Rabu, 13 November 2013

SISTEM INFORMASI ALAM SEMESTA ~ AL QUR’AN SEBAGAI SUMBER FILOSOFI BAGI SAINS (13)

Al Qur’an adalah petunjuk bagi manusia agar memahami kehidupannya. Tentang dirinya, tentang keluarganya, tentang masyarakatnya, tentang lingkungannya, bahkan tentang alam semesta, dan Sang Penguasa yang telah menciptakan segalanya. Menyelam ke dalam makna kitab suci ini akan menyebabkan seseorang memperoleh panduan untuk memperoleh hikmah yang luar biasa dalam memahami realitas.
-------------------------------------------------------------------------------------

Alam semesta terbentuk dari empat variable dasar, yakni: ‘ruang’ yang mengembang, ‘waktu’ yang bertambah tua, ‘materi’ yang membentuk berbagai benda pengisi semesta, dan ‘energi’ yang menjadi tenaga bagi terjadinya berbagai peristiwa. Tapi, saya yakin Anda bisa ‘merasakan’ dan sependapat bahwa semua itu adalah entitas yang mati. Tak punya kehendak dan tak punya tujuan. Sehingga, sulit untuk membayangkan bahwa dinamika dari semua ‘variable mati’ alam semesta ini terjadi dengan sendirinya, tanpa melibatkan ‘faktor’ di luar keempat variable tersebut.

Apakah faktor yang menyebabkan alam semesta bisa berdinamika selama miliaran tahun dalam keseimbangan seperti ini? Sehingga ia tidak kolaps sesaat setelah kemunculannya. Dan bahkan mengembang sambil membentuk berbagai benda langit yang tersusun harmonis namun dinamis. Dan lantas, menghasilkan tatasurya dimana planet Bumi berada. Dan akhirnya, tercipta miliaran manusia dengan segala kelengkapan hidupnya yang tak ditemukan di benda-benda langit lainnya. Faktor apakah yang telah menjadikan semua itu?

Saya kira sulit untuk ‘tidak setuju’, bahwa seluruh dinamika itu digerakkan oleh ‘sistem informasi’ yang sangat canggih. Yang memerintahkan ruang untuk mengembang. Yang menjadikan waktu bergerak ke masa depan. Yang merenggangkan material semesta. Dan yang membuat energi menjadi kekuatan untuk menggerakan dinamika. Karena keempat variable itu memang – selain tak punya kehendak dan tujuan – juga tak punya kecerdasan. Bagi orang-orang yang berilmu dan berhati terbuka, alam semesta ini jelas memiliki kecerdasan informasi yang luar biasa menakjubkan. Sebuah sistem informasi yang sangat complicated dan sophisticated.

Mirip sebuah pesawat yang sedang terbang dengan system fly by wire alias kendali otomatis berdasar program komputer yang telah dibuat sebelumnya. Sekali sang pilot menekan tombol automation, maka pesawat pun terbang dan beroperasi sesuai program yang telah dimasukkan kedalam sistem kendalinya. Sistem informasi itu mengatur arah, ketinggian, kecepatan, daya mesin, dan sebagainya secara otomatis, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Alam semesta ibarat pesawat terbang yang dikendalikan oleh pilot secara fly by wire itu. Meskipun tidak persis demikian. Karena, posisi pilot terpisah dari pesawatnya, sedangkan Sang Pengendali alam semesta meliputinya. Tetapi, sebagai sebuah analogi sudah mencukupi untuk menggambarkan. Bahwa, seluruh ‘mesin’ ruang-waktu-materi-energi itu adalah entitas mati yang membutuhkan program automation agar berjalan dengan moda tertentu sehingga mencapai tujuan yang ditargetkan. Setiap perubahan pada salah satu variabelnya, akan diproses oleh sistem informasi dengan moda automation yang diberlakukan, untuk mempertahankan proses yang ditetapkan.

Itulah sebabnya, alam semesta berdinamika secara seimbang seperti yang telah kita bahas dalam notes sebelum-sebelumnya. Dalam kesempatan ini, saya tidak sedang menyoroti sistem keseimbangannya, melainkan lebih kepada sistem informasi yang membuatnya berada pada moda automation itu. Sebuah sistem informasi tunggal yang berlaku secara umum dan menyeluruh di penjuru alam semesta.

Inilah yang digambarkan oleh Allah di dalam Al Qur’an Al Karim. Bahwa, segala dinamika yang terjadi selama belasan miliar tahun ini sebenarnya dikendalikan oleh Sang Pilot lewat moda otomatisasi berdasar sebuah sistem informasi yang telah diberlakukan sejak kemunculan alam semesta.

QS. Al A’raaf (7):54
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah,Tuhan semesta alam.

Begitulah keadaan alam semesta. Ia mirip seperti sebuah pemerintahan, yang oleh Allah diistilahkan sebagai kerajaan. Atau, dalam analogi yang saya kemukakan, mirip sebuah pesawat yang terbang fly by wire, dengan menggunakan moda otomatisasi. Mesinnya adalah ruang-waktu-materi-energi, dan sistem otomatisasinya adalah sunnatullah. Pilotnya adalah Allah. Dan action memencet tombolnya adalah saat Allah mengucapkan KUN, fayakun. Sejak itulah alam semesta ‘terbang’ secara fly by wire dalam keseimbangan dinamis menuju tujuan yang telah ditetapkan.

QS. Al Mulk (67): 1-3
Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?

QS. An Nahl (16): 40
Sesungguhnya perkataan Kami terhadap SEGALA SESUATU apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "KUN (jadilah)", maka jadilah ia.

Jadi, seluruh realitas dan eksistensi ini sebenarnya berasal dari kalimat KUN belaka. Bersumber dari kalimat perintah inilah lantas muncul sistem informasi yang mengurai menjadi segala sesuatu. Muncul menjadi ruang, menjadi waktu, menjadi materi dan menjadi energi. Lantas muncul menjadi fluktuasi kuantum. Muncul menjadi dinamika alam semesta dengan berbagai peristiwa yang mengisinya selama belasan miliar tahun yang sudah berjalan. Dan akan terus berjalan sampai tujuan akhirnya tercapai.

Sistem informasi alias sunnatullah itu lantas menjadi hukum alam yang mengkoridori segala peristiwa. Menjadi ‘rel’ bagi pembentukan benda-benda langit dan segala peristiwa yang terjadi di dalamnya, termasuk bermunculannya makhluk-makhluk hidup di muka Bumi ataupun di penjuru semesta yang dikehendaki-Nya.

Kalimat KUN itu sendiri muncul dari salah satu sifat Allah, Yang Maha Berfirman. Yang berisi Kehendak-Nya, berisi Kekuasaan-Nya, berisi Ilmu-Nya, berisi segala Sifat-sifat-Nya. Yang kemudian mengejawantah menjadi makhluk dengan beragam sifat, sesuai dengan desain yang ditetapkannya. Semuanya adalah derivasi dari segala sifat-sifat ilahiah Allah. Yang mewujud dalam skala makhluk - hidup maupun mati. Sehingga kelihatan menjadi terbatas, karena hanya mewujud sebagian, sesuai dengan desain dan karakteristiknya.

