jiwa lebih abstrak dan unpredictable, sehingga masih membutuhkan penelitian intensif agar tidak disebut sebagai pseudo-science. Tetapi perkembangan mutakhir di dunia psikologi menunjukkan perkembangan yang semakin kuat bahwa energi jiwa ternyata memiliki peran yang sangat besar dalam perubahan peristiwa di dunia fisikal.

Kenapa tangan kita bisa digerakkan, misalnya? Sumber utamanya bukan di energi badaniah, melainkan berada di energi jiwa. Bukan karena ‘otak fisik’ kita yang menggerakkan, melainkan ada ‘otak batiniah’ yang menginginkan. Kebanyakan pakar biologi hanya berhenti pada mekanisme ‘otak fisik’ belaka. Padahal, jika ‘otak batiniah’ sudah meninggalkan otak fisik itu ia tak lebih hanya menjadi organ seperti bubur yang berbobot sekitar 1 kg yang tak punya ‘kehendak’. Meskipun hanya untuk sekedar menggerakkan ujung jari sekalipun.

Jiwa berdinamika dengan menggunakan energi. Para pakar psikologilah yang terus berusaha untuk membuktikan agar semakin transparan. Tetapi, gejala dan dampaknya sungguh sangat besar dalam kehidupan seseorang maupun kolektif. Meskipun, orang-orang yang kurang memahaminya akan mengatakan itu sebagai pseudo-science atau bahkan ‘cocokology’, hanya disebabkan mereka belum bisa menghubungkan mekanisme antara psycho-energy dengan physio-energy.

Akhlak adalah sumber psycho-energy alias energi kejiwaan yang sangat besar. Penerapan akhlak yang baik secara benar akan menghasilkan perubahan fisikal yang baik dan benar pula. Kita menyebutnya sebagai energi positif. Sebaliknya, akhlak yang buruk akan menghasilkan perubahan fisikal yang buruk dan merugikan. Baik yang terjadi pada badan kita maupun lingkungan. Kita menyebutnya sebagai energi negatif.

Seseorang yang sedang stress disebut sedang menghasilkan energi negatif di dalam dirinya. Dan efeknya bukan hanya pada jiwanya, melainkan juga pada badannya. Tubuh fisiknya bisa mengalami sakit yang sulit diketahui sebab-musababnya. Dan tak jarang, para dokter biasa – physician – tidak bisa menyembuhkannya. Tetapi, bukan berarti ini berada di wilayah pseudo-medical atau supranatural dan sebangsanya, karena ternyata ia bisa disembuhkan oleh seorang psychiatrist yang mengerti ilmu jiwa. Itulah yang disebut sebagai penyakit psikosomatis.

Apa yang saya uraikan diatas hanya untuk menggambarkan betapa manusia adalah makhluk yang sangat kompleks, yang selalu memancar-mancarkan energi atau menyerapnya saat melakukan aktivitas kesehariannya. Mulai dari yang bersifat fisikal, emosional, sampai spiritual. Semakin fisikal semakin mudah diukur, semakin spiritual semakin sulit. Tetapi, semuanya terbukti memiliki dampak riil dalam kehidupan kita. Bisa berakibat baik atau buruk, yang lantas menjadi penting untuk diperhatikan.

Ibadah Haji sarat dengan amalan-amalan spiritual tingkat tinggi bagi yang memahaminya. Dan tentu saja melibatkan energi spiritual yang sangat besar, yang bisa berdampak sampai kepada emosi dan fisik. Sebaliknya, bagi yang tidak memahami, mereka hanya akan memperoleh dampak fisikal seperti orang yang melakukan camping, outbond, atau long-march belaka, sebagaimana telah saya uraikan di tulisan sebelumnya.

Pelajaran Haji adalah pelajaran tentang akhlak yang mulia sebagaimana dicontohkan oleh para Nabi dan Rasul. Seperti kesabaran, keikhlasan, pengorbanan, dan sebagainya. Secara energial, sifat-sifat itu memiliki energi yang sangat tinggi. Semakin sabar seseorang, semakin tinggi energi spiritualnya, dan itu akan berdampak positif pada kondisi emosi dan fisiknya menjadi semakin baik. Sebaliknya, semakin tidak sabaran seseorang, semakin rendah energi spiritualnya, dan itu akan memunculkan ketidakstabilan pada energi emosional maupun fisikalnya.

Orang yang emosinya tidak stabil dan memburuk, akan menghasilkan frekuensi rendah yang ditandai oleh melonjak-lonjaknya denyut jantung dan tremor di seluruh tubuhnya. Dan kemudian oleh kacaunya sistem kelenjar maupun hormonal. Lonjakan getaran fisikal itu, dalam Fisika disebut sebagai gelombang yang amplitudonya membesar. Dampaknya, frekuensinya menurun. Dan efek berikutnya adalah energi yang drop menjadi rendah.

Maka orang yang sedang marah-marah, tidak sabaran, gelisah, meledak-ledak, stress dan sebangsanya, sebenarnya sedang mengalami penurunan energi spiritual, emosional, dan fisikal sekaligus. Orang yang sedang dalam arasy energi semacam ini sedang terkungkung oleh energi negatif yang merugikan diri sendiri. Jika mengambil keputusan cenderung salah, jika bertanding pasti kalah, dan berbuat apa saja daya kontrolnya rendah.

