Senin, 13 Agustus 2012

ALLAH PUN TAK MAU MEMAKSA ~ TAFAKUR RAMADAN 2012 (23) ~

oleh Agus Mustofa pada 13 Agustus 2012 pukul 5:37

Betapa kelirunya jika kita beragama dengan cara memaksa. Karena, ternyata Allah pun tak mau memaksa seseorang dalam menjalankan agamanya. Semua harus berangkat dari kesadaran, bukan dari keterpaksaan. Sehingga, proses spiritualitas seseorang dalam meningkatkan kualitas beragamanya adalah seiring dengan proses meningkatnya kesadaran dan berserah diri kepada-Nya. Bukan membesarnya rasa keterpaksaan dalam menjalankan ibadah.

Beragama dengan cara terpaksa adalah percuma. Dia tidak akan pernah berserah diri kepada-Nya, melainkan malah memupuk rasa keingkaran dalam jiwa. Tentu saja ini berlawanan dengan kata ‘Islam’ yang bermakna berserah diri hanya kepada Allah. Sungguh, kualitas berserah diri itu tidak akan pernah bisa dicapai oleh orang-orang yang merasa terpaksa dalam beragama. Keberserah-dirian hanya bisa dicapai oleh orang menjalaninya dengan keikhlasan, kesabaran, ketaatan, dan pengorbanan.

Di dalam berbagai ayat, Allah menjelaskan hal itu. Diantaranya dalam ayat berikut ini.

QS. Yunus [10]: 99-100
“Dan seandainya Tuhanmu menghendaki, pastilah beriman orang-orang di muka bumi ini, seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang beriman, semuanya? Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah. Dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.’’

Ayat diatas sangat gamblang bercerita bahwa Allah memang tak hendak memaksa manusia beriman kepada-Nya. Siapa saja diberi kebebasan untuk memilih apa yang dimauinya.Tentu saja dengan segala konsekuensinya. Padahal sebagai Sang Pencipta yang berkuasa mutlak, Allah sangat bisa memaksakan kehendak-Nya. Dan, kemudian tak ada orang-orang yang mengingkari-Nya. Semuanya bersujud kepada-Nya. Apa susahnya buat Dia. Tapi Allah tidak melakukan semua itu.

Allah saja tak memaksa, kenapa kita lantas main paksa kepada sesama untuk menjalani agama? Hal itu diungkapkan dengan kalimat yang sangat eksplisit dalam ayat di atas: “apakah kamu hendak memaksa manusia untuk beriman seluruhnya?’’ Tak ada gunanya. Bukan itu yang dikehendaki oleh-Nya. Seseorang bisa saja dipaksa untu melakukan shalat, puasa, zakat, haji, dzikir, berdoa, dan ibadah apa saja. Tapi sungguh, semua itu tak berguna. Karena mereka akan menjalankannya sebagai ritual belaka, yang tak membekas ke dalam jiwanya. Hasilnya, bukan kualitas berserah diri kepada-Nya, melainkan pemberontakan diam-diam , yang terus menerus terjadi di dalam jiwanya.

Beragama harus terjadi seiring dengan kesadaran. Memupuk kepahaman. Yang menghasilkan keyakinan. Bukan cuma ‘ilmul yaqin, melainkan harus meningkat ke ‘ainul yaqin, dan berujung di haqqul yaqin. Keyakinan dan kepahaman yang tiada tergoyahkan. Orang-orang yang sudah merasakan sendiri bahwa beragama adalah sebuah jalan pembebasan dari keterbelengguan duniawi. Diperolehnya kemerdekaan yang hakiki, karena dia telah bersama Allah Sang Penguasa jagat semesta, Sang Maha Berilmu lagi Maha Bijaksana.

QS. Al Baqarah [2]: 256
“Tidak ada paksaan dalam  beragama. Sungguh telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa mengingkari thaghut (tuhan selain Allah) dan beriman hanya kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat, yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Berilmu.’’

Sekali lagi, lewat ayat ini, Allah menegaskan bahwa beragama tidak boleh dilakukan dengan terpaksa. Kalau terpaksa, berarti belum beragama dengan benar. Shalatnya terpaksa, dzikirnya terpaksa, puasanya terpaksa, zakatnya terpaksa, menolong orang terpaksa, dan semua aktifitas ibadahnya terpaksa. Itu belum menunjukkan proses beragama yang benar.

Yang harus dilakukan, kata ayat di atas, adalah membedakan antara yang baik dan yang buruk, antara yang benar dan yang tersesat. Istilah yang dipakai dalam ayat tersebut adalah: qad tabayyana rrusydu minal ghayyi~sungguh sudah jelas antara kebaikan dan keburukan. ‘Tabayyana’ itu bermakna klarifikasi dan cross-check. Maksudnya, beragama memang tidak boleh asal percaya dan ikut-ikutan belaka. Harus dikaji dengan akal sehat, diklarifikasi, dan di-cross-check kebenarannya ke sumber-sumber yang otentik.

Jika sudah jelas valid, kesimpulannya akan menjadi kepahaman dalam menjalani agama. Dan kemudian memunculkan keyakinan yang tiada tergoyahkan. Dalam istilah ayat di atas, kita seperti berpegang pada tali yang sangat kuat yang tidak bisa putus. Hidupnya tidak terombang-ambing oleh ketidak-pastian. Karena dia telah mengikuti cara Allah yang Maha Mendengar lagi Maha Berilmu.

Wallahu a’lam bishshawab.


