oleh Agus Mustofa pada 13 Agustus
2012 pukul 5:37
Betapa kelirunya jika kita beragama dengan cara memaksa. Karena,
ternyata Allah pun tak mau memaksa seseorang dalam menjalankan agamanya. Semua harus
berangkat dari kesadaran, bukan dari keterpaksaan. Sehingga, proses spiritualitas
seseorang dalam meningkatkan kualitas beragamanya adalah seiring dengan proses meningkatnya
kesadaran dan berserah diri kepada-Nya. Bukan membesarnya rasa keterpaksaan dalam
menjalankan ibadah.
Beragama dengan cara terpaksa adalah percuma. Dia tidak akan
pernah berserah diri kepada-Nya, melainkan malah memupuk rasa keingkaran dalam jiwa.
Tentu saja ini berlawanan dengan kata ‘Islam’ yang bermakna berserah diri hanya
kepada Allah. Sungguh, kualitas berserah diri itu tidak akan pernah bisa dicapai
oleh orang-orang yang merasa terpaksa dalam beragama. Keberserah-dirian hanya bisa
dicapai oleh orang menjalaninya dengan keikhlasan, kesabaran, ketaatan, dan pengorbanan.
Di dalam berbagai ayat, Allah menjelaskan hal itu. Diantaranya
dalam ayat berikut ini.
QS. Yunus [10]: 99-100
“Dan seandainya Tuhanmu menghendaki, pastilah
beriman orang-orang di muka bumi ini, seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa
manusia supaya mereka menjadi orang beriman, semuanya? Dan tidak ada seorang pun
akan beriman kecuali dengan izin Allah. Dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang
yang tidak mempergunakan akalnya.’’
Ayat diatas sangat gamblang bercerita bahwa Allah memang tak
hendak memaksa manusia beriman kepada-Nya. Siapa saja diberi kebebasan untuk memilih
apa yang dimauinya.Tentu saja dengan segala konsekuensinya. Padahal sebagai Sang
Pencipta yang berkuasa mutlak, Allah sangat bisa memaksakan kehendak-Nya. Dan, kemudian
tak ada orang-orang yang mengingkari-Nya. Semuanya bersujud kepada-Nya. Apa susahnya
buat Dia. Tapi Allah tidak melakukan semua itu.
Allah saja tak memaksa, kenapa kita lantas main paksa kepada
sesama untuk menjalani agama? Hal itu diungkapkan dengan kalimat yang sangat eksplisit
dalam ayat di atas: “apakah kamu hendak memaksa manusia untuk beriman seluruhnya?’’
Tak ada gunanya. Bukan itu yang dikehendaki oleh-Nya. Seseorang bisa saja dipaksa
untu melakukan shalat, puasa, zakat, haji, dzikir, berdoa, dan ibadah apa saja.
Tapi sungguh, semua itu tak berguna. Karena mereka akan menjalankannya sebagai ritual
belaka, yang tak membekas ke dalam jiwanya. Hasilnya, bukan kualitas berserah diri
kepada-Nya, melainkan pemberontakan diam-diam , yang terus menerus terjadi di dalam
jiwanya.
Beragama harus terjadi seiring dengan kesadaran. Memupuk kepahaman.
Yang menghasilkan keyakinan. Bukan cuma ‘ilmul yaqin, melainkan harus meningkat
ke ‘ainul yaqin, dan berujung di haqqul yaqin. Keyakinan
dan kepahaman yang tiada tergoyahkan. Orang-orang yang sudah merasakan sendiri bahwa
beragama adalah sebuah jalan pembebasan dari keterbelengguan duniawi. Diperolehnya
kemerdekaan yang hakiki, karena dia telah bersama Allah Sang Penguasa jagat semesta,
Sang Maha Berilmu lagi Maha Bijaksana.
QS. Al Baqarah [2]: 256
“Tidak ada paksaan dalam beragama. Sungguh telah jelas (perbedaan) antara
jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa mengingkari thaghut
(tuhan selain Allah) dan beriman hanya kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah
berpegang kepada tali yang amat kuat, yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar
lagi Maha Berilmu.’’
Sekali lagi, lewat ayat ini, Allah menegaskan bahwa beragama
tidak boleh dilakukan dengan terpaksa. Kalau terpaksa, berarti belum beragama dengan
benar. Shalatnya terpaksa, dzikirnya terpaksa, puasanya terpaksa, zakatnya terpaksa,
menolong orang terpaksa, dan semua aktifitas ibadahnya terpaksa. Itu belum menunjukkan
proses beragama yang benar.
Yang harus dilakukan, kata ayat di atas, adalah membedakan
antara yang baik dan yang buruk, antara yang benar dan yang tersesat. Istilah yang
dipakai dalam ayat tersebut adalah: qad tabayyana rrusydu minal ghayyi~sungguh sudah
jelas antara kebaikan dan keburukan. ‘Tabayyana’ itu bermakna klarifikasi
dan cross-check. Maksudnya, beragama memang tidak boleh asal percaya
dan ikut-ikutan belaka. Harus dikaji dengan akal sehat, diklarifikasi, dan di-cross-check
kebenarannya ke sumber-sumber yang otentik.
Jika sudah jelas valid, kesimpulannya akan menjadi kepahaman
dalam menjalani agama. Dan kemudian memunculkan keyakinan yang tiada tergoyahkan.
Dalam istilah ayat di atas, kita seperti berpegang pada tali yang sangat kuat yang
tidak bisa putus. Hidupnya tidak terombang-ambing oleh ketidak-pastian. Karena dia
telah mengikuti cara Allah yang Maha Mendengar lagi Maha Berilmu.
Wallahu a’lam bishshawab.