Sabtu, 02 November 2013

SOAL KETAUHIDAN DAN ILMU PENGETAHUAN KEALAMAN ~ AL QUR’AN SEBAGAI SUMBER FILOSOFI BAGI SAINS (5)

Inspirasi filosofis di dalam Al Qur’an tidak hanya tentang ketuhanan. Meskipun, soal ketauhidan ini mendominasi kandungan Al Qur’an. Termasuk, mendominasi masa pewahyuan selama sekitar 12 tahun dari 23 tahun masa turunnya Al Qur’an. Selain mengusung tema utama soal ketauhidan, Al Qur’an juga memberikan inspirasi-inspirasi yang bersifat obyektif kepada ilmu pengetahuan kealaman alias sains. Yang prosesnya, tentu saja melalui ulama atau ilmuwan sebagai pelakunya. Karena, memang sains adalah kumpulan ‘hasil karya’ dari para ulama dan saintis secara kolektif. Sehingga, tidaklah mungkin menjaga kesterilan sains dari pelakunya. Dalam notes kali ini, selain menjawab pertanyaan Mas Budi Pramono soal ketauhidan, saya juga menjawab komentar Koko Brian dan kang Eka Iman.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pertanyaan Mas Budi tentang konsep WUJUD di dalam Islam sangatlah fundamental. Bahwa menurutnya, ketiadaan mutlak itu sebenarnya tidak ada. Yang ada ialah keber-ADA-an yang bertingkat. Dimana Allah ‘menempati level’ keberadaan mutlak, dan selebihnya adalah makhluk yang menempati level keberadaan terdegradasi – semakin tidak mewujud.

Jika kita konsisten mengikuti filosofi ini, maka kita akan bertemu dengan grade yang paling rendah sebagai ke-TIADA-an berada di seberang keber-ADA-an. Kecuali kita memang sepakat untuk meniadakan kata ‘TIADA’ dari perbendaharaan bahasa kita. Tapi menurut saya, ketiadaan ini sebenarnya diperlukan untuk menjadi komparasi bagi keber-ADA-an. Sehingga dalam syahadat Tauhid pun kita menggunakan kata tersebut: laa ilaaha illallaahTIADA Tuhan selain (keber-ADA-an) Allah. 

Namun apakah penggunaan kata ‘tiada’ itu menggambarkan kondisi yang benar-benar bersifat mutlak? Menurut saya, bergantung pada cara kita melihat dan menerapkannya. Jika kita sedang berbicara makhluk, maka ketiadaan itu bisa bermakna mutlak. Tetapi, ketika kita berbicara tentang Tuhan, maka ketiadaan itu adalah bagian dari keberadaan-Nya.

Analogi Himpunan dalam ilmu Matematika saya kira bisa digunakan untuk menjelaskannya. Dikarenakan sifat Tuhan yang Maha Meliputi segala sesuatu, maka kita bisa menganalogikan Tuhan sebagai semesta pembicaraan. Di dalam semesta pembicaraan itu ada himpunan makhluk yang diciptakan-Nya sekaligus diliputi-Nya. Ada himpunan malaikat, himpunan manusia, himpunan jin, himpunan binatang, himpunan tumbuhan, dan himpunan benda-benda mati. Dan, ini yang menarik, ada himpunan-himpunan kosong pada setiap himpunan makhluk.

Artinya, kekosongan alias ketiadaan bisa diberlakukan kepada makhluk, bukan kepada Tuhan. Kepada setiap himpunan, tetapi tidak kepada semesta pembicaraan. Karena semesta pembicaraan adalah segala-galanya, sedangkan segala jenis himpunan –termasuk himpunan kosong– adalah bagian saja dari semesta pembicaraan.

Dengan analogi ini, kita bisa memperoleh gambaran yang agak mirip dengan konsep Al Qur’an dalam menerangkan ketauhidan. Bahwa Allah meliputi segalanya: alam semesta beserta seluruh isinya. Termasuk apa yang disebut ADA dan TIADA. Tetapi, perlu digarisbawahi bahwa ADA dan TIADA itu sebenarnya adalah makhluk. Sehingga, ketika berbicara tentang KETIADAAN, maka kita harus mensejajarkan dengan makhluk. Bukan dengan Tuhan.

Manusia ADA, dan suatu ketika bisa TIADA. Malaikat dan Jin juga ADA, tapi suatu ketika bisa TIADA. Pepohonan dan binatang ADA, namun suatu ketika juga bisa TIADA. Sebagaimana juga alam semesta ADA, tetapi suatu ketika bisa TIADA. Yakni, ketika variabel-variabel ruang-waktu-materi-energi musnah, alam semesta pun bakal lenyap beserta seluruh peristiwa yang ada di dalamnya. Dan yang ADA tinggallah SESUATU yang tidak bisa didefinisikan lagi oleh segala macam bahasa dan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia. Dialah Sang Semesta Pembicaraan. Dialah Zat yang ‘Laisa Kamitslihi Syai-un’, sebagai keber-ADA-an Mutlak, karena tak ada lagi variabel yang bisa dikenakan kepada-Nya.

Mengenai QS. Al Insaan (76) : 1, yang saya gunakan dalam notes sebelum ini memang lebih menggambarkan ketiadaan dalam skala makhluk. Dan lebih khusus lagi adalah manusia. Tetapi, ayat itu bisa dikembangkan lebih luas sebagai analogi bagi ketiadaan makhluk, dengan menggunakan logika filosofis yang saya uraikan di atas.

Sedangkan yang khusus terkait dengan alam semesta, Allah menjelaskannya dalam ayat-ayat yang bercerita tentang penciptaan langit & bumi dari tidak ada menjadi ada, sebagaimana telah dikutipkan oleh nyong Dhasryl Arya Bima. Dan kemudian ditambahkan lagi oleh Mas Budi sendiri dengan mengutip istilah-istilah di dalam Al Qur’an terkait proses penciptaan: KHALAQA, JA’ALA, BARI’U, MUSHAWWIRU, FATHIR, dan khususnya BADA’A.

Sebagaimana juga saya menutup notes ke-4 dengan QS. Al Hasyr (59) : 24 yang menggambarkan semua makhluk diciptakan dari tidak ada menjadi ada. Saya kutipkan lagi berikut ini. ‘’Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih kepadaNya segala yang ada di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.’’

Ringkas kata, saya sependapat bahwa keber-ADA-an mutlak hanya milik Allah. Sedangkan makhluk bisa berada dalam keber-ADA-an dan ke-TIADA-an relatif. ‘Ada’ dan ‘tiada’nya terjadi di dalam Zat yang MAHA ADA..!

                                                                      * * *

Selanjutnya mengenai masalah ‘Inspirasi bagi SAINS’ ataukah ‘inspirasi bagi SAINTIS’, saya ingin memberikan komentar pendek saja. Bahwa secara bahasa sebenarnya tidak perlu menjadi masalah. Karena, kedua-duanya bisa dipakai. Berikut ini, saya berikan contoh yang lebih umum. 

Jika ada suatu peristiwa yang memberi inspirasi kepada saya sebagai seorang penulis buku, maka seseorang bisa mengatakan dengan dua cara. Yang pertama‘’Peristiwa itu menjadi SUMBER inspirasi bagi AGUS MUSTOFA untuk menulis buku’’. Atau yang kedua: ''Peristiwa itu menjadi SUMBER inspirasi bagi BUKU Agus Mustofa.'' Dalam tata bahasa Indonesia, kalimat semacam ini tidak bermasalah. Dan memilki makna yang sama. Yang berbeda adalah PERSEPSI orang yang membacanya, terkait dengan rasa bahasa yang muncul di benaknya. Karena itu, diskusi soal ini tidak perlu memakan space lebih besar lagi, intinya persepsi subyektif saya dan Koko Brian berbeda terhadap obyek atau kalimat yang sama. Saya kira pembaca dan peserta diskusi ini sudah bisa mengambil kesimpulannya sendiri.