Dalam sebuah ayat, Allah memberikan clue yang luar biasa tentang eksistensi Diri-Nya dibandingkan dengan eksistensi makhluk. Bahwa diri-Nya ibarat sebuah pelita di dalam kegelapan yang misterius, yang nyala pelita itu berpendar dengan sendirinya tanpa ada yang menjadi penyebabnya. Sedangkan makhluk, tak lebih hanyalah pendaran cahaya-Nya. Berwarna-warni dengan spektrum yang sangat luas, yang digambarkan sebagai cahaya berada di atas cahaya, tiada ketahuan batasnya. Namun toh demikian, semua cahaya itu tak akan pernah eksis, ketika Sang Pelita tidak memancarkan cahaya-Nya..! Subhanallaah...

QS. An Nuur (24): 35
Allah mencahayai langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca, (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula disebelah barat. Yang minyaknya hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa saja yang dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Wallahu a’lam bissawab
~ salam~

Senin, 11 November 2013

RUH BUKAN MATERI ATAUPUN ENERGI ~ AL QUR’AN SEBAGAI SUMBER FILOSOFI BAGI SAINS (12)

Sebagaimana kita bahas di notes sebelum-sebelumnya, sains akan kehilangan pijakan empirisnya ketika digunakan untuk memahami masalah-masalah ekstrim. Baik ekstrim secara jarak, waktu, ukuran, maupun tingkat kegaibannya. Nah, ruh adalah salah satu masalah yang ekstrim itu, yang masuk ke dalam wilayah kegaiban. Yang di dalam Al Qur’an pun Allah mengingatkan tentang sedikitnya ilmu tentang ruh. Jauh lebih sedikit dibandingkan jiwa yang ilmunya berkembang luas di peradaban manusia. Karena tidak bisa kita empiriskan secara sains itulah, maka pembahasan tentang ruh harus disandarkan kepada ‘clue’ Al Qur’an. Meskipun, pemahamannya lantas bisa kita ulas dengan menggunakan terminologi saintifik.
-------------------------------------------------------------------------------------

Istilah ruh tidak dikenal di dunia sains. Oleh karenanya tidak bisa didefinisikan berdasarkan data-data atau penelitian sains. Ruh adalah istilah religius, sehingga mesti didefinisikan secara religius pula, dengan menyandarkan pada informasi kitab suci Al Qur’an. Ketika filosofinya sudah dipahami, maka pembahasan teknisnya pun lantas bisa dilakukan secara saintifik. Meskipun akan menjadi kontroversial dikarenakan sulit untuk diobyektifkan. Jangankan tentang ruh, tentang jiwa saja ilmu Psikologi sudah dianggap sebagai soft science alias tidak sepenuhnya saintifik. Meskipun lantas ada yang protes: ‘’emangnya sains ini milik siapa?’’

Dari clue yang tersebar di dalam Al Qur’an, ruh bisa didefinisikan sebagai entitas yang menyebabkan benda mati menjadi hidup, berkehendak, bisa mendengar, bisa melihat, berbicara, dan beragam fungsi kehidupan lainnya. Wilayah ini memang menjadi wilayah yang ‘sulit’ bagi sains yang berbasis pada metode materialistik-obyektif. Dan lebih cocok masuk ke ranah psikologi yang cenderung subyektif. Dengan kata lain, sebenarnya ruh adalah subyek, bukan obyek.

QS. As Sajdah (32): 9
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya sebagian ruh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.

Ayat di atas adalah salah satu clue di dalam Al Qur’an yang bisa kita jadikan pedoman untuk memahami ruh. Bahwa ruh adalah suatu entitas yang ketika masuk ke dalam tubuh manusia akan menyebabkan ia menjadi bisa mendengar, melihat dan merasakan. Dengan kata lain, menjadi hidup. Lantas, apakah yang membuatnya menjadi hidup? Inilah bagian yang tidak bisa dipahami oleh sains yang obyektif itu.

Ada sebutir telur ayam dierami, belum tentu ia bisa menetas dan menghasilkan anak ayam yang hidup. Padahal materinya sama dengan telur lainnya yang menetas, dan energi yang terkandung di dalam materi itu juga sama. Tetapi, ruh tidak hadir di dalamnya, sehingga ia tetap sebagai benda mati alias obyek. Ruh bukan materi. Dan ruh juga bukan energi. Karena materi dan energi adalah benda mati yang tidak punya kehendak. Tidak hidup dan menghidupkan.

Badan manusia tersusun dari materi. Dan jiwa manusia tersusun dari energi. Tetapi tanpa adanya ruh, materi dan energi itu tak lebih hanyalah seonggok daging dan tulang belulang, dengan sejumlah energi potensial yang terkandung di dalam materi itu. Ini sama saja ketika kita bicara dalam skala seluler. Bahwa sebuah sel yang memiliki komposisi materi yang sama, belum tentu hidup. Manusia boleh saja membuat sel tiruan, tetapi tidak akan pernah bisa menghidupkannya. Karena ruh memang bukan sekedar materi dan energi.

Dalam skala yang lebih besar, manusia bisa membuat robot dan menjadikannya bisa bergerak, menari-nari, atau bermain sepak bola. Tetapi, ia tidak pernah bisa ‘mendengar’, 'melihat’ dan ‘merasakan’ dalam arti yang sesungguhnya, seperti yang diinformasikan Al Qur’an itu. Padahal dia punya materi dan punya energi untuk beraktivitas, tetapi tidak punya ruh.

Ruh bukan materi, ruh juga bukan energi. Dia adalah sesuatu yang hidup. Yang punya kehendak. Yang punya perasaan. Yang punya ‘cita-cita’ dan tujuan. Yang menjadikan segala yang ditempatinya menjadi hidup dan memiliki sifat-sifat ruh itu. Materi yang mati, menjadi hidup jika dimasuki ruh. Energi yang mati, juga menjadi hidup ketika dimasuki ruh. Yang dengan cara itulah, Allah menciptakan segala makhluk yang hidup, baik yang berbadan materi maupun yang berbadan energi.

QS. Al Hadiid (57): 2
Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.

QS. Ar Ruum (30): 19
Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan menghidupkan bumi sesudah matinya. Dan seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari kubur).

QS. Ar Ruum (30): 50
Maka perhatikanlah bekas-bekas rahmat Allah, bagaimana Allah menghidupkan bumi yang sudah mati. Sesungguhnya (Tuhan yang berkuasa seperti) demikian benar-benar (berkuasa) menghidupkan orang-orang yang telah mati. Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Dari berbagai ayat itu, kita bisa ‘merasakan’ bahwa ada ‘sesuatu’ yang menyebabkan benda mati bisa menjadi hidup, dan sebaliknya. Ia bukan materi maupun energi, melainkan sebuah entitas yang sangat misterius, yang tak pernah bisa diukur maupun dikendalikan lewat ilmu fisika dan biologi. Yang Allah menceritakannya sebagai entitas bernama ruh.

Ini berbeda dengan materi dan energi sebagai entitas yang mati, dan kemudian bisa kita apakan saja. Mau dibakar, mau dibentuk, mau dihancurkan, dipindahkan, dikonversi, dan lain sebagainya, tak ada perlawanan. Ruh adalah entitas yang memiliki kehendak sendiri, dan tidak bisa begitu saja diperlakukan semaunya. Setidak-tidaknya akan memberikan reaksi khas makhluk hidup.

