Sabtu, 26 November 2011

ALLAH: SANG PENCIPTA YANG MAHA BIJAKSANA ~ UNTUK KAWAN KITA YANG ‘TAK BERTUHAN’ (4)

oleh Agus Mustofa pada 26 November 2011 pukul 7:22

Pertanyaan ketiga yang disodorkan oleh kawan kita yang atheis adalah: apakah Tuhan yang Menciptakan alam semesta ini Maha Suci dan Maha Bijaksana? Karena menurutnya, jika Tuhan memang Maha Suci dan Bijaksana, seharusnya tidak perlu menciptakan musibah, bencana, kemiskinan, peperangan, kejahatan, dan seterusnya. Apakah Tuhan tidak mampu menciptakan kehidupan yang tanpa penderitaan? Kalau begitu, lantas buat apa bertuhan kepada Tuhan yang demikian?

Inilah salah satu alasan mendasar yang menjadi background kenapa seseorang menjadi atheis. Memang, secara umum, ada dua kelompok atheis. Yang pertama, adalah orang atheis yang ingkar dan jahat. Yakni, orang-orang yang ‘memusuhi’ Tuhan dan memusuhi kebajikan. Inilah yang di dalam Surat Alfatihah disebut sebagai kelompok Al maghdluubi ‘alaihim ~ orang-orang yang ‘dimarahi’. Dan kelompok kedua adalah orang-orang yang atheis dikarenakan ‘belum kenal’ Allah. Belum paham Islam. Yang demikian ini disebut sebagai Adh dhoollin, alias orang-orang yang tersesat.

Dalam kesempatan yang terbatas ini, saya tidak ingin membahas kelompok pertama: mereka yang atheis karena memusuhi Tuhan. Dan ingin lebih fokus kepada kelompok kedua, yang menjadi atheis dikarenakan ‘belum kenal’ Allah saja. Saya kira, pembahasan ini lebih relevan dalam kajian kali ini. Terutama terkait dengan pertanyaan kawan kita di atas: apakah Tuhan Maha Suci dan Maha Bijaksana.

Saya ingin memulai pembahasan ini dari pertanyaan terakhir: Apakah Tuhan tak mampu menciptakan kehidupan yang tanpa penderitaan? Yaitu: tanpa hal-hal negative, tanpa musibah, tanpa bencana, tanpa kemiskinan, tanpa penyakit, tanpa kejahatan, tanpa kelaparan dan kehausan, tanpa korupsi dan kekerasan, tanpa keserakahan, tanpa iri, dengki, dan berbagai keculasan..? Ooh, tentu saja mampu. Lha, kalau tidak mampu, buat apa kita bertuhan kepada ‘sesuatu’ yang tidak mampu seperti itu? Cari Tuhan yang mampu sajalah... ;)

Tetapi kalaupun Tuhan lantas membuat semua variable kehidupan ini menjadi positive, tanpa ada negative, apakah hidup kita akan menjadi lebih menyenangkan? Hmm, jangan-jangan kita salah duga. Apakah Anda pernah membayangkan betapa ‘tidak nikmatnya’ makan, ketika kita sedang kenyang. Dan betapa ‘tidak nikmatnya’ minum, ketika sedang tidak haus? Dengan kata lain, lapar dan haus itu sangat penting, karena dengan adanya lapar & haus itu kita menjadi bisa merasakan nikmatnya makan dan minum. Kalau tidak percaya cobalah sendiri: makanlah ketika sedang kenyang, dan minumlah ketika tidak haus. Rasanya ‘hambar’ atau bahkan menjadi 'eneg' karenanya. Sebaliknya, betapa nikmatnya makan ketika kita sedang kelaparan dan kehausan. So, rasa lapar dan haus itu sengaja diciptakan Tuhan untuk kenikmatan manusia.

Pernah jugakah Anda membayangkan, betapa nikmatnya beristirahat setelah kecapekan? Woow, tidur menjadi lelap, dan terasa nikmat luar biasa. Sebaliknya, betapa pusing dan sakitnya kepala, tidur yang ‘dipaksa-paksakan dikarenakan badan memang tidak sedang kelelahan. Jadi, betapa bijaksananya Allah yang telah menciptakan variabel ‘kelelahan’ itu. Karena dengannya, DIA sedang memberikan karunia berupa ‘referensi’ tentang nikmatnya tidur.

