Selasa, 14 Juni 2011

BARBAROSSA, SI JANGGUT MERAH


Anda pernah lihat tokoh bajak laut bodoh dan sial berjanggut merah dalam serial Asterix? Atau tokoh bajak laut berjanggut merah yang menjadi lawan bagi Kapten Jack Sparrow dalam film 'Pirates of the Caribbean' ? Atau juga tokoh-tokoh antagonis dalam serial bajak laut yang selalu digambarkan berjanggut merah?

Ya. Barbarossa, yang artinya si Janggut Merah. Tokoh yang satu ini selama berabad-abad selalu digambarkan dunia Barat sebagai tokoh jahat yang menguasai lautan Mediterania. Anggapan itu terus berlanjut hingga kini, yang dibungkus dalam film-film produksi Barat. Tapi apakah kita pernah tahu bahwa bajak laut berjanggut merah ini sebenarnya adalah seorang muslim yang bernama Khairuddin?

Pada abad ke-XVI Masehi, negara-negara penjajah dari Eropa berusaha menguasai laut Mediterania dan menaklukkan beberapa wilayah Islam di Spanyol dan Afrika Utara. Namun usaha penjajahan itu tidak semudah yang diharapkan, karena muncul seorang "perompak" swasta yang selalu mengganggu ketenangan kapal-kapal Eropa tersebut. Kumpulan perompak itu dipimpin oleh dua bersaudara yaitu Aruj dan Khidr, yang sama-sama berjanggut merah. Merekalah yang kemudian dijuluki Barbarossa bersaudara.

Barbarossa bersaudara ini begitu tangguh di lautan, dan perancang strategi yang ulung. Tidak heran jika kapal-kapal Eropa mengalami kekalahan demi kekalahan. Negeri-negeri Islam satu per satu dibebaskan. Atas jasanya, kesultanan Turki Utsmani memasukkan mereka ke dalam angkatan laut Turki.

Bergabungnya Barbarossa bersaudara ke dalam angkatan laut resmi Turki membuat kekuatan mereka semakin menjadi-jadi. Kerajaan-kerajaan Kristen Eropa dibuat ngeri melihat sepak terjang Barbarossa bersaudara ini.

Pada tahun 1518, Aruj gugur dalam pertempuran di Tlemcen. Namun, kepergian sang kakak tidak membuat Khidr patah semangat. Kemenangan demi kemenangan yang gemilang membuatnya diangkat sebagai panglima tertinggi angkatan laut Turki yang bergelar "Kapudan Pasha". Salah satu kemenangan terbesar Khidr Barbarossa (yang juga sering disebut Khairuddin Barbarossa) adalah pada tahun 1538 dalam perang di Preveza, Yunani. Armada Eropa yang terdiri dari 600 kapal Spanyol, Kekaisaran Romawi Suci, Venesia, Portugis, Genoa, Vatikan, Florence, Malta dan negara-negara Eropa lainnya yang dipimpin oleh Andre Doria berusaha melumatkan armada Barbarossa yang jumlahnya hanya sepertiga dari kekuatan musuh. Berkat kejelian dan strategi Barbarossa, serta semangat jihad yang menyala-nyala dari pasukan Turki, pasukan Eropa berhasil diluluh-lantakkan, sehingga di akhir pertempuran, kapal Eropa tinggal tersisa separuh saja. Orang Eropa akan selalu mengenang kekalahan di Preveza ini sebagai mimpi buruk di mana kerajaan Tuhan harus kalah menghadapi kaum kafir Islam.

Ada satu pernyataan menarik dari Khairuddin Barbarossa yang menarik untuk disimak. Ketika seorang mengatakan kepadanya bahwa orang Eropa menganggapnya sebagai seorang bajak laut, Khairuddin Barbarossa hanya tersenyum dan menjawab dengan santai tapi penuh makna: "Jika yang dimaksud dengan bajak laut adalah seorang yang berjuang membela negeri-negeri Muslim, menyelamatkan kaum Muslimin yang tertindas, serta memerangi orang-orang yang memusuhi agama Allah, biarlah seluruh dunia mengetahui bahwa saya seorang bajak laut ......"


Minggu, 12 Juni 2011

BAGAIMANA MENYIKAPI POLIGAMI

Oleh Syekh Subakir pada 11 Juni 2011 pukul 16:04

Poligami ketika dipandang hanya dari satu sudut saja, baik itu rasional maupun iman, akan menimbulkan rasa kurang puas di kedua pihak yang mendukung atau menolak.

Di sini saya akan sebisa mungkin menjelaskan poligami dari berbagai sudut pandang.

Sebenarnya masalah poligami ini akan sangat panjang apabila diulas satu persatu, maka dari itu di sini saya tidak menekankan terlalu banyak pada teladan Rasulullah ketika berpoligami, karena kita semua tentu yakin Rasulullah adalah orang yang adil, dan sudah banyak tulisan yang mengupas alasan-alasan mengapa Nabi Muhammad berpoligami.

Jadi di sini saya hanya akan menjelaskan intinya saja.

SEJARAH PANJANG POLIGAMI

Jika kita melihat sejarah umat manusia pra-modern, maka poligami adalah hal yang lumrah. Hampir di seluruh wilayah di dunia ini, pria (terutama yang berada di status sosial yang tinggi) berpoligami.

Seorang Kaisar Tiongkok bisa memiliki 9999 istri pada saat yang bersamaan. Begitu pula raja-raja Mesir, Indian Amerika, Mongol, Afrika, Timur Tengah, bahkan Eropa sekali pun telah terbiasa memiliki banyak istri.