Hanya saja, misteriusnya, ruh ini tidak bisa dideteksi ketika sedang berdiri sendiri. Ia hanya akan bisa dideteksi dan bisa mereaksi ketika sudah masuk ke dalam materi ataupun energi. Disinilah masalahnya, sehingga ia disebut sebagai entitas yang sulit dibuktikan secara saintifik. Yang dalam bahasa Al Qur’an, Allah menyebut dengan: wamaa uutiitum minal ‘ilmi illa qaliilan – dan tidaklah kalian diberi ilmunya kecuali cuma sedikit.

Sebagai contoh, jika ada seseorang yang ditinggalkan ruhnya dan lantas meninggal, maka kita tidak pernah tahu bagaimana bentuk ruh yang meninggalkannya itu. Salah satu diantara kita, bisa saja menyebutnya sebagai ia telah ditinggalkan oleh ‘energi kehidupan’-nya, tetapi istilah ini sebenarnya tidak memiliki makna apa pun di dunia sains. Karena, energi memang tidak hidup, dan bisa dibuktikan secara empiris. Istilah itu lebih menuju ke arah ‘sesuatu’ yang sulit diceritakan, tetapi kita bisa merasakan keberadaannya.

Ia adalah ‘sesuatu’ yang mewakili eksistensi Tuhan, Sang Maha Hidup dan Maha Berkehendak. Yang ditiupkan atau dihembuskan kepada segala ciptaan yang dikehendaki-Nya. Dan ketika sang ruh sudah melebur ke dalam ciptaan itu, ia menjadi terimbas sifat-sifat Tuhan Yang Hidup dan Berkehendak. Berbuat apa saja secara mandiri. Dan bertahan dalam keseimbangannya, sampai datangnya kematian, dimana sang ruh telah meninggalkan dirinya.

Ia mewujud ke dalam materi, tetapi ia bukanlah materi. Ia mewujud ke dalam energi, tetapi bukanlah energi. Ia mewujud ke dalam ruang dan waktu, tetapi ia bukanlah ruang dan waktu. Karena, ia adalah sesuatu yang berasal dari Sang Pencipta ruang, waktu, materi, dan energi, dengan membawa sifat-sifat Keagungan dan Keabadian-Nya. Yang dengannya Dia menampakkan eksistensi-Nya seiring dengan kualitas makhluk yang ditempatinya...

QS. Al Hajj (22): 6
Yang demikian itu, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang haq. Dan sesungguhnya Dialah yang menghidupkan segala yang mati dan sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Wallahu a’lam bissawab
~ salam ~

Minggu, 10 November 2013

RUH PEMBAWA SISTEM INFORMASI ILAHIAH ~ AL QUR’AN SEBAGAI SUMBER FILOSOFI BAGI SAINS (11)

Al Qur’an sebagai kitab petunjuk bagi manusia berisi ‘clue’ untuk memahami realitas alam semesta maupun diri kita sendiri. Yang jauh maupun yang dekat. Yang besar maupun yang kecil. Yang lalu maupun yang masa depan. Yang nyata/ syahadah maupun yang gaib. Karena itu, terkuaknya realitas akan seiring dengan proses pengetahuan yang dikuasai oleh manusia. Itulah sebabnya, Allah menghargai para ilmuwan atau ulama, karena mereka menjadi bagian dari mata rantai terkuaknya hikmah dan petunjuk yang ditebarkan Allah di sekitar kita.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Saya memahami jiwa dan ruh sebagai substansi yang berbeda. Karena, Al Qur’an memang memberikan clue secara berbeda. Dan istilahnya pun dibuat berbeda. Bahkan, clue perbedaan itu menjadi semakin jelas ketika Allah mengingatkan soal kemisteriusan keduanya. Ruh sangat misterius, sedangkan jiwa ‘agak misterius’. Hal itu bisa dipahami dari ayat-ayat berikut ini.

QS. Al Israa’ (17): 85
Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: "Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan cuma sedikit."

QS. Az Zumar (39): 42
Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain (ketika terbangun dari tidurnya) sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda (pelajaran) Allah bagi kaum yang berfikir.

Lihatlah, ketika Allah berbicara tentang ruh, Dia mengakhiri dengan kalimat yang membatasi: ‘’...diberi pengetahuan hanya sedikit.’’ Tetapi ketika berbicara tentang jiwa, Dia mengakhiri dengan clue yang terbuka: ‘’... terdapat tanda- tanda (pelajaran) Allah bagi kaum yang berfikir.’’ Dengan kata, lain soal ruh, Allah memberikan peringatan; tetapi tentang jiwa, kita malah disuruh berpikir.

Ini menunjukkan ruh jauh lebih misterius dibandingkan dengan jiwa. Itulah sebabnya, ilmu jiwa (psikiatri)  mengalami perkembangan yang sangat pesat dan menghasilkan psikiater maupun psikolog yang banyak, tetapi ilmu tentang ruh mengalami perkembangan yang sangat lambat dan sedikit sekali 'ahlinya'. Karena, ilmunya memang cuma sedikit. Di dalam Al Qur’an kata ruh hanya diulang belasan kali, sedangkan kata jiwa (nafs/ anfus) diulang sebanyak ratusan kali. Begitulah clue yang diberikan oleh Allah.

Berdasar berbagai ayat yang kemudian saya pahami lewat kacamata sains, saya memahami diri manusia tersusun dari 3 lapisan eksistensi, yaitu: badan (jasad), jiwa (nafs) dan ruh (ruh). Badan adalah materi, jiwa adalah energi, dan ruh adalah sistem informasi. Badan dan jiwa adalah sosok yang mati. Ia menjadi hidup dan lantas berdinamika dikarenakan ada sistem informasi yang bekerja padanya. Tanpa sistem informasi yang menggerakkannya, badan dan jiwa akan tetap sebagai sosok yang tak berdaya alias mati.

Tetapi ruh bukanlah sembarang sistem informasi, melainkan sistem informasi yang membawa sifat-sifat ketuhanan. Seperti: hidup, berkehendak, mendengar, melihat, berbuat, kreatif, berbicara, dan lain sebagainya. Ruh adalah sistem informasi yang ‘ditularkan’ oleh Allah kepada makhluk ciptaan-Nya. Dan bekerja pada media yang dikenai sistem informasi itu. 

Yang membuat sang ruh ini misterius adalah dia ini ‘sistem informasi aktif’ yang hidup dan menghidupkan. Sehingga, setiap mengenai materi ataupun energi, sang ruh akan menghidupkannya. Tinggal, bergantung pada seberapa canggih media yang dihidupkan itu. Maka, perwujudan sistem informasi yang ada di dalam ruh itu pun menjadi dibatasi oleh medianya.

Jika media yang dihidupi oleh ruh itu punya tangan, maka si media tersebut akan bisa berbuat dengan tangannya. Tetapi, jika ia tidak punya tangan, tentu saja tidak bisa melakukannya, meskipun potensinya ada. Jika si media tidak punya kaki, ia pun tidak bisa melangkah. Demikian pula jika tidak punya mulut atau pita suara, tentu saja ia tidak bisa berbicara. Dan seterusnya, kita bisa melanjutkan sendiri dengan contoh-contoh makhluk yang tidak punya mata, tidak punya telinga, tidak punya organ-organ dalam, dan bahkan tidak punya otak, dan lain sebagainya.