Yang kedua, tentang contoh soal menghitung lama perjalanan dari Denpasar ke Sydney memang sengaja saya buat ‘terbuka’, agar bisa menunjukkan korelasi antara penetapan asumsi dengan efek kesimpulannya. Bahwa asumsi yang berbeda akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Dan asumsi tersebut bisa ditetapkan secara obyektif maupun subyektif. Itu saja. 

Yang ketiga, soal Einstein dan Hawking. Bukan cuma Einstein yang ilmuwan teoritis, Hawking pun adalah seorang matematikawan alias ilmuwan teoritis. Tetapi, tetap saja keduanya adalah SAINTIS  yang menerapkan kaidah-kaidah saintifik dalam setiap karyanya. Namun, bukan disitu masalah yang sedang saya bahas. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa bagi seorang saintis - selevel Einstein maupun Hawking – pada PRAKTEKNYA tidak bisa menghindar dari subyektivitas asumsi yang berpengaruh pada obyektivitas kesimpulan. Itu saja. Namun, secara TEORITIS, saya kira kita sependapat bahwa Sains mesti dijaga obyektivitasnya.

                                                                        * * *

Untuk pertanyaan lainnya, dari Kang Eka Iman, adalah soal apakah Al Qur’an bisa digunakan untuk memprediksi masa depan sebagaimana sains. Saya kira perlu diproporsionalkan dulu pemahaman kita tentang keterkaitan antara Al Qur’an dan Sains. Bahwa, Islam tidak pernah memposisikan Al Qur’an dan sains berhadap-hadapan. Sehingga, adalah tidak tepat jika ada pertanyaan seperti ini: ‘’Apakah Al Qur’an dapat digunakan untuk memprediksi gejala alam dan hukum alam yang belum ditemukan oleh Sains?’’

Karena, Al Qur’an memang bukan sains ataupun sesuatu yang layak ditandingkan dengan sains. Tidak apple to apple, ataupun bandeng to bandeng (meminjam istilah Koko Brian). Ayat-ayat Qur’an berada di ‘hulu’, sedangkan sains berada di ‘hilir’. Jadi bagaimana bisa menandingkannya? Yang bisa dilakukan adalah menjadikan yang di ‘hulu’ itu sebagai ‘sumber’ bagi yang di hilir. Itulah sebabnya, saya mengangkat serial notes ini dengan tema: ‘’Al Qur’an sebagai Sumber Filosofi bagi Sains’’. Kalaupun ada yang tidak setuju dan berbeda pendapat, boleh-boleh saja, wong namanya diskusi. Cuma, tentu dengan argumentasi yang jelas dan konsisten agar bisa menjadi pelajaran bersama.

Sebagian contohnya sudah saya kemukakan dalam notes terdahulu. Misalnya, Al Qur’an memberikan clue bahwa alam semesta ini berkembang dan berdinamika, tetapi dalam keseimbangannya. Di ayat yang lain lagi, Allah mengindikasikan bahwa akhir alam semesta ini bukan berupa nolnya entropi yang disebabkan mengembang tidak terkendali, karena Dia telah memberikan sinyal bahwa Allah menahan pergerakan langit itu agar tidak lenyap.

Dalam penciptaan Bumi, Allah menyebut dulunya berupa asap panas yang kemudian mendingin membentuk tata surya beserta planet-planetnya - termasuk Bumi. Dan lantas, memunculkan daratan, gunung-gunung, perairan, atmosfer, tanaman, binatang, dan manusia. Dan seterusnya.

Dalam penciptaan manusia, Al Qur’an juga memberikan banyak sekali clue yang bisa dijadikan inspirasi bagi pengembangan sains. Atau, katakanlah inspirasi bagi ilmuwan muslim - dan kelak akan menjadi khazanah sains :). Diantaranya, manusia diciptakan dari satu substansi tunggal (nafsin waahidatin) yang kini dikenal sebagai stem cell. Juga, tentang fase-fase penciptaannya di dalam rahim. Pun tentang biomolekuler dan sistem saraf. Tentang Jiwa dan Ruh. Dan sebagainya...

Dan masih banyak lagi inspirasi yang bisa digali dari dalam Al Qur’an untuk menstimulasi perkembangan sains - tentu lewat para ilmuwan - secara filosofis agar asumsinya on the right track. Mulai dari ilmu Astronomi, Geografi, Geologi, Biologi, Fisika, Kimia, Matematika, Anatomi, Psikiatri, Kesehatan, Ekonomi, Sosial, Politik, dan sebagainya, termasuk spiritualitas. Al Qur’an memancing manusia untuk memahami alam sekitarnya, termasuk dirinya dengan cara mengamati dan melakukan penelitian secara langsung di lapangan, yang kemudian dikenal sebagai sains itu. Jadi, bukan hanya berpegangan pada Al Qur’an - dalam bentuk teks - lantas bisa menguasai ilmu alam semesta. Inilah yang harus dipahami secara proporsional. Karena, justru Al Qur’an sendirilah yang telah memberikan dorongan untuk melakukan semua itu. Bahwa ayat qauliyah (teks) harus diterapkan sebagai ayat kauniyah (realitas).

QS. Adz Dzaariyaat (51): 20-21
Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (clue) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?

Ayat semacam ini bertaburan di dalam Al Qur’an, dengan maksud mendorong manusia agar memahami ciptaan Allah secara saintifik. Dan sebenarnya bukan hanya kepada umat Islam, melainkan kepada seluruh umat manusia. Supaya apa? Supaya manusia mengenal Tuhan yang telah menciptakan semua realitas ini - termasuk dirinya. Juga supaya tidak terjebak kepada pengembangan ilmu belaka, melainkan memanfaatkan ilmu itu untuk memahami Dia Yang Maha Berilmu, yang telah menciptakan dan mengadakan jagat raya ini berdasar ilmu dan kebijaksanaan-Nya. Tapi, tentu saja, hal itu bagi yang mau. Bagi yang tidak mau, ya monggo-monggo saja. Lha wong Allah saja tidak pernah memaksa hamba-Nya, apalagi saya.. :)

QS. Yunus (10): 99-100

Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, PASTI-lah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemarahan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya (dalam beriman)

Wallahu a’lam bissawab
~ salam ~

Jumat, 01 November 2013

MENGKLARIFIKASI PERBEDAAN PERSEPSI ~ AL QUR’AN SEBAGAI SUMBER FILOSOFI BAGI SAINS (4)

Persepsi yang muncul di benak kita ternyata jauh lebih dominan dibandingkan dengan realitas obyektif. Sebuah realitas obyektif yang sama bisa saja memunculkan persepsi yang berbeda. Dan sayangnya – atau bisa juga ‘celakanya’ – realitas obyektif itu baru memiliki makna setelah melewati persepsi manusia. Karena itu, dalam notes kali ini saya mengangkat masalah ini lebih detil, sekaligus untuk menjawab ‘kegalauan’ Koko Brian dalam menanggapi notes saya yang pertama.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Yang pertama, soal tema ‘AL QUR’AN SEBAGAI SUMBER FILOSOFI BAGI SAINS’ yang saya gunakan untuk ‘mewadahi’ diskusi kita kali ini. Koko Brian mempersepsi itu sebagai ‘kurang tepat’, karena seakan-akan menempatkan Al Qur’an sebagai satu-satunya sumber bagi sains. Tentu saja ini adalah persepsi dia. Bagi saya tidak demikian. Dan ‘realitas obyektif'nya memang tidak demikian.. :)