Pernahkah juga Anda membayangkan betapa nikmatnya perasaan dan jiwa kita, sesaat setelah lepas dari masalah berat? Dan betapa hambarnya hidup orang-orang yang tidak pernah punya masalah? Yang tidak punya ‘tantangan’ untuk ditaklukkan. Yang tidak punya ‘problem’ untuk diselesaikan. Yang tidak punya ‘harapan-harapan’ indah di masa depan, karena semua sudah tercukupi sekarang. Hhhh, betapa hambarnya. Sebuah kehidupan yang tanpa gairah..!

Justru hidup ini menjadi demikian indah, karena kita punya gairah dan harapan ke masa depan. Dan harapan-harapan itu muncul dikarenakan kita merasa bahwa hari ini belum mencapai sesuatu yang kita inginkan. Belum mencapai kesempurnaan. Kalau semua harapan sudah pupus sekarang, untuk apa kita melanjutkan hidup? Di-tamat-kan sajalah, karena sudah tak menggairahkan lagi… ;)

Justru hidup ini menjadi demikian indah karena ada penderitaan, sehingga kita punya harapan untuk memupus penderitaan itu. Baik pada diri sendiri maupun pada orang lain. Hidup ini juga menjadi indah karena ada kejahatan, sehingga kita bergairah untuk menebar kebaikan. Hidup ini pun menjadi indah, karena ada kemiskinan, sehingga kita bisa merasakan sejahteranya menjadi orang kaya, dan bersemangat untuk memberantas kemiskinan agar mereka juga merasakan bahagia seperti kita. Woow, betapa indahnya kehidupan ini. Mestinya kita berterima kasih kepada Tuhan, karena DIA telah menciptakan kehidupan yang demikian dinamis, penuh harapan dan gairah.

Pernahkah Anda bayangkan ketika semua orang di dunia ini kaya raya? Saya jamin, Anda akan merasakan betapa sulitnya hidup. Karena, tidak ada lagi yang mau menanam padi, membudidayakan buah-buahan, susah-susah beternak, dan menyiapkan segala makanan, serta memproduksi pakaian, mendirikan industri kendaraan, menggelar hiburan. Pokoknya, tidak ada yang mau repot bekerja, semuanya ingin jadi Big Boss. Kira-kira, tambah nyaman ataukah malah rumit kehidupan ini?

Pernahkah Anda membayangkan, jika semua orang di dunia ini adalah penguasa? Hhehe, tidak ada yang mau menjadi rakyat jelata..! Pernahkah juga Anda membayangkan, jika Tuhan menjadikan semua manusia di dunia ini  sebagai pemimpin? Ehhmm, tidak ada yang mau jadi bawahan. Atau semua orang diciptakan pintar, tak ada yang bodoh? Jadi nggak tahu dong, seseorang itu pintar kalau tidak ada yang bodoh? Dst, dlsb.

Karena ada orang sakit, lantas ada dokter. Karena ada penjahat, maka muncullah profesi jaksa, hakim dan polisi. Karena ada pencuri dan perampok, muncullah pabrik alarm, teralis besi, dan kunci pengaman. Karena ada orang miskinlah, yang menyebabkan munculnya para dermawan. Dan, karena ada orang yang terzalimi, maka muncullah para pahlawan. Dan seterusnya, dan lain sebagainya..!

Jika permukaan bumi ini datar, maka air tak akan pernah mengalir ke tempat yang lebih rendah. Kalau suhu udara di bumi ini sama di semua kawasan, maka tak ada udara yang bergerak. Lantas tak terjadi musim. Tak ada hujan. Dan kemudian, tak ada tumbuhan. Terus, tak ada binatang. Dan akhirnya, tak ada manusia! Tak ada kehidupan..!

Jika tidak ada binatang buas yang menjadi predator, maka rantai makanan tidak akan bergerak. Rantai biologi menjadi stagnan. Akan muncul ketidakseimbangan sistem kehidupan. Jika tidak ada bakteri pembusuk, virus, berbagai macam penyakit, dan semacamnya, maka bisa dipastikan bumi ini sudah penuh dengan sampah, atau dengan manusia yang tak mati-mati karena sehat terus.. ;(

Demikian juga dengan peperangan, pembunuhan, musibah dan bencana. Semua itu adalah variable negative dari drama kehidupan yang di sisi lain justru menegaskan adanya variable positive. Dimana ada penderitaan disitu juga bakal muncul kebahagiaan. Dimana ada kegagalan, maka disitu juga bakal ada kesuksesan. Dimana ada kesedihan, maka disitu pula bakal muncul kegembiraan. Dimana pun ada variable negative, maka disitu pula muncul variable positive. Dan karenanyalah, drama kehidupan ini menjadi demikian indah dan dinamis.