Nah, ketika Islam disempurnakan di abad ke-6, maka perilaku poligami ini ditertibkan, dengan ketentuan: ADIL. Maka dari itu ketika seseorang menyerang habis-habisan poligaminya Nabi Muhammad, seharusnya dia belajar sejarah sosial budaya masyarakat pada waktu itu, bukannya menyamakan cara pandang dan pola pikir dengan masyarakat zaman sekarang.

MEMAHAMI AYAT ALQURAN TENTANG POLIGAMI

An Nisaa' [4] : 3
”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku ADIL, maka (kawinilah) SEORANG saja … “

Coba kita perhatikan konteks ayat di atas secara menyeluruh. Berapa jumlah istri yang IDEAL menurut ayat ini? Satu istri! Pada kalimat “mengawini seorang saja”, didahului dengan kata ADIL. Sedangkan ajaran Islam sangat menekankan pada prinsip keadilan.

Maka dari itu hendaknya kita selalu menganalisa ayat secara keseluruhan, bukannya kata per kata, sehingga dari sini kita mendapatkan suatu ketegasan dari Al Qur’an bahwa: Pernikahan yang terbaik adalah pernikahan monogami alias satu suami satu istri! Kemudian, masih di surat yang sama, dilanjutkan:

An Nisaa' [4] : 129
“Dan kamu sekali-kali TIDAK AKAN DAPAT BERLAKU ADIL di antara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.“

Di sini jelas disebutkan bahwa seorang pria tidak akan dapat berbuat adil, maka dari itu sekali lagi pernikahan yang diutamakan dalam Islam adalah pernikahan monogami.

Adil di sini dalam pengertian yang seluas-luasnya, mencakup adil dalam perlakuan, kasih sayang, nafkah lahir dan batin, dsb.

Maka dari itu peran restu seorang istri sangat sentral. Bagaimana mungkin seorang suami bisa dikatakan adil, ketika hati seorang istri telah dilukai?

Maka dari itu, saya berani menegaskan, bahwa poligami bisa dilaksanakan HANYA atas restu (ikhlas) seorang istri.

MENGAPA POLIGAMI DIBOLEHKAN

Kalau begitu ada yang bertanya, “Jika adil itu begitu sulit, mengapa Allah memberikan celah bagi dibolehkannya poligami.

Nah, ini ada beberapa kasus di mana poligami ternyata bisa menjadi solusi. Simak baik-baik!

1). Rasio jumlah wanita yang lebih tinggi dari pria.

Ada saat tertentu di mana jumlah wanita bisa jauh lebih tinggi dari pria. Misalnya pada saat keadaan perang dan kekacauan politik, di mana mayoritas yang gugur adalah dari kalangan pria. Hal ini mengakibatkan hanya sedikit pilihan bagi para wanita. Rela dipoligami, atau tua merana seumur hidup.

Contoh yang ekstrim adalah pada peristiwa Revolusi Perancis yang menelan banyak korban jiwa, sehingga pada saat itu rasio pria dibandingkan wanita adalah 1 : 7.

Seorang filsuf terkenal Perancis waktu itu yaitu Francois Voltaire berkata, “Satu-satunya solusi untuk mengatasi permasalahan sosial ini adalah poligami“.

Selain faktor perang, risiko pekerjaan pria yang lebih berbahaya membuat angka kematian pria lebih tinggi. Belum lagi ditinjau dari ilmu kedokteran, bahwa kekebalan tubuh wanita lebih tinggi dari pria, sehingga sekali lagi angka kematian pria karena penyakit lebih tinggi. Maka dari itu tidak heran bahwa di banyak negara, jumlah wanita lebih tinggi dari pria.

Ada pun di beberapa negara patrialkal (yang mengakui superioritas pria), seperti Tiongkok, India, dan Timur Tengah, jumlah pria lebih tinggi dari wanita, disebabkan sebagian dari mereka akan mengupayakan sebisa mungkin agar bayi yang lahir dari keluarga mereka adalah laki-laki. Jika tidak ada upaya seperti ini bisa dipastikan jumlah wanita di negara mereka pun akan lebih tinggi dari pria.

2). Keadaan sosial budaya pada waktu tertentu.

Seperti telah banyak diulas dalam sejarah, bahwa poligami yang dilakukan Nabi Muhammad dan pengikutnya pada waktu itu sangat berkaitan dengan kondisi politik dan sosial budaya pada waktu itu.

Pada waktu itu pernikahan juga berfungsi sebagai wadah pelindung hak-hak wanita. Salah satu cara tercepat untuk memerdekakan budak wanita (untuk kemudian diajak memeluk Islam) adalah dengan menikahinya. Begitu pula dengan janda-janda wanita, yang hak-hak menafkahi anak-anaknya akan lebih terjamin apabila dinikahi seorang pria

3). Keadaan politik pada waktu tertentu.

Poligami pada abad pertengahan juga bisa bersifat politis.

Beberapa wanita yang dinikahi Nabi ternyata memiliki latar belakang politik, yaitu suatu usaha untuk memperkuat aliansi dan penyatuan suku-suku. Persatuan adalah hal yang dipandang penting.

Salah satu cara untuk menjamin salah satu pihak tidak merusak aliansi adalah dengan penyatuan keluarga. Dalam sejarah bukan hanya Nabi Muhammad yang pernah melakukan manuver politik seperti ini.

Para pemimpin di negeri yang rawan pertempuran antar suku sering melakukan perkawinan politik semacam ini, seperti yang dilakukan oleh Attila the Hun dan Genghis Khan, demi menjaga persatuan negara.

4). Kejadian-kejadian khusus dalam rumah tangga.

Ketika pasangan suami-istri telah bertahun-tahun mendambakan keturunan, namun tidak kunjung diberi, maka bisa jadi poligami adalah solusinya.

