Jumat, 25 November 2011

KEIMANAN DOGMATIS & KEIMANAN SAINTIFIK ~ UNTUK KAWAN KITA YANG ‘TAK BERTUHAN’ (2)

oleh Agus Mustofa pada 24 November 2011 pukul 20:07


Saya ingin memulai tulisan kedua ini dengan mengenalkan KEIMANAN Islam kepada kawan kita yang mengaku atheis, terkait dengan konsep ‘bertuhan’. Pemahaman tentang ‘iman’ yang tidak tepat akan menghasilkan persepsi ketuhanan yang juga keliru. Setidak-tidaknya, nggak sesuai dengan yang dimaksudkan oleh al Qur’an.

Ada keimanan yang bersifat DOGMATIS, dan ada keimanan yang berdasar BUKTI-BUKTI. Keimanan di dalam Islam adalah keimanan yang dibangun berdasar bukti-bukti dengan memanfaatkan fungsi akal. Karena itu, menjadi keliru jika memahami keimanan Islam hanya berdasar dogmatisme, sebagaimana agama lain.

QS. Al Anbiyaa’ [21]: 56
Ibrahim berkata: "Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya; dan aku termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas yang demikian itu".

QS. An Naml [27]: 64
Atau siapakah yang menciptakan (manusia), kemudian mengulanginya? Dan siapakah yang memberikan rezki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)?. Katakanlah: "Unjukkanlah bukti kebenaranmu, jika kamu memang orang-orang yang benar".

Maka substansi keimanan terhadap adanya Tuhan - di dalam Islam - justru didasarkan pada eksplorasi akal terhadap segala realitas sekitar. Tujuannya adalah menemukan Kekuatan Maha Dahsyat yang menguasai dan mengendalikan alam semesta ini. Sebagaimana yang diceritakan Al Qur'an tentang 'pencarian Tuhan' oleh Nabi Ibrahim. Sehingga, keimanan di dalam Islam bukanlah keimanan yang sekedar ikut-ikutan berdasar tradisi sebagaimana dipersepsi oleh mereka yang tidak memahami Islam. Justru, yang demikian ini dikecam di dalam al Qur’an.

QS. Al Baqarah [2]: 170
Dan bila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami terima dari (tradisi) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui sesuatu pun, dan tidak mendapat petunjuk?"

QS. Yusuf [12]: 108
Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah dengan argumentasi yang jelas. Maha Suci Allah, dan aku bukan termasuk orang-orang yang menyekutukan (bertuhan kepada selain Allah)".

Maka, keimanan Islam harus dibangun berdasar eksplorasi akal dengan berpedoman pada kitab sucinya. Al Qur’an tidak mendogma penganutnya untuk ikut-ikutan dalam beragama, melainkan sebaliknya mendorong untuk bersikap kritis dan mencari bukti-bukti kebenaran yang terhampar di alam semesta. Inilah bedanya keimanan Islam dengan keimanan agama lain.

QS. Ali Imran [3]: 7
… Dan tidak bisa mengambil pelajaran (dari Al Qur’an) kecuali orang-orang yang menggunakan akal.

QS. Ali Imran [3]: 191
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (eksistensi Tuhan) bagi orang-orang yang berakal,

QS. Yunus [10]: 100
Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah marah besar kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.

Sengaja saya kutipkan ayat-ayat Qur’an sebagai argumentasi, bahwa Islam mengajarkan keimanan yang berdasar pada ‘akal sehat’. Bukan dogma-dogma dan doktrin-doktrin tak berdasar. Itulah akal yang digunakan untuk memahami kebenaran dalam bertuhan. Bukan akal yang digunakan untuk ‘mengakal-akali’ kebenaran. Atau malah menjauhi Tuhan.

Klarifikasi yang kedua, adalah kaitan antara SAINS dengan KEIMANAN Islam. Boleh jadi di agama lain, keimanan bertabrakan dengan sains. Sebagaimana terekam dalam sejarah perkembangan agama Kristen di Eropa, misalnya. Tetapi, itu tidak pernah terjadi (dan seharusnya memang tidak terjadi) pada keimanan Islam. Justru, sejarah menunjukkan bahwa sains dan teknologi berkembang pesat di zaman keemasan Islam. Ilmu kedokteran, matematika, astronomi, kimia, metalurgi, filsafat, ekonomi, sosial, politik, tatanegara, dst, dlsb, justru memperoleh tempat yang terhormat. Sekaligus mendorong kualitas keimanan umat Islam kepada Tuhannya. Dan yang demikian memang didorongkan oleh al Qur’an, sebagai pedoman dalam beriman kepada Allah.

QS. Al Ghaasiyah [88]: 17
Maka apakah mereka tidak mengobservasi unta bagaimana dia diciptakan? Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?

QS. An Nahl [16]: 79
Tidakkah mereka memperhatikan burung-burung yang dimudahkan terbang di angkasa bebas. Tidak ada yang menahannya selain daripada Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (pelajaran) bagi orang-orang yang beriman.

QS. Asy Syu’araa [26]: 7
Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya Kami tumbuhkan di bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik?

QS. An Naml [27]: 86
Apakah mereka tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Kami telah menjadikan malam supaya mereka beristirahat padanya dan siang yang menerangi? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (eksistensi Tuhan) bagi orang-orang yang beriman.