Sebaliknya, orang-orang yang sedang dalam kondisi sabar, rendah hati, ikhlas, dan sebagainya – berakhlak mulia – ia sedang berada di arasy energi spiritual yang tinggi. Denyut jantungnya ikut lembut, emosinya stabil, sistem energi tubuh dan jiwanya dalam kondisi yang bagus. Dampaknya, berbagai keputusannya cenderung bijaksana dan perbuatannya terkontrol dengan baik.

Jika energi tersebut berada dalam kerumunan secara kolektif, dampaknya pun menjadi akumulatif. Dan bisa menyebabkan leburnya arasy energi individual menjadi massal. Itulah sebabnya, kenapa dalam sebuah demonstrasi yang emosional sifat-sifat individu yang tadinya baik bisa hanyut oleh emosi massa yang tak terkendali dan merusak apa saja yang ada di hadapannya.

Sebaliknya, akumulasi energi spiritual yang kolosal bisa membawa individu-individu di dalamnya menjadi lebih baik. Dan berdampak kebaikan pula kepada segala yang berinteraksi dengannya. Baik interaksi individual maupun interaksi massal yang bersifat keumatan. Itulah yang terjadi pada ritual Haji selama di tanah suci. Pusaran energi makna itu bergema di angkasa fisik jutaan  jamaah, yang kemudian menjadi atmosfer emosional dan spiritual yang menghanyutkan individu-individu di dalamnya dalam lantunan dzikir-dzikir yang penuh makna.

Memancar dari kalimat-kalimat talbiyah hamba-hamba yang rindu Tuhannya. Menggeletar dari jiwa yang penuh kepasrahan. Menggetarkan sanubari yang paling dalam, dan menggema di angkasa semesta berpusaran di Arsy Allah Azza wajalla, Tuhan Jagat Semesta Raya...

Labbaik Allaahumma labbaik. Labbaika laa syariika laka labbaik. Innal hamda wanikmata laka wal mulk. Laa syariikalak... (Kupenuhi panggilan-Mu ya Allah. Kupenuhi panggilan-Mu wahai Dzat yang tidak ada sekutu bagi-Mu. Sesungguhnya, segala puja dan puji beserta semua kenikmatan dan kerajaan hanyalah untuk-Mu semata. Tiada sekutu bagi-Mu...)

Wallahu a’lam bishshawab (Bersambung).

Senin, 22 Oktober 2012

PETILASAN PARA NABI BERENERGI TINGGI ~ TASAWUF HAJI 2012 (07) ~


oleh 
Agus Mustofa pada 22 Oktober 2012 pukul 7:59

Setiap karya selalu mengandung energi pembuatnya. Entah itu berupa karya sastra, karya lukis, musik, sains, budaya, bahkan politik. Apalagi karya-karya spiritual. Energi yang tersimpan di dalam karya-karya itu suatu ketika bisa menular alias meresonansi siapa saja yang berinteraksi dengannya. Dan kemudian menimbulkan efek yang sama dengan sumbernya.

Pernahkah Anda membaca suatu karya sastra sampai merinding, bahkan meneteskan air mata? Kenapa kita bisa ikut terharu saat membaca sebuah puisi yang mengharu biru? Boleh jadi Anda akan mengatakan: ‘’ya, karena isinya memang menyentuh hati, sehingga hati saya bergetar’’. Kenapa bisa menyentuh hati dan apa yang membuatnya bergetar?

Itulah yang disebut sebagai resonansi energi makna. Kalimat-kalimat yang kita baca itu memunculkan informasi. Di dalam informasi itu ada makna yang kita pahami. Dan di dalam makna itu terdapat energi yang menyebabkan jantung kita berdesir. Desiran itu menggetarkan seluruh tubuh kita. Mengaktifkan sejumlah hormon dan kelenjar. Termasuk kelenjar air mata, sehingga menetes tanpa bisa kita bendung lagi. Dan seterusnya. Bahkan sampai mendorong kita untuk melakukan sesuatu perbuatan yang berdampak riil.

Dalam konteks yang sedang kita bicarakan, karya sastra itu telah memancarkan energi pembuatnya kepada kita yang membacanya. Jika karya itu dibuat sambil menangis, maka energi makna yang tersimpan di dalam tangisan sang pujangga itu akan mengisi karyanya. Tertuang dalam kalimat-kalimat yang penuh haru. Meresap ke dalam diksi-diksi yang dipilihnya sehingga bisa menggambarkan isi hatinya. Dan saat kita membacanya, energi makna yang tersimpan di dalam karya itu akan menggeletar meresonansi jiwa kita. Sehingga kita pun menangis sebagaimana sang pujangga itu menangis saat menumpahkan isi hatinya.

Bukan hanya karya sastra dalam bentuk puisi, sebuah karya lukis pun menyimpan getaran-getaran jiwa sang pelukis. Sebuah karya yang hebat adalah karya yang menuangkan seluruh perasaan sang maestro ke dalam kanvas. Dan kelak, ketika ada yang menikmati karya lukis itu sepenuh hati, mereka akan bisa merasakan getaran perasaan sang maestro di atas kanvas tersebut. Seorang penikmat lukisan bisa berjam-jam berada di depan lukisan yang telah menggetarkan jiwanya. Itulah resonansi energi..! Meskipun tidak ada kata yang terucap, aliran energi itu tetap bisa mengalir deras kepada orang yang memiliki frekuensi sama dengan sumbernya.