Minggu, 12 Agustus 2012

MEMAHAMI AL QUR’AN JANGAN SEPOTONG-SEPOTONG ~ TAFAKUR RAMADAN 2012 (22) ~

oleh Agus Mustofa pada 12 Agustus 2012 pukul 6:56

Banyak diantara umat Islam yang memahami informasi Al Qur’an secara sepotong. Cara demikian sangat berbahaya dan bisa menyesatkan. Apalagi jika lantas didoktrinkan kepada orang awam, hasilnya bisa memunculkan berbagai penyimpangan dalam beragama. Mulai dari yang bersifat keyakinan personal, mencari pembenaran terkait dengan kepentingan terselubung, sampai pada meluasnya radikalisme yang kebablasan.

Bagi saya, ayat-ayat Al Qur’an itu mirip dengan potongan puzzle yang dipisah-pisahkan, sehingga belum memberikan kesimpulan gambar utuh jika hanya dipahami sepotong. Atau, mirip cerita tujuh orang buta yang ingin memahami gajah. Dimana setiap orang buta itu, karena keterbatasannya, hanya bisa memahami sejauh yang bisa dirabanya. Karena itu, mereka lantas berselisih pendapat tentang bentuk gajah.

Ada yang bilang gajah seperti ular piton karena si orang buta itu kebetulan hanya bisa meraba belalainya. Ada pula yang mengatakan gajah seperti cambuk, karena ia hanya bisa memegang ekornya. Dan ada juga yang berpendapat gajah mirip kipas karena kebetulan hanya bisa memegang telinganya. Dan seterusnya. Walhasil, pendapatnya berbeda-beda karena belum holistik dalam memahami binatang berukuran jumbo itu.

Demikian pula dengan pemahaman kita terhadap ayat-ayat Qur’an. Kitab suci ini adalah kitab petunjuk yang sangat sempurna, sehingga segala keterbatasan kita akan menjadi faktor penentu terhadap kepahaman yang holistik itu. Dan akan menyebabkan terjadinya selisih pendapat dalam menafsirinya. Semakin sedikit ilmu seseorang, semakin terbatas pula pemahamannya terhadap kandungan Al Qur’an. Sebaliknya, semakin banyak ilmunya, akan semakin bagus pula pemahamannya.

Namun, bukan hanya itu. Distorsi pemahaman terhadap kandungan ayat itu juga disebabkan oleh struktur ayat-ayat Qur’an yang diwahyukan secara terpisah-pisah. Cobalah perhatikan ayat-ayat Qur’an itu, informasi tentang suatu tema diceritakan dalam berbagai ayat yang berlainan dan berbagai surat yang terpisah. Kadang diulang-ulang, kadang ditambahi dengan kalimat penjelas, kadang menyoroti suatu masalah yang sama tapi dengan sudut pandang yang berbeda.

QS. Az Zumar [39]: 23
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang (sebagian ayatnya) serupa lagi berulang-ulang. Gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah. Dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpin pun.’’

Allah juga memberitahukan kepada kita, bahwa Al Qur’an yang berisi petunjuk buat manusia itu memuat penjelasan-penjelasan tentang suatu tema di berbagai ayat secara terpisah-pisah. Karena itu, jika kita belum mengerti terhadap suatu ayat, karena informasinya baru sepotong, sebaiknya kita melakukan eksplorasi ke ayat-ayat lainnya yang terkait. Inilah yang disebut sebagai tafsir bil ayat itu. Menjelaskan makna kandungan ayat dengan ayat-ayat lainnya.

[QS. Al Baqarah: 185]
“Bulan Ramadan, adalah bulan yang di dalamnya diturunkan (hikmah-hikmah) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia, dan (berisi) penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu, serta pembeda (antara yang hak dan yang batil).’’

Contoh konkretnya sangat banyak di sekitar kita. Misalnya, tak sedikit kawan-kawan kita yang melakukan poligami dengan mendasarkan dalilnya pada QS. An Nisaa’ [4]: 3 ~ “maka kawinilah wanita-wanita yang kamu sukai dua, tiga atau empat...’’ Ayat ini kalau dipahami sepotong begini tentu saja menjadi seakan-akan berisi ‘perintah’ untuk berpoligami. Tetapi, kalau kita baca secara holistik dengan ayat-ayat lainnya, saya yakin Anda akan memiliki pemahaman yang berbeda tentang hal ini. Bahwa poligami di dalam Islam itu boleh, asal bukan karena alasan syahwat.

Contoh lainnya, tentang radikalisme dan pembunuhan. Tidak sedikit pula kalangan radikal yang mengambil QS. Al Baqarah [2]: 191. “Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu; dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan...’’ Kalau ayat tersebut diambil sepotong, tentu seakan-akan Islam adalah agama radikal yang boleh membunuh seenaknya, karena ayat itu dipahami keluar dari konteksnya.

Atau, bagi siapa saja yang mau korupsi pun, jika mencari dalil-dalil dari dalam Al Qur’an dengan cara seperti itu tentu akan memperoleh dasar hukumnya. Misalnya, QS. Al Jumu’ah [62]: 10 ~ “...maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia (rezeki) Allah...’’  Cara mencari rezekinya bagaimana? Lantas, ada yang menjawab: “ya terserah aku..!’’ Wah, rusaklah kalau caranya begini. Perbuatan jahat apa pun bisa memperoleh dalil dari dalam Al Qur’an.