Secara bahasa, kalimat tersebut adalah berbicara tentang AL QUR’AN yang bisa menjadi sumber filosofi bagi apa saja dalam kehidupan seorang muslim. Bahkan juga bagi siapa saja secara umum. Salah satunya adalah bagi sains. Sama sekali tidak ada klaim yang tergambar disana, bahwa Al Qur’an ‘harus’ menjadi satu-satunya sumber filosofi bagi Sains. Saya kira persepsi Koko Brian dalam hal ini agak berlebihan. Yang kata anak muda sekarang: emang lagi sensi (tive) ya..?  ;)

Kecuali, jika kalimat tersebut dibalik susunannya menjadi begini: SUMBER FILOSOFI BAGI SAINS ADALAH AL QUR’AN. Nah, kalau yang ini Anda boleh menyalahkan saya karena telah melakukan klaim sepihak, bahwa ‘satu-satunya’ sumber filosofi sains adalah Al Qur’an. Karena itu, jawaban saya tentang ini juga bisa Anda dapati di tulisan-tulisan sesudahnya – khususnya notes ke-3 – yang dengan tegas menjelaskan bahwa asumsi filosofis bisa diambil dari mana saja:

‘’Sesungguhnya, asumsi bisa dibangun dengan cara apa saja. Bisa diambil dari pengalaman sebelumnya, bisa dari kesimpulan saintifik yang mendahuluinya, bisa dari intuisi dan inspirasi yang bersifat internal, ataupun dari sumber-sumber tepercaya lainnya, termasuk kitab suci. Bagi seorang ilmuwan muslim yang menjadikan Al Qur’an sebagai panduan hidupnya, ayat-ayat Al Qur’an bisa menjadi inspirasi yang luar biasa dalam membangun asumsi yang terarah.’’

Jadi, inilah bukti pertama bahwa persepsi subyektif ternyata jauh lebih dominan dibandingkan realitas obyektif. Bukti kedua, adalah komentar kedua Koko Brian berikut ini, tentang mental ‘pejalan spiritual’ dan ‘pejalan sains’ alias saintis. Menurut persepsinya, seorang pejalan spiritual memiliki mental ‘harus selalu benar’dalam memahami kitab sucinya terkait dengan realitas. Sedangkan seorang saintis memiliki mental gentle, yang berani mengakui kesalahan, jika hasil penelitiannya memang salah. 

Menurut saya komentar Koko Brian ini tidak obyektif, dan agak ‘miring-miring’ alias campur aduk, hhehe.. Jika mau dibandingkan, maka yang bisa dikomparasi adalah antar ‘pelaku’ atau antar ‘realitas’. Sehingga tidak perlu muncul komentar di akhir paragraf yang subyektif seperti ini: ’Hasil penelitian scientific bisa jadi salah (dan harus diakui jika memang salah), sedangkan kitab suci tidak bisa (bahkan tidak boleh) salah.’’

Padahal sebelumnya, yang dibahas adalah mental ‘pelaku spiritual’ dengan ‘pelaku sains’. Lha kok ujung-ujungnya membandingkan ‘kitab suci’ dengan ‘hasil penelitian’? Tentu saja tidak apple to apple alias tidak selevel.

Jika mau membandingkan mental pelakunya, marilah kita batasi pada pelaku. Bagaimana mental seorang ‘pejalan spiritual’ dan bagaimana mental seorang ‘saintis’. Saya kira sama saja. Keduanya adalah orang-orang yang mencari kebenaran. Yang pertama mencari kebenaran holistik – memadukan antara subyektivitas dan obyektivitas – sedangkan yang kedua mencari kebenaran obyektif – dengan menolak subyektivitas.

Sepanjang yang saya ketahui, tidak ada seorang ‘pejalan spiritual’ sejati yang memaksa-maksakan kebenarannya. Dan menyodor-nyodorkan persepsinya atas Al Qur’an sebagai kebenaran mutlak. Dia pasti akan memposisikan dirinya sebagai pembelajar yang sangat boleh jadi mengalami kesalahan dalam memahami kebenaran sejati, yakni Al Qur’an. Dan pasti, akan mengoreksi kesalahan hipotesisnya dalam mencari kebenaran, jika tidak sesuai dengan Al Qur’an.

Apa bedanya dengan ‘pejalan sains’ yang juga memperlakukan alam semesta sebagai kebenaran mutlak yang tidak boleh salah. Sehingga, kalau ada penelitian yang salah hipotesis harus ‘dipaksa-paksa’ untuk sama dengan alam semesta? Sama saja tohmentalnya? Cuma, persepsinya menjadi BIAS ketika ‘hasil penelitian’ dikomparasi dengan ‘kitab suci’. Nggak level la yaw..!!, kata akan muda sekarang. Komparasinya baru akan selevel, kalau kebenaran mutlak Al Qur’an dibandingkan dengan kebenaran mutlak realitas alam semesta. Dan, itulah konsep yang diajarkan Islam, bahwa kitab suci dan alam semesta adalah sama-sama ayat Allah, yang satu disebut ayat qauliyah, lainnya disebut sebagai ayat kauniyah.

Bukti berikutnya tentang dominasi persepsi terhadap obyektivitas adalah komentar Koko Brian yang ketiga, tentang ‘kesimpulan obyektif yang bergantung kepada asumsi filosofisnya’. Dia ‘mengharamkan’ adanya subyektivitas dalam sains. Dan itu saya setuju, seperti tulisan yang dikutipnya dari notes saya: “Begitulah, sains yang obyektif ternyata bisa berujung pada persepsi yang subyektif sesuai dengan filosofi yang mendasari SESEORANG dalam menggunakan sains.”

Tetapi, obyektivitas murni dalam sains itu kan teorinya. Pada prakteknya, kita menemukan banyak kesimpulan ‘obyektif’ yang bersifat ‘pesanan’ disebabkan oleh penetapan asumsi yang ‘subyektif’. Sengaja istilah ‘obyektif’ dan ‘subyektif’ itu saya beri tanda petik, untuk menunjukan bahwa keduanya tidak bisa dilakukan dengan murni, sebagaimana diharapkan oleh Koko Brian. Berikut ini adalah contoh-contoh kasus yang bisa terjadi dikarenakan kesengajaan ataupun ketidak sengajaan meletakkan asumsi subyektif ke dalam proses obyektif sains.

Kasus 1.
Cobalah hitung berapa lama perjalanan dari Denpasar menuju ke Sydney.

Untuk bisa menghitung dengan baik, maka Anda harus menentukan asumsinya terlebih dahulu. Terserah Anda membuatnya. Dan itu akan menentukan hasil yang berbeda, sesuai dengan keinginan subyektif Anda. Mau 6 jam, 10 jam, 20 jam, atau sebulan. Jika asumsinya naik pesawat, tentu hasilnya akan berbeda dengan kalau asumsinya naik kapal laut. Naik pesawat pun, harus diasumsikan menggunakan pesawat jenis apa, kecepatannya berapa, konstan ataukah dipercepat, pilotnya siapa, sedang mabuk ataukah tidak, lagi ada gangguan cuaca atau tidak, dan seterusnya, dan sebagainya, dan lain-lainnya.

‘Subyektifitas’ kita dalam menentukan asumsi akan menentukan hasil akhirnya. Subyektivitas itu bisa dalam arti kesengajaan dalam memilih asumsi, ataupun ketidak sengajaan yang menyebabkan asumsi menjadi kurang holistik. Sehingga, hasil akhirnya meleset. Nah, kesengajaan atau tidak itulah faktor subyektif, yang ternyata berpengaruh pada hasil akhir yang ‘obyektif’.