Hal semacam ini bisa terjadi pada karya apa pun. Berbagai karya budaya, pidato-pidato hebat, penemuan-penemuan fenomenal, sampai pada karya-karya spiritual seperti petilasan para nabi dan orang-orang yang saleh. Bukan hanya yang berupa teks-teks yang mengandung makna secara harfiah, melainkan juga benda-benda yang seakan-akan tak memiliki makna, tetapi sebenarnya mengandung getaran energi sang pembuatnya. Yang semua itu baru bisa dirasakan resonansinya oleh orang-orang yang memiliki frekuensi sama dengan sumbernya.

Ini mirip dengan sebuah alat musik – katakanlah gitar – yang bisa menggetarkan gitar di sebelahnya jika kedua gitar itu disetem dengan nada-nada snar yang sama. Meskipun gitar yang bersebelahan itu hanya dipetik salah satunya. Kenapa bisa demikian? Itulah resonansi: bergetarnya sebuah benda disebabkan oleh bergetarnya benda lain yang berfrekuensi sama.

Inilah penjelasannya, kenapa seseorang yang berdekatan dengan orang yang sabar hatinya akan ikut merasa tenteram. Sebaliknya jika berdekatan dengan orang yang emosional, hatinya akan ikut gelisah dan emosional pula. Atau, ketika kita berada di sebuah tempat yang energinya negative perasaan kita menjadi gelisah, dan kalau berada di tempat yang berenergi positive hati kita merasa tenteram.

Tanda positive dan negative pada energi, dalam konteks ini, bermakna energi yang bermanfaat atau merugikan kita. Ada sebuah tempat yang jika kita berlama-lama di tempat itu kita bisa menderita sakit, maka tempat itu kita sebut sebagai berenergi negative. Sebaliknya, ada tempat yang jika kita berlama-lama disitu badan kita menjadi lebih bugar, maka tempat itu kita sebut sebagai berenergi positive. Bahkan bukan hanya yang bersifat fisikal, melainkan juga yang bersifat spiritual.

Maka, petilasan para nabi dan orang-orang saleh adalah tempat yang berenergi positive. Diantaranya adalah tempat-tempat ritual haji, terutama di Masjid al Haram, dimana Baitullah berada. Inilah rumah ibadah tertua yang dibangun oleh manusia. Dan kemudian ditinggikan oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Yang lantas, selama ribuan tahun dijadikan tempat ibadah oleh manusia.

QS. Ali Imran (3): 96
Sesungguhnya rumah (ibadah) yang pertama kali dibangun untuk manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.

Berdekatan dengan karya Ibrahim kita bakal teresonansi energi yang tersimpan di dalamnya. Tentu saja bagi yang memiliki frekuensi yang sama dengan sumbernya. Bagaimanakah frekuensi Nabi Ibrahim itu? Al Qur’an berulang kali menjelaskan tentang karakter beliau yang sangat santun, berakhlak mulia, rendah hati, penuh pengorbanan, dan berserah diri hanya kepada Allah.

QS. AtTaubah (9): 114
‘’… Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.’’

QS. An Nahl (16): 120
Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi taat kepada Allah dan hanif (lurus). Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan),

Maka, jika kita datang ke Baitullah dengan sifat-sifat Ibrahim itu, niscaya kita akan merasakan resonansi luar biasa dari Baitullah. Mirip dengan apa yang saya ceritakan di atas, bahwa berdekatan dengan orang yang sabar akan ketularan sifat sabar, berdekatan dengan orang yang emosional bakal ikut-ikutan emosional. Sifat-sifat Ibrahim yang lembah lembut, santun, taat, penuh keikhlasan dan berserah diri hanya kepada Allah akan mengimbas jiwa kita sampai ke relung-relung hati yang paling dalam. Sehingga tak terasa akan terucap doa Ibrahim yang penuh makna dalam bisikan-bisikan mesra kita kepada Allah Sang Penguasa Jagat Semesta saat kita bermunajat kepada-Nya.

QS. Al An’aam (6): 162-163
‘’… Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Demikian itulah yang diperintahkan kepadaku. Dan aku adalah orang yang paling awal berserah diri (kepada-Nya)".

Wallahu a’lam bishshawab. (Bersambung).

Minggu, 21 Oktober 2012

BERDOA KOK LUPA KEPADA TUHANNYA ~ TASAWUF HAJI 2012 (06) ~


oleh 
Agus Mustofa pada 21 Oktober 2012 pukul 8:43

Masjidil Haram adalah tempat yang sangat mustajab untuk berdoa. Sudah sangat banyak contoh kasusnya, terutama yang dialami oleh mereka yang pergi ke tanah suci. Tetapi, tentu saja doa yang terkabul itu adalah doa yang disampaikan dengan benar. Jika tidak, maka ibarat kita sedang berbicara melalui handphone kepada seseorang tapi lupa memencet nomer telpon lawan bicara. Tidak berjawab, karena tidak nyambung..!

Ritual haji adalah ibadah yang bertabur dzikir dan doa. Meskipun, basisnya adalah ibadah fisik sejak wuquf di Arafah, lempar jumrah di Mina, sampai tawaf dan sa’i di Mekah. Dzikir dan doa adalah dua aktivitas ibadah yang berkesinambungan. Doa akan menjadi mustajab jika didahului oleh dzikir yang mantap. Dan sebaliknya menjadi tidak mustajab, ketika dzikirnya tidak bermakna. Kenapa bisa demikian?