Tentu bukan demikian. Ilustrasi diatas adalah sekedar gambaran, bahwa memahami Al Qur’an memang harus dilakukan secara utuh dan mengaitkan ayat-ayat yang berfungsi sebagai penjelas. Contoh konkret yang telah kita bahas sebelumnya, adalah tentang turunnya Al Qur’an alias Nuzulul Qur’an. Di suatu ayat disebut turun berangsur-angsur, di ayat lainnya diinformasikan di dalam bulan Ramadan, dan di ayat yang berbeda lagi diceritakan di satu malam yang penuh berkah serta penuh hikmah yang dikenal sebagai Lailatul Qadr. Jika ayat-ayat itu kita padukan secara holistik akan menjadi sebagai berikut.

Bahwa, Al Qur’an itu di zaman Rasulullah memang diturunkan secara berangsur-angsur selama 23 tahun, sebagaimana catatan sejarah. Tetapi setiap bulan Ramadan Allah selalu mengutus Jibril dan para malaikat untuk menurunkan hikmah yang terkandung di dalamnya kepada siapa saja yang mengkaji Al Qur’an secara intensif sambil mensucikan dirinya lewat puasa Ramadan. Dan saat-saat turunnya hikmah itu disebut sebagai Lailatul Qadr.

Nah, pemahaman holistik semacam itulah yang harus dilakukan oleh umat Islam terhadap Al Qur’an yang penuh hikmah ini. Bukan pemahaman sepotong yang memunculkan berbagai distorsi seperti yang banyak terjadi. Baik karena disengaja maupun dilakukan tanpa sengaja. Semoga Allah selalu membimbing kita di dalam Ridha-Nya.

Wallahu a’lam bishshawab.


Sabtu, 11 Agustus 2012

NABI YANG UMMI ITU PUN MENJADI ILMUWAN JENIUS ~ TAFAKUR RAMADAN 2012 (21) ~

oleh Agus Mustofa pada 11 Agustus 2012 pukul 5:54

Al Qur’an adalah kitab petunjuk yang sangat hebat. Di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan yang tinggi. Mulai dari ilmu sastra, filsafat, ekonomi, politik, sains, sampai teknologi. Hanya orang-orang yang berakal saja yang bisa menggali ilmu-ilmu itu untuk diterapkan dalam kehidupannya.

Nabi Muhammad adalah contoh konkret hasil dari pendidikan Allah lewat Al Qur’an Al Karim. Sehingga, beliau dikenal juga sebagai ‘Al Qur’an Berjalan’. Itu dikatakan oleh isteri beliau Siti Aisyah, bahwa akhlak dan perilaku beliau adalah Al Qur’an itu sendiri. Nabi Muhammad adalah satu-satunya manusia yang sudah menjalankan dan meneladankan seluruh isi Al Qur’an yang berjumlah 6.236 ayat itu.

Cara berbicaranya yang lembut sangat Qur’ani. Cara bergaulnya yang ramah dan penuh kepedulian menggambarkan akhlak Qur’an. Kepemimpinannya yang bijak dan jauh dari otoriter, juga terinspirasi dari ayat-ayat Qur’an. Dan segala aktifitas beliau, mulai dari kehidupan rumah tangga, sosial, sampai spiritual adalah cerminan dari ilmu Al Qur’an yang diterapkan di zamannya.

Belajar Al Qur’an bagi Rasulullah bukan hanya belajar membaca teks, melainkan belajar hikmah yang terkandung di dalamnya. Sehingga ketika Rasulullah begitu bersemangat membacanya dengan cepat, Allah memberikan petunjuk bahwa membaca Al Qur’an mesti dilakukan dengan tenang dan penuh penghayatan agar makna yang terkandung di dalamnya bisa diserap dengan baik.

QS. Al Qiyaamah [75]: 16-19
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya.
Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya dan (membuatmu pandai) membacanya.
Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.
Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.’’

Di ayat lainnya dijelaskan bahwa proses turunnya wahyu itu bagi Rasulullah memang menjadi ajang pembelajaran dan bertambahnya ilmu pengetahuan. Bukan sekedar hafalan terhadap teksnya, yang kemudian diabadikan sebagai kitab yang tertulis. Dengan hikmah ayat-ayat Al Qur’an yang meresap di dalam jiwanya itu beliau menjadi manusia yang berilmu sangat tinggi. Bukan hanya soal ukhrowi, melainkan juga duniawi.

QS. Thaahaa [20]: 114
'’Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: "Ya Tuhanku, TAMBAHKANLAH kepadaku ILMU pengetahuan."

Karena itu tidak heran, seiring dengan semakin banyaknya ayat-ayat Qur’an yang diwahyukan kepada beliau, ilmu yang beliau kuasai juga semakin banyak. Dan kemudian mewujud dalam berbagai tindakan serta kesuksesan beliau selama di periode Madinah. Selain menjadi Rasul dalam tataran tujuan akhirat, beliau juga menjadi kepala negara dalam tataran duniawi. Juga panglima perang yang hebat. Bahkan, ilmuwan yang jenius, yang sejumlah nasehatnya dalam urusan keilmuan duiawi memiliki kebenaran prediksi yang mengagumkan.

Diantaranya, beliau mengatakan bahwa berpuasa adalah menyehatkan –shuumu tasiihu– dan mengatakan bahwa perut adalah pusat berbagai macam penyakit modern. Nasehat ini dibenarkan oleh Badan Kesehatan Dunia WHO bahwa sumber segala macam penyakit yang sulit disembuhkan dewasa ini memang sebagian besarnya berasal dari pola makan yang buruk. Sebagiannya lagi dari pola hidup yang memicu stress. Dan sisanya dari kuman-kuman penyakit: seperti bakteri dan virus. Dari manakah beliau tahu ilmu kesehatan yang sangat mendasar ini? Padahal beliau kan tidak pernah melakukan penelitian? Tentu saja dari hikmah ayat-ayat Qur’an.