QS. Luqman [31]: 31
Tidakkah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya kapal itu berlayar di laut dengan karunia Allah, supaya diperlihatkan-Nya kepadamu sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (pelajaran) bagi semua orang yang sangat sabar lagi banyak bersyukur.

QS. Az Zumar [39]: 21
Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, maka diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu ia menjadi kering lalu kamu melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.

QS. Yaa siin [36]: 77
Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setitik air (mani), maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata!

QS. Shaad [38]: 29
Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang mempunyai akal mendapat pelajaran.

QS. Ath Thaariq [86]: 5
Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan?

Dan ratusan ayat lagi yang memiliki semangat keilmuan dalam membangun keimanan kepada-Nya. Yang kalau saya tuliskan disini semuanya, mungkin bakal membosankan orang-orang yang tidak mengakui Tuhan. Tapi sebaliknya, bakal menguatkan orang-orang yang beriman. Mereka bisa merasakan kehadiran Allah sebagai Tuhan yang Maha Dahsyat di seluruh penjuru alam semesta yang diamatinya. Bahwa Allah telah meliputi seluruh horizon pandangannya, di langit dan di bumi, beserta segala yang ada diantara keduanya…

QS. An Nisaa’ [4]: 126
Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah Allah Maha Meliputi segala sesuatu.

Maka, bagi seorang muslim, sains adalah alat untuk melakukan pembuktian-pembuktian secara terukur dalam memahami ciptaan Allah yang terhampar di alam semesta. Sebuah mahakarya yang sempurna, dengan segala mekanisme hukum alam yang menyertainya. Manusia terlahir, menua, dan kelak menemui kematiannya. Bumi terlahir, menua, dan kelak juga menemui kehancurannya. Bintang dan matahari terlahir, menua, dan kelak pun menemui akhir masanya. Sebagaimana alam semesta juga terlahir, menua, dan kelak akan menemui keruntuhannya.

Demikian sempurnanya drama alam semesta dengan segala isinya, semata-mata untuk menunjukkan kepada manusia yang tinggi hati ini, bahwa yang kekal hanyalah Allah Tuhan Penguasa Jagad Semesta..! (Bersambung )

~ Salam Beragama dengan Akal Sehat ~


Kamis, 24 November 2011

TIDAK ADA MANUSIA YANG TAK BERTUHAN ~ UNTUK KAWAN KITA YANG ‘TAK BERTUHAN’ (1)

oleh Agus Mustofa pada 24 November 2011 pukul 6:42


Adalah sangat menarik buat saya, ketika ada seseorang mengatakan dirinya tidak bertuhan. Kenapa? Karena, ternyata Al Qur’an sebagai kitab suci yang kebenarannya tak terbantahkan, tidak pernah menyebut adanya manusia atheis. Yang ada ialah manusia yang tidak bertuhan kepada Allah.

Sehingga, konsekuensinya, seluruh manusia pasti bertuhan. Cuma bertuhannya itulah yang macam-macam. Ada yang bertuhan kepada patung, batu, kuburan, pohon, nenek moyang, dan lain sebagainya, seperti yang terjadi pada orang-orang tradisional zaman dulu. Meskipun, sampai sekarang masih ada juga yang mewarisi tradisi itu. Sehingga, jika Anda berkeliling ke suku tradisional di seluruh dunia, Anda akan mendapati mereka pasti menyembah tuhan-tuhan. Apa pun bentuknya.

Pada kalangan yang lebih modern, juga selalu bertuhan. Tidak ada yang tidak bertuhan. Hanya saja tuhannya bukan benda-benda tradisional itu. Melainkan yang dianggap lebih ‘masuk akal’ dan ‘bergengsi’. Misalnya, bertuhan kepada sains. Bertuhan kepada logika dan rasionalitas. Bertuhan kepada ilmuwan yang dikaguminya. Bertuhan kepada diri sendiri. Dan seterusnya. Pokoknya, apa pun namanya, setiap manusia pasti bertuhan kepada sesuatu.

Sains menjadi kecenderungan baru sebagai ‘agama’ manusia modern. Sehingga ada yang menyebut istilah: Scientology. Mereka memanfaatkan sains untuk melakukan praktek-praktek kehidupannya termasuk spiritualisme. Siapakah tuhan yang mereka anut? Adalah hukum alam dengan segala formulasi-formulasi yang terus berubah berdasar bukti-bukti empiris yang seringkali telah mengalami manipulasi.

Nah, oleh karenanya tidak ada orang yang benar-benar atheis. Yang beragama pasti punya tuhan, yang tidak beragama pun pasti punya tuhan. Tinggal, tuhannya itu siapa. Dan memiliki kemampuan yang hebat ataukah tidak… ;) Bahwa kemudian ada yang memaknai atheis sebagai menolak adanya tuhan lain, selain yang diakuinya, itu oke-oke saja. Barangkali ini semacam pembelaan diri, dan sekedar mencari teman untuk menyebut orang lain seperti dirinya yang atheis… ;)

Misalnya, karena orang Islam tidak percaya kepada tuhan Yesus, Zeus, Siwa, Wisnu, Apollo, Rha, Venus, Athena, Thor, Sidharta Gautama, dst, maka disebutlah orang-orang Islam sebagai atheis kepada tuhan-tuhan selain Allah. Itu sih benar adanya, karena sesuai dengan kalimat syahadatnya: ‘tidak ada tuhan selain Allah’. Artinya, banyak tuhan yang dianut manusia, tetapi Tuhan yang paling hebat adalah Allah.

