QS Al Maa'uun [107] : 1-7
" Tahukah kamu (orang)
yang mendustakan agama?
.. Itulah orang yang menghardik anak yatim,
.. dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.
.. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,
.. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,
.. orang-orang yang berbuat riya,
.. dan enggan (menolong dengan) barang berguna."
Sahabat JERNIH yang (semoga)
dirahmati oleh Allah...
Surat
Al Maa’uun adalah salah satu surat yang populer di dalam Al Qur’an. Ada sebuah pernyataan
menarik di dalamnya yaitu “Pendusta Agama.” Siapakah yang disebut sebagai
pendusta agama itu? Apakah kita termasuk di dalamnya? Semoga tidak! Mari kita mengkaji
secara singkat surah 107 ini.
Kata
“pendusta agama” menjadi titik sentral di dalam surat ini. Mengapa Allah menggunakan
kata pendusta dan agama? Tentu saja maksudnya adalah orang-orang yang “berjubah
agama” akan tetapi perilakunya jauh dari ajaran agama Islam.
Apa
itu orang yang berjubah agama?
Ya..
Mereka adalah orang yang rajin dalam “beribadah”. Shalat lima waktu, pintar doa
dan dzikir, puasa tidak pernah bolong, naik haji berkali-kali, bahkan penampilannya
pun sangat “agamis”, mungkin dengan mengenakan sorban, jubah, peci, dsb. Namun ternyata
semua itu di mata Allah hanyalah “dusta” belaka.
Dusta?
Bagaimana bisa begitu?
“
Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang
miskin”
Sahabatku...
Tentu kita paham bahwa masyarakat kita sebagian besar adalah masyarakat religius.
Mulai dari pejabat, ulama, pengusaha, dan segenap lapisan masyarakat lainnya. Maka
agak mengherankan jika angka kemiskinan di negeri ini masih sangat tinggi. Jika
saja semua umat Islam memiliki kesadaran untuk berempati kepada anak yatim dan orang
miskin, seharusnya angka kemiskinan tidak setinggi itu.
Ada beberapa hal yang menjadi
penyebabnya :
Pertama,
bahwa sebagian umat Islam tidak terketuk hati nuraninya melihat fakir miskin dan
anak-anak terlantar. Ajaran agama Islam tidak benar-benar merasuk ke dalam pikiran
dan hati mereka, karena agama itu sebatas KTP atau ritual-ritual belaka yang tanpa
makna. Maka dari itu mereka tidak menganggap penting tentang nasib fakir miskin
dan anak-anak terlantar. Bagi mereka jauh lebih penting menumpuk harta sebanyak
mungkin, memikirkan jabatan, kekuasaan, dan popularitas. Itulah mengapa Pasal 34
UUD’45 hingga kini kian tidak jelas jluntrungannya.
Padahal coba perhatikan! Hampir semua ayat yang berbicara tentang shalat selalu
diikuti dengan perintah zakat!
Kedua, karena perintah zakat
hanya dipahami sebagai ritual alias formalitas belaka. Zakat 2,5% dari penghasilan
setahun sekali dirasa sudah cukup. Padahal seharusnya tidak begitu. Zakat dan sedekah
seharusnya menjadi bagian dari hidup kita sehari-hari, bukannya hanya dikeluarkan
pada saat Idul Fitri dan Idul Adha saja. Itu pun sebaiknya kita juga memiliki kesadaran
untuk mengeluarkan harta kita lebih dari standar minimal yaitu 2,5%. Saya sendiri
agak heran ketika melihat sebagian orang yang penghasilannya bisa miliaran rupiah,
akan tetapi ketika berzakat menggunakan standar minimal 2,5%. Saya pikir orang-orang
itu tetap bisa hidup bahagia bahkan dengan 70% dari penghasilannya tersebut, meskipun
ia harus menyisihkan, katakanlah, 30% saja untuk membantu fakir miskin dan anak-anak
terlantar.
“
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai
dari shalatnya....”
Luar
biasa! Allah memberikan ancaman kepada orang-orang yang shalat!
Lho,
apakah berarti shalat itu ibadah yang tidak direstui oleh Allah?
Tentu
tidak!
Al
Qur’an menjelaskan tentang orang-orang yang “lalai” dari shalatnya. Apa maksudnya
lalai? Yaitu orang-orang yang tidak benar-benar shalat dari hati nuraninya. Mereka
yang tidak benar-benar berkomunikasi dengan Allah dalam shalatnya. Shalatnya hanya
menjadi olah raga dan rutinitas harian saja. Ayat demi ayat dibaca cepat-cepat,
tanpa mengerti artinya, apalagi memahami maknanya.
Maka
shalat mereka tidak berdampak pada perilaku mereka sehari-hari. Hati nuraninya tidak
tersentuh oleh hikmah ayat-ayat Al Qur’an. Tentu saja pada akhirnya mereka lalai
kepada “paket wajib” yang selalu menyertai perintah shalat, yaitu zakat untuk menyantuni
fakir miskin dan anak-anak terlantar!
“ orang-orang yang berbuat
riya (pamer), dan enggan (menolong dengan) barang berguna.”
Apalagi
orang-orang yang shalat hanya untuk pamer alias riya. Shalat karena ingin dianggap
alim. Shalat karena kewajiban setor muka di hadapan atasannya, dan sebab-sebab lain
yang menjadikan shalatnya bukan karena Allah.
Orang-orang semacam ini jelas
akan merasa enggan dalam hal tolong-menolong. Kalaupun ia menolong seseorang, tentu
karena maksud-maksud yang bermuatan kepentingan pribadi, dan bukan menolong karena
kewajiban sebagai hamba Allah.
Mari kita renungkan kembali!
Sudahkah
shalat kita menjadi media untuk berkomunikasi dengan Allah? Curhat dengan Allah?
Meresapi kata demi kata yang kita ucapkan dalam shalat, sehingga hati kita bergetar
ketika membaca ayat-ayat Allah?
Sudahkah shalat kita menjadikan
kita berkepribadian Qur’ani? Yang hatinya selalu tersentuh sehingga “meneteskan
air mata” ketika melihat anak-anak yatim dan orang-orang miskin yang kurang beruntung?
Saya ingatkan sekali lagi! Hampir semua ayat tentang perintah shalat, selalu diikuti
dengan perintah zakat!
Sudahkah shalat kita hanya
untuk Allah? Bukan untuk siapa pun?
Sudahkah
kita tolong-menolong semata-mata karena fitrah kita sebagai makhluk Tuhan di bumi
yang memang diwajibkan untuk saling tolong-menolong agar tercipta kehidupan yang
penuh harmoni, tanpa memandang status sosial, suku bangsa, dan agama?
Jika
iya.. Insya Allah kita bukan termasuk “para pendusta agama.”
Sesungguhnya
ajaran Islam itu sederhana, namun universal dan mendalam. Maka dari itu saya agak
sedih ketika umat Islam sering meributkan hal-hal kecil yang tidak pernah diperintahkan
di dalam Al Qur’an, sehingga menjadikan kita tidak lagi menjadi makhluk yang humanis,
yang selalu menebar kasih sayang dan persaudaraan kepada sesama manusia, dan berbuat
baik kepada seluruh makhluk ciptaan-Nya.
Ibadah
hanya kepada Allah, berempati kepada kaum miskin dan anak yatim, serta menjaga sikap
saling tolong-menolong ..
Tidak
sulit bukan?
Allahu’alam ..
Semoga bermanfaat!