Di cerita lain, Rasulullah mengatakan bahwa air yang kecemplungan lalat akan terkontaminasi penyakit. Tetapi, penyakit akibat bakteri yang ada di kaki lalat itu bakal ternetralkan jika lalat itu ditenggelamkan sekalian ke dalam air tersebut. Karena di dalam perut lalat itu ternyata terdapat kelenjar yang berisi zat penawar, yang akan pecah dan larut ke dalam air jika lalat tersebut ditenggelamkan ke dalamnya. Siapa pula yang mengajarkan informasi ini kepada beliau? Karena, nasehat yang kemudian terbukti lewat penelitian modern ini mestinya baru terungkap jika dilakukan eksperimen.

Di kali lain lagi, Rasulullah diceritakan membahas tentang janin di dalam perut ibu. Menurut beliau, janin di usia 40-an hari sudah mulai bisa dibedakan jenis kelaminnya. Karena saat itulah Allah mulai membentuk tubuhnya.

‘’Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: apabila nuthfah telah berusia EMPAT PULUH DUA MALAM malam (di dalam rahim), maka Allah mengutus malaikat kepadanya. Lalu dibentuklah tubuhnya, diciptakan pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulangnya. Kemudian malaikat bertanya kepada Allah: ya Rabbi, laki-laki ataukah perempuan?` Lalu Tuhanmu menentukan sesuai dengan kehendak-Nya dan malaikat menuliskannya...’’ [HR. Muslim dari Hudzaifah bin Usaid]

Cerita tentang pengetahuan Rasulullah atas jenis kelamin embrio di usia empat puluh harian itu sungguh menakjubkan dunia kedokteran. Karena, dulu di zaman beliau tidak ada peralatan apa pun untuk mengetahui keadaan itu. Baru sekaranglah diketahui lewat peralatan USG modern bahwa di usia empat puluhan hari itu embrio manusia memang sudah mulai bisa dibedakan dari embrio binatang. Dan luar biasanya, jenis kelaminnya pun mulai bisa ditentukan..!

Sang Nabi yang dulunya buta huruf itu, ternyata benar-benar telah menjadi ilmuwan jenius berkat hikmah yang terkandung di dalam Firman-firman Allah, Sang Maha Bijaksana lagi Maha Berilmu.

Wallahu a’lam bishshawab.

Jumat, 10 Agustus 2012

AL QUR’AN KITAB SUCI MASYARAKAT MODERN ~ TAFAKUR RAMADAN 2012 (20) ~

oleh Agus Mustofa pada 10 Agustus 2012 pukul 6:24

Bulan Ramadan adalah bulan turunnya Al Qur'an. Inilah kesempatan kita untuk mengenal kitab suci yang ajaib ini lebih mendalam. Sebuah kitab yang sangat sesuai dengan kondisi masyarakat modern.

Apakah tanda-tandanya bahwa kitab ini cocok bagi peradaban zaman?

Yang pertama, inilah kitab suci yang sejak awal sudah punya perhatian besar pada budaya baca tulis. Karena itu, sejak awal turunnya di gua Hira’, Al Qur’an sudah mengedepankan budaya membaca. Dan itu diabadikan oleh Allah di dalam Al Qur’an.

QS. Al ‘Alaq [96]: 1-5
“BACALAH dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.
Dia telah menciptakan manusia dari ‘alaq (embrio).
Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah.
Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan PENA.
Dia mengajari manusia segala apa yang tidak diketahuinya.’’

Bukan hanya itu, di wahyu kedua pun Allah memberikan perhatian kepada budaya baca tulis dengan mewahyukan surat Al Qolam–Surat Pena. “Nun, demi pena dan apa yang mereka tuliskan.’’ [QS. Al Qolam: 1]. Ayat yang dimulai dengan huruf Nun itu menjadi langkah selanjutnya dari proses pembelajaran Rasulullah yang ummi alias buta huruf itu dalam baca tulis. Malaikat Jibril-lah yang diutus Allah untuk mengajari beliau lewat wahyu yang berangsur-angsur selama 23 tahun. Sehingga, tidak heran, dalam puluhan ayat yang turun selanjutnya Allah mewahyukan berbagai surat yang dimulai dengan huruf-huruf seperti itu.

Ada yang dimulai dengan satu huruf semisal Qaf, Shad dan Nun. Ada yang dua huruf seperti Ya Sindan Tha Ha. Ada yang tiga huruf seumpama alif lam mim dan alif lam ra. Serta ada pula yang sampai lima huruf sebagaimana kaf Ha Ya Ain Shad. Semua huruf-huruf itu, selama ini ditafsiri sebagai sesuatu yang rahasia. Sehingga dalam banyak kitab terjemah cuma diberi penjelasan dalam kurung (Allah saja yang tahu maksudnya). Tetapi, saya melihat ini sebagai proses pembelajaran kepada Rasulullah untuk mengenal huruf-huruf Hijaiyah. Artinya, Rasulullah yang buta huruf sebelum menjadi Nabi itu, kelak memang menjadi Nabi yang sesuai dengan zaman modern. Yakni sebuah zaman yang berbasis pada budaya baca-tulis.