Meski tidak dipungkiri, bahwa alasan ini juga pastinya akan ditolak banyak pihak, karena adopsi anak atau program bayi tabung bisa menjadi solusi yang lebih manusiawi.

Ada pula kasus yang saya sendiri pernah melihat pada kisah kawan saya. Ketika sang istri telah 2 th lebih tergolek tidak berdaya karena penyakit kanker, maka sungguh saya sangat tersentuh dan ingin menangis ketika sang istri berkata pada suaminya untuk mengambil istri lagi, supaya bisa melayani sang suami, dan juga bisa merawat anak-anaknya yang masih kecil. Sang istri memilihkan sendiri calon istri bagi sang suami, yaitu salah satu sahabat terbaiknya. Poligami itu tidak lama, karena setelah sang suami menikahi istri kedua, 3 bulan kemudian si istri pertama meninggal dunia. Semoga Allah menempatkannya di surga terbaik. Amien.

5). Kelemahan pria.

Mungkin saja akan ada banyak yang kurang setuju dengan poin ini. Tapi saya sendiri sadar bahwa Allah tahu persis bahwa manusia itu banyak kekurangan.

Para pria secara umum memiliki gairah seksual yang lebih tinggi dari wanita. Apalagi ketika pria tersebut memiliki jabatan atau kekayaan. Maka Allah memberikan jalan, daripada terus menerus berzina dengan memiliki banyak selingkuhan dan jajan di pinggir jalan, maka lebih baik berpoligami.

Seperti halnya para sultan banyak yang berpoligami. Sementara kepala negara di dunia barat tentu saja hanya memiliki satu istri, tapi bukan rahasia lagi bahwa mereka juga terjerumus pada perselingkuhan dengan kekasih gelap.

Nah, kalau sudah begini, saya dengan berat hati harus mengakui bahwa poligami masih lebih baik daripada perselingkuhan gelap.

KESIMPULAN

Jadi bagaimana seorang muslim yang baik menyikapi poligami? Menerima atau menolak?

Mari saya luruskan bahwa intinya bukan menerima atau menolak “poligami”, akan tetapi lebih tepat menerima atau menolak “sebab terjadinya poligami.” Kalau kita menolak poligami yang diperbolehkan oleh Allah, berarti kita makhluk Allah yang tidak sopan. Nah, yang patut didiskusikan atau diperdebatkan adalah alasan yang berpoligami. Kurang lebih seperti ini kesimpulannya :

1). Kita mendukung poligami apabila poligami itu dirasa perlu oleh karena kondisi-kondisi tertentu yang hanya dapat diselesaikan dengan poligami.
Lebih utamanya syarat utama poligami itu terpenuhi yaitu persetujuan istri (dengan seikhlas mungkin).

2). Kita menolak poligami apabila diperbolehkannya poligami itu sebagai pembenaran bagi seorang pria untuk bersikap sewenang-wenang, tidak adil, dan pelampiasan hawa nafsu belaka, sehingga menyakiti perasaan sang istri. Seorang wanita yang tidak mau dimadu, maka ia harus mempertahankan haknya sebagai istri satu-satunya. Apabila sang suami memaksakan kehendaknya untuk menikah lagi, maka tidak ada dosa bagi sang istri untuk meminta cerai.

Phew .....! Demikianlah penjelasan saya yang singkat ini (mungkin juga kepanjangan ... bingung, hehehe) semoga sedikit banyak bisa membuka cara pandang kita terhadap masalah poligami. Semoga bermanfaat ...

Berikut ini marilah kita baca dengan pikiran jernih ayat-ayat poligami yang sangat terkenal itu. Benarkah Alloh memerintahkan poligami atau sebenarnya sedang ‘menyindir’ kita.

An Nisaa' [4] : 3
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), MAKA KAWINILAH WANITA-WANITA (LAIN) YANG KAMU SENANGI: DUA, TIGA ATAU EMPAT. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Kalimat yang saya ketik dengan huruf BESAR itulah yang menjadi pegangan penganut poligami. Dan seringkali hanya diambil sepotong. Padahal kalimat itu tidak berdiri sendiri. Ia menjadi bagian dari potongan kalimat sebelumnya yang berkait dengan perintah untuk berlaku adil kepada wanita-wanita yatim, karena dimulai dengan kata ‘maka kawinilah… (fankikuu) berarti ada sesuatu penyebab yang telah dibicarakan sebelumnya.

Dan, harus dicermati lagi, ternyata kalimat tentang wanita yatim itu pun merupakan bagian atau kelanjutan dari kalimat sebelumnya, yang termuat di ayat sebelumnya. Karena, awalnya dimulai dengan kata ‘Dan jika…’

Karena itu untuk memperoleh pemahaman yang lebih utuh kita harus memeriksa ayat-ayat sebelum potongan kalimat itu. Dan bahkan juga sesudahnya, karena masih terkait. Inilah suasana ayat-ayat tersebut secara utuh.

An Nisaa' [4] : 1
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.

Rangkaian ayat-ayat tersebut ternyata dimulai dengan cerita persaudaraan dan silaturahim. Bahwa semua kita ini bersaudara, berasal dari nenek moyang yang sama. Makanya, Alloh memerintahkan kita untuk saling tolong menolong dan menjaga silaturahim di antara sesama manusia. Laki-laki maupun perempuan. Semuanya karena dorongan takwa kepada Alloh – lillahi ta’ala-

Dan kemudian ayat itu dilanjutkan dengan ayat berikutnya.

An Nisaa' [4] : 2
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan itu, adalah dosa yang besar.

Ayat ke dua ini melanjutkan tema tolong menolong dan silaturahim – di ayat sebelumnya – dengan tema perlindungan kepada anak-anak yatim. Alloh memerintahkan agar kita membantu mengelola harta benda mereka. Dan kemudian kita serahkan ketika mereka sudah beranjak dewasa.