Ya, dzikir adalah upaya untuk menyambungkan hati dengan Allah. Apa pun bacaannya. Dzikrullah bermakna ‘mengingat’ Allah. Hatinya berinteraksi dengan Dzat Penguasa Jagat Raya, yang telah memproklamirkan diri-Nya sebegitu dekat dengan makhluk-Nya. Yang ‘jaraknya’ sudah lebih dekat daripada urat leher kita sendiri – yang kita tahu sudah tak berjarak itu. Karena urat leher memang sudah berada di dalam diri kita sendiri.

Meskipun sudah sedemikian dekatnya kita dengan Allah, tak jarang kita tidak merasakan kedekatan itu. Kenapa? Karena kita tidak mengingat-Nya. Tidak berdzikir kepada-Nya. Perhatian kita terdominasi oleh hal-hal yang bersifat semu dan inderawi. Al Qur’an menyebut kondisi itu sebagai ‘lalai’, tidak fokus, dan ‘kemana-mana’. Dzikir yang baik adalah yang bisa menyatukan keberagaman realitas di sekitar kita menjadi ‘kesadaran tunggal’ melebur ke dalam kesadaran terhadap Allah. Bukan cuma menyadari ‘bersama’ Allah. Melainkan berada di dalam-Nya. Yang oleh Al Qur’an dijelaskan sebagai: Allah telah meliputi segala sesuatu – benda maupun peristiwa, termasuk kita –wakanallahu bikulli syai’in mukhiitha.

Maka, doa orang-orang yang sedang melakukan ibadah haji menjadi sangat mustajab, dikarenakan hati yang selalu nyambung kepada-Nya itu. Namun toh demikian, banyak jamaah haji yang tak bisa mencapai kondisi tersebut. Banyak orang berdoa di tanah suci tanpa menyambungkan hati kepada-Nya. Kecuali sekedar memenuhi syariatnya saja. Inilah yang oleh Allah disebut sebagai doa yang lalai itu.

QS. Al Ahqaf (46): 5
Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sesembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa)-nya sampai hari kiamat, dan orang-orang yang LALAI terhadap doanya?

Orang yang lalai terhadap doanya itu ditempatkan dalam satu kalimat dengan orang-orang yang menyembah selain Allah. Artinya, jiwanya sama-sama tidak fokus kepada Allah yang mestinya menjadi satu-satunya Tuhan yang hadir di dalam kesadarannya dalam berdoa. Lantas, apakah yang bisa melalaikan kita dalam berdoa kepada Allah itu?

Dalam beribadah haji atau umrah, saya melihat diantaranya karena ketidakpahaman jamaah terhadap apa yang dilakukannya. Yang lebih dipentingkan adalah tatacara atau syariat belaka. Mereka kurang memahami substansi atau hakekat dari ritual yang sedang dijalani. Salah satu sebabnya, karena bimbingan haji sejak di tanah air memang kurang menyentuh masalah ini. Yang menjadi perhatian seringkali adalah tatacara yang bersifat fisikal. Seperti bagaimana cara mengenakan pakaian ihram, cara bertawaf, cara berwukuf, cara bersa’i, bertahalul, cara lempar jumrah, dan sebagainya.

Jarang sekali bimbingan haji yang memberikan sentuhan spiritual yang penuh makna dalam melakukan ritual-ritual itu. Bahwa, berbagai macam ritual itu sebenarnya adalah simbol-simbol belaka, yang harus dibarengi dengan pemaknaan yang mendalam secara spiritual. Karena jika tidak, jamaah haji akan terjebak kepada kedangkalan makna terhadap situs-situs yang kini semakin kehilangan atmosfer kesejarahannya.

Wuquf, tak lebih hanya akan menjadi kegiatan camping setengah hari, dimana jamaah tak memperoleh makna apa-apa di Padang Arafah yang sangat bersejarah. Lempar jumrah, tak lebih hanya akan menjadi kegiatan outbond massal yang tak jarang malah memupuk sifat-sifat setaniah. Demikian pula Tawaf dan Sa’i, hanya akan menjadi kegiatan longmarch yang tak membekaskan getaran jiwa dalam interaksi intens dengan-Nya. Kecuali, kita memahami maknanya. Dan mengisikan hakekat makna itu ke dalam seluruh ritual haji yang sedang kita jalani.

Maka tidak heran, banyak jamaah haji yang masih disibukkan dan dibingungkan oleh tatacara ritual daripada menyelami getaran spiritualitas yang berada di dalam jiwanya sendiri. Dalam hal berdoa, saya masih sangat banyak melihat orang-orang yang lebih disibukkan oleh buku doa yang dikalungkan di dadanya dibandingkan menikmati dan merasakan isi doanya.

Setiap mau melakukan ritual haji, entah wuquf, lempar jumrah, tawaf maupun sa’i dia sibuk membuka-buka bukunya untuk mencari doa yang sesuai. Dan ketika sudah ketemu doa yang dicarinya, tak jarang ia hanya membaca tanpa ada getaran jiwanya. Sekedar memenuhi syarat dan rukunnya. Sekedar memenuhi syariatnya.

Maka, tak jarang saya melihat orang-orang yang sedang berdoa itu lebih ingat buku panduannya daripada ingat Tuhannya. Atau lebih memperhatikan suara muthawif yang memandu doanya, ketimbang merasakan isinya. Ekspresi mereka datar, tanpa ada haru biru yang terpancar dari wajah dan pandangan matanya. Karena boleh jadi, benaknya hanya terisi oleh target-target untuk menyelesaikan ritual secara syariat. Ingat bacaan doanya, tetapi lupa kepada Tuhannya.