Dengan kata lain, ini justru menjadi ‘kalimat pembenar’ bahwa memang tidak ada yang benar-benar atheis di dunia ini. Semuanya pasti bertuhan, tinggal bertuhannya kepada siapa. Dan itulah, yang memang sejak awal dikatakan oleh al Qur’an. Dan kemudian saya jadikan ungkapan dasar, bahwa tidak ada orang yang tidak bertuhan. Persoalannya tinggal, dia mengakui Allah sebagai Tuhan yang menguasai seluruh tuhan-tuhan itu, ataukah tidak.

Jadi ketika ada seseorang yang menyangkal semua tuhan, termasuk menyangkal keberadaan Allah, maka sesungguhnya dia juga telah bertuhan kepada ‘sesuatu’, selain tuhan yang tidak diakuinya itu. Diantaranya, dia telah bertuhan kepada konsep ke-atheis-annya. Atau, kepada para tokoh pencetusnya. Atau, kepada logika dan rasionalitasnya sendiri yang dikiranya sudah hebat, sehingga tidak butuh tuhan-tuhan apa pun selain dirinya.

Sementara, demikian banyak kelemahan yang ada pada dirinya, termasuk cara berpikir. Dan, begitu banyak pula hal-hal yang terjadi di luar kendalinya. Mulai dari kelahiran, kesehatan, rezeki, kesuksesan, sampai pada kematian. Demikian banyak ‘faktor X’ yang tidak bisa dikendalikannya. Dan ia menganggap semua itu hanya sebagai ‘kebetulan’ belaka. Padahal, itu justru menunjukkan kelemahan berpikir yang sangat mendasar.

Mana ada ‘kebetulan’ yang terjadi secara terus menerus dan demikian teratur. Bukan hanya dalam skala besar makrokosmos, melainkan sampai ke hal-hal yang sangat detil di mikrokosmos. Jika kita ‘open-mind’ maka kita akan dengan mudah menyimpulkan dan sekaligus ‘merasakan’ betapa di balik semua ini ada ‘Sesuatu’ yang sangat Cerdas, yang mengendalikannya dengan sangat teliti. Alam semesta dengan segala isinya tidak terjadi dan berlangsung by accident tapi benar-benar by design.

Lantas dikatakan, ‘yaah semua itu kan karena evolusi alam’. Sebuah ungkapan pembenaran yang mencari mudahnya saja tanpa mau mengkaji lebih detil. Kalaupun itu dipaksakan juga, maka berarti dia mengakui bahwa alam inilah yang memiliki ‘kecerdasan’ itu. Alam bisa mengatur dirinya sendiri. Bisa menciptakan dirinya dari ketiadaan menjadi ada. Bisa menyeimbangkan gaya gravitasi di seluruh penjuru semesta. Bisa mengadakan gaya nuklir yang menyatukan partikel-partikel, dan kemudian menjadikannya atom-atom, molekul-molekul, planet-planet, bintang dan galaksi. Dengan segala gaya gravitasi dan elektromagnetik yang mengatur peristiwa di dalamnya.

Dan lantas bisa memunculkan kehidupan di muka bumi dengan segala keteraturanya. Dan kemudian, bisa mengarahkan bumi memiliki air, punya atmosfer, punya gunung-gunung yang menyeimbangkan bumi, punya mekanisme hujan yang sangat canggih. Lantas, tiba-tiba juga bisa ‘berkehendak’ menciptakan sel tunggal yang hidup di bumi. Yang membuat para ilmuwan seluler maupun biomolekuler ‘geleng-geleng kepala’ menyaksikan kecanggihannya yang demikian menakjubkan. Dan kelak memunculkan kehidupan manusia yang berperadaban, yang demikian kompleks.

Bagaimana mungkin atom-atom yang tak punya kehendak bisa membentuk formasi H2O, lemak, protein, gula, dan berbagai nutrisi yang dbutuhkan tubuh. Yang jika meleset sedikit saja, misal H2O menjadi H2O2, maka triliunan sel di dalam tubuh kita bakal keracunan dan mati massal. Dst. Dslb. Dll…

Oh, bagaimana bisa ada ‘orang berakal’ yang menyebut semua itu sebagai berjalan secara kebetulan? Tanpa adanya kecerdasan di balik segala kejadian yang demikian teratur dan akurat? Wahai, benarkah alam yang mati ini memiliki kemampuan sedemikian dahsyatnya? Wahai, benarkah alam yang mati ini memiliki kehendak dan tujuan? Dan, memiliki kekuasaan untuk mengendalikan segalanya sampai waktu tertentu? Dan bisa merespon dengan sangat cerdas semua peristiwa yang terjadi di dalamnya? Dst, dll, dlsb… :(

Orang-orang yang terkungkung di dalam ego sempit, akan mengatakan: ‘’ya, demikianlah memang alam semesta. Itu sudah given.’’ Hhehe, siapa yang memberi… :) Atau mungkin akan mengatakan: "ya memang alam ini punya kecerdasan, punya kehendak, punya tujuan, punya kekuasaan, bisa bereaksi, bisa mengendalikan, dst, dst…’’.

Nah, mulai muncul pengakuannya, bahwa alam dikendalikan oleh sebuah Kecerdasan yang Maha Hebat. Yang Kehendaknya tidak ada yang bisa melawan. Yang Kekuasannya meliputi seluruh alam semesta. Yang Ilmunya tak terbatas kedahsyatannya. Yang Akurasinya membuat kita terbengong-bengong, dst, dst, dst. Itulah Tuhannya orang Islam.