QS. Adz Dzaariyaat [51]: 49
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu ingat akan kebesaran Allah.

QS. Ar Ra’d [13]: 3
Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (eksistensi Allah) bagi kaum yang (mau) menggunakan akalnya.

Oooh, betapa Maha Bijaksananya Allah, Sang Tuhan Yang Maha Pandai. Hanya karena kebodohanlah, lantas kita berprasangka buruk kepada-Nya. Padahal, Dia sedang menginginkan kita bisa merasakan nikmat dan karunia-Nya. Dia Maha Suci dari segala yang kita prasangkakan. Karena, kemampuan-Nya memang jauh di luar perkiraan pikiran manusia yang sangat terbatas. Tapi, justru karena gap antara DIA dan kita yang sedemikian 'tak berhingga' itulah, lantas menjadi menarik dan menggairahkan untuk bertuhan kepada-Nya... :)

Akhirnya, jika masih ada orang yang tetap ngeyel, dengan mengatakan: apakah Tuhan tidak bisa menciptakan kehidupan yang variabelnya positip semua, tetapi nikmat buat manusia? Pokoknya, seperti yang saya maui-lah. Hhehe.., maka cukuplah Anda katakan: ‘’gimana kalau tuhannya sampeyan saja mas?’’

Tapi, sungguh ‘tidak menarik’ dan 'tidak menggairahkan' bertuhan kepada orang yang memahami hal yang 'demikian gamblang’ saja nggak ngerti-ngerti… :) ~ (Bersambung…)


~ Salam Beragama dengan Akal Sehat ~

ALAM SEMESTA PUN BEREVOLUSI DI DALAM SUNNATULLAH ~ UNTUK KAWAN KITA YANG ‘TAK BERTUHAN’ (3)

oleh Agus Mustofa pada 25 November 2011 pukul 10:16


Alam semesta dengan segala isinya ini tidak muncul tiba-tiba. Ia mengalami proses bertahap selama miliaran tahun, sehingga menjadi seperti sekarang. Dan itu bukan hanya terjadi pada makhluk hidup (biologi) saja, melainkan di seluruh penjuru alam semesta. Semuanya melewati proses evolusi..!

Virus dan kuman berevolusi. Ikan-ikan berevolusi. Ular, kadal dan reptil-reptil berevolusi. Demikian pula berbagai binatang buas, binatang ternak, burung, dan segala macam jenis hewan lainnya, serta manusia. Tapi, jangan salah, Bumi dan planet-planet pun mengalami evolusi. Atmosfernya berevolusi, daratan dan lautan berevolusi. Gunung-gunung, bebatuan, tambang-tambang minyak, batubara, emas, tembaga, nikel, uranium, dan sebagainya mereka semua mengalami evolusi selama berjuta-juta tahun. Bahkan bumi sudah berevolusi sekitar 5 miliar tahun.

Termasuk juga tatasurya kita ini berevolusi. Mataharinya juga. Pun bintang-bintang di angkasa raya. Galaksi-galaksi, super kluster, dan seluruh isi alam semesta ini sedang mengalami evolusi selama lebih dari 13 miliar tahun. Begitulah memang mekanisme alam, yang di dalam Islam dikenal sebagai sunnatullah.

Bentuk bumi, planet-planet, bintang, galaksi, dan berbagai benda langit, miliaran tahun yang lalu tidak seperti yang kita lihat sekarang. Demikian pula, miliaran tahun mendatang, tidak juga seperti sekarang. Semuanya sedang berubah secara bertahap lewat ‘seleksi alam’…

Wah, jadi ada ‘seleksi alam’ kah di seluruh penjuru jagad semesta ini? Bukan hanya untuk makhluk hidup to? Jawabnya lugas: jelas ADA. Tentu saja bagi yang mau berpikir terbuka. Dan mau menyaksikan perubahan yang sedang terjadi di seluruh jagad raya. Semua benda sedang berubah menuju bentuk, tatanan, bahkan fungsi yang berbeda seiring dengan perjalanan waktu. Hanya saja, peristiwa-peristiwa makrokosmos memang terjadi dalam skala miliaran tahun. Sehingga seakan-akan tidak terjadi perubahan berarti dalam kurun usia seorang manusia.