Perwujudan fungsi ruh bergantung pada media atau makhluk yang ditempatinya. Seluruh makhluk yang hidup pasti mempunyai ruh, karena terbukti dia sudah tertulari oleh sifat ketuhanan Yang Maha Hidup. Tetapi, jika ia masih berada di fase tumbuhan, perwujudan potensi ruh itu hanya akan sebatas karakteristik tumbuhan. Demikian pula pada hewan, perwujudan potensi ruh akan mengikuti kualitas hewan. Dan, selanjutnya pada manusia, kualitas perwujudan ruhnya akan mengikuti karakteristik desain kemanusiaannya.

Nah, perwujudan kualitas ruh pada badan itulah yang kita kenal sebagai jiwa alias nafs. Sesuatu yang hidup, dikarenakan sudah terimbas oleh sistem informasi kehidupan yang dibawa oleh ruh. Namun demikian, sama-sama hidup, antara hewan, tumbuhan dan manusia, memiliki kualitas jiwa yang berberda-beda dikarenakan spesifikasi desainnya memang tidak sama. Bahkan pada sesama manusia pun, jiwanya bisa berbeda dikarenakan karakter desainnya berbeda. Kualitas otaknya berbeda, sistem penginderaannya berbeda, dan lebih jauh sistem genetikanya pun berbeda pula.

Dengan penjelasan semacam ini, saya kira kita sudah mengerti dengan sendirinya, kenapa al basyar purba memiliki kualitas jiwa (nafs) yang berbeda dengan manusia modern. Ya, karena desain tubuhnya berbeda. Diantaranya, yang paling dominan adalah struktur dan volume otaknya. Dari sisi volume otak saja, sudah diketahui kenapa peradaban manusia purba kalah jauh dibandingkan dengan manusia modern, karena manusia purba hanya memiliki volume otak sekitar separo dari yang dimiliki oleh manusia modern.

Ruhnya sama, tetapi perwujudan potensinya berbeda karena ‘media’ yang ditempati ruh itu berbeda. Jiwanya pun menjadi berbeda. Apalagi dengan binatang. Apalagi dengan tumbuhan. Apalagi dengan makhluk bersel satu. Tentu saja semakin berbeda. Bukan ruhnya yang berbeda, melainkan jiwa sebagai perwujudan dari potensi ruh yang membawa sistem informasi ilahiah itu.

Inilah salah satu alasan, kenapa saya berpendapat bahwa sejak stem cell pun sebenarnya manusia sudah terimbas ruh ketuhanan itu. Buktinya sudah hidup. Dan bisa membelah. Bahkan, membelahnya pun memiliki arah dan tujuan yang jelas. Artinya, ada suatu kehendak yang mengontrol semua aktivitas sel itu. Inilah ‘sistem informasi aktif’ yang disebut ruh itu. Tentu saja ia belum bisa menendang, karena memang belum punya kaki. Tentu saja ia belum bisa bersuara, karena belum punya mulut dan pita suara. Dan tentu juga ia belum bisa mendengar ataupun melihat, karena memang belum punya mata dan telinga. Tetapi, ia sudah hidup, berkehendak dan beraktivitas, sebagai perwujudan ruh-Nya dalam skala makhluk.

Seiring dengan proses menyempurna itulah ruh akan menghasilkan jiwa yang semakin menyempurna pula. Mulai dari jiwa yang masih sangat primitif di skala stem cell, sampai pada jiwa yang berkualitas tinggi saat ia sudah menjadi janin manusia. Dan, bahkan terus berkembang sesudah terlahir ke dunia seiring dengan pengalaman hidup yang mendidik jiwanya. Itulah sebabnya, Allah memberikan clue berikutnya, bahwa jiwa manusia akan terus mengalami penyempurnaan, bahkan sampai habisnya usia.

QS. Asy Syams (91): 7-10
Demi jiwa dan seluruh proses penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu (dengan informasi-informasi yang baik), dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (dengan informasi-informasi yang buruk).

Lebih jauh, kita lantas bisa memahami badan dan jiwa sebagai derivasi alias turunan dari sistem informasi ruh itu. Di dalam diri setiap manusia terdapat sistem informasi yang menjadikan ruh bisa bekerja padanya secara proporsional. Mulai dari sistem informasi yang ada di dalam inti sel berupa sistem genetika, sistem informasi yang bekerja pada jaringan sel-sel, sistem informasi yang bekerja pada organ-organ, sampai sistem informasi yang bekerja pada tubuh manusia sebagai kesatuan utuh yang dikendalikan oleh otak. Semua itu berada di dalam pengaruh potensi ruh.

Ketika ruh masih bekerja pada tubuh, maka jiwa pun masih bersemayam di dalamnya pula. Tetapi, ketika ruh sudah dicabut darinya, maka sang jiwa pun bakal terlepas darinya. Itulah saat-saat kematian datang menghampirinya. Setiap yang berjiwa bakal mengalami kematian, yakni saat ‘sistem informasi aktif’ itu di-off-kan oleh Allah sebagai Sang Pemilik segala sifat yang ada di dalamnya. Innalillaahi wa inna ilaihi raaji’uun..

QS. Al Anbiyaa (21): 35
Setiap yang berjiwa (nafs) akan mengalami kematian. Kami akan mencobaimu dengan keburukan dan kebaikan sebagai ujian. Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.

Wallahu a’lam bissawab
~ salam ~

Sabtu, 09 November 2013

RUH DITIUPKAN SEIRING TUBUH YANG MENYEMPURNA ~ AL QUR’AN SEBAGAI SUMBER FILOSOFI BAGI SAINS (10)

Kejelian dalam memahami struktur bahasa Al Qur’an memberikan andil yang besar bagi penafsiran kita terhadap informasi di dalamnya. Meskipun, penguasaan bahasa yang baik saja tidaklah mencukupi untuk memperoleh hikmah dari kitab mulia ini. Sangat banyak orang yang memahami bahasa Arab tidak memperoleh hikmah dari dalam Al Qur’an. Bahkan, para kafir Quraisy di zaman Rasulullah adalah jagoan-jagoan sastra Arab, tetapi toh mereka tetap ingkar kepada kebenaran Al Qur’an. Hanya orang-orang yang membuka hati selebar-lebarnya yang akan menerima hikmah dari-Nya, lewat cara yang dikehendaki-Nya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kapankah ruh ditiupkan ke dalam tubuh manusia? Pertanyaan ini mirip dengan judul notes sebelumnya: Kapan manusia bisa disebut sebagai nafs? Keduanya memiliki keterkaitan yang sangat erat. Bahwa seseorang bisa disebut sebagai nafs adalah di saat-saat awal penciptaannya, di dalam rahim. Yakni, sesaat setelah meleburnya sel telur dan sel sperma membentuk stem cell. Saat itu, sel sudah hidup dan bisa melakukan aktivitas membelah diri, mirip dengan proses perkembangbiakan pada makhluk-makhluk bersel satu di alam bebas.

Hanya saja, di dalam rahim pembelahan sel induk itu mengarah kepada pembentukan makhluk bersel banyak yang sangat kompleks. Dan melewati 3 tahapan: ‘fase tumbuhan’, ‘fase hewan’, dan ‘fase manusia’. Oleh sebab itu, setelah mengalami pembelahan menjadi 16 sel di sepanjang saluran tuba falopii, gerombolan sel yang disebut morula itu lantas menempel dan melekat pada dinding rahim, menjadi semacam tumbuhan parasit di sana.