Sementara, di sisi yang lain saya melihat sejumlah jamaah berdoa sambil berurai air mata. Tenggelam dalam dzikir-dzikir yang panjang. Berbisik-bisik dengan Allah, Dzat yang sudah mendominasi seluruh kesadarannya. Dan kemudian mereka tersungkur dalam nikmatnya sujud yang panjang, sampai terguncang-guncang punggungnya oleh isak tangis yang membuncah dalam rasa syukur dan pertaubatannya yang dalam...

QS. Al Israa’ (17): 109-110
Dan mereka tersungkur bersujud sambil menangis, dan mereka bertambah khusyu' (dalam ibadahnya). Katakanlah (kepadanya): "Bisikkanlah (nama) Allah atau Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu sebut, Dia mempunyai Asmaaul Husna. Dan janganlah kamu keraskan suaramu dalam sembahyangmu dan janganlah pula merendahkannya. Dan lakukanlah pertengahan di antara keduanya (dengan berbisik-bisik sepenuh jiwa)."

Wallahu a’lam bishshawab.
(Bersambung).

Sabtu, 20 Oktober 2012

MELURUSKAN NIAT KE TANAH SUCI ~ TASAWUF HAJI 2012 (05) ~


oleh 
Agus Mustofa pada 20 Oktober 2012 pukul 7:27

Menjelang berangkat ke tanah suci, sebaiknya kita bertanya kepada diri sendiri: niat apakah yang melandasi kepergian kita berhaji? Realitasnya, ternyata sangat beragam. Mulai dari yang berhaji karena ‘tidak sengaja’ diajak saudara atau penugasan kerja, ingin dapat predikat dan penghargaan masyarakat, sampai kepada yang memang ingin beribadah menyempurnakan kualitas jiwanya disana.

Apakah tidak boleh kita memiliki background niat yang bermacam-macam seperti itu? Ooh, boleh-boleh saja, tidak ada yang melarang. Tetapi, ternyata Allah mengajarkan di dalam Al Qur’an agar kita meluruskan niat dalam menjalani ibadah ini. Justru, dikarenakan beragamnya niatan orang-orang yang datang dari segala penjuru Bumi itu.

QS. Al Baqarah (2): 196
Wa atimmul  hajja wal ‘umrota lillaah...
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umroh(mu) karena Allah semata...

Kata ‘menyempurnakan’ dalam ayat itu mengindikasikan adanya berbagai macam niat dalam beribadah haji. Termasuk niat untuk sambil berdagang atau bekerja yang memang diperbolehkan oleh Allah, sebagaimana diinformasikan dalam ayat-ayat sesudahnya. Tetapi, ketika ritual haji sudah dimulai, semuanya harus meluruskan niat untuk hanya beribadah kepada Allah semata. Banyak-banyak berdzikir mengingat Allah.

QS. Al Baqarah (2): 198
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia Tuhanmu (berniaga di musim haji). Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafah, berdzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam (sebanyak-banyaknya). Dan berdzikirlah kepada Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu. Dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang tersesat.

Bahkan anjuran untuk menyempurnakan niat itu berlaku juga bagi mereka yang meniatkan ibadah, tetapi belum sempurna ‘karena Allah’. Banyak peribadatan sepanjang haji itu yang bisa menjebak kita untuk ‘tidak karena Allah’. Sehingga membuat ibadah kita kurang sempurna.

Seorang kawan ketika ditanya tentang niatnya beribadah haji menjawab begini: ‘’Saya ingin berdoa di tanah suci agar masalah yang menghimpit hidup saya cepat teratasi.’’ Sebuah niat ibadah yang cukup baik, tetapi bisa menurunkan kesempurnaan haji jika ‘meleset’ dalam persepsi. Mirip dengan seseorang yang menjalankan shalat Dhuha karena ingin dapat rezeki, atau melakukan puasa karena ingin lulus ujian.

Yang begini ini, jika tidak kita sadari, bisa menjebak kita ke dalam praktek ibadah yang bukan karena Allah semata. Tetapi, dikarenakan rezeki dan lulus ujian. Jangan. Ibadah mesti ‘lillaahi ta’ala’ – hanya karena Allah semata. Bahwa, setelah itu kita menjadi dekat dengan Allah, dan segala macam masalah hidup teratasi dengan baik, itu adalah ‘bonus’ dari perilaku yang benar di jalan Allah.

Niatan dan persepsi yang salah dalam berdoa di tanah suci itulah yang lantas melahirkan berbagai praktek yang keliru pula. Sehingga banyak orang yang ‘titip doa’ kepada saudara atau sahabatnya yang sedang menunaikan ibadah haji, agar dibacakan di depan Kakbah. Mereka beranggapan doa yang dibacakan di tempat mustajab itu pasti terkabul, tidak sebagaimana kalau mereka panjatkan di tanah air. Apalagi ada yang menambahkan dengan kalimat begini: ‘’Ya Allah, kami sudah bertahun-tahun berdoa di tanah air belum juga Engkau kabulkan, kini kami datang ke rumah-Mu untuk berdoa agar Engkau penuhi...’’

Rupanya si jamaah haji atau orang yang titip doa itu mengira Allah berada di dalam Kakbah. Mungkin karena tempat suci itu disebut sebagai Baitullah alias ‘Rumah Allah’. Sedangkan di tanah air ia merasa jauh dari Allah, sehingga doanya tidak mustajab. Tentu saja yang begini ini berselisihan dengani ajaran Al Qur’an yang mengatakan bahwa Allah itu sudah sangat dekat – lebih dekat dari urat leher kita sendiri – dan Dia akan mengabulkan doa orang-orang yang memang bermohon kepada-Nya dimana pun ia berada, selama ia melakukannya dengan benar.