Memang, bisa saja ada upaya untuk meminimalisir subyektivitas itu, tetapi hasilnya tidak pernah benar-benar obyektif. Diantaranya, dikarenakan ‘ketidaksengajaan’ meletakkan asumsi yang keliru ataupun ‘ketidakmampuan’ membuat asumsi yang tepat.

Kasus 2.
Pengaruh asumsi yang bersifat subyektif akan semakin kentara pada kasus-kasus ekstrim dimana kita sulit untuk memverifikasi hasil akhirnya. Yaitu, ketika bukti-bukti empiris sulit diperoleh untuk menguji hipotesis. Ataupun, ketika para penguji tidak tahu apakah sebuah hipotesis itu benar ataukah tidak. Kesimpulan ‘obyektif’ akan sangat didominasi oleh asumsi yang bersifat subyektif.

Contoh konkretnya, adalah ketika Albert Einstein menetapkan konstanta universe ke dalam persamaan matematikanya, sehingga menghasilkan sifat alam semesta yang tetap alias tidak mengembang. Hasil ‘obyektif’ dari persamaan matematisnya itu sepenuhnya dikendalikan oleh konstanta yang diasumsikan berdasar pertimbangan subyektivitasnya, yang berpendapat alam semesta tidak berkembang..!

Artinya, pada seorang ilmuwan selevel Einstein pun subyektivitas asumsi bisa masuk ke ranah sains yang diharapkan ‘obyektif’ tersebut. Bahwa kemudian konstanta itu terbukti salah ‘secara obyektif’, karena data empiris menunjukkan alam semesta mengembang, itu adalah soal berikutnya, yang boleh jadi juga harus diuji secara terus menerus apakah kesimpulan alam semesta yang mengembang itu sudah final. Karena, bukankah sains juga selalu berkembang dan akan melahirkan ‘obyektivitas-obyektivitas’ baru?

Kasus 3.
Demikian pula yang terjadi pada Stephen Hawking ketika membuat asumsi bahwa alam semesta lahir dari fluktuasi kuantum. Sehingga, ujung-ujungnya berpendapat bahwa alam semesta tidak memerlukan Tuhan. Ini hasil yang obyektif ataukah subyektif? Bergantung pada keperluannya.. :)

Jika keperluannya untuk ilmu, bisa saja disebut sebagai kesimpulan yang obyektif. Karena, jika kita cermati satu persatu proses saintifiknya semua terpenuhi. Asumsi tentang adanya fluktuasi kuantum memang benar adanya. Dan karena ada fluktuasi kuantum itu lantas memunculkan partikel-partikel dasar pembentuk alam semesta, juga bisa dipahami lewat probabilitas kuantum. Dan seterusnya, partikel-partikel itu akan berevolusi menjadi alam semesta yang kita huni ini, juga oke-oke saja. Sampai disini terpenuhi semua obyektivitasnya.

Tetapi, ketika ini dikaitkan dengan kesimpulannya bahwa alam semesta tak perlu Tuhan untuk menjadi ada, kita lantas perlu mengevaluasi proses penetapan asumsinya. Apa yang menjadi asumsinya, sehingga dia bisa berkesimpulan seperti itu? Owwh, ternyata karena dia menetapkan awal alam semesta dari fluktuasi kuantum. Tentu saja kesimpulan ‘obyektif’nya akan mengatakan tidak ada Tuhan. Akan menjadi lain, kalau dia meletakkan asumsinya berangkat dari ketiadaan.. :)

Ketiadaan bukanlah ‘ruang hampa’ yang menjadi dasar asumsi dia. Karena ruang hampa itu bukanlah ketiadaan. Masih ada ruang dan waktu yang mewadahi energi dan materi. Sehingga, benar saja kalau dia mengatakan partikel dan energi bisa bermunculan dari ruang hampa itu mengikuti probabilitas kuantum. 

Coba dia agak mundur sedikit lagi ke arah ‘masa lalu’ alam semesta dimana ketiadaan mutlak menjadi awal dari universe. Yakni, ketika seluruh variable alam semesta yang berupa ruang-waktu-materi-energi itu belum terbentuk, tentu hasilnya akan lain. Karena, di saat itu sains tidak lagi memiliki kemampuan untuk mengungkapnya. Sains runtuh seiring kondisi 'tiada', alias runtuh di titik singularitas. Dan inilah yang dihindari oleh saintis sekelas Hawking sekalipun. Karena sesungguhnya dia sangat paham bahwa di titik singular itu seluruh rumus matematik ataupun saintifik yang diterapkannya tidak lagi berguna. Maka, ia pun 'memilih' agak maju sedikit secara waktu, ketika fluktuasi kuantum sudah ada. Bagaimana menurut Anda..?

Dan akhirnya, tentang adanya rasa kekaguman, ketakjuban atau bahkan ‘ketakutan’ bagi seorang ‘pejalan spiritual’, memang itulah persepsi subyektif yang akan menjadi ending-nya. Dan itu pula yang membedakannya dengan ‘pejalan sains’ yang berhenti hanya pada realitas obyektifnya saja. Seorang ‘pejalan spiritual’ mendedikasikan seluruh aktivitasnya untuk memperoleh pengalaman spiritual yang sangat subyektif setelah mengembara dalam perjalanan panjang yang holistik – antara subyektivitas dan obyektivitas. Ujung-ujungnya adalah ‘meleburkan diri’ dalam Realitas Subyektif yang telah mengadakan dan menyelenggarakan seluruh drama kolosal alam semesta yang sangat menakjubkan dan mempesona ini. Subhanallaah..!

QS. Al Hasyr (59): 24
Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih kepadaNya segala yang ada di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Wallahu a’lam bissawab
~ salam ~

Kamis, 31 Oktober 2013

ADA APA SEBELUM UNIVERSE ~ AL QUR’AN SEBAGAI SUMBER FILOSOFI BAGI SAINS (3)

ni adalah pertanyan besar yang tidak mudah menjawabnya. Dan sedang menjadi mainstream pembicaraan di kalangan ilmuwan dunia. Baik yang bersifat filosofis maupun saintifik. Namun demikian, pembahasan di wilayah filosofis agaknya akan ‘lebih mudah’ – atau setidak-tidaknya memakan waktu lebih pendek – dibandingkan dengan pembahasan di wilayah saintifik. Kenapa bisa begitu? Karena, di wilayah filosofis ini kita ‘hanya’ membutuhkan ‘keyakinan’ asumsi – yang sumbernya bisa logika dan rasionalitas ataupun intuisi, ilham dan wahyu – sedangkan di wilayah sains membutuhkan pembuktian berdasar data empiris yang bergantung kepada banyak faktor yang menjadi kendalanya. Dalam sudut pandang Al Qur’an, wilayah filosofis itu bersumber dari ayat-ayat qauliyah, sedangkan wilayah sains bersumber dari ayat-ayat kauniyah.
-------------------------------------------------------------------------------------

Meskipun dasar filosofis ‘hanya’ menjadi asumsi bagi proses saintifik, tetapi sebenarnya disinilah awal dari semua langkah untuk mencapai kesimpulan yang baik – syukur-syukur benar. Jika asumsinya salah, secanggih apa pun proses saintifiknya, hasilnya pasti salah. Dengan kata lain, sebenarnya sains hanya berfungsi sebagai penjelas teknis dari sebuah filosofi yang menjadi asumsi. Dengan demikian, kita lantas bisa melihat betapa penting sebenarnya proses penyusunan asumsi yang baik dan benar itu. Ringkasnya: harus benar dulu secara filosofis, barulah kita berada di jalur yang benar dalam memperoleh kesimpulan saintifik yang benar.