Di fase ini, cikal bakal manusia itu bertingkah laku seperti tanaman. Sambil membelah diri terus menerus, ia membentuk ‘akar’ dengan cara merusak dinding rahim dan menyerap sari-sari makanan lewat pembuluh-pembuluh darah kapiler yang mulai bermunculan di sekitar plasenta alias ari-ari. Proses bertumbuh ini terjadi sekitar 13 hari setelah pembuahan, dimana gumpalan sel tersebut semakin membesar dan digenangi oleh sel-sel darah tanpa inti yang disebut sebagai hematopoietic. Di dalam Al Qur’an, gumpalan merah itu diistilahkan sebagai alaqah – semacam ‘gumpalan darah’ yang melekat di dinding rahim.

Fase tumbuhan ini terus berlangsung sampai selama sekitar 3 minggu dari masa pembuahan, dimana bentuk gumpalan sel mulai melonjong seperti buah pir. Bagian atas membesar untuk mengarah kepada pembentukan kepala, sedangkan bagian bawah mengecil mengarah kepada pembentukan ekor. Dalam waktu yang bersamaan, sang embrio mulai membentuk jaringan pembuluh darah. Dan kemudian membentuk cikal bakal jantung, beserta pembuluh-pembuluh darah sekundernya.

Melewati minggu ketiga, sel-sel embrio bertumbuh semakin cepat, dan membentuk sistem saraf di sepanjang tubuhnya yang semakin memanjang ke atas-bawah. Jantung mulai berdenyut, dan melakukan sinkronisasi dengan denyut jantung ibunya lewat saluran tali pusar. Di sekitar minggu keempat sistem saraf pusat mulai terbentuk, diiringi cikal bakal tulang belakang yang mulai kelihatan transparan. Dan dilanjutkan dengan terbentuknya berbagai organ vital seperti otak, liver, pencernaan, pankreas, paru-paru, sambil menyiapkan pembentukan alat penginderaan mata dan telinga. Di fase ini, embrio memasuki fase hewan, dengan bentuk ekor yang sangat jelas kelihatan.

Sampai di minggu kelima dan keenam, embrio mengalami proses penyempurnaan menjadi makhluk yang semakin kompleks. Otak menyempurna dengan membentuk bagian-bagian otak depan, otak belakang, belahan kanan dan kiri, serta terus membentuk jaringan dengan sistem saraf tulang belakang. Demikian pula jantung sudah memiliki bilik kanan-kiri, serambi kanan-kiri. Paru-paru juga sudah memiliki kelengkapan saluran trakea, dan keterkaitan dengan pembuluh darah ke jantung. Dan seterusnya, organ-organ dalam lainnya mengalami perkembangan yang semakin sempurna.

Minggu-minggu berikutnya, gelombang otak mulai terdeteksi. Organ-organ vital mulai melakukan koordinasi dengan dikontrol oleh otak. Dan puncaknya adalah terbentuknya kelenjar pituitary yang mengendalikan berbagai aktivitas organ tubuh janin melalui sistem hormonal, diantaranya dengan kelenjar tiroid, adrenal dan gonad. Perkembangan embrio mulai memasuki fase yang semakin rumit, mengarah kepada terbentuknya makhluk manusia yang sangat kompleks.

Secara fisiologis, bentuk embrio sudah mulai bisa dibedakan antara hewan dan manusia. Ekornya memendek dan berangsur-angsur menghilang berganti dengan kaki-tangan yang semakin jelas. Panca indera, jenis kelamin, dan bentuk kepala yang semakin proporsional dengan anggota badan lainnya terjadi di sekitar minggu kedelapan. Setelah itu, embrio akan memasuki fase terakhir sebagai makhluk manusia. Ukuranya masih sekitar 2,5 cm tetapi sudah memiliki kelengkapan yang utuh, hanya tinggal membesarkan dan menyempurnakan fungsinya hingga datangnya hari kelahiran.

Demikianlah garis besar dari proses penciptaan manusia di dalam rahim. Dimana sebelum menjadi manusia yang sempurna, ia harus ‘ber-EVOLUSI’ melewati fase makhluk bersel satu, lantas membelah menjadi makhluk bersel banyak di fase tumbuhan, fase hewan dan fase manusia. Yang semua itu, clue-nya kita dapati di dalam Al Qur’an Al Karim.

QS. As Sajdah (32): 7-8
(Dialah) Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya, dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina.

QS. Nuh (71): 17
Dan Allah menumbuhkan kamu dari tanah dengan pertumbuhan yang sebaik-baiknya.

QS. As Sajdah (32): 9
Kemudian Dia menyempurnakan DAN meniupkan ke dalamnya (sebagian) ruh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.

Pertanyaan yang kemudian bermunculan adalah, kapan ruh itu ditiupkan. Apakah seiring dengan terbentuknya nafs seperti yang kita bahas di notes sebelumnya, ataukah di minggu ke delapan, ataukah di 120 hari seperti yang diceritakan dalam hadits berikut ini.

Abu Abdurrahman bin Mas'ud ra berkata bahwa Rasulullah saw telah bersabda: ‘’Sesungguhnya, setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nuthfah, kemudian menjadi 'alaqah selama itu juga, kemudian menjadi mudhghah selama itu juga, kemudian diutuslah malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya...’’ (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim)

Saya termasuk yang mengkritisi hadits ini dari sisi matan (isi), karena tidak sesuai dengan data-data ilmiah. Bahwa, nuthfah bisa bertahan selama 40 hari, alaqah 40 hari dan mudghah 40 hari. Sehingga, setelah 120 hari barulah ditiupkan ruh kepada manusia. Apalagi, menurut hadits di atas ruh bukan ditiupkan oleh Allah, melainkan oleh malaikat. Ini bertentangan dengan informasi Al Qur'an. Sebagaimana yang saya tunjukkan di atas, nuthfah di dalam rahim hanya bisa bertahan beberapa jam, sedangkan ‘alaqah dan mudghah hanya beberapa hari. Dimana, janin berusia 60 hari pun sudah lengkap berbentuk manusia, meskipun ukurannya masih sekitar 2,5 cm. Ia sudah bisa bergerak-gerak secara spontan. Lebih detilnya silakan baca buku DTM-16: BERSYADAHAT DI DALAM RAHIM.

Lantas, apakah tidak di minggu ke delapan? Sebagai catatan: sebenarnya saya kurang tahu alasan apa yang dipakai oleh kawan-kawan yang berpendapat ruh baru ditiupkan di minggu ke delapan. Apakah berdasar hadits ataukah Al Qur’an, ataukah data empiris kedokteran. Tetapi, secara empiris, janin berusia 7 minggu sudah memancarkan gelombang otak yang bisa dideteksi dengan peralatan dari luar rahim.

Saya sendiri berpendapat, ruh ditiupkan saat terbentuknya stem cell. Dasarnya adalah clue dari ayat-ayat Al Qur’an. Yakni, sesaat setelah terjadinya pembuahan sel telur oleh sel sperma. Dimana saat itu, Allah sudah menyebutnya sebagai nafs seperti kita bahas sebelum ini. Dan karenanya, dia juga sudah mempunyai ruh.