Setelah itu, temanya lebih mengerucut lagi kepada anak-anak yatim yang wanita. Alloh membolehkan kita mengawini anak-anak yatim wanita yang tadinya berada di dalam perlindungan kita itu, ketika mereka sudah akil baligh. Sudah dewasa. Asalkan kita bisa berbuat adil terhadapnya. Tidak memakan harta benda milik mereka, atau hak-hak lainnya.

Akan tetapi jika kita khawatir tidak bisa berlaku adil kepadanya, maka kita ‘diperintahkan’ untuk mengawini wanita lain saja: boleh dua, tiga atau empat – terserah. Maka berikut ayatnya.

An Nisaa' [4] : 3
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.


Senin, 06 Juni 2011

TIGA JENIS ANAK

Oleh Syekh Subakir pada 6 Juni 2011 pukul 2:01

Ternyata ada 3 jenis anak, yaitu:

1. Qurataiyun : sangat menyejukkan mata dunia + akhirat.

2. Zinatulhayatih : menyejukkan dunia tapi tidak ibadah

QS Al Kahfi [18] : 46
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shaleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.

3. Fitnah: anak jadi cobaan

QS At Thagaabuh [64] : 14, 15
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu): di sisi Allah-lah pahala yang besar.

Jadi memang sudah tugas kita terutama para ibu yang mendidik anak karena katanya nanti kita di akhirat ditanya paling utama tentang "mendidik anak"... oleh karena itu surga ada di telapak kaki ibu.

Bahkan Rasulullah ditanya umatnya "siapakah yang patut dihormati selain ALLAH" nabi menjawab 3 kali "Ibu,...ibu,..ibu".

Renungan :

SAYANGILAH anak-anak, KASIHANILAH kelemahannya, TEPATILAH JANJI yang kita berikan kepadanya, sebab mereka beranggapan bahwa rizki mereka ada ditangan kita

"Tatkala kita memandang wajah anak-anak dan kita merasa SENANG, maka kita akan mendapatkan pahala sebagaimana pahala orang yang membebaskan budak"

"Barang siapa MENCIUM anaknya, Allah akan menulis satu kebaikan dalam buku catatan amalnya, dan barang siapa tak menyayangi ia tak akan disayangi"

"Seringlah MENCIUM anak kita, sebab dengan satu ciuman, kita akan menaiki satu peringkat di surga, dikatakan bahwa orang yang tak pernah mencium anak-anaknya adalah penghuni neraka"

"Kasih sayang kepada anak merupakan kasih sayang kepada ayah dan ibu, dan Allah menganugerahkan Rachmat-Nya kepada seorang hamba yang amat menyukai anak-anaknya"

Ketika Rasulullah SAW mendengar istri seorang sahabat melahirkan dan mendapati dalam kondisi cacat, Rasulullah bersabda; "Sesungguhnya anakmu akan menjadi wewangian di surga"

Semoga bermanfaat bagi kita semua
Dan yang memiliki anak yang pewaris surga,


Kamis, 02 Juni 2011

SOAL PENENTUAN BULAN BARU

Ada hal yang mesti kita cermati tentang penetapan ’Bulan Baru’, yang selama ini menjadi sumber perdebatan berkepanjangan. Dan, kemudian berdampak pada penetapan awal Ramadan, Idul Fitri dan Idul Adha.

Apa yang saya sampaikan ini tentu jangan dianggap sebagai ‘kebenaran mutlak’, melainkan sekedar sebagai wacana untuk mengklarifikasi masalah berkepanjangan yang selama bertahun-tahun tidak kunjung selesai, di Indonesia.

1). Penetapan akhir bulan atau awal bulan dilakukan pada saat waktu maghrib. Yakni ketika matahari tenggelam, di ufuk barat akan kelihatan ‘bulan sepotong’ alias hilal, jika memang sudah waktunya bulan baru.

2). Jika tidak kelihatan, maka usia bulan yang sedang berjalan digenapkan menjadi 30 hari. Khususnya dalam kasus bulan Ramadan. Sehingga, meskipun besoknya sudah 1 syawal, kita tetap menggenapkan puasa Ramadan. Dan baru pada tanggal 2 syawal melakukan shalat Idul Fitri.

3). Kenapa demikian? Karena Rasulullah mengajarinya demikian: diperintahkan untuk menggenapkan jika tidak terlihat hilal. Jadi, sebenarnya, pokok masalahnya bukanlah 1 syawalnya, melainkan ’Bulan Ramadan’nya. Karena, usia bulan dalam kalender Hijriah hanya 29,5 hari. Maka, jika ’setengah harinya’ muncul di awal, kita akan berpuasa 29 hari. Tapi jika ’setengah harinya’ muncul di belakang, kita diperintahkan untuk menggenapkan berpuasa menjadi 30 hari. Padahal, besoknya itu sebenarnya sudah tanggal 1 syawal. Dan, itu tetap dipakai sebagai patokan untuk menentukan bulan berikutnya: Dzulqo’dah, Dzulhijjah, dst. Sehingga penanggalannya tidak bergeser karenanya.