Budaya baca tulis itu mulai dari yang berbentuk pahatan pada batu, kulit dan tulang binatang, pelepah pohon, kertas papirus, sampai pada peralatan digital seperti berkembang di era komunikasi sekarang. Sehingga Al Qur’an yang awalnya dituliskan pada media-media konvensional itu pun kini sudah berkembang menjadi Al Qur’an Digital, dengan berbagai fasilitas kemudahannya.

Yang kedua, peradaban modern adalah peradaban yang berbasis pada mekanisme akal dan data-data empirik. Ternyata demikian pulalah Al Qur’an mengajari manusia dalam beragama. Proses keimanan di dalam Al Qur’an bukan diajarkan secara dogmatis atau apalagi lewat doktrin-doktrin, melainkan lewat argumentasi yang jelas. Sehingga, dengan sangat tegas Allah melarang melakukan pemaksaan dalam beragama. Laa ikraaha fiddiin – tidak ada paksaan dalam beragama, sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam

QS. Al Baqarah [2]: 256.

“Tidak ada paksaan dalam beragama. Sungguh sudah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut (Tuhan selain Allah) dan hanya beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.’’

Bukan cuma menginformasikan, dalam ayat berikut ini, bahkan Allah melarang alias mengancam akan menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang memaksakan kehendak dalam beragama. Allah saja tidak memaksa, kok kita mau memaksa-maksa orang lain.

QS. Yunus [10]: 99-100
“Dan JIKA Tuhanmu MENGHENDAKI, pastilah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) MEMAKSA manusia supaya mereka BERIMAN semuanya? Tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah. Dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan AKALnya.’’

Seiring dengan tidak boleh memaksakan kehendak dalam beragama itu, Allah juga menegaskan agar kita beragama dengan argumentasi yang kuat, yang diistilahkan sebagai hujjah. Mulai dari bertuhan kepada Allah, bernabi kepada Rasulullah Muhammad, berkitab pada Al Qur’an, dan berbagai macam mekanisme peribadatan kita, semuanya mesti dilakukan berdasar pada hujjah, alias argumentasi yang kuat. Bukan hanya berpegang kepada ‘pokoknya harus begini dan begitu’. Dengan kata lain, keimanan kita memang harus berproses seiring dengan penggunaan akal dan ilmu pengetahuan.

Karena itulah dengan sangat telak Allah berfirman, bahwa orang-orang yang tidak menggunakan akalnya tidak akan bisa mengambil pelajaran dari Al Qur’an Al Karim. Sebagaimana dijelaskan dalam berbagai ayat Qur’an, diantaranya berikut ini:

QS. Ali Imran [3]: 7
“...wamaa yadzdzakkaru illa uulul albaab–dan tidak bisa mengambil pelajaran dari (firman-firman) Allah kecuali orang-orang yang menggunakan akal kecerdasannya.’’

Maka, lewat kisah Nabi Ibrahim sebagai The Founding Father agama Islam, Allah memberikan pelajaran tentang bagaimana seharusnya umat Islam memahami dan menjalankan agamanya. Termasuk dalam menanamkan ketauhidan atas Tuhan satu-satunya di jagat semesta raya ini.

QS. Al Anbiyaa’ [21]: 56
“Ibrahim berkata: "Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya. Dan aku termasuk orang yang dapat memberikan BUKTI atas yang demikian itu."

QS. Al An’aam [6]: 83
“Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Berilmu.’’

Wallahu a’lam bishshawab.


Kamis, 09 Agustus 2012

ENERGI AL QUR’AN BISA MENGHANCURKAN GUNUNG ~ TAFAKUR RAMADAN 2012 (19) ~

oleh Agus Mustofa pada 9 Agustus 2012 pukul 8:47

Banyak umat Islam yang memperlakukan Al Qur’an dengan salah kaprah. Sehingga, kitab suci yang amat hebat ini tidak ditempatkan atau difungsikan sebagaimana mestinya. Kesalah-kaprahan itu semakin terlihat di bulan suci Ramadan. Sebuah bulan dimana kandungan hikmah Al Qur’an –yang masih berada di Lauh Mahfuzh– itu diturunkan ke Bumi.

Saya sering menyebutnya dengan istilah ‘umat Islam jauh dari Al Qur’an’. Meskipun, secara fisik kitab suci itu dibawa kemana-mana. Seorang kawan saya protes dengan istilah ‘jauh dari Al Qur’an’ itu. ‘’Saya ini dekat mas dengan Al Qur’an. Setiap saat kitab suci ini tak pernah jauh dari saya. Selalu saya bawa kemana pun saya pergi.’’

Ia memang mempunyai Al Qur’an saku yang dibawa kemana pun ia pergi. Ia juga punya Al Qur’an digital yang kini semakin ngetren, diinstal di HP dan laptopnya. Bahkan, di perpustakaan pribadinya ia memiliki sejumlah Al Qur’an terjemahan berbagai bahasa. Ya, dia memang ‘dekat’ dengan fisik Al Qur’an, tetapi belum tentu dekat dengan isi Al Qur’an. Apalagi hikmah yang terkandung di dalamnya.

Kedekatan kita dengan Al Qur’an bukan diukur secara fisikal, melainkan pada tataran penerapan isi kandungannya dalam kehidupan sehari-hari. Karena kesalah-kaprahan dalam memahami kedekatan inilah, umat Islam mengalami kemunduran dalam peradaban dunia. Dulu, umat Islam di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW yang diteruskan oleh para sahabat dan penerusnya, bisa menjadi pusat peradaban dunia. Negara superpower seperti Romawi dan Persia pun akhirnya tenggelam digantikan zaman keemasan Islam, selama ratusan tahun.