Lantas, pertanyaan yang muncul adalah: bagaimana dengan QS. As Sajdah (32): 9, yang mengatakan peniupan ruh adalah SETELAH proses penyempurnaan tubuh janin? Menurut saya, tafsiran tersebut agak terdistorsi sedikit. Karena ayat itu tidak menggunakan kata sambung tsumma (kemudian) ataupun fa (maka) yang memiliki makna berurutan antara fase penyempurnaan dan fase peniupan ruh. Melainkan menggunakan kata sambung wa (DAN), sebagaimana saya kutipkan berikut ini. ‘’Kemudian Dia menyempurnakan DAN meniupkan ke dalamnya (sebagian) ruh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.’’

Sehingga makna yang semestinya adalah: peniupan ruh itu bukan SETELAH tubuh janin berbentuk manusia sempurna, melainkan bersamaan atau SEIRING dengan proses penyempurnaan. Yakni, sejak pembuahan yang menghasilkan stem cell sampai saat-saat kelahirannya. Karena, yang disebut sebagai ‘sempurna’ itu memang tidak jelas batasnya. Yang jelas, dari hari ke hari sang jabang bayi menjadi semakin sempurna selama di dalam rahim ibunya.

Dengan demikian, apakah ruh dan jiwa itu lantas juga mengalami perkembangan di dalam diri yang bertumbuh secara bertingkat-tingkat, mulai dari satu sel, tumbuhan, hewan, dan akhirnya manusia seutuhnya yang lahir ke muka bumi itu? Bagaimana menjelaskan hal ini? Dan, sebenarnya apakah ruh itu? Bagaimana kaitannya dengan ruh & jiwa manusia purba dan manusia modern? Tunggu notes selanjutnya.. :)

Wallahu a’lam bissawab
~ salam ~

Jumat, 08 November 2013

SEJAK KAPAN MANUSIA BISA DISEBUT ‘NAFS’ ~ AL QUR’AN SEBAGAI SUMBER FILOSOFI BAGI SAINS (9)

Mempelajari Al Qur’an sebagai sumber inspirasi akan menggiring kita untuk terus menyelam semakin jauh ke dalam kitab suci ini. Karena, ternyata setiap ayat memiliki keterkaitan dengan ayat-ayat lain. Ketidak-jelasan informasi di dalam suatu ayat, memperoleh penjelasan di ayat lainnya. Maka, tak terhindarkan lagi, kita seperti didorong untuk terus membuka lembaran-lembaran kitab suci untuk menemukan ayat-ayat yang terkait dengan tema yang sedang kita bahas.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Terkait dengan penciptaan manusia ini, banyak sekali clue yang bisa kita tangkap dari dalam Al Qur’an untuk menggiring pemahaman kita terhadap realitas yang misterius. Di notes sebelumnya, saya telah mengemukakan tiga clue yang membingkai proses pemahaman kita terhadap eksistensi Adam. Yakni, 
pertama: Adam bukan manusia pertama melainkan khalifah pertama. 
Yang kedua: Adam diciptakan dengan mengikuti sunnatullah, yakni dilahirkan dari komunitas yang sudah ada. 
Dan yang ketiga, manusia laki-laki maupun perempuan memiliki asal-usul yang sama, dari yang disebut sebagai nafsin waahidatin alias stem cell.

Khusus mengenai nafsin waahidatin kita bisa memperoleh penjelasan lebih jauh, agar memperoleh penafsiran yang lebih mengerucut. Siapakah yang disebut Al Qur’an sebagai diri yang satu itu, dan mulai kapan seorang manusia bisa disebut sebagai nafs? Apakah sesudah terlahir sebagai manusia ke muka Bumi, ataukah ketika berupa janin berusia 120 hari sebagaimana disebut di dalam hadits, ataukah 8 minggu seperti sebagian pendapat, ataukah sesaat setelah bertemunya sel telur dan spermatozoa ketika ia sudah menjadi stem cell? Ayat berikut ini agaknya bisa menjadi penjelasnya.

QS. Al A’raaf (7): 172
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan bani Adam dari (sumsum) tulang belakang mereka dan Allah mengambil syahadat atas NAFS (jiwa) mereka (seraya berfirman): ‘’Bukankah Aku ini Tuhanmu?’’ Mereka menjawab: ‘’Betul, kami bersaksi.’’ (Yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘’Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap hal ini.’’

Ayat di atas seringkali ditafsiri sebagai cerita tentang alam ruh, dimana para ruh disumpah oleh Allah untuk mengakui-Nya sebagai Tuhan, sebelum ditiupkan ke dalam tubuh manusia. Tetapi, saya memahaminya secara berbeda. Ayat itu, sebenarnya tidak bercerita tentang ruh melainkan tentang JIWA. Karena itu, Anda tidak akan menemukan istilah ruh ataupun arwah (jamak) dalam ayat di atas. Istilah yang digunakan adalah anfus, jamak dari NAFS yang bermakna jiwa. Wa asyhadahum ‘ala anfusihim – Dan (Allah) mengambil syahadat atas jiwa-jiwa mereka.

Kebanyakan penafsir berpendapat ruh dan jiwa adalah sama. Tetapi, saya memahaminya sebagai entitas yang berbeda. Apalagi, Al Qur’an pun menyebutnya dengan istilah yang berbeda – yang satu ruh yang lainnya nafs. Dan menariknya, Al Qur’an tidak pernah menyebut kata ruh dalam bentuk jamak, arwah. Hal ini menunjukkan ruh adalah entitas tunggal, yang sama untuk seluruh manusia, berupa potensi kehidupan dari Sang Maha Pencipta. Yang bisa berbeda bukanlah ruh, melainkan jiwa. Sehingga Al Qur’an pun mengenalkan sebutan jamak terhadap jiwa, yaitu anfus (jiwa-jiwa). Lebih detilnya bisa dibaca di buku DTM-5: ‘MENYELAM KE SAMUDERA JIWA & RUH’.

Kembali kepada nafsin waahidatin yang menjadi sumber berkembangbiaknya laki-laki dan perempuan dari keturunan bani Adam, saya memahaminya sebagai stem cell. Apakah tafsir seperti ini tidak berlebihan? Bukankah nafs adalah sebutan untuk sesuatu yang sudah berjiwa? Apakah sel sudah berjiwa? Demikianlah pertanyaan yang lantas bermunculan.

Tentu saya tidak berani sembarangan menafsiri jika tidak ada dasar ayatnya. Apalagi, kita memang sedang mencari petunjuk atau clue dari ayat-ayat Al Qur’an. Nah, ayat di atas menjadi petunjuk itu. Bahwa, keturunan bani Adam ini sudah disebut NAFS oleh Allah semenjak di dalam rahim. Pada usia berapa? Pada saat-saat awal penciptaan. Yang istilah Al Qur’an: ‘’... ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan bani Adam dari (sumsum) tulang belakang mereka..’’.

Inilah saat-saat paling awal dari proses penciptaan manusia, dimana sel telur dan sperma baru terbentuk dari stem cell yang memang bersumber di sumsum tulang belakang manusia. Dan kemudian membentuk stem cell janin setelah proses pembuahan, yang menjadi momentum peleburan sel telur dan sel sperma, sebagai mekanisme penciptaan manusia baru.