4). Yang sering menjadi perdebatan adalah: antara wilayah timur dengan wilayah barat, seringkali tidak bisa bersamaan melihat hilal ketika maghrib datang. Masalahnya, posisi geografisnya memang berbeda. Katakanlah, antara Indonesia dan Arab Saudi. Saat di Indonesia Maghrib, di Arab masih  menjelang Ashar. Jika di Indonesia, saat itu, bisa melihat hilal di ufuk barat, masalahnya selesai. Pasti di Arab pun, hilal akan terlihat. Sebab, posisi hilal itu memang muncul di ufuk barat. Arab Saudi sebagai negara yang ada di barat Indonesia pasti bisa melihatnya. Masalah akan muncul, jika di Indonesia tidak terlihat hilal. Tapi, di Arab Saudi kelihatan. Kenapa bisa demikian? Ya, karena hilal-nya berada di barat. Sehingga ketika di Indonesia Maghrib, hilal itu masih tertutup oleh lengkungan Bumi. Dan, baru 4 jam kemudian terlihat oleh mereka yang berada di Arab Saudi, saat Maghrib datang. Maka dalam kasus ini, Indonesia menggenapkan puasa menjadi 30 hari, sedangkan Arab Saudi mencukupkan puasa 29 hari. Sehingga di Indonesia baru shalat Idul Fitri tanggal 2 syawal, dan di Arab shalat tanggal 1 syawal.

5). Jadi, sebenarnya penetapan shalat Id itu lentur dan tentatif saja. Yakni, seusai puasa Ramadan. Cuma, yang harus kita sadari, bahwa terlihat hilal ataupun tidak terlihat hilal pada saat Maghrib ~ di Indo maupun di Arab ~ besoknya tetap saja tanggal 1 syawal. Kenapa? Karena, usia bulan yang tersisa itu sebenarnya hanya maksimum 0,5 hari alias 12 jam. Sehingga, kalau misalnya maghrib itu jam 6 sore, maka besok jam 6 pagi itu sudah masuk tanggal 1 syawal. Apalagi, jika hanya berjarak empat jam (dari Arab Saudi ke Indonesia). Jika di Indonesia jam 18.00 belum terlihat hilal, dan kemudian di Arab Saudi terlihat jam 18.00 waktu Saudi, maka dalam waktu bersamaan di Indonesia jam 22.00 sudah masuk tanggal 1 syawal. Apalagi besok paginya. Maka, sebenarnya sudah boleh melakukan shalat Idul Fitri. Meskipun boleh juga menggenapkan.

Cuma, Rasulullah menganjurkan untuk menggenapkan 30 hari, karena waktu itu tidak ada alat yang bisa digunakan untuk memastikan hitung-hitungan tersebut. Satu-satunya alat adalah ’penglihatan’ kita. Sehingga, jika tidak terlihat, ya sudah genapkan aja. Toh, tidak menjadi masalah apakah itu 1 syawal atau 2 syawal. Yang penting seusai puasa Ramadan.

6). Selain Idul Fitri adalah Idul Adha. Dalam al Qur’an disebutkan bhw musim haji itu sebenarnya beberapa bulan. Yakni, Syawal, Dzulqo’dah, dan Dzulhijjah, QS. 2: 197. Dan cara menentukan awal musim haji itu memang dengan melihat munculnya hilal, seperti penentuan bulan-bulan lainnya, QS. 2: 189. Pada bulan-bulan itu jamaah haji sudah mulai berdatangan untuk menyiapkan wuquf di Arafah pada 9 Dzulhijjah, sebagaimana dicontohkan Rasulullah. Dan pada tanggal 10 s/d 13 jamaah haji melakukan lempar jumrah, tawaf, dan sai, serta menyembelih kurban. Sedangkan di Indonesia, kita melakukan shalat Id. Pada saat itu, kita dilarang untuk berpuasa. Berpuasa Arafah adalah sebelumnya, yakni saat jamaah haji wuquf di Arafah.

7). Maka, meskipun perintah puasa Arafah dan Idul Adha disampaikan Rasulullah lebih awal dari perintah Haji, keduanya tetap saja berkaitan. Bahwa puasa Arafah terkait dengan Wuquf, dan shalat Id terkait dengan: lempar jumrah, tawaf, sai, dan penyembelihan kurban. Karena itu, tidak mungkin kita memisahkan keduanya. Misalnya, puasa Arafah di lakukan di awal bulan Syawal, dan wuqufnya dilakukan di bulan Dzulhijjah. Demikian pula, shalat Id-nya. Karena, ibadah-ibadah itu memang saling terkait.

8). Maka, sekali lagi, kesimpulannya adalah: penetapan puasa Arafah terkait erat dengan wuquf, dan shalat Id terkait dengan hari tasyrik. Di Indonesia, 9 Dzulhijjah dengan sendirinya akan jatuh tanggal 15 November. Karena, antara Arab Saudi dan Indonesia hanya beda 4 jam. Sehingga kalau di Arab Saudi tanggal 9 Dzulhijjah datang saat maghrib jam 18.00, maka di Indonesia 9 Dzulhijjah itu masuk jam 22.00 malam, pada hari yang sama: 15 November.

9). Bahkan, jika ditarik ke negara terjauh dari Arab Saudi yang berjarak 12 jam pun kondisinya akan tetap sama. Jika, di Arab Saudi maghrib menjadi pembatas beralihnya tanggal dari 9 ke 10 Dzulhijjah, maka 12 jam kemudian di negara yang jauh itu masuk ke tanggal 10 Dzulhijjahnya, yakni jam 6 pagi. Artinya, mereka boleh melakukan shalat Idul Adha, karena saat itu jamaah haji sudah meninggalkan Arafah menuju Mina. Dan sudah masuk tanggal 10 Dzulhijjah. Jadi, tidak mungkin bertambah sehari lagi. Terlalu lama. Apalagi, tidak ada alasan untuk menggenapkan puasa sebagaimana pada bulan Ramadan. Namun demikian, tentu saja, apa yang saya jalankan ini adalah pendapat saya. Dipakai silakan, tidak pun tidak apa-apa... :)
wallahu a'lam bishshawab

~ salam ~

oleh Agus Mustofa pada 14 November 2010 jam 22:1


Sabtu, 05 Maret 2011

HARI INI TAKDIR, HARI ESOK JUGA TAKDIR ~ MERAIH TAKDIR TERBAIK (2)

Allah menetapkan takdir makhluk-Nya seiring dengan perjalanan waktu. Sejak awal penciptaan makhluk, sampai kelak saat berakhirnya. Dulu, Allah menetapkan takdir. Hari ini, menetapkan takdir. Esok, menetapkan takdir. Kelak pun, menetapkan takdir. Jutaan, atau miliaran, bahkan triliunan takdir Allah telah terjadi dan akan terus terjadi pada seluruh makhluk-Nya, termasuk diri kita. Itulah sebabnya Allah menyebut Diri-Nya sebagai Dzat yang paling sibuk di seluruh penjuru semesta.