Sayangnya sejak abad ke 14 umat Islam mengalami kemunduran luar biasa, sekitar 700 tahun, sampai kini. Salah satu penyebabnya adalah SDM Islam tidak dibangun berdasarkan petunjuk-petunjuk Al Qur’an. Kitab ini hanya dijadikan pajangan-pajangan di rak-rak perpustakaan, diinstal di HP dan laptop, dilombakan bacaan indahnya dan dibaca khatam ‘cepet-cepetan’, bahkan tidak sedikit yang cuma menjadikannya sebagai mantera azimat alias pusaka penyelamat.

Allah sudah sangat jelas mengajarkan di dalam firman-Nya, bahwa Bacaan Mulia yang diturunkan di bulan suci Ramadan ini penuh dengan hikmah. Dan berisi petunjuk-petunjuk untuk menjadi solusi atas segala macam masalah manusia. Di dalamnya terdapat penjelasan-penjelasan atas petunjuk tersebut.

QS. Al Baqarah [2]: 185
‘‘...bulan Ramadan, adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al Quran sebagai PETUNJUK bagi manusia dan berisi PENJELASAN-PENJELASAN mengenai petunjuk itu...’’

Sayangnya, yang terjadi bukan menggali petunjuk-petunjuk itu dalam berbagai seminar atau kajian-kajian intensif, melainkan lebih kepada membaca indah, khatam bolak-balik tanpa memahami maksudnya, atau sekedar menjadi mantera-mantera tersebut. Apalagi di bulan Ramadan. Cobalah bandingkan seberapa banyakkah orang-orang yang mengkaji Al Qur’an terkait dengan isi dan hikmah yang terkandung di dalamnya? Bandingkan dengan orang-orang yang membacanya sekedar untuk mengejar target khatam berkali-kali. Sedikit sekali.

Lebih jauh, sebagian kita malah menjadikan Al Qur’an itu sebagai ‘sumber kesaktian’ tanpa memahami makna yang seharusnya. Misalnya, seorang kawan saya demikian kuatnya berpegang pada ayat Al Qur’an yang mengatakan bahwa energi Qur’an ini sangat besar, sehingga jika diturunkan ke gunung, gunung itu bisa hancur berantakan.  

QS. Al Hasyr [59]: 21
'’ Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk hancur berantakan disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan PERUMPAMAAN-PERUMPAMAAN itu Kami buat untuk manusia supaya mereka BERPIKIR.’’

Ada kesalahan mendasar yang dilakukannya dalam memahami ayat ini. Yakni, ia mengabaikan informasi Allah, bahwa cerita di atas adalah sebuah perumpamaan. Dia menanggapinya secara harfiah. Karena itu, ketika ada seorang kawannya yang membawa mushaf Al Qur’an ditaruh di atas sebuah gunung, gunung itupun tidak hancur. Karena, ayat di atas memang sudah menjelaskan bahwa itu adalah sebuah perumpamaan, dan kita disuruh berpikir untuk mengetahui maksudnya.

Saya katakan, energi Al Qur’an memang sangat besar dan bisa mengubah dunia seperti yang telah terjadi ratusan tahun yang lalu. Tetapi, energi tersebut bukan terletak di tulisan atau lembaran-lembarannya secara harfiah seperti itu. Sehingga, lantas ada yang menggunting lembaran-lembaran kitab Al Qur’an untuk dijadikan jimat. Atau, malah ada yang membakarnya, dan abunya diminum segala. Dan dia sudah merasa memperoleh energi dari dalam Al Qur’an. Bukan begitu. Energi yang besar di dalam kitab suci ini bukan terdapat di tulisannya itu, melainkan di dalam maknanya.

Barangsiapa memahami maknanya, dan kemudian menjalankannya dalam kehidupan nyata, maka sungguh dia telah memperoleh energi ilahiah yang luar biasa besarnya. Dia akan memiliki kemampuan hebat untuk mengubah peradaban. Baik secara fisikal maupun secara moral. Dialah pemimpin yang telah memperoleh petunjuk Sang Maha Berilmu dan Maha Berkuasa dalam segala tataran wilayah perbuatannya.

QS. Al Israa’ [17]: 9
’Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang beriman yang mengerjakan amal kebajikan. Bagi mereka ada pahala yang besar.’’

Wallahu a'lam bishshawab.


Rabu, 08 Agustus 2012

MENCEGAT LAILATUL QADR ~ TAFAKUR RAMADAN 2012 (18) ~

oleh Agus Mustofa pada 8 Agustus 2012 pukul 6:53

Lailatul Qadr adalah puncak puasa Ramadan. Hampir semua umat Islam yang paham tentang ilmu puasa mengharapkan bisa bertemu dengan malam yang mulia dan penuh berkah itu. Masjid-masjid di berbagai kota di Indonesia maupun belahan dunia di penuhi orang-orang yang ber-iktikaf demi memenuhi harapan untuk bertemu Lailatul Qadr yang penuh hikmah.