Sesungguhnya, asumsi bisa dibangun dengan cara apa saja. Bisa diambil dari pengalaman sebelumnya, bisa dari kesimpulan saintifik yang mendahuluinya, bisa dari intuisi dan inspirasi yang bersifat internal, ataupun dari sumber-sumber tepercaya lainnya, termasuk kitab suci. Bagi seorang ilmuwan muslim yang menjadikan Al Qur’an sebagai panduan hidupnya ayat-ayat Al Qur’an bisa menjadi inspirasi yang luar biasa dalam membangun asumsi yang terarah.

Logika dasarnya, alam semesta dengan segala peristiwa di dalamnya adalah ciptaan Allah. Maka, jika ingin memahaminya, kita harus ‘bertanya’ kepada Yang Menciptakannya. Dan menariknya, ternyata Allah sudah ‘menjawab’ pertanyaan kita itu sebelum kita bertanya, lewat firman-firman-Nya di dalam Al Qur’an. Kita tinggal mencari saja ayat-ayat yang bisa menjadi inspirasi filosofis bagi semua peristiwa yang sedang kita hadapi. Disana ada ‘clue’ alias ‘tanda-tanda’, yang kemudian diistilahkan sebagai al ayat.

Ada yang disebut sebagai ayat-ayat qauliyah berupa teks Al Qur’an, dan ada yang dikenal sebagai ayat-ayat kauniyah berupa peristiwa alam yang dihamparkan di sekitar kita. Ayat-ayat qauliyah berfungsi sebagai dasar filosofis, sedangkan ayat-ayat kauniyah harus dieksplorasi menggunakan sains yang berbasis metode ilmiah.

Berikut ini adalah dalil dari ayat-ayat qauliyah sebagai dasar filosofis, maupun ayat kauniyah sebagai dasar observasi saintifik

QS. Yusuf [12]: 111
Sesungguhnya pada kisah-kisah (sejarah) mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi (kitab) yang membenarkan (meluruskan kitab-kitab) sebelumnya, dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk serta rahmat bagi kaum yang beriman.

QS. Yusuf [12]: 105
Dan banyak sekali tanda-tanda di langit dan di bumi yang mereka lalui, tapi mereka berpaling darinya (tidak menghiraukannya).

Maka, bagi seorang ilmuwan muslim, proses filosofis dan saintifik itu berada di dalam ‘satu tarikan nafas’ belaka. Karena, baik yang qauliyah maupun yang kauniyah, kedua-duanya adalah ayat-ayat Allah. Yakni, ‘tanda-tanda’ alias clue yang diberikan sebagai petunjuk untuk melangkah lebih jauh dalam memahami realitas ciptaan-Nya.

Dikarenakan keduanya masih berupa clue, maka keduanya memang memerlukan penafsiran. Ada tafsir terhadap teks Al Qur’an, ada pula tafsir terhadap realitas alam semesta. Tafsir Al Qur’an berada di ranah filosofis yang cenderung subyektif, dan membutuhkan perangkat ilmu tafsir. Sedangkan tafsir alam semesta berada di dalam ranah obyektif yang membutuhkan perangkat sains. Meskipun, obyektivitas sains sendiri akan cenderung semakin subyektif ketika berada di wilayah soft science.

Karena semua itu adalah tafsir – baik yang qauliyah maupun kauniyah – maka kesimpulannya memang tidak akan pernah mutlak. Yang filosofis maupun yang saintifik, semuanya bersifat relatif. Kebenaran mutlak hanya tersimpan di dalam Al Qur’an sebagai sumber ayat qauliyah, dan alam semesta sebagai sumber ayat kauniyah. Itulah sebabnya, seluruh bentuk tafsir Al Qur’an selalu akan mengalami perubahan dan perkembangan, sebagaimana juga yang terjadi pada sains.

Dengan memahami semua ini, kita menjadi tahu peta persoalannya. Dan bisa memposisikan diri secara proporsional. Apalagi, ketika memasuki ranah diskusi antar pemikiran yang berbeda. Harus disamakan dulu frame-nya, agar diskusinya bisa ‘klik’ alias ‘nyambung’. Kalau tidak, hanya akan terjadi hit and run, dan dijamin tidak akan menemukan titik temu sebagai kesimpulannya. Yang satu berada di wilayah subyektif, yang lainnya berada di wilayah obyektif, misalnya. Atau, yang satu dan lainnya punya definisi berbeda terhadap masalah yang sama. Bagaimana mungkin bisa terjadi diskusi yang bagus dan berkualitas?

Lantas, bagaimanakah Al Qur’an memberikan dasar filosofi bagi eksistensi alam semesta ini? Ada apa sebelum universe? Sungguh ini pertanyaan yang sangat kental dengan filosofi yang cenderung subyektif, serta sangat sulit dijawab oleh sains yang mengandalkan obyektivitas. Kenapa? Karena, memang tidak ada obyeknya..!! Jadi,bagaimana bisa obyektif..??

Ketiadaan adalah kekosongan. Suatu kondisi dimana tidak ada apa-apa yang bisa kita sebut secara terinci. Dalam konteks alam semesta, yang disebut kosong mutlak itu adalah lenyapnya seluruh variabel penyusun universe. Materi tidak ada. Energi tidak ada. Ruang dan waktu pun tidak ada. Jika masih ada salah satunya, belum bisa disebut kosong alias tiada.

Ini berbeda dengan ‘kehampaan’. Hampa itu tidak kosong. Masih berisi, setidak-tidaknya energi. Meskipun saya tidak yakin ada sebuah ruang yang bisa benar-benar hampa secara mutlak terhadap materi. Diantaranya, terhadap ‘materi hantu’ yang dikenal sebagai neutrino yang bisa menembus apa saja tanpa bisa dideteksi ataupun dihalangi. Berdasar atas temuan materi hantu inilah, kemudian berkembang lebih luas menjadi dark matteryang misterius itu. Terdeteksi keberadaannya, tetapi tidak diketahui wujudnya. Bahwa ruang alam semesta yang tadinya dikira hampa itu ternyata tidaklah hampa. Melainkan berisi ‘materi gelap’.

Apalagi energi. Hampir bisa dipastikan, seluruh ruang alam semesta ini berisi energi, meskipun juga tidak bisa dideteksi secara langsung, sehingga disebut sebagai dark energy. Perbedaannya, hanyalah soal kerapatannya. Ruangan yang semula dikira hampa materi, ternyata mengandung materi dengan kerapatan yang rendah atau tak terdeteksi. Demikian pula, ruangan yang semula dikira hampa energi, dikarenakan kerapatan energinya yang sedemikian rendah sehingga tak terdeteksi. Atau, bisa juga dikarenakan peralatan kita yang tak bisa menangkapnya. Selama disitu ada gaya yang bekerja – termasuk gaya gavitasi yang mengisi seluruh penjuru alam semesta – maka disitu pun ada energi. Dan jika disitu ada energi, sangat boleh jadi hadir pula materi. Meskipun disebut sebagai materi gelap.

Walhasil, tidak ada ruang hampa yang benar-benar kosong di alam semesta. Apalagi, yang dimaksud kekosongan itu hanya isinya, yakni: materi dan energi. Sedangkan ruang dan waktu sebagai ‘wadahnya’ masih ada. Ini bukan kekosongan, melainkan ‘kehampaan’, yang sesungguhnya tidak benar-benar hampa.