QS. Ar Rahman (55): 29
Meminta kepada-Nya semua yang ada di langit dan di bumi. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.

Hari ini, Dia sibuk menciptakan jutaan manusia di dalam rahim ibunya. Hari ini juga, Dia mengurus miliaran manusia lainnya menjadi remaja, pemuda, dewasa, menua, dan akhirnya meninggal dunia.

Dalam waktu yang bersamaan, Allah sedang menakdirkan seseorang sakit, dan yang lainnya sembuh. Menakdirkan seseorang kecelakaan, dan yang lainnya selamat. Menakdirkan seseorang mendapat rezeki, dan yang lainnya rugi. Menakdirkan seseorang menikah, dan lainnya tetap membujang. Menakdirkan seseorang menderita, dan lainnya bahagia..!

Di saat yang sama juga, Allah sedang mengurusi triliunan sel di dalam tubuh saya, dan bertriliun sel di tubuh Anda, di tubuh teman dan sahabat kita, di tubuh anak-anak dan saudara-saudara kita. Juga mengurusi miliaran jantung yang terus menerus berdenyut, darah yang harus mengalir, saraf-saraf yang tetap mendistribusikan neurotransmitter, produksi hormon-hormon yang kita butuhkan, bahkan sampai informasi genetika yang bekerja akurat supaya anak keturunannya tidak menjadi cacat.

Bukan hanya itu, Allah juga sedang sibuk mengurusi triliunan peristiwa terkait dengan binatang-binatang, tumbuhan, dan segala isi alam semesta. Allah terus menerus membuat takdir atas makhluk-makhluk-Nya dari waktu ke waktu. Setahun terakhir ini, kita tak bisa menghitung berapa banyak takdir yang telah Allah buat. Sebulan ini, kita juga tak bisa menghitung jumlah takdir yang telah ditentukan-Nya. Seminggu ini, pun kita tak mampu menghitung takdir yang telah ditetapkan-Nya. Bahkan, juga dalam sejam terakhir, semenit terakhir, sedetik terakhir, atau limit waktu berapa pun yang bisa kita amati.

Allah terus menerus ’memproduksi’ takdir dari waktu ke waktu. Hari ini kita ditakdirkan sehat, mungkin hari berikutnya kita ditakdirkan sakit. Dan setelah itu sehat lagi. Dan kapan-kapan sakit lagi. Ya memang begitulah, semua itu adalah takdir Allah atas kita. Ketetapan yang terus berubah dari waktu ke waktu. Maka Allah menyebut Diri-Nya sebagai Al Qadiir, Yang Maha Menakdirkan. Maha Berkuasa menggerakkan seluruh peristiwa dan menetapkan semua kondisinya.

QS. Al Baqarah (2): 106
...Tidakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Menakdirkan (Qadiirun) atas segala sesuatu?

Maka seluruh peristiwa dalam kehidupan kita sebenarnya adalah Takdir belaka. Bukan hanya di saat terakhir, sebagaimana dipahami oleh sebagian kita. Melainkan dari tahun ke tahun, bulan ke bulan, minggu ke minggu, hari ke hari, jam ke jam, menit ke menit, detik ke detik, nano detik ke nano detik, dan seterusnya, semuanya dalam kekuasaan dinamika takdir Allah.

Lantas, apakah kita bisa mengetahui takdir masa depan kita? Tentu saja sangat sulit, karena terlalu banyak variabel yang memengaruhinya. Jangankan takdir esok hari, takdir kita sejam lagi pun kita tidak tahu. Atau, bahkan semenit berikutnya pun tidak ada yang tahu. Semua itu berada di dalam kekuasaan Allah sepenuhnya.

Tetapi, kita bisa mengetahui takdir-takdir yang telah terjadi. Lantas kita diberi hak bahkan disuruh oleh Allah untuk mengubah takdir yang telah terjadi itu agar menjadi lebih baik. Seiring dengan proses kehidupan kita. Seiring dengan ikhtiar kita. Seiring dengan doa. Seiring dengan bantuan orang-orang di sekitar kita. Seiring dengan kejadian-kejadian tak terduga. Seiring dengan seluruh gerak alam semesta yang meliputinya...!

Maka, hidup kita sebenarnya, tak lebih dan tak kurang, adalah berpindah dari satu takdir ke takdir lainnya. Hari ini dapat takdir jelek, ya kita usahakan agar esok dapat takdir baik. Besok belum juga baik, ya lusa kita usahakan agar dapat takdir lebih baik, begitulah seterusnya. Sampai Dia sebagai Penguasa takdir, melihat kita pantas untuk menerima takdir terbaik yang kita harapkan. Dan lantas memberikannya untuk kita.