Saat itu, Allah sudah menyebut sel induk itu sebagai NAFS. Bahkan sudah diminta bersyahadat, mengakui keesaan Tuhan. Tentu saja, tidak verbal seperti syahadat kita yang sudah hidup di luar rahim, karena bentuknya memang masih berupa sel tunggal. Namun, bukankah di dalam sel itu sudah tersimpan kode-kode genetika yang menjadi sistem informasi dasar untuk mengendalikan proses penciptaan keturunan Adam? Dan, bukankah substansi kalimat-kalimat yang kita ucapkan pun adalah wujud dari sebuah sistem informasi? Bahwa, bersyahadat adalah sebuah pengakuan atas keesaan Allah sebagai satu-satunya Penguasa Jagat Semesta. Dimana, sistem informasi di dalam genetika itu pun telah menunjukkan kecanggihan sistem yang mengarah kepada Zat yang Maha Kreatif sebagai Aktor Tunggalnya..!

Sekedar catatan, mengenai cikal bakal manusia yang disebut Al Qur’an berasal dari sumsum tulang belakang ini, memang ada yang mengkritiknya. Karena, sel telur dan sperma tidaklah ‘bersarang’ di tulang belakang, melainkan di organ-organ reproduksi. Hal ini telah saya uraikan dalam buku DTM-37: ‘Menjawab Tudingan KESALAHAN SAINTIFIK AL QUR’AN’. Bahwa, menurut penelitian terbaru – diantaranya dilakukan oleh tim ilmuwan Jerman Prof. Karim Nayernia – sel sperma maupun sel telur itu terbentuk dari stem cell yang bersarang di sumsum tulang belakang. Sedangkan organ-organ reproduksi itu menjadi ‘terminal antara’ sebelum sperma dipancarkan ataupun sel telur dilepaskan dari indung telurnya.

Tim peneliti itu, diantaranya, berhasil membuat sperma primitif dari sumsum tulang belakang. Bahkan, bukan cuma membuat sperma laki-laki, melainkan juga ‘sperma perempuan’. Sebuah penemuan – terlepas dari masalah etika – yang menurut mereka akan membuka peluang bagi pasangan lesbi untuk memiliki anak, karena ‘sperma perempuan’ itulah yang digunakan sebagai pengganti untuk membuahi sel telur pasangannya. Sperma perempuan itu dibiakkan dari sumsum tulang belakang seorang wanita.

Jadi, ayat di atas menjadi salah satu clue tentang asal usul Bani Adam yang diistilahkan sebagai ‘satu diri’ itu. Bahwa, cerita tentang nafsin waahidatin bukanlah menunjuk kepada Adam sebagai sosok tunggal yang menjadi asal usul penciptaan Hawa, dan kemudian dari keduanya berkembang biak manusia modern yang disebut al insaan. Melainkan, bercerita tentang stem cell yang sudah berjiwa meskipun dalam skala yang masih sangat primitif, sehingga disebut sebagai nafs. Ia sudah memiliki pusat kecerdasan informasi di dalam inti sel dalam bentuk sistem genetika. Sebuah sistem yang bekerja berdasar perintah cerdas tertentu yang inheren, sekaligus bisa merespon aksi dari luar sel, yang akan berpengaruh pada proses pembentukan makhluk bernama manusia lewat pembelahan-pembelahan sel yang terkontrol. Subhanallaah..

QS. As Sajdah (32): 7-9
(Dialah) Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya, dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya (sebagian) ruh-Nya, dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.


Wallahu a’lam bissawab
~ salam ~

Kamis, 07 November 2013

MANUSIA DICIPTAKAN DARI SATU DIRI ~ AL QUR’AN SEBAGAI SUMBER FILOSOFI BAGI SAINS (8)

Yang ingin saya kemukakan, sebelum saya menulis notes ini lebih jauh, adalah jangan sampai Anda berharap terlalu jauh bahwa diskusi kita ini bisa mengungkap segala keingin tahuan Anda. Tema yang kita angkat adalah ‘sumber filosofi bagi sains’ dari ayat-ayat Al Qur’an. Yang tentu saja masih harus ditindak lanjuti lewat berbagai penelitian langsung di lapangan. Karena, itu kita harus bisa membatasi dan menempatkan diri secara proporsional, bahwa ayat-ayat qauliyah harus dilengkapi dengan ayat-ayat kauniyah.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Di notes sebelumnya saya telah mengemukakan clue yang kesatu, bahwa Adam bukanlah manusia pertama. Atau, setidak-tidaknya, Al Qur’an tidak pernah menyebut Adam sebagai manusia pertama secara eksplisit. Kesimpulan Adam sebagai manusia pertama adalah tafsir terhadap berbagai ayat yang menginformasikan bahwa beliau diciptakan dari tanah, dan diucapi kun fayakun.

Dalam buku DTM-14: Ternyata ADAM DILAHIRKAN, saya telah memberikan analisa lebih detil tentang istilah-istilah tanah yang digunakan oleh Al Qur’an terkait dengan penciptaan manusia. Bahwa jenis-jenis tanah itu ternyata memiliki kandungan unsur hara yang dibutuhkan dalam penciptaan tubuh manusia. Yang jika diringkas, akan menjadi sebuah cerita pelapukan jenis tanah keras (thiin) menjadi tanah gembur (turaab).

Cerita pelapukan ini akan menggiring kita untuk memahami sejarah geologis planet Bumi, yang berlangsung selama miliaran tahun. Itulah sebabnya, kehidupan manusia baru muncul setelah Bumi berusia lebih dari empat miliar tahun. Yang mana, Allah sudah memproses kondisinya sedemikian rupa sehingga lingkungan hidupnya memungkinkan untuk dihuni oleh manusia – diantaranya sudah ada tumbuh-tumbuhan dan beragam jenis hewan. Dan bahan-bahan dasar penyusun tubuh manusia sudah bertebaran di permukaan Bumi.

Maka, dalam ayat berikut ini Allah menginformasikan dari bahan apakah Adam itu diciptakan, dan bagaimana caranya. 

QS. Ali Imran (3): 59
Sesungguhnya masalah (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari turaab (tanah gembur – top soil), kemudian Allah berfirman kepadanya: "KUN" (jadilah seorang manusia), fayakun (maka jadilah dia).

Ayat di atas menceritakan dua kasus ‘keajaiban penciptaan’ dalam satu cerita. Yang pertama, soal Nabi Isa, dan yang kedua soal Nabi Adam. Allah menjadikan mereka sebagai analogi, karena memiliki kondisi yang sama. Yaitu, diciptakan dari bahan dasar turaab, dan diciptakan dengan mekanisme Kun fayakun.

Turaab adalah top soil alias tanah subur yang mengandung unsur hara sangat kaya. Seluruh unsur kimiawi penyusun tubuh manusia berada disini. Dan ini pula yang dimaksud sebagai tsulaalatin min thiin atau saripati tanah itu, yang kemudian berproses menjadi sperma dan ovum. Dari bahan dasar inilah tubuh manusia terbentuk, baik Adam maupun Isa, maupun manusia seluruhnya. Sedangkan kun fayakun adalah kalimat penciptaan yang sangat mendalam maknanya. Bukan seperti permainan sulap abrakadabra atau bim salabim. Melainkan sebuah proses alamiah dengan mengikuti hukum-hukum Allah alias sunnatullah. Yang mana, setiap kali menciptakan makhluk, Dia selalu 'mengucapkan' kun fayakun, sehingga terjadilah proses alamiah seperti telur menetas menjadi ayam, benih berkecambah menjadi tumbuhan, pembuahan menjadi buah-buahan, kuda bunting hingga melahirkan, dan seluruh peristiwa alam semesta yang terikat pada ruang dan waktu yang terus berdinamika. Semua itu terjadi karena kun fayakun.