DIA adalah ‘SESUATU’ yang menciptakan alam semesta ini dari tiada menjadi ada, mengontrolnya dengan kekuasaan dan kecerdasan yang tak terukur oleh manusia, dan kelak akan melenyapkannya kembali jika saatnya tiba..!

QS. Al Hasyr [59]: 22-24
Dia-lah Allah Yang tidak ada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Dia-lah Allah Yang tidak ada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Berkuasa, Yang Memiliki segala keagungan, Maha Suci, Allah dari apa yang mereka persekutukan.

Dia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-Nama Yang Paling baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

~ Salam Beragama dengan Akal Sehat ~


LEBIH SEKULER DARI YANG SEKULER

oleh Agus Mustofa pada 23 November 2011 pukul 17:32


Banyak ‘orang Islam’ yang lebih sekuler daripada orang-orang sekuler sendiri. Yakni, orang-orang Islam yang memisahkan ‘agama’ dan ‘non agama’ dalam hidupnya. Itulah orang-orang yang disindir oleh Allah: mereka beragama tidak secara total (kaaffah).

QS. Al-Baqarah [2] : 208
Hai orang-orang yang beriman, MASUKLAH kamu ke dalam Islam secara TOTAL, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah syaitan (tidak total alias sekuler). Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.

Yang disebutnya agama, hanyalah urusan shalat, wudhu, baca Qur’an, puasa, zakat, haji, dan semacamnya. Mereka menyebut berkeluarga itu urusan dunia, dan bukan urusan agama. Bekerja juga urusan dunia, bukan urusan agama. Bertani, urusan dunia. Berdagang urusan dunia. Berilmu dan berteknologi itu urusan dunia. Demikian pula bersosial, politik, budaya, dan lain sebagainya.

Sesungguhnya, ini bertabrakan dengan ajaran Islam sendiri: Al Qur’an dan keteladanan Rasulullah. Karena, justru Allah dan Rasul-Nya mengajarkan untuk menyatukan seluruh perbuatan kita hanya semata-mata karena Allah. Yang disebut beragama secara TAUHID itu adalah MENYATUKAN dunia dan akhirat untuk Allah semata. Jangan DIPISAH-PISAHKAN.

Bahwa bekerja itu ya untuk beribadah, mendekatkan diri kepada Allah. Berkeluarga itu, juga untuk beribadah mendekatkan diri kepada Allah. Demikian pula berilmu, berteknologi, berpolitik, berbudaya, ber-‘apa saja’. Sehingga uang, harta benda, kekuasaan, ilmu pengetahuan, dan SEGALA pencapaian DUNIAWI itu semuanya diorientasikan untuk Allah, untuk kehidupan akhirat.

Artinya, semua yang ada di dunia ini mesti dijadikan MEDIA untuk beribadah dan mengabdi kepada Allah. Tidak ada satu pun yang tidak bermakna ibadah. Karena Allah menciptakan manusia memang untuk beribadah,

QS. Al-Waqi’ah [51]: 56
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan MANUSIA melainkan supaya mereka BERIBADAH kepada-Ku (dalam segala aktifitasnya).’’

Maka, KUASAILAH DUNIA, genggamlah dunia, untuk sepenuh-penuhnya digunakan beribadah kepada-Nya. Hablum minallah maupun hablum minannas. Berupa interaksi personal dengan Allah, maupun kemaslahatn buat umat manusia dan makhluk lainnya.

Sehingga, tidak heran Al Qur’an menyuruh umat Islam untuk memahami berbagai macam ‘ilmu dunia’ mulai dari ilmu falak (astronomi), biologi (ilmu hayat), kimia (alkemi), Matematika (aljabar), fisika, kedokteran, ekonomi, politik, dlsb, dst. Semua itu ilmu Allah yang dianjurkan untuk kita pelajari. Untuk apa? Bukan untuk mengejar duniawi, melainkan untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah Sang Pencipta yang Maha Pintar dan Maha Berilmu. Semakin tinggi ilmunya, semakin tinggi derajatnya di hadapan Allah. Tentu, jika semua itu diorientasikan untuk ibadah. Beragama secara total ~ kaaffah.

Karenanya, Allah menyebut orang-orang yang takut kepada Allah itu ya HANYA para ULAMA. Sedangkan yang tidak berilmu, takutnya hanya PURA-PURA. Atau setidak-tidaknya, ditakut-takutkan. Bukan takut sungguhan. Tapi jangan salah, yang disebut ulama itu bukan orang yang hanya bisa baca Al Qur’an dan kitab-kitab peninggalan ulama terdahulu saja, melainkan para ILMUWAN. Sehingga, perhatikan ayat di bawah ini, sebelum Allah mengatakan bahwa yang takut kepada Allah hanyalah para ulama, Allah terlebih dahulu bercerita tentang FENOMENA-FENOMENA ALAM.

QS. Faathir [35]: 27-28
Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan HUJAN dari LANGIT lalu Kami hasilkan dengan hujan itu BUAH-BUAHAN yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara GUNUNG-GUNUNG itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat.

Dan demikian (pula) di antara MANUSIA, binatang-binatang melata dan BINATANG-BINATANG ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang TAKUT kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, HANYA-lah ULAMA (ilmuwan). Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun.