Kekosongan adalah ketiadaan mutlak. Tak ada materi, tak ada energi, sekaligus tak ada ruang dan tak ada waktu..! Dalam kondisi ini, sains sudah tidak bisa lagi mengukur dan menghitungnya. Juga tak mampu menyodorkan bukti-bukti empiris yang menjadi andalannya. Bahkan secara filosofis disebut sebagai runtuh di titik singularitas. Ya, SAINS ternyata runtuh di fase KETIADAAN..!!

Maka, apalagi yang bisa disebut saat seluruh variabel penyusun alam semesta ini tiada. Karena sesungguhnya, tanpa adanya keempat variabel alam semesta itu, tidak ada peristiwa apa pun yang bakal terjadi. Termasuk bahasa yang kita gunakan untuk menyebut sesuatu. Itulah yang oleh Al Qur’an disebut sebagai suatu keadaan dimana kita belum bisa disebut.

QS. Al Insaan [76]: 1
Bukankah telah datang kepada manusia suatu masa dari (pergerakan) waktu, dimana ketika itu dia belum merupakan sesuatu yang bisa disebut?

Ayat ini sungguh luar biasa secara filosofis. Allah menginformasikan bahwa waktu mengalami dinamika, yang di suatu saat yang lalu segala realitas ini (termasuk manusia) belum  bisa disebut. Bukan ‘tidak ada’, melainkan tidak bisa disebut. Karena, di fase ini sangat boleh jadi segala variabel penyusun alam semesta belum eksis.

Kalau RUANG saja belum ada, bagaimana Anda bisa menentukan posisi sebuah peristiwa. Pertanyaan ‘dimana’, ‘kemana’, ‘yang mana’, dan semacamnya tidak memiliki pijakan sama sekali. Lha wong, tak ada ukuran apa pun untuk menentukan posisi. Demikian pula, ketika WAKTU tidak ada, maka pertanyaan ‘sebelum itu apa’, ‘sesudah itu bagaimana’, ‘kapan’, dan semacamnya juga tak ada maknanya. Termasuk ketika Anda bertanya: SEBELUM ada universe ini ada apa ya..?? Hhehe, pertanyaan ini kayaknya salah deh. Meaningless.Bukan salah yang tidak bisa menjawab pertanyaan ini, melainkan salah yang bertanya. Ternyata untuk bertanya pun harus punya ilmunya.. :)

Jadi, sebelum ada universe, berarti tidak ada ruang, waktu, materi, dan energi. Lantas apa yang ada? Hanyalah ‘Sesuatu’ yang TIDAK BISA DISEBUT, karena tidak ada perbendaharaan bahasa yang bisa menjelaskan Zat yang Tak Ada Yang Menyerupainya itu. Zat yang tak bisa lagi dijelaskan lewat pengetahuan manusia – yang memang sangat bergantung kepada keberadaan variabel-variabel alam semesta. Persis seperti yang diceritakan oleh ayat berikut ini - laisa kamitslihi syai'un - sebagai dasar filosofis untuk mengenali Eksistensi-Nya...

QS. Asy Syuura [42]: 11
(Dialah) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagimu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangannya (pula). Dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya. Dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.

Wallahu a’lambissawab

~ salam ~

Rabu, 30 Oktober 2013

AL QUR’AN MENGHARGAI ILMUWAN ~ AL QUR’AN SEBAGAI SUMBER FILOSOFI BAGI SAINS (2)

Sudut pandang yang berbeda dalam memahami realita – yang sama sekalipun – memang akan menghasilkan persepsi yang berbeda pula. Bagi seorang saintis murni, pengembangan ilmu pengetahuan adalah untuk ilmu pengetahuan itu sendiri. Sedangkan bagi seorang spiritualis, pengembangan ilmu adalah menjadi jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Kedua-duanya sebenarnya mempunyai kepentingan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, meskipun tujuannya berbeda. Dalam bahasa Al Qur’an, orang-orang yang bergerak di dalam bidang keilmuan alias ILMUWAN itu disebut dengan istilah ULAMA.
------------------------------------------------------------------------------------

Disinilah pentingnya menyamakan definisi, yang akan berpengaruh pada persepsi. Ketika ada seseorang menyebut istilah ‘ilmuwan’, maka yang terbayang adalah seorang pakar sains. Tapi, ketika disebut istilah ‘ulama’ yang terbayang adalah seseorang yang hafal Al Qur’an, kitab kuning, dan pandai berbahasa Arab. Tentu saja ini adalah persepsi yang salah kaprah dan terdistorsi. Karena, terjemahan bahasa Indonesia terhadap kata ulama adalah ILMUWAN. Dan, orang yang disebut ‘alim’ itu adalah orang yang memiliki kadar keilmuan tinggi, yang dalam bahasa modern disebut sebagai pakar, scholar, expert, ataupun scientist.

Ilmuwan dalam bidang apa? Tentu saja segala macam ilmu pengetahuan, baik yang hard sciences maupun yang soft sciences. Yaitu, ilmu-ilmu alam yang ketat dengan obyektivitas, maupun ilmu sosial-politik-ekonomi-budaya dan sebagainya yang lebih lentur terhadap subyektivitas. Al Qur’an menghargai dan memuliakan para ulama alias ilmuwan. Yang dalam ayat berikut ini dikaitkan langsung dengan orang-orang yang beriman. Artinya, ke-ILMUWAN-an di dalam Islam memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan KEIMANAN.

QS. Al Ankabuut [29]: 43-44
Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu (orang-orang yang ‘alim). Allah menciptakan langit dan bumi dengan hak (benar dan akurat). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (pelajaran) Allah bagi orang-orang yang beriman.

QS. Faathir [35]: 28
Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama (ilmuwan). Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.

Ayat-ayat yang bercerita tentang kualitas para ulama alias ilmuwan itu bertaburan di dalam Al Qur’an. Ini menjadi informasi penting bagi kawan-kawan kita yang memiliki ‘persepsi terdistorsi’ bahwa seorang ulama hanyalah sekedar ‘ahli ilmu agama’ dalam pengertian sempit, sedangkan seorang ilmuwan adalah seorang pakar sains ataupun ilmu-ilmu duniawi. Penjelasan saya ini, setidak-tidaknya menjadi jawaban atas statement mas Eka berikut ini (atau, siapa saja yang masih memiliki pemahaman seperti ini): “... Sains memang baru saja menemukan 95% lagi dari universe dan selama ini kita hanya mengenal 5% nya saja. Yang jelas siapa yang menemukannya? Ilmuwan, bukan ulama...’’. Tentu, pendapat seperti ini keliru dalam sudut pandang Islam. Sebab, justru peradaban Islam telah melahirkan ratusan ilmuwan kelas dunia, yang karya-karyanya menjadi sumbangan yang tidak kecil bagi peradaban modern yang memang dewasa ini sedang berpindah kiblat ke Barat.

Karena itu, dalam sejarah keemasan Islam kita mengenal ratusan ulama alias ilmuwan. Seperti IBNU SINA yang ahli di bidang Kedokteran; KHAWARIZMI yang pakar Matematika, Geografi dan Astronomi; AL FARABI yang selain pakar Matematika dan sains juga Ilmuwan Politik; IBNU KHALDUN yang ahli Sosiologi dan Ekonomi; AL BIRUNI yang jagoan Farmasi, Astronomi, Matematika, Filsafat dan Sejarah; AR RAZI yang ahli Kimia, Pengobatan dan Biologi. Dan masih banyak lagi ilmuwan-ilmuwan kelas dunia yang lahir dari zaman keemasan Islam. Mereka adalah ULAMA dalam arti yang sesungguhnya. Bukan ‘ulama’ seperti yang dipahami oleh mas Eka atau yang sepaham dengannya.