Maka, clue yang kedua ialah: Adam sebenarnya diciptakan oleh Allah lewat mekanisme alamiah sesuai dengan sunnatullah, yakni lewat proses reproduksi dan dilahirkan. Apalagi, sesuai dengan clue kesatu, Nabi Adam bukanlah manusia pertama dengan argumentasi yang sudah saya paparkan di notes sebelumnya. Adam dilahirkan dari komunitas yang sudah ada waktu itu, dan dipilih Allah sebagai khalifah yang memimpin dunia. Kedua clue ini membentuk arah yang konsisten.

Mengenai siapa orang tuanya dan di zaman apa beliau dilahirkan, tentu harus ditelusuri lewat pendekatan ilmiah. Baik melalui ilmu Geologi, Sejarah Peradaban, Arkeologi, Palaentologi, bahkan genetika dan Biomolekuler.

Tetapi, jika kita konsisten dengan argumentasi di atas, maka zaman Adam adalah di sekitar 10.000 tahun sebelum Masehi – bisa kurang, bisa lebih. Ini terkait dengan zaman munculnya peradaban manusia modern yang sudah menggunakan ilmu budidaya pertanian dan peternakan. Juga tidak terlalu jauh dari prediksi sejarah kenabian, dimana Nabi Ibrahim disebut-sebut hidup di zaman sekitar 3000 tahun sebelum Masehi. Nabi Nuh mungkin di sekitar 6000-7000 tahun sebelum Masehi. Dan Nabi Adam di sekitar 10.000 tahun sebelum Masehi. Masih logis dan rasional. Sekali lagi, perhitungan detilnya mesti ditelusuri lewat pendekatan saintifik di lapangan.

Lantas bagaimana dengan teori Out of Africa dan Mitocondrial Eve yang berpendapat bahwa manusia pertama berasal dari Afrika sekitar 100 ribu tahun yang lalu. Saya kira boleh saja, meskipun teori Mitocondrial Eve juga mendapat tentangan, dikarenakan klaimnya yang mengatakan bahwa penurunan genetika mitokondria hanya terjadi pada wanita alias garis ibu. Padahal, ternyata juga bisa terjadi pada garis laki-laki. Misalnya, pada keluarga yang hanya memiliki keturunan laki-laki. Teori-teori ini masih sebatas hipotesa yang masih harus diuji lebih jauh.

Bahwa manusia pertama diperkirakan lebih tua dari Adam, menurut saya tidak bertentangan dengan argumentasi yang telah saya sampaikan, karena Adam memang bukan manusia pertama. Beliau adalah khalifah pertama yang memulai zaman peradaban baru, yang ditandai dengan ilmu budidaya alam yang muncul di sekitar 10.000 tahun yang lalu.

Lantas bagaimana memahami istilah Al Qur’an tentang bani Adam? Hal itu ada kaitannya dengan penjelasan saya di clue yang ketiga berikut ini. Menurut Al Qur’an manusia diciptakan dari ‘satu diri’, nafsin waahidatin. Istilah ini banyak ditafsiri sebagai: seluruh manusia berasal dari satu orang, yakni Adam. Bahkan Hawa pun dipahami sebagai berasal dari tulang rusuknya. Tetapi kalau kita telusuri lebih jauh, istilah nafsin waahidatin itu sebenarnya tidak menunjuk kepada Adam. Melainkan kepada ‘sesuatu’ yang menjadi asal-usul bersama bagi manusia – pria dan wanita. Inilah ayat-ayatnya.

QS. An Nisaa (4): 1
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan darinya Allah menciptakan pasangannya; dan dari keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta (tolong) satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.

Sepintas, ayat di atas seperti membenarkan pendapat bahwa seluruh manusia berasal dari satu diri: Adam. Tetapi, jika kita menggunakan metode tafsir ayat bil ayat, kita akan mengetahui bahwa yang dimaksud ‘satu diri’ itu bukanlah Adam. Penjelasannya di ayat berikut ini.

QS. Al A’raaf (7): 189-190
Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan darinya Dia menciptakan pasangannya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri itu) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur."

Tatkala Allah memberi kepada keduanya seorang anak yang sempurna, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan-Nya kepada keduanya itu. Maka Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan.

Ayat di atas bercerita bahwa ‘diri yang satu’ itu diberi pasangan, dan kemudian sang isteri mengandung hingga melahirkan seorang anak. Siapakah pasangan suami isteri yang sedang diceritakan Allah itu, apakah Adam dan Hawa? Bukan. Karena, di akhir ayat tersebut Allah melanjutkan ceritanya: mereka lantas berbuat kemusyrikan dengan menjadikan kecintaannya kepada anaknya melebihi kepada Tuhannya. Sayang anak, melupakan Tuhan. Ini jelas-jelas bukan kisah tentang Adam dan Hawa. Melainkan kisah manusia pada umumnya...

Jadi, yang dimaksud sebagai satu diri itu bukanlah Adam. Melainkan ‘sesuatu’ yang menjadi cikal bakal munculnya manusia – laki-laki maupun perempuan. Bahwa, pria dan wanita ini sebenarnya berasal dari substansi yang sama. Dari ‘sesuatu’ yang bisa membelah secara berpasangan, dan kemudian memunculkan sosok manusia yang terlahir sebagai laki-laki maupun perempuan. Sehingga, kemudian Allah menambahkan: ‘’... dan dari keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak...’’

Jadi, kisah tentang nafsin waahidatin bukanlah kisah tentang Adam dan Hawa, melainkan kisah tentang proses reproduksi manusia dari stem cell sebagai hasil pembuahan antara sperma dan ovum. Yang dengan cara inilah Allah memperkembang biakkan manusia di muka bumi.

Lantas, kenapa manusia modern ini disebut sebagai bani Adam? Apakah ini bermakna seluruh manusia modern adalah keturunan Adam? Atau, hanya sebagiannya saja? Bukankah sebelum Adam sudah ada komunitas manusia, meskipun tidak semodern Adam? Lantas kemana manusia-manusia yang bukan keturunan Adam itu?

Jika kita konsisten dengan argumentasi yang saya kemukakan, maka konsekuensinya memang ada manusia-manusia yang bukan keturunan Adam. Yakni, manusia-manusia purba yang fosil-fosilnya diketemukan di berbagai belahan dunia. Dan menariknya, entah kenapa, mereka mengalami kepunahan. Adalah tugas para ilmuwan untuk membuktikan kekerabatan antara manusia purba dan manusia modern, yang di dalam Al Qur’an disebut dengan dua istilah, yakni: al basyar dan al insaan.

Al basyar adalah spesies manusia secara umum, sedangkan al insaan digunakan untuk menyebut spesies manusia yang modern. Dengan kata lain, ada al basyar purba dan ada al basyar modern. Yang modern itulah yang disebut sebagai Al Insaan, dengan penekanan pada karakteristiknya yang berperadaban lebih tinggi, meskipun bentuk fisiknya kurang lebih sama dengan yang purba. Dan itu dimulai semenjak zaman Nabi Adam, sampai kita semua yang hidup di zaman ini.. :)

Wallahu a’lam bissawab
~ salam ~