Jadi, adalah sebuah kesalahan besar jika ada diantara kita yang menganggap isi agama ini hanya ngurusi ibadah-ibadah mahdloh alias ibadah-ibadah khusus belaka. Dan kemudian meninggalkan segala yang dianggap ‘urusan duniawi’ tersebut. Padahal dengan menguasai yang ‘duniawi’ itulah kita akan memperoleh yang ukhrawi. Dan, tentu semakin mengenal Allah dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya dalam tataran teori. Melainkan benar-benar menyaksikan: bersyahadat di dalam realitas kehidupan…

Orang yang bekerja keras sehingga banyak rezeki, memiliki kans lebih besar untuk bisa berbuat kebajikan dengan harta bendanya. Orang yang bekerja keras sehingga memperoleh kekuasaan, memiliki peluang lebih besar untuk beramal saleh dengan kekuasaannya. Orang yang bekerja keras sehingga berilmu tinggi, memiliki kesempatan lebih besar untuk menebarkan ilmu yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat. Itulah orang-orang yang dimuliakan Allah di dunia dan di akhirat.

Jangan seperti orang yang disebut Allah sebagai PEMBOHONG dalam beragama. Yakni orang-orang yang hanya sibuk ngurusi shalat (dan ibadah-ibadah khusus lainnya), tetapi TIDAK MENJALANKAN nilai-nilai shalatnya (ibadahnya) di dalam kehidupan nyata. Yakni orang-orang yang tidak menolong anak-anak yatim, tidak memberi makan orang miskin, dan riya dengan ibadah-ibadahnya. Itulah orang-orang yang diancam neraka meskipun ibadah mahdlohnya ‘kelihatan baik’ secara syariat…

QS. Al Maa’un [107]: 1-7
Tahukah kamu (orang) yang (disebut sebagai) PEMBOHONG agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka celakalah (neraka wail) bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai TERHADAP (nilai-nilai) shalatnya, orang-orang yang berbuat riya’. Dan enggan (menolong dengan) hal-hal yang berguna (tidak beramal kebajikan).

Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~


Rabu, 23 November 2011

MENEMPATKAN HADITS SESUAI DENGAN FUNGSINYA

Sahabat JERNIH yang (mudah-mudahan) dimuliakan oleh Allah ..

Beberapa hari terakhir ini grup yang kita cintai ini tiba-tiba suasananya agak “menghangat” dikarenakan oleh pembahasan klasik seputar Hadits. Sebenarnya berdiskusi tentang Hadits, atau apa pun, di grup ini adalah suatu kewajaran, akan tetapi menjadi “agak berbahaya” jika sudah ada saling lempar tuduhan sesat, ingkar sunnah, liberal, dsb.

Permasalahan ini perlu segera ditengahi!

Sebagian kelompok memilih untuk menerima tanpa kecuali hadits-hadits yang dianggap shahih, sebagian lagi menolak tanpa kecuali, dan sebagian lagi berusaha memilah-milah dan memikirkan posisi dirinya di antara kedua pendapat tersebut.

Kalau saya sendiri bersikap: Menempatkan Hadits sesuai dengan fungsi dan kapasitasnya!

Selama ini orang masih rancu membedakan antara Sunnah dengan Hadits.
Sunnah Nabi memiliki pengertian: “Segala perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad SAW.”
Sementara Hadits secara harfiah berarti: “Perkataan atau Berita.”

Dengan demikian hadits-hadits yang ada saat ini adalah “Berita-berita yang menelusuri tentang kehidupan Nabi Muhammad, baik perkataan maupun perbuatan beliau.”

Namun patut diingat, bahwa hadits juga tidak selalu merupakan berita tentang kehidupan Nabi Muhammad, tapi bisa juga merupakan berita tentang kehidupan keluarga dan sahabat Nabi, seperti Aisyah, Abu Bakar, Umar, dan Ali.

Hadits-hadits tentang periwayatan Rasulullah ini mulai dikumpulkan dibukukan kurang lebih dua abad setelah wafatnya Nabi, yaitu pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz.
Beberapa ulama hadits yang terkenal adalah Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud, yang hidup di sekitar abad ke-IX.

Metodenya adalah mereka mencari seorang narasumber yang memiliki riwayat tentang Nabi. Biasanya orang itu akan berkata: “Aku mendengarkan riwayat dari ayahku, yang mendengarnya dari kakekku, yang mendengarnya dari si A, si B, si C,..... si Z yang mendengarnya dari seorang sahabat Nabi (Abu Hurairah) misalnya.... “

Inilah rantai periwayatan kisah seputar Nabi yang mundur hingga kurang lebih dua abad ke belakang ketika Rasulullah masih hidup di abad ke-VII.

Sampai di sini silakan anda telaah. Apa sebenarnya “Hadits” itu?

Cobalah berpikir sederhana, dan jangan terjebak oleh istilah-istilah yang terdengar ‘agamis’ sehingga anda begitu takut untuk memikirkannya!

Ya... Hadits sebenarnya adalah: “Jejak rekam peristiwa Nabi Muhammad SAW, keluarga, dan para sahabat” alias CATATAN SEJARAH!

Di sini saya ingin mengajak para sahabat untuk re-install pemikiran tentang Hadits, bahwa Hadits adalah sejarah dan BUKAN KITAB SUCI bagi umat Islam!