QS. Al Baqarah (2): 186
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (katakanlah) bahwa Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa jika ia (memang) bermohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman (hanya) kepada-Ku, agar mereka berada di dalam kebenaran.

Berhaji harus meluruskan niat karena Allah semata. Di tanah suci itulah kita sedang ‘bertamu’ kepada-Nya untuk berburu hikmah dalam menyempurnakan kualitas jiwa. Meningkatkan spiritualitas menuju kesempurnaan seorang hamba di hadapan Tuhannya. Meniru keikhlasan keluarga Nabi Ibrahim yang hanif (lurus) dalam bertauhid hanya kepada-Nya...

QS. An Nahl (16): 120-122
Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (ia pandai) mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. Dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh.

Walahu a’lam bishshawab.
(Bersambung).

HAJI MABRUR BUKAN HAJI WISATA ~ TASAWUF HAJI 2012 (04) ~

oleh Agus Mustofa pada 19 Oktober 2012 pukul 11:32

Seorang kawan saya, sepulang dari haji heboh bercerita pengalamannya di tanah suci. Dia tunjukkanlah foto-fotonya saat berada disana. Ada yang mejeng di depan hotel berbintang, ada yang berjejer dengan artis papan atas, ada pula yang sedang makan ramai-ramai di sebuah resto terkenal. Seorang tetangga nyeletuk: "kamu ini cerita ibadah haji atau darmawisata..?"

Substansi ibadah haji ke masa depan rupanya terancam oleh pendangkalan makna yang semakin hari semakin  memprihatinkan. Pendangkalan itu terjadi hampir di semua lini, sejak di tanah air sampai di tanah suci. Lihatlah bagaimana biro-biro perjalanan menawarkan paket ibadah hajinya. Ada yang menawarkan kenikmatan hotel bintang lima sebagai andalannya, plus keberangkatan bersama sejumlah artis papan atas.

Ada juga yang menawarkan nikmatnya menu Indonesia selama haji, plus dengan tenda-tenda mewah yang diset ala pesta kebun saat wuquf di Arafah. Dan berbagai fasilitas transportasi, akomodasi, dan konsumsi, beserta kemudahan dalam menjalankan ibadah haji selama di tanah suci. Yang lebih seru, adalah di paket-paket ibadah umroh. Dimana pendaftarannya menggunakan promo ala barang-barang konsumtif: “segera daftarkan diri Anda untuk umrah bulan ini. Daftar bertiga mendapat bonus HP, berempat memperoleh Galaksi Tab, berlima berhadiah Laptop..!’’

Saya yang membacanya langsung saja membayangkan promo di mall-mall yang menjual barang-barang konsumtif. Kok, promo ibadah haji dan umrah seperti itu ya? Kenapa tidak menawarkan substansi ibadah? Bahwa dengan haji dan umrah itu kita bisa memperoleh banyak hikmah yang berguna untuk meningkatkan kualitas spiritualitas jamaah dalam mendekatkan diri kepada Allah.

Di tanah suci sendiri, kondisinya agak memiriskan hati. Berbagai situs yang memiliki nilai sejarah tinggi justru semakin pudar, dan berganti dengan hotel-hotel berbintang, restoran-restoran cepat saji, dan pusat-pusat perbelanjaan modern. Sekeliling masjid Al Haram sudah mirip dengan kota-kota metropolitan di Amerika ataupun Eropa. Bukannya saya anti kemodernan, tetapi semua itu bisa menghilangkan suasana kesejarahan yang menjadi atmosfer penting bagi jamaah haji.

Dari Hilton Tower kita bisa menyaksikan halaman tengah masjid Al Haram, dimana Kakbah berada. Karena towernya memang jauh lebih tinggi dari bangunan masjid yang terbuka di bagian tengahnya itu. Demikian pula dari Hotel Grand Zam-Zam, dimana kami beberapa kali menginap disana. Suara sang imam shalat terdengar sangat jelas di kamar-kamar, karena memang dihubungkan dengan sound system yang berkualitas bagus.

Sehingga, tak jarang ada jamaah Indonesia maupun lainnya yang melakukan shalat bermakmum ke masjidil Haram sambil tetap berada di dalam kamar atau terasnya. Alasannya, ia bisa melihat suasana di sekitar Kakbah dan mendengar suara sang Imam. Toh, banyak jamaah yang hanya bisa bermakmum dengan cara berada di halaman masjid, atau teras Mall di sekeliling masjid. Padahal, mereka kan tidak bisa melihat, kecuali hanya mendengar suara imam lewat spiker yang menggema di seantero masjidil Haram.

Kondisi semacam ini merembet ke berbagai ritual haji, mulai dari wuquf di Arafah, lempar jumrah di Mina, sampai Sa’i di Shafa dan Marwa. Saya melihat Arafah semakin hijau dan nyaman. Seiring dengan penghijauan yang digalakkan oleh pemerintah Arab Saudi, kelak padang pasir Arafah itu barangkali akan menjadi taman yang Indah. Suasananya akan lebih sejuk dengan naungan pepohonan dan air mancur dimana-mana.