Karena itu, dalam sudut pandang Islam, tidak ada pendikotomian antara ilmu Allah dan ilmu saintis seperti pertanyaan mas Eka di point 1: “Para ilmuwan sering diremehkan karena selalu dibandingkan dengan Allah, yaitu pengetahuan sains hanya setetes dari ilmu yang dipunyai Allah...’’ . Karena, para ilmuwan Islam selalu menempatkan diri dalam posisi memahami ilmu-Nya. Di dalam-Nya. Dan terus mencari jalan untuk ‘mendekatkan diri’ kepada-Nya, dengan cara mengungkap ayat-ayat kauniyah yang dihamparkan di alam semesta ciptaan-Nya.

Atau, seperti yang diungkapkannya dalam point ke-2, yang menganggap ilmu pengetahuan di dalam Islam adalah subyektif: “... Metode ilmiah dan sains telah diakui sebagai pendekatan yang lebih obyektif, dan justru berusaha tidak sesubyektif mungkin. Yang sering disebut sebagai pendekatan yang subyektif adalah pendekatan secara agama atau melalui lensa yang penuh aturan yang deterministis (sudah ada ketentuan menurut agama tertentu)...’’

Tentu saja tidak demikian. Karena, sebagaimana saya katakan di notes sebelumnya, ayat-ayat Al Qur’an adalah panduan yang bersifat filosofis. Karena, untuk teknisnya Allah telah memerintahkan kepada umat Islam agar langsung melakukan pengamatan dan observasi ke alam semesta sebagai sebuah realita. Dan itu bermakna harus menggunakan pendekatan saintifik yang obyektif. Dimana hasilnya akan menjadi feedback bagi peningkatan keimanan kepada Allah Sang Maha Pencipta lagi Maha Berilmu.

QS. Al Ghaasyiyah [88]: 17-20
Maka apakah mereka tidak mengobservasi (secara saintifik) unta bagaimana dia diciptakan? Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?

Sedangkan mengenai point yang ke-3: “Para ilmuwan tidak ada yang "takut" atau peduli bahwa dia akan menemukan Tuhan dalam experimen atau rumus2nya...’’, justru disinilah letak perbedaan antara ilmuwan muslim dan non muslim. Atau, antara yang beragama dengan yang tidak beragama. Atau, setidak-tidaknya, antara yang ‘pejalan spiritual’ dengan yang ‘ilmu demi ilmu’.

Dalam prakteknya, seperti yang disebut oleh mas Eka di point yang ke-4, para ilmuwan itu memang ‘takut’ dianggap bertuhan dalam berilmu pengetahuan, sebagaimana saya kutipkan dari komentarnya berikut ini: “Khususnya tentang ilmuwan terkenal seperti Hawking dan Einstein, jarang sekali mereka menyinggung tentang agama dan tuhan karena mereka tidak ingin dikatakan terbias. Dan bila mereka menyinggung ttg tuhan, pastilah dengan cara yang diplomatis...’’. Dan kemudian diakhiri dengan kalimat: “...dalam bukunya berikutnya dia (Stephen Hawking red.) tidak ingin disalah artikan lagi lalu justru mengatakan bahwa alam semesta tak memerlukan tuhan.’’

Jadi, itulah perbedaan antara ilmuwan muslim yang disebut sebagai ulama dengan ilmuwan sekuler yang tak ingin melibatkan Tuhan dalam keilmuannya. Lantas, adakah yang salah dalam hal ini? Saya kira silakan saja. Karena, toh semua itu adalah pilihan, bergantung kepada filosofi dasar yang digunakan, atau niatnya dalam beramal. Niatnya pingin bertemu Tuhan lewat ilmu, ya bakal ketemu dengan Sang Pencipta Jagat Raya. Niatnya mencari ilmu demi ilmu, ya bakal ketemu dengan ‘ilmu’. Itu saja. Saya kira tidak sulit untuk memahaminya... :)

QS. Ar Ra’d [13]: 2
Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (dengan gaya-gaya) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di 'Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing berdinamika sampai waktu yang ditentukan. Allah mengatur (segala) peristiwa, menjelaskan tanda-tanda, supaya kamu meyakini pertemuan dengan Tuhanmu.

Wallahu a’lam bissawab

~ salam ~

ADA APAKAH SEBELUM ‘ADA’? ~ AL QUR’AN SEBAGAI SUMBER FILOSOFI BAGI SAINS (1)

Meskipun tema kali ini agak berbeda dari notes sebelumnya, tetapi tetap memiliki kaitan yang erat dan serial. Kalau sebelumnya bicara tentang keseimbangan alam semesta, maka kali ini kita akan beringsut kepada tema yang lebih ke hulu, yang menjadi akar dan cikal bakal dari keberadaan sains.

Temanya lantas menjadi lebih bersifat filosofis.Tetapi, sebagaimana saya katakan di notes sebelumnya, bukankah semua ilmu memang bersumber dari filosofi terlebih dahulu. Dan barulah dikembangkan ke ranah teknis yang bersifat saintifik. Di ranah teknis itulah lantas ada pembuktian-pembuktian yang bersifat empiris. Dan itu menjadi kekhasan sains yang bersifat obyektif. Semakin teknis semakin obyektif, semakin filosofis semakin subyektif.

Agar pembahasan ini bisa didiskusikan dengan beragam latar belakang subyek yang berbeda, tentu saja kita harus melibatkan unsur-unsur obyektif. Karena jika terlalu subyektif, hasilnya tidak akan bisa dinikmati oleh peserta diskusi secara general. Itulah sebabnya, pembahasan filosofis ini, sedikit banyak mesti tetap melibatkan sains yang obyektif, agar tidak berputar-putar pada ranah subyektif dengan gap yang terlalu besar secara individual.
-----------------------------------------------------------------------------------------

Sains modern yang semakin canggih ini tidak bisa terlepas dari sumber filosofinya. Perbedaan ‘keyakinan’ dalam ranah filosofis bisa memberikan arah yang berbeda kepada hasil akhir sains. Setidak-tidaknya pada persepsi subyektifnya. Meskipun secara metodologi saintifiknya sama. Karena sesungguhnyalah sains itu bersifat netral.

Kesimpulan obyektif bahwa alam semesta berkembang, misalnya, bisa bermakna subyektif yang berbeda. Bagi orang yang merujuk kepada Al Qur’an, hal ini akan menambah keimanannya lebih baik, karena ia telah membaca ayat-ayat yang menyatakan bahwa alam semesta ini memang berkembang. Bukan sekedar mencocok-cocokkan, tetapi baginya ini adalah sebuah bukti yang mengejutkan dan mengagumkan. Karena, tanpa harus menyengaja untuk melakukan 'cocokologi', masyarakat ilmiah telah menyodorkan kesimpulan yang sama dengan kitab sucinya. Meskipun sebagian dari masyarakat ilmiah itu lantas ada yang ‘tidak rela’ hasil kerja mereka ‘diklaim’ sebagai pembuktian kebenaran kitab suci.