Namun sebagian umat Islam tentu merasa keberatan dengan kesimpulan ini, karena mereka berpegangan dengan sebuah hadits yang mengatakan: “ Aku tinggalkan dua perkara yang jika kalian berpegang kepadanya tidak akan pernah tersesat, yaitu Kitabullah (Al Qur’an) dan Sunnah-ku.”

Maka dengan demikian mereka berpendapat bahwa Hadits wajib digunakan dalam berhukum agama.

Akan tetapi sebagian dari mereka belum tahu bahwa sebenarnya ada tiga versi dari hadits tersebut.
Hadits yang dituliskan di atas adalah hadits yang menjadi pegangan aliran “Ahlus-Sunnah (Sunni)”.

Sementara ada versi hadits yang mengatakan: “Aku tinggalkan dua perkara yang jika kalian berpegang kepadanya tidak akan pernah tersesat, yaitu Kitabullah (Al Qur’an) dan jagalah hubungan dengan keluargaku.” Ini adalah hadits yang menjadi pegangan aliran “Ahlul-Bait (Syi’ah)”.

Dan ada versi ketiga yang hanya berbunyi: “Aku tinggalkan perkara yang jika kalian berpegang kepadanya tidak akan pernah tersesat, yaitu Kitabullah (Al Qur’an).”

Mari kita bijak dalam menyikapi perbedaan versi pada ketiga hadits ini.

Janganlah kita secara pongah mengatakan, “Ah.. itu kan haditsnya orang Syi’ah!” Atau sebaliknya, “Ah.. itu kan katanya orang Sunni!” Hanya gara-gara kita terlahir di tengah-tengah tradisi Sunni atau Syi’ah, dan sejak kecil didoktrin untuk saling membenci aliran yang berlainan. Ketidakbijaksanaan menyikapi versi dalam hadits ini nyata-nyata telah membawa tragedi yang besar bagi umat pilihan Allah ini, yaitu PERPECAHAN!

Bagaimana mungkin umat Islam yang berpotensi besar menjadi khalifah Allah di bumi ini, harus tereduksi kekuatannya akibat perpecahan yang bersumber dari versi hadits!

Tidakkah anda pernah memikirkannya dengan bijak? Ataukah anda justru menjadi bagian dari orang-orang yang menikmati perpecahan ini dengan mengunggulkan alirannya masing-masing seperti yang telah Allah firmankan dalam

QS Ar-Ruum [30]: 31-32
“dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka”.

Maka sudah seharusnya kita mencari tahu jawabannya dengan kembali kepada Al Qur’an. Apakah Al Qur’an pernah menyatakan ada hukum lain selain dirinya? Apakah Al Qur’an pernah, walaupun satu ayat saja, mengatakan untuk mengikuti Sunnah Nabi atau Keluarga Nabi agar orang beriman tidak tersesat?

Bukankah Al Qur’an secara tegas telah menyatakan dirinya lengkap, detail, dan sempurna? Bukankah Al Qur’an juga menjelaskan bahwa Nabi Muhammad dilarang untuk mengada-adakan hukum selain daripada Al Qur’an? Dan bukankah secara tegas, gamblang, dan jelas di beberapa ayat, Al Qur’an menjelaskan bahwa hanya Sunnah Allah (Sunatullah) yang akan berlaku, dan tidak akan ada sunnah-sunnah lainnya yang harus dijadikan hukum dalam Islam?

Setelah anda memikirkan dan mencoba mencari jawaban atas pernyataan dan pertanyaan di paragraf atas, tentu anda akan sampai pada kesimpulan bahwa versi ketiga yaitu: “Aku tinggalkan perkara yang jika kalian berpegang kepadanya tidak akan pernah tersesat, yaitu Kitabullah (Al Qur’an)” adalah yang paling selaras dengan Al Qur’an!

Kalau begitu, apakah kita tidak boleh menggunakan Hadits?

Tentu saja boleh! Asalkan anda menempatkan hadits sesuai dengan fungsinya.

Al Qur’an sudah menjelaskan bahwa ada ayat-ayat yang tersurat maupun tersirat (membutuhkan penafsiran lebih lanjut) dalam

QS Ali Imran [3]: 7
“Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”

Maka boleh saja anda gunakan hadits untuk menjelaskan ayat-ayat yang tersirat tersebut. Misalkan saja, dalam Al Qur’an dikatakan bahwa Nabi Muhammad adalah suri tauladan yang baik. Akan tetapi detail-detailnya tidak dijelaskan, maka silakan saja menelusuri detail tauladan kehidupan Nabi itu lewat media sejarah (hadits).

Jika ada yang mengatakan bahwa hadits berfungsi untuk menjelaskan ayat-ayat Al Qur’an, saya sepakat dengan itu. Tapi harus diingat bahwa “menjelaskan” tidak sama dengan “menambah-nambah hukum”, karena Al Qur’an dengan tegas MELARANG siapa pun termasuk Nabi untuk mengada-adakan hukum selain daripada hukum yang ada dalam Al Qur’an

QS An Nahl [16]: 116
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung”.

Pernyataan bahwa Al Qur’an HARUS dijelaskan dengan Hadits juga tidak memiliki landasan yang kuat. Tidak semua ayat dalam Al Qur’an itu ada penjelasan dengan hadits alias "azbabun nuzulnya" (tidak sampai sepertiga).