Sekarang, pancaran air itu memang masih disemprotkan dari tiang-tiang tinggi untuk meningkatkan kadar kelembabannya, agar tidak terjadi dehidrasi atau heat-shock pada jamaah haji yang wuquf disana. Kelak, sangat boleh jadi, tiang-tiang penyemprot kabut air itu diganti dengan air mancur dan kolam-kolam yang indah. Sehingga, Padang Arafah berangsur-angsur akan menjadi Camping Ground sebagaimana di tempat-tempat wisata yang menawarkan kenyamanan. Jauh dari suasana dimana Nabi Ibrahim dan keluarganya melakukan perenungan saat menghadapi ujian kesabaran dari Allah.

Di tempat lempar jumrah, kondisinya juga semakin nyaman. Dulu banyak korban berjatuhan saat berebut melempar tugu simbol sifat-sifat setan itu. Saat saya berhaji di tahun 2000, saya menyaksikan jamaah yang kepalanya berdarah-darah terkena lemparan batu dari arah berseberangan. Sehingga ia pun membalas dengan lemparan batu pula ke arah seberang. Saya menyaksikan banyak orang kesetanan justru saat melempar simbol setan. Saya membayangkan, sang Iblis beserta pasukan setan yang sesungguhnya sedang tertawa-tawa menyaksikan jamaah yang kesetanan itu.

Kini, kondisinya sudah jauh lebih nyaman. Alur kedatangan dan kepulangan jamaah yang akan melempar jumrah sudah jauh lebih tertib. Tugu jamarat yang dulu bentuknya seperti pensil berdiri, sudah diganti dengan dinding lebar. Sehingga, menutup kemungkinan bagi lolosnya batu dari arah seberang ke kepala jamaah. Juga sudah dibikin bertingkat tiga. Jamaah bisa memilih tempat yang paling aman dan nyaman. Bahkan, sudah dilengkapi dengan eskalator pula.

Tentang eskalator ini, saya khawatir akan ditambah di masa depan. Bukan hanya untuk menaiki tangga, melainkan juga disediakan eskalator mendatar yang melintasi tugu-tugu jamarat. Sehingga, boleh jadi, kelak jamaah haji melempar jumrah sambil naik lantai berjalan tanpa harus bersusah payah seperti sekarang, yang seringkali menguras tenaga untuk memasuki medan kerumunan jutaan orang yang sedang menuju ke titik yang sama.

Tetapi, jika itu benar-benar terjadi kelak, saya membayangkan betapa berbedanya suasana kebatinan yang terjadi antara kita dengan keluarga Ibrahim. Sebuah ritual napak tilas perjuangan antara hidup dan mati, yang kelak mungkin akan menjadi sebuah wisata yang menyenangkan. Meskipun wisata itu dibungkus dengan nama ‘Wisata Ruhani’.

Yang lebih memprihatinkan saya adalah tempat Sa’i. Inilah simbol perjuangan Siti Hajar yang sekarang sudah tak kelihatan lagi bekasnya. Bukit Shafa dan Marwa yang asli praktis sudah hilang. Diganti dengan gundukan bebatuan yang dibungkus akrilik. Mirip tebing buatan di rumah-rumah kita dimana kita biasa membuat kolam ikan. Jarak antara kedua bukit itu sudah dilapisi dengan lantai marmer yang halus. Di sepanjang rutenya yang berjarak sekitar 0,5 km dipasangi dengan kipas angin besar-besar.

Bukan hanya satu lantai, melainkan juga tiga lantai. Kalau kita melihat keluar masjid yang tampak adalah gedung-gedung perhotelan, mall, dan pusat-pusat perbelanjaan. Disini disediakan kursi-kursi dorong untuk orang-orang tua yang tidak mampu berjalan menempuh Shafa-Marwa sebanyak tujuh kali putaran. Dan, yang menarik perhatian saya, pemerintah Arab Saudi ternyata juga menyediakan banyak kursi dorong elektrik, yang bisa dikendalikan sendiri oleh penumpangnya. Saya langsung teringat Bom-Bom Car alias mobil-mobilan listrik, dimana anak-anak suka bermain di mal-mal.

Entahlah apa jadinya ritual haji ke masa depan, jika pihak-pihak yang punya otoritas tidak segera menyadari hal ini. Jangan-jangan substansi haji akan terkubur seiring dengan semakin populernya istilah ‘Wisata Ruhani’. Dan kemabruran haji cukup diukur dengan kemampuan daya beli jamaah yang bisa berangkat haji ke tanah suci..?! Wallahu a’lam bishshawab. (Bersambung).


Kamis, 18 Oktober 2012

BERHAJI, RUKUN ISLAM KEDUA ATAU KETUJUH ~ TASAWUF HAJI 2012 (03) ~

oleh Agus Mustofa pada 18 Oktober 2012 pukul 5:13

MESTINYA, ibadah haji adalah rukun Islam kelima. Yaitu, setelah syahadat, shalat, puasa, zakat, kemudian berhaji ke tanah suci. Tetapi, ternyata ada yang menjalankan ibadah haji ini sebagai rukun Islam yang kedua. Yakni, setelah membaca syahadat, langsung menjalankan ibadah haji, karena ia punya duit dan punya kesempatan. Apalagi, ternyata dengan berhaji itu status sosialnya menjadi meningkat di mata masyarakat. Meskipun, ia tidak pernah shalat, berpuasa, ataupun berzakat

Sebaliknya, ada pula orang yang menjadikan ibadah hajinya sebagai rukun Islam yang ketujuh. Setelah bersyahadat, shalat, puasa dan zakat, maka yang kelima adalah beli rumah, yang keenam punya mobil, yang ketujuh baru berhaji ke tanah suci.