‘Seleksi alam’ adalah hukum alam yang inheren dalam eksistensi universe dengan segala isinya. Siapa atau apa saja, yang  bisa bertahan terhadap seleksi alam bakal bisa meneruskan drama ‘kehidupannya’. Sebaliknya yang tak mampu bertahan, bakal ‘mati’ dan musnah. Binatang, tumbuhan, dan manusia sebagai makhluk hidup, terkena seleksi alam itu. Dan planet, bulan, matahari, serta bintang-bintang pun terkena seleksi alam. Ada yang tetap berada di dalam tatanannya. Ada yang mencelat dari orbitnya. Ada yang meledak menjadi supernova, dan ada juga yang kesedot lenyap ke dalam black hole.

Bahkan dalam skala miliaran tahun sejarah universe, kita ‘menyaksikan’ evolusi telah dan sedang terjadi, mulai dari skala mikrokosmos sampai ke makrokosmos. Mulai dari quark, partikel-partikel sub atomic, atom, molekul, sampai munculnya benda-benda raksasa yang mengisi ruang jagad raya. Awalnya alam semesta hanya berupa ‘lautan energi’ sop kosmos, yang kemudian meledak dan mengembang, sehingga menghasilkan partikel-partikel, disusul terbentuknya atom berinti sederhana – proton tunggal – yang kita kenal sebagai Hidrogen. Lantas, muncullah atom berinti proton & neutron ganda seperti Helium, meningkat lagi menjadi Berelium, dan seterusnya. Sehingga, sekarang di alam semesta ada lebih dari seratus jenis atom, dengan intinya berisi ratusan proton dan neutron. Begitulah evolusi yang terjadi di lingkungan benda mati.

‘Seleksi alam’ pula yang menyebabkan partikel-partikel bebas itu bergabung menjadi atom, menjadi molekul, menjadi gas, padatan atau pun cairan, dan kemudian bergerombol membentuk planet, tata surya, galaksi, dan sebagainya. Ringkas kata, saya hanya ingin meluruskan pendapat yang mengatakan bahwa seleksi alam dan evolusi hanya terjadi pada makhluk hidup alias ranah biologi saja.

Evolusi dan seleksi alam adalah hukum alam yang sudah menyatu di seluruh penjuru jagad semesta. Mikorokosmos maupun makrokosmos. Biologi maupun non biologi. Bahkan termasuk peristiwa-peristiwa sosial, ekonomi, budaya, dan lain sebagainya. Ini adalah mekanisme dasar ‘drama kehidupan’ alam semesta.

Masalahnya, dalam konteks ‘ketuhanan’ yang sedang kita bicarakan ini adalah: apakah seleksi alam itu berlangsung secara ‘sengaja’ atau ‘tidak sengaja’? Ada yang ‘mengendalikan’ ataukah berjalan secara ‘liar’? Ada ‘kecerdasan’ yang terlibat di dalamnya ataukah ‘menggelinding’ begitu saja?

Menjadi agak lucu juga, ketika seleksi alam disebut sebagai ‘alternative ketiga’ dari pilihan: by accidentataukah by design. Kebetulan ataukan diciptakan. Karena yang ditanyakan itu justru adalah tentang ‘seleksi alam’ itu sendiri.Ketika ditanyakan: mekanisme seleksi alam tersebut terjadi sengaja ataukah tidak sengaja? Dijawab: ya, terjadi lewat seleksi alam. Lha iya, ada yang mengendalikan atau tidak? Jawabnya: ya, terjadi melalui seleksi alam. Walahh, susah amat sih berkomunikasinya… :(

Padahal dengan sangat sederhana bisa dijawab. Misalnya, kalau memang mau ‘menghindari’ jawaban bahwa seleksi alam itu bukan atas ‘campur tangan Tuhan’ (karena memang atheis), ia bisa menjawab: semua itu terjadi ‘dengan sendirinya’, tidak ada yang mengendalikan, dan bukan kebetulan, serta tidak ada kecerdasan apa pun yang terlibat di dalam proses itu. Pokoknya, ya terjadi begitu saja… ;)

Maka, marilah kita runtutkan cara berpikir kita dengan jernih. Yang pertama, pahamilah dulu bahwa alam semesta ini memiliki hukum termodinamika yang menjelaskan adanya implikasi entropi. Bahwa alam semesta ini sudah terbukti menuju pada proses kerusakan dan kekacauan yang semakin tinggi.

Benda-benda langit semakin hari semakin tua, dan kemudian akan mati pada waktunya. Bumi juga semakin lama semakin tua, dan kelak pun bakal mati sebagaimana benda-benda langit lainnya. Isi bumi ini, termasuk manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan juga semakin lama semakin tua dan kemudian mati. Maka, menurut hukum termodinamika kedua, untuk mempertahankan agar semua itu tidak segera mati, harus ada energi ataupun