Malam yang diceritakan Al Qur’an memiliki kualitas lebih dari seribu bulan itu, kata Rasululah SAW selalu hadir di sepuluh hari terakhir puasa. Karena itu sejak memasuki hari ke-21 sampai menjelang Idul Fitri umat Islam berlomba-lomba beriktikaf memusatkan perhatian kepadanya. Konon ada yang meyakini malam itu bakal datang di hari-hari ganjil: 21, 23, 25, 27, dan 29. Sehingga tak jarang memunculkan keinginan mencegatnya hanya di malam-malam ganjil itu. Meskipun banyak juga yang tak mau main cegat-cegatan, mengikhlaskan iktikaf karena Allah semata, sepanjang hari-hari terakhir Ramadan.

Di Mekah dan Madinah sendiri, masjid penuh sesak dihadiri ratusan ribu jamaah. Hampir-hampir seperti suasana musim haji. Demikian pula masjid-masjid di Mesir dan negara-negara lainnya. Sepuluh hari terakhir Ramadan adalah malam-malam yang sangat istimewa. Banyak hamba Allah yang merindukan pertemuan dengan-Nya dalam kalamullah yang sedang dibacanya, meskipun tak sedikit pula yang sekedar ingin memperoleh keberkahan Lailatul Qadr. Dan lantas mencegatnya.

Ada semacam kesalahkaprahan dalam menyongsong malam kemuliaan itu. Terutama, karena menganggap Lailatul Qadr bisa dicegat kedatangannya oleh sembarang orang. Sehingga, lantas ada yang bertahan melek malam agar bisa tetap terjaga pada malam yang diperkirakan Lailatul Qadr bakal datang. Tak jarang, orang-orang yang demikian ini, mencegat tidak sambil mengkaji kandungan Al Qur’an melainkan sambil begadang belaka.

Sesungguhnya, point penting Lailatul Qadr bukanlah pada datangnya ‘sang malam’, melainkan pada turunnya ‘sang Jibril’ bersama para malaikat yang menyertainya. Jika penekanannya pada ‘sang malam’ maka siapapun bisa bertemu dengannya, meskipun katakanlah ia mencegat Lailatul Qadr sambil bermain kartu. Tentu pemahamannya bukan demikian. Hanya orang yang benar-benar layak sajalah yang bakal bertemu dengan para malaikat itu. Dengan kata lain, jika ada seribu orang sedang beriktikaf bersama di suatu tempat, belum tentu semua orang itu bakal didatangi oleh Sang Jibril.

Siapakah mereka yang bakal bertemu dengan malaikat pembawa wahyu itu? Adalah mereka yang jiwanya telah tersucikan oleh puasa Ramadhannya selama dua puluh hari yang pertama. Ini mirip dengan cerita pewayangan, dimana ksatria yang bertapa bakal memperoleh azimat Kalimasada di akhir pertapaannya. Dikarenakan, di akhir masa pertapaannya itu ia sudah memiliki jiwa yang suci dan bijak dalam menyikapi kehidupan.

Lailatul Qadr juga demikian. Ia hanya turun kepada orang-orang yang telah berpuasa dengan baik. Bukan puasa yang sekedar menahan lapar dan dahaga, melainkan puasa yang mensucikan jiwa raganya. Mulai dari pikiran dan perasaannya, penglihatan, pendengaran, dan segala ucapannya, sampai kepada seluruh tingkah laku dan perbuatannya.

Kesucian jiwa yang demikian itulah yang membuat jiwanya mudah teresonansi oleh kalamullah alias firman-firman Allah yang sedang dikajinya. Ibarat sebuah stasiun pemancar dengan pesawat radio. Jika frekuensinya sudah matching, maka seluruh informasi yang dipancarkan oleh stasiun radio itu akan tertangkap dengan mudah oleh pesawat radio.

QS. Al Waaqi’ah [56]: 77-79
“Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia. Pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh). Tidak (bisa) menyentuhnya kecuali orang-orang yang (telah) disucikan.’’

Makna ‘menyentuh’ dalam ayat tersebut bukanlah bersifat fisik, sebab menurut kalimat sebelumnya, Al Qur’an itu sebenarnya masih di Lauh Mahfuzh. Yang turun kepada manusia hanya berupa copy saja. Yakni hard-copy berupa teks alias redaksi Al Kitab. Sedangkan yang kedua adalah soft-copy alias Al Hikmah.

Sayangnya kebanyakan umat Islam terjebak pada mengkaji Al Kitab yang berisi teks-teks saja. Termasuk di bulan Ramadan ini banyak yang mengkhatamkan Al Qur’an berulang-ulang, tapi hanya sebagai Al Kitab. Padahal substansi Al Qur’an itu bukan pada Al Kitabnya, melainkan pada Al Hikmah. Barangsiapa membaca Al Qur’an tanpa memahami isinya, ia temasuk orang-orang yang tidak memperoleh petunjuk.

Apakah yang dimaksud Al Hikmah? Ialah isi kandungan Al Qur’an yang dipahami secara mendalam, sehingga menjadi pedoman hidup yang nyata di dalam jiwa manusia.

QS. Al Baqarah [2]: 269
”Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang mendalam tentang isi Al Quran) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa dianugerahi al hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang sangat -banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman-firman-Nya).’’

Wallahu a'lam bishshawab.


Selasa, 07 Agustus 2012

KENAPA DI MESIR & ARAB TAK ADA NUZULUL QUR’AN ~ TAFAKUR RAMADAN 2012 (17) ~

oleh Agus Mustofa pada 7 Agustus 2012 pukul 5:43

Tanpa terasa bulan Ramadan sudah berada di pertengahan. Di sekitar tanggal 17 Ramadan umat Islam Indonesia banyak yang memperingati Nuzulul Qur’an. Bukan hanya di masjid dan komunitas-komunitas pengajian, melainkan sampai ke berbagai lembaga dan instansi, bahkan istana negara. Namun, yang membuat saya merasa aneh, peringatan Nuzulul Qur’an itu tidak terdapat di Mesir dan berbagai negara Arab, termasuk Saudi Arabiya.