Kemudian ada ayat-ayat yang tidak mungkin dijelaskan dengan hadits. Ayat tentang perintah untuk mempelajari bagaimana alam semesta ini diciptakan, misalnya, meskipun anda sehari semalam mencari dalil-dalilnya dalam hadits, anda tidak akan menemukannya, karena memang jawabannya bukan di ilmu sejarah (hadits) melainkan di ilmu pengetahuan alam (IPA).

Sekali lagi, hadits akan bermanfaat jika anda memperlakukannya sesuai dengan kapasitasnya. Jika anda memperlakukannya sebagai “kitab suci kedua” dalam beragama Islam, maka anda sedang membebani hadits tersebut di luar kapasitasnya, dan secara langsung bertabrakan dengan firman Allah dalam Al Qur’an bahwa tidak ada hukum selain daripada Sunatullah dan Al Qur’an itu sendiri.

Maka untuk memudahkan pemahaman tentang bagaimana Hadits itu bisa kita pegang dan jalankan, saya akan merangkumnya menjadi poin-poin seperti di bawah ini:

- Hadits adalah sejarah kehidupan Nabi Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya. Dengan demikian sejarah yang dituliskan itu bisa jadi benar, tapi bisa jadi salah.

- Isi dari hadits tidak boleh bertentangan dengan Al Qur’an. Jika saja ada yang bertentangan otomatis hadits itu harus ditolak.

- Hadits bisa menjelaskan ayat-ayat yang tersirat, akan tetapi tidak boleh menambahi atau mengurangi hukum-hukum yang ditetapkan dalam Al Qur’an.

- Hadits yang mengandung pesan-pesan yang mulia, terlepas dari otentik atau tidak, boleh diikuti. Misalkan saja: “Kebersihan adalah sebagian dari iman”. Atau “Sebaik-baik manusia adalah orang yang selalu memberi manfaat kepada manusia lain“. Namun jika isinya tidak masuk akal dan di luar kewajaran maka tinggalkan saja.

- Hadits yang anda gunakan pun harus dipertimbangkan sesuai dengan konteks kehidupan masyarakat zaman Rasulullah SAW hidup. Jadi anda harus mempertimbangkan isi atau hikmah dari hadits tersebut, ketimbang menerapkannya secara mentah-mentah atau kulitnya saja.

Misalkan saja, hadits yang memerintahkan untuk bersuci dengan air 7 x dicampur dengan tanah jika badan terjilat oleh anjing. Substansinya dari hadits ini adalah agar tubuh kita bersih dari kotoran bukan? Sementara fungsi tanah adalah sebagai zat emulsi, yaitu pemisah kotoran atau lemak. Maka di zaman ini, kita bisa menggantikan tanah dengan sabun yang sama-sama memiliki fungsi emulsi.

Sekali lagi: Perlakukan hadits sesuai dengan kapasitas dan fungsinya, maka anda akan mendapatkan manfaat daripadanya!

Mudah-mudahan penjelasan yang singkat ini bisa lebih mempermudah pemahaman sahabat di grup ini dalam menyikapi diskusi seputar hadits.

Allahu’alam..


Semoga bermanfaat!

NABI MUHAMMAD BUKANLAH SEORANG PEDOFILI!!!


Sahabat JERNIH yang (mudah-mudahan) dirahmati Allah ..

Sudah bukan hal baru jika Nabi Muhammad yang kita cintai senantiasa mendapatkan pelecehan dan hinaan dari orang-orang yang membenci Islam. Dalam pengalaman saya berinteraksi dengan orang-orang itu, salah satu isu yang sering dilontarkan untuk mendiskreditkan Nabi junjungan kita adalah isu pedofili, yaitu tuduhan tentang Rasulullah yang menikahi anak di bawah umur, dalam hal ini Aisyah yang baru berusia 9 tahun.

Akan tetapi bagi saya tidak terlalu mengkhawatirkan jika yang melontarkan tuduhan ini adalah non-muslim. Lebih menyakitkan apabila yang mengatakan adalah seorang muslim, apalagi yang mengaku seorang ustadz, ulama, atau ahli agama! Dan ini saya alami sendiri ketika berdiskusi dengan seorang ulama, yang kebetulan dulu menikahi istri keduanya pada usia 14 tahun. Pak Kyai satu ini begitu bersikukuh bahwa Rasulullah menikahi Aisyah di usia 9 tahun.

Benarkah demikian?

Saya menjelaskan kepadanya, bahwa Rasulullah adalah hamba yang terpilih, dan sangat taat kepada hukum dalam Al Qur’an. Tidak mungkin beliau berani melanggar aturan di dalam Al Qur’an.

QS An Niisa [4] : 6
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka CUKUP UMUR untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya…..”

Sayang sekali, pada saat itu pak Kyai berasumsi bahwa kata “cukup umur” berarti adalah “menstruasi pertama.” Saya tidak tahu apakah beliau bersungguh-sungguh dengan asumsinya itu, ataukah hanya memelintir ayat tersebut untuk membenarkan pandangannya tersebut sekaligus meyakini bahwa Rasulullah menikahi anak-anak, dan tidak mentaati Allah.

Dalam pandangan saya, definisi “cukup umur” atau “dewasa” adalah ketika badan berhenti bertumbuh, biasanya memasuki usia 16 sampai 18. Dewasa atau cukup umur itu tidak hanya berkaitan dengan fisik tapi juga kejiwaannya. Namun sekali lagi, pak Kyai tidak puas dengan penjelasan dari ayat Al Qur’an tersebut, seraya mengatakan bahwa hadits Bukhari telah menerangkan bahwa Rasulullah menikahi Aisyah di usia ke-9!