Sedangkan bagi orang yang tidak bersinggungan dengan Al Qur’an, kesimpulan obyektif tentang berkembangnya alam semesta itu akan menghasilkan persepsi subyektif yang berbeda lagi. Mungkin, mereka juga merasa kagum atau ‘aneh’, karena merasa memperoleh ‘mainan baru’ atau realitas baru yang di luar dugaan mereka, tanpa harus mengaitkan dengan keberadaan Tuhan. Meskipun, bagi para ‘pejalan spiritual’ hal itu bisa saja dipertanyakan: lantas untuk apa, kalau hanya untuk merasa aneh dan memperoleh mainan baru? 'So what gitu loh', kata anak-anak muda sekarang.. :)

Begitulah, sains yang obyektif ternyata bisa berujung pada persepsi yang subyektif sesuai dengan filosofi yang mendasari seseorang dalam menggunakan sains. Maka, sains yang semula tidak berpihak, pada kenyataan menjadi ‘dipaksa’ berpihak juga. Mirip pisau dapur, yang fungsinya lantas bisa berubah-ubah sesuai penggunanya. Bagi seorang ibu, ia bisa digunakan untuk memasak. Tapi, bagi seorang psikopat pisau itu bisa digunakan untuk membunuh dan berbuat kriminal.

Filosofi dasar dalam berbuat sesuatu – termasuk dalam ranah sains – menjadi sedemikian pentingnya dalam mewarnai hasil akhir. Ini mirip dengan hadits Nabi yang sangat terkenal: innamal a’malu binniyat – sesungguhnya (kualitas) amalan itu bergantung kepada niatnya. Yang dalam konteks ini bisa menjadi: sesungguhnya obyektivitas sains itu tergantung kepada filosofi yang mendasarinya. Bagi seorang pencari Tuhan, sains bisa digunakan untuk membuktikan eksistensi-Nya. Sebaliknya, bagi seseorang yang tidak percaya Tuhan, Sains akan digunakannya untuk membuktikan ketidak-adaan-Nya.

Maka, terkait dengan pertanyaan mas Eka tentang ‘ada’ dan ‘tiada’, mau tidak mau kita harus menggunakan beberapa terminologi sains untuk membahasnya di ranah yang obyektif. Meskipun, ujung-ujungnya akan kembali memasuki ranah subyektif yang terserah kepada persepsi masing-masing. Bagi seseorang yang mengimani keberadaan Tuhan, ujungnya pasti akan bertemu dengan Tuhan. Sedangkan bagi mereka yang tidak mengimani Tuhan – atau setidak-tidaknya hanya ingin membuktikan ilmu untuk ilmu - ya mereka akan berhenti pada ‘keanehan’ baru yang selama ini belum pernah mereka rasakan saja.

Meskipun, mungkin itu akan mendorongnya mencari dan mencari lagi ‘keanehan-keanehan’ realitas alam semesta. Mirip dengan kisah ‘pemburu hantu’ yang terus menerus berburu hantu, sampai dia merasa jenuh sendiri karena setelah begitu banyak hantu yang ditangkapnya, ia menjadi tidak tahu sendiri harus melakukan apa setelahnya...

Perkembangan sains modern, khususnya dalam berburu asal-usul alam semesta memiliki suasana yang kurang lebih sama. Ada yang sekedar berburu ‘partikel-partikel hantu’ untuk membuktikan bahwa ‘hantu’ itu ada, tetapi ada juga yang ingin melanjutkan sampai pada pertanyaan filosofis: lantas di balik ‘hantu’ itu ada apa atau siapa? Saya meyakininya, keduanya akan bertemu di satu muara yang sama, yakni: Sesuatu yang Maha Aneh, yang selama ini belum kita pahami secara sempurna. Yang tidak pernah terbayangkan oleh akal manusia yang paling hebat sekalipun..!

Secara filosofi, manusia sudah berada di ambang antara ‘ada’ dan ‘tiada’. Bahwa, eksistensi yang kelihatan ada ini sebenarnya 'ada' ataukah 'tidak ada' sih?!! Karena, ternyata jika segala yang ada ini di-breakdown menjadi bagian-bagian lebih kecil yang menjadi penyusunnya, ujung-ujungnya mengarah kepada ‘ketiadaan’.

Benda-benda di-breakdown menjadi molekul. Molekul di-breakdown menjadi atom. Lantas di-breakdown lagi menjadi partikel-partikel sub atomik, quark, quantum, dan lautan energi yang semakin kehilangan sifat materialnya. Bahkan, kalau diteruskan akan terbentur kepada ‘dinding tebal’ sejarah munculnya segala eksistensi – materi ataupun energi – di saat-saat awal munculnya alam semesta. Yakni, saat materi dan energi tak ada bedanya lagi. Dan dimungkinkan sebagai muncul dari ketiadaan.

Bagi orang-orang yang tidak bertuhan, ada indikasi kuat untuk menghindari ketiadaan ini. Karena mereka takut akan bertemu ‘Sesuatu’ yang memunculkan alias mengadakan alias menciptakan segala eksistensi ini dari ‘tidak ada’ menjadi ‘ada’. Karena itu mereka berusaha mati-matian untuk mencari pembenaran dengan menggunakan sains, agar tidak perlu ada Tuhan dalam drama kolosal munculnya segala eksistensi ini. Tak kurang, ada Stephen Hawking yang berdiri di garda depan dalam soal kosmologi, atau Richard Dawkins dalam hal evolusi kehidupan, dan Sam Harris dalam bidang Neurosains, sebagaimana telah saya bahas dalam buku DTM-35: IBRAHIM PERNAH ATHEIS.

Sains memang bisa saja digunakan sebagai ‘pisau’ untuk beragam keperluan. Baik oleh orang-orang yang percaya Tuhan ataupun sebaliknya. Tetapi, semuanya akan kembali kepada filosofi dasar alias niatan yang melandasinya. Niatnya mencari kebenaran akan ketemu kebenaran, lewat sains. Niatnya ‘mencari-cari kesalahan’, juga akan menemukan kesalahan, lewat sains. Innamal a’malu binniyat..!

Ke-TIADA-an adalah sebuah keniscayaan bagi keber-ADA-an. Karena keduanya adalah pasangan filosofis dari sebuah eksistensi. Sesuatu disebut ADA, karena ada ketiadaan. Sebaliknya, TIADA itu disebut ada karena adanya suatu keberadaan. Lantas, bagaimana memahami ketiadaan dan keberadaan secara saintifik? Bukankah sains hanya bisa mengukur ‘yang ada’? Itulah sebabnya, seluruh hukum sains runtuh di titik singular alias ‘ketiadaan’.

Ini menjadi paradoks paling besar di era modern yang begitu mengagungkan-agungkan sains. Sehingga, misalnya, membuat ‘bingung’ Stephen Hawking yang jagoan astromatematika dalam berpendapat. Sekali waktu dia berpendapat bahwa alam semesta butuh Tuhan untuk mengadakannya dari tiada, tapi di kali lain dia berpendapat alam ini tidak butuh Tuhan, karena ada ‘fluktuasi kuantum’ di awal lahirnya alam semesta. Sebuah kegalauan yang membingungkan ‘secara filosofis’ bagi seorang pendekar sains abad 21, kalau tidak boleh disebut sebagai ‘ketidak-berdayaan’ dalam mengungkap realitas.

Ya, manusia dewasa ini sedang berada di tepi jurang yang sangat dalam dengan kemajuan sains yang telah dicapainya. Seluruh pencapaian yang luar biasa itu ternyata tak lebih hanya menempati sekitar 5% saja dari eksistensi alam semesta, yang disebut oleh para ilmuwan sebagai the known universe. Yang 95%-nya ternyata berada di dalam kegelapan yang ‘menakutkan’. Termasuk yang berupa materi gelap –dark matter– dan energi gelap –dark energy– yang begitu misterius. Dan lebih rumit lagi, kini muncul trend  kuat yang mengindikasikan adanya alam berdimensi lebih tinggi yang memiliki hukum-hukum alam sama sekali berbeda dengan yang kita pahami..!

Wallahu a’lam bissawab
~ salam ~