Bagi yang pernah berumrah di bulan Ramadan, mestinya mengetahui hal itu. Tidak ada peringatan Nuzulul Qur’an di Mekah maupun Madinah. Demikian pula bagi yang pernah berkunjung ke Mesir dan negara-negara Arab lainnya, tidak menemukan adanya peringatan turunnya kitab suci tersebut. Kalaupun ada, sebagaimana saya lihat di Mesir, juga dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Jadi, peringatan 17 Ramadan sebagai Nuzulul Qur’an itu rupanya khas Indonesia.

Saya coba untuk menelusurinya dari berbagai sumber, khususnya dari Firman-Firman Allah sebagai sumber paling otentik dalam khazanah keilmuan Islam. Ternyata saat-saat turunnya Al Qur’an itu diceritakan dalam beberapa redaksi.

Yang pertama, turunnya Al Qur’an disebut berangsur-angsur selama masa kenabian Rasulullah Muhammad SAW, yakni selama hampir 23 tahun. Allah menceritakannya dalam ayat berikut ini.

QS. Al Israa’ [17]: 106
“Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.’’

Ini cocok dengan berbagai data sejarah yang menunjukkan bahwa kitab suci umat Islam itu memang diturunkan secara bertahap, sejak dari gua Hira’ di awal masa kenabiannya sampai saat beliau menjalankan haji perpisahan alias Haji Wada’, beberapa waktu sebelum wafatnya.

Yang kedua, Al Qur’an juga menyebut kitab suci itu diturunkan di bulan Ramadan. Ayat yang sering kita baca saat Ramadan itu bercerita demikian:

QS. Al Baqarah [2]: 185
“Bulan Ramadan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia, dan (berisi) penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu, serta pembeda (antara yang hak dan yang bathil)...’’

Yang ketiga, Al Qur’an juga menginformasikan bahwa turunnya Al Qur’an itu adalah pada sebuah malam yang mulia, di dalam bulan Ramadan, yang kita kenal sebagai Lailatul Qadr.

QS. Al Qadr [97]: 1-6
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.
Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?
Malam kemuliaan itu (memiliki nilai) lebih baik dari seribu bulan.
Pada malam itu turun para malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.
Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.’’

Dan yang keempat, yang kemudian menjadi dasar diadakannya peringatan Nuzulul Qur’an di Indonesia, adalah ayat berikut ini.

QS. Al Anfaal [8]: 41
Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil; jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan (hari kemenangan). Yaitu, hari bertemunya dua pasukan (saat perang Badar). Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.’’

Ayat ini sebenarnya bercerita tentang kemenangan umat Islam dalam perang Badar, dan pembagian rampasan perang kepada orang-orang miskin, anak-anak yatim, serta mereka yang membutuhkan pertolongan dari harta benda tersebut. Tetapi, dikarenakan disitu ada kata kalimat “...apa yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan...’’, lantas ada sejumlah penafsir yang mengaitkannya dengan turunnya Al Qur’an. Dan, karena perang Badar itu terjadi tanggal 17 Ramadan, maka disimpulkanlah turunnya Al Qur’an pada tanggal tersebut.

Padahal, menurut saya, itu sangat spekulatif. Yang lebih cocok, ‘Hari Furqaan’ itu dimaknai sebagai ‘Hari Pembeda’ alias ‘Hari Kemenangan’ umat Islam atas kaum Quraisy yang memeranginya. Disinilah rupanya asal muasal terjadinya distorsi pemahaman tentang peringatan Nuzulul Qur’an. Dan itu sudah berlangsung selama puluhan tahun, tanpa ada yang menyorotinya.

Jika demikian, lantas kapankah Al Qur’an itu diturunkan Allah kepada manusia? Ayat-ayat lain dalam Al Qur’an bercerita, bahwa kitab suci itu diturunkan berangsur-angsur selama 23 tahun, dan kemudian dibukukan sebagaimana mushaf Qur’an yang sudah diperbanyak miliaran copy itu. Sedangkan khusus di bulan Ramadan, Allah memang bakal menurunkan hikmah-hikmahnya kepada para pengkaji Al Qur’an yang intensif melakukannya sambil berpuasa Ramadan.

Itulah kenapa, ayat pertama dalam surat Al Qadr itu menggunakan kata kerja lampau (fiil madzi – past tense): ’’Sesungguhnya Kami TELAH menurunkan Al Quran pada malam kemuliaan.’’ Tetapi di ayat 5: “Pada malam itu (selalu) TURUN para malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan’’, Allah menggunakan kata kerja kekinian (fiil mudharik – present tense).

Ini mengandung informasi, bahwa meskipun Al Qur’an sudah selesai diturunkan secara berangsur-angsur saat Rasulullah masih hidup, tetapi di setiap akhir Ramadan para malaikat selalu turun membawa hikmah alias kandungan Al Qur’an kepada orang-orang yang mengkajinya secara intensif untuk memperoleh petunjuk dari-Nya. Itulah kenapa Rasulullah SAW memerintahkan umat Islam untuk beriktikaf menyambut datangnya Lailatul Qadr.

QS. Ad Dukhaan [44]: 3-4
“sesungguhnya Kami menurunkan Al Qur’an pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.’’ [


Walahu a’lam bishshawab.