“Diceritakan oleh Aisyah: ‘Bahwa Nabi menikahinya ketika ia berusia enam tahun, dan berhubungan suami istri ketika dia berusia sembilan tahun, dan dia tetap menjadi istriyna selama sembilan tahun (yaitu sampai kematian Nabi).’” (HR Bukhari)

Baik… saya akan membuktikan ketidakbenaran kisah ini dari hadits lain atau rekam sejarah Nabi!

Bukti 1:
Menurut Ibn Hanbal, setelah wafatnya istri pertama Nabi, Siti Khadijah, Khaulah datang kepada Nabi dan memintanya untuk menikah lagi. Nabi meminta pendapat Khaulah, dan ia berkata: “Kamu dapat menikahi seorang perawan (bikr) atau seorang wanita yang telah menikah (thayyib).” Nabi bertanya siapakah perawan yang bisa beliau nikahi, maka Khaulah menyodorkan nama Aisyah yang merupakan putri dari Abu Bakar.

Semua orang yang mengerti bahasa Arab tentu paham bahwa kata “bikr” tidak digunakan untuk menyebut seorang gadis 9 tahun yang belum dewasa. Kata “jariyah” lebih tepat digunakan untuk menggambarkan seorang gadis di bawah umur yang masih senang bermain-main. Kata “bikr” lebih tepat digunakan untuk seorang wanita yang belum menikah. Dan tentu saja… gadis berusia 9 tahun tidak pantas disebut “wanita!”

Bukti 2:
Menurut kitab tafsir Bukhari, Aisyah menikah pada tahun 1 Hijriyah. Dikisahkan pula bahwa ketika surat Al Qamar diwahyukan, Aisyah berkata: “ Aku masih seorang gadis muda (jariyah).”

Perlu diketahui bahwa menurut catatan sejarah, surat Al Qamar diwahyukan sembilan tahun sebelum peristiwa Hijrah. Maka kesimpulannya, Aisyah bukan hanya telah dilahirkan sebelum surat Al Qamar diwahyukan, namun juga seorang gadis muda di bawah umur (jariyah), dan bukan seorang balita (sibyah) pada waktu itu. Dengan demikian, Aisyah adalah seorang gadis muda (jariyah), sembilan tahun sebelum pernikahannya dengan Rasulullah.

Bukti 3:
Asma, kakak Aisyah diriwayatkan berusia sepuluh tahun lebih tua daripada Aisyah. Hal tersebut diriwayatkan dalam kitab sejarah “Taqreeb al-Tehzeeb” dan “Al-Bidayah wa Al-Nihayah”. Kemudian dikisahkan bahwa Asma meninggal dunia pada tahun 73 Hijriyah, pada usia 100 tahun.

Jika Asma berusia 100 tahun pada tahun 73 Hijriyah, maka ia berusia 27 atau 28 tahun pada saat peristiwa Hijrah.
Jika Asma berusia 27 atau 28 tahun pada saat Hijrah, maka berarti Aisyah berusia 17 atau 18 tahun pada waktu itu (karena terpaut 10 tahun)!
Jika Aisyah menikah pada tahun 1 atau 2 Hijriyah, sesuai catatan sejarah, maka dengan demikian ia menikah antara umur 18-20 tahun!
Usia yang pantas untuk menikah bukan?

Saya katakan kepada pak Kyai, bahwa saya masih bisa memberikan 5 bukti lagi jika ia mau. Sayangnya sekali lagi, pak Kyai ini masih saja keras kepala meyakini bahwa Aisyah dinikahi Nabi di usia ke-9!

Segala bukti logis berdasarkan pendekatan sejarah dan juga ayat Al Qur’an beliau tolak, dengan andalannya yaitu hadits yang diambil dari kitab Bukhari!

Mengapa beliau sangat bersikeras mengenai hal ini? Bukankah lebih bijaksana jika mengakui bahwa Bukhari hanyalah manusia biasa yang mungkin saja membuat kesalahan dalam periwayatan sejarah kehidupan Nabi?

Dan percayalah sahabat sekalian.. Bahwa masih ada banyak orang yang bersikeras mempertahankan kisah yang jelas-jelas memiliki kelemahan historik yang fatal ini! Mereka bakalan sibuk mempersiapkan 1001 macam dalil untuk membenarkan pandangan tersebut!

Kesimpulan apa yang bisa kita dapatkan dari sikap keras kepala ini?
Mereka mempergunakan dalil ini untuk membenarkan hawa nafsu mereka terhadap gadis-gadis di bawah umur! Dan amat sangat disesalkan, bahwa pada kenyataannya tidak jarang kita jumpai orang-orang yang mengaku pintar ilmu agama justru melakukan pernikahan dengan gadis di bawah umur, dengan alasan mereka mengikuti “sunnah Nabi!”

Mari kita bersama-sama membuang jauh-jauh kisah bohong yang disematkan kepada Baginda Rasulullah, Nabi Muhammad SAW yang kita cintai ini!

Saya berharap tulisan ini bisa membantu para sahabat untuk melawan tuduhan keji terhadap Nabi Muhammad, baik yang dilemparkan oleh kaum non-muslim, maupun muslim itu sendiri!

Nabi Muhammad adalah suri tauladan bagi semesta umat, dan tentu saja.. bukanlah seorang pedofili!

Allahu’alam ..

Semoga bermanfaat!