Allah-lah yang mengajari agar kita selalu berusaha untuk mengubah 'takdir sekarang' menjadi takdir yang lebih baik di masa depan. Dan, semua itu harus dimulai dari upaya kita sebagai makhluk, baru kemudian Allah yang akan menentukan pantas tidaknya kita menerima takdir yang lebih baik di waktu mendatang. Jika kita tidak berusaha mengubah keadaan kita hari ini, maka Allah pun tidak akan mengubahnya untuk esok hari. Persis sebagaimana diceritakan dalam ayat berikut ini.

QS. Ar Ra’du (13): 11
....Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan (takdir sekarang) dari suatu kaum, sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.

Doa bisa mengubah takdir. Usaha bisa mengubah takdir. Bantuan orang-orang di sekitar kita bisa mengubah takdir. Peristiwa ’kebetulan’ pun bisa mengubah takdir. Karena sesungguhnya, substansi hidup kita dari waktu ke waktu adalah perubahan itu sendiri. Tinggal, apakah kita mau berubah menjadi lebih jelek ataukah menjadi lebih baik. Atau stagnan, alias jalan di tempat.

Banyak orang memformat dirinya dengan cara pasrah bongkokan menunggu takdir, mengira Allah akan memberikan segala kebaikan tanpa usaha. Padahal Allah justru memerintahkan untuk mengubah takdirnya agar menjadi lebih baik dengan cara berusaha. Sehingga, surga pun harus digapai dengan cara berusaha dalam perjuangan dan kesabaran, bukan dengan cara berleha-leha..!

QS. Ali Imran (3): 142
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum terbukti bagi Allah orang-orang yang berjuang di antaramu, dan belum terbukti orang-orang yang sabar (dalam perjuangan hidupnya).

Manusia berusaha, Allah yang menakdirkan hasilnya. Tentu saja, setelah Dia mempertimbangkan segala faktor yang memengaruhinya. Justru disinilah nilai drama kehidupan manusia. Dengan Qadar yang diberikan di awal proses, seberapa besar usaha yang kita lakukan untuk memeroleh Qadla-Nya. Perpaduan antara Qadar dan Qadla itulah yang akan menghasilkan Takdir terbaik.

Dialah yang Maha Tahu dan Maha Bijaksana, atas takdir apa yang pantas kita terima. Tetapi, yang jelas, Allah menyuruh kita untuk berusaha, dan bertanggungjawab atas segala keputusan yang kita buat. Mau maju kek, atau mau mundur. Mau berbuat baik, atau berbuat jahat. Mau berjuang keras, atau berleha-leha. Semua keputusan diserahkan kepada kita, dan berdasarkan itu semua Allah akan memberikan balasannya berupa Takdir terbaik yang pantas kita terima.

QS. Al Mudatstsir (74): 37-38
Bagi siapa di antaramu yang berkehendak akan maju atau mundur. Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya...

QS. Al Hasyr (59): 18
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Maka, kalau kita mengaku sebagai umat Rasulullah, pasti kita bakal dengan senang hati mengikuti keteladanan yang beliau ajarkan. Sebuah perintah untuk mengubah takdir hari ini menjadi takdir hari esok yang lebih baik, lewat sabda beliau yang sangat terkenal. Yakni: ’’jadikanlah hari ini lebih baik dari kemarin, dan jadikan hari esokmu lebih baik dari hari ini..!’’

Wallahu a’lam bishshawab
 ~ salam ~


oleh Agus Mustofa pada 4 Maret 2011 pukul 4:01


Jumat, 04 Maret 2011

MENGURAI KEBINGUNGAN SOAL TAKDIR ~ MERAIH TAKDIR TERBAIK (1)

Kontroversi soal takdir tidak bisa dilepaskan dari masih rancunya definisi istilah TAKDIR itu sendiri. Ada yang mendefisinisikan ’takdir’ sebagai ketetapan Allah yang final sejak awal dan tak bisa diubah. Tapi, ada pula yang mendefinisikannya sebagai 'ketetapan' yang masih bisa berubah. Tentu saja, keduanya membawa konsekuensi yang sangat berbeda, bahkan berlawanan.

Istilah takdir berasal dari kata Qaddara - Yuqaddiru yang bermakna menetapkan atau menakdirkan. Yang pertama adalah fi’il madzi (past tense) alias kata kerja lampau, terkait dengan ketetapan yang ’sudah terjadi’. Sedangkan yang kedua adalah fi’il mudhari’ (present tense) yang bermakna ketetapan yang ’sedang & akan terjadi’. Memahami makna ’takdir’ secara gramatika bisa membantu mengurai kerancuan tersebut.

QS. Al Furqaan (25): 2
yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan (Nya), dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia telah menetapkan (qaddara) ukuran-ukurannya dengan ketetapan sedetil-detilnya (taqdiran).

Dalam ayat diatas, Allah menggunakan kata qaddara - telah menetapkan - ukuran-ukuran segala ciptaannya dengan detil (takdir). Setidak-tidaknya ada dua makna yang terkandung di dalamnya. Yang pertama, setiap makhluk ciptaan Allah itu selalu diiringi dengan spesifikasi yang detil. Dan yang kedua, penetapan itu sudah diberikan Allah sejak saat penciptaannya. Istilah qadar dalam bahasa Indonesia berimpit dengan ’kadar’ alias ukuran dan kapasitas.

Diantara contohnya adalah tentang air yang ada di bumi. Di masa awal penciptaan bumi Allah menurunkan air ke planet biru ini dari luar angkasa berupa gumpalan-gumpalan es dalam ukuran besar. Jumlahnya sudah diukur, tidak lebih dan tidak kurang. Sirkulasinya setelah sampai di Bumi juga sudah ditentukan, lewat penguapan dan mekanisme hujan. Sehingga, air itu lantas tetap berada di planet Bumi dalam kadar yang cukup untuk kehidupan penghuninya hingga kini. Allah telah menetapkan kadarnya. Takdirnya.