Lantas, apakah tidak boleh menjadikan haji sebagai rukun kedua atau ketujuh? Tentu saja tidak ada yang melarang. Tetapi sungguh terkandung pelajaran yang sangat mendalam pada keduanya, terkait dengan kualitas ‘pengorbanan’ sebagai salah satu pelajaran inti ibadah haji.

Saya sendiri awalnya, tanpa terasa, menjadikan haji sebagai rukun Islam ketujuh itu. Sebagaimana kebanyakan umat Islam, saya sudah lama memendam keinginan untuk beribadah ke tanah suci. Tetapi, berbagai macam kesibukan dan alasan menyebabkan saya tidak segera berani untuk pergi haji. Diantaranya, saya ingin memiliki rumah dan mobil terlebih dahulu.

Sebelum usia 30-an tahun saya sudah bisa mencapai keinginan itu. Tetapi, ternyata dengan berbagai alasan saya belum juga memutuskan untuk pergi haji. Sampai di tahun 1998, dimana Indonesia diterpa badai krisis ekonomi yang dahsyat, yang memorak porandakan pemerintahan maupun sendi-sendi bisnis di semua lini. Bisnis sampingan saya pun ikut runtuh. Modal yang tak seberapa hanyut seperti kecemplung air bah. Dan rumah maupun mobil ikut terseret arus.

Dalam kondisi kelimpungan itu saya teringat niatan saya untuk pergi ke tanah suci yang sudah lama terpendam. Saya seperti disadarkan oleh Allah, bahwa pencapaian yang sudah saya peroleh itu tidak boleh menghalangi proses spiritualitas untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Maka, saya pun membulatkan tekat untuk pergi ke tanah suci, justru dalam kondisi yang pas-pasan waktu itu. Rumah yang tadinya milik sendiri, saat itu beralih ke rumah kontrakan. Mobil yang tadinya bagus dan punya beberapa, tinggal satu dengan kualitas seadanya.

Tetapi, justru saat itulah keinginan saya untuk pergi ke tanah suci mendadak menggebu. Padahal, waktu pendaftaran haji sudah habis. Untungnya, siang harinya saya memperoleh kabar batas pendaftaran haji diundur dua minggu, karena kuota masih tersedia banyak. Rupanya, krisis ekonomi yang hebat itu telah menyebabkan begitu banyak calon jamaah haji yang mengurungkan diri. Saya pun bergegas mendaftar bersama istri.

Saya masih teringat pertanyaan istri saat membuat keputusan itu. “Apakah uang tabungan yang tinggal sedikit ini mau kita gunakan untuk pergi haji?’’ Ia khawatir sisanya tidak cukup untuk membeli rumah lagi, apalagi mobil. Tetapi, niatan saya begitu kuat. Saya katakan kepadanya, bahwa rezeki itu urusan Allah. “Kita sudah berusaha untuk meraihnya, tetapi Allah berkehendak lain. Barangkali Dia mengingatkan kita agar tidak menomer duakan proses spiritual untuk mendekatkan diri kepada-Nya...’’Akhirnya, jadilah kami mendaftarkan diri untuk pergi haji di tahun 2000.

Kemudahan demi kemudahan lantas terjadi. Berbagai urusan administrasi yang tadinya belum kami siapkan sama sekali, tiba-tiba menjadi mudah semuanya. Mulai dari KTP yang mati sampai urusan paspor, cek kesehatan, dan berbagai persiapan lain, semuanya mudah. Dan yang paling membuat kami surprised saat itu adalah ini: ada orang menjual rumah dengan harga sangat murah..! Orang itu terbelit hutang di bank, sehingga rumahnya dilelang. Dan ia menawarkan kepada saya. Yang luar biasa, harganya sama persis dengan sisa uang tabungan saya setelah dipakai mendaftar haji..!Subhanallaah.

Saya masih merinding jika ingat peristiwa itu. Keputusan saya untuk mendekatkan diri kepada Allah langsung dijawab. Padahal belum berangkat ke tanah suci. Kekhawatiran istri saya – tidak akan punya rumah – juga langsung direspon oleh-Nya. Bahkan, ’kontan’ beberapa hari sebelum berangkat haji. Tentu saja saya langsung menangkap kesempatan itu, bertransaksi rumah dengan sisa uang tabungan yang ada. Alhamdulillah..

Anda bisa membayangkan betapa mantapnya kami saat berangkat haji. Rasa syukur tiada henti-hentinya kami lantunkan sepanjang perjalanan haji kami. Bukan hanya karena memperoleh rumah kembali dengan harga yang bisa kami jangkau, tetapi karena kami merasa telah mengambil keputusan yang tepat untuk mendahulukan Allah. Sehingga, Allah lantas memberikan solusi atas permasalahan yang sedang menghimpit kami.

Itulah ibadah ke tanah suci yang paling mengharu biru jiwa kami. Sebuah perjalanan yang penuh linangan air mata. Antara rasa berdosa dan pertaubatan. Antara kegelisahan dan keyakinan. Antara penyesalan dan rasa syukur yang tiada tara. Ternyata, ibadah haji seharusnya memang tidak kami tempatkan di urutan ketujuh, melainkan benar-benar menjadi rukun Islam yang kelima..!

QS. Faathir [35]: 34
Dan mereka berkata: "Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kesedihan kami. Sesungguhnya Tuhan kami benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri (membalas rasa syukur dengan kebahagiaan yang tiada tara).

Wallahu a’lam bishshawab.
(Bersambung).