QS. Al Mukminuun (23): 18
Dan Kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran (qadar); lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi, dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa untuk menghilangkannya.

Bukan hanya air, Dia juga menetapkan ukuran siang dan malam terkait dengan kecepatan rotasi Bumi. Semua itu ditakdirkan Allah sesuai dengan desain terbaik. Sehingga terjadilah ukuran siang dan malam seperti yang terjadi selama ini. Tanpa campur tangan manusia. Bahkan manusia dijamin tidak bisa ikut campur di dalamnya.

QS. Muzzammil (73): 20
... Dan Allah menetapkan (yuqaddiru) ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu itu, ...

Yang menarik, dalam ayat di atas Allah menggunakan fi’il mudhari’ (present tense) untuk menjelaskan kadar siang dan malam. Ini menunjukkan, bahwa takdir tentang ukuran siang dan malam itu akan terjadi secara berkelanjutan ke masa depan. Dengan kata lain, panjangnya siang dan malam boleh jadi masih bisa bergeser seiring dengan bertambahnya waktu alam semesta.

Dan seterusnya. Kalau kita cermati, maka Allah menetapkan Takdir segala ciptaan-Nya dalam bentuk kapasitas, ukuran, dan mekanisme alamiah, sejak masa awal  penciptaan sampai berlanjut ke masa depan.

QS. Al Hijr (15): 21
Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran (qadar) yang tertentu.

Seiring dengan ketetapan yang bersifat Qadar itu, Allah juga membuat ketetapan yang bersifat Qadla. Apakah Qadla? Juga bermakna ketetapan Allah, tetapi yang kita masih bisa ikut campur di dalam prosesnya. Dengan kata lain, inilah Takdir Allah yang bisa kita ikhtiari. Karena itu, dalam sejumlah ayat, Allah menggunakan istilah Qadla terkait dengan proses penciptaan yang masih terus berlangsung.

QS. Ali Imran (3): 47
... Apabila Allah berkehendak menetapkan (qadla) sesuatu, maka Allah cukup berkata kepadanya: "Jadilah", lalu jadilah dia (kun fayakun).

Ayat diatas mengaitkan Qadla dengan kun fa yakun. Yakni kalimat penciptaan yang bermakna: ’jadi, maka jadilah’ segala ciptaan-Nya. Secara bahasa, kalimat fa yakun adalah masuk dalam fi’il mudhari’ alias present tense. Kalimat semacam ini diulang-ulang dalam banyak ayat, hubungan antara Qadla dengan kun fa yakun.

Artinya, proses penciptaan itu bukan berlangsung di masa lalu saja, melainkan masih terus berlangsung ke masa depan. Sehingga, takdir Allah lewat Qadla adalah takdir yang masih berlangsung alias belum final. Masih memiliki peluang untuk menjadi apa saja, seiring dengan hukum-hukum Allah yang ditetapkan lewat Qadar di awal penciptaan.

Diantaranya, adalah takdir kematian. Allah menggunakan kata Qadla dalam menentukan kematian seseorang. Misalnya nabi Sulaiman di ayat berikut ini. Bahwa takdir kematian itu sebenarnya bukan ditetapkan di awal, saat penciptaan, melainkan berjalan seiring dengan proses kehidupan seseorang. Yang ditetapkan pada saat penciptaan di dalam rahim adalah Qadar alias kapasitas dan ukuran-ukurannya saja.

Misalnya, tulangnya didesain Allah bisa bertahan 70 tahun. Demikian pula organ-organ dalamnya seperti jantung, ginjal, paru, dan livernya. Jika orang yang bersangkutan bisa memenejemeni hidupnya dengan baik sehingga sehat, maka ia akan mati dalam usia 70 tahun, sesuai dengan desain ciptaannya. Sesuai dengan Qadar yang Allah tetapkan. Tetapi jika ia menjalani hidupnya secara amburadul, maka sangat boleh jadi ia bakal mati di usia yang lebih muda. Apalagi jika bunuh diri, ia bisa benar-benar mati karenanya..! Allah memberikan Qadla kematian seiring dengan proses.

QS. Saba’ (34): 14
Maka tatkala Kami telah menetapkan (qadla) kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak tetap dalam siksa yang menghinakan.

Dalam ayat berikut ini, Allah menjelaskan lebih detil, bahwa keputusan Allah tentang umur seorang manusia itu terjadi dua kali. Yang pertama adalah di dalam rahim saat tahap desain. Allah memprosesnya sesuai dengan kadar penciptaan seperti saya jelaskan di atas. Lantas, yang kedua, adalah di luar rahim, saat ia sudah menjalani hidupnya. Karena, boleh jadi, meskipun desain tubuhnya bisa bertahan 70 tahun, tetapi jika ia adalah orang yang sembrono dalam menjalani hidup sehingga ’layak’ untuk mati muda, maka Allah pun akan mematikan dia.

QS. Al Hajj (22): 5
Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang hari kebangkitan, maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan (9 bulan), kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian kamu sampai pada masa kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang dahulunya telah diketahuinya...

Maka, ringkas kata, Takdir adalah ketetapan Allah yang berjalan sejak saat-saat awal penciptaan sampai kelak berakhirnya peristiwa tersebut. Yang awal disebut Qadar, ditetapkan Allah tanpa campur tangan makhluk yang bersangkutan, dalam bentuk kapasitas. Sedangkan yang kedua adalah Qadla, yang ditetapkan Allah seiring dengan proses, dengan mempertimbangkan segala variabel yang memengaruhinya, termasuk usaha yang dilakukan oleh mereka yang menjalaninya..!

Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~


oleh Agus Mustofa pada 3 Maret 2011 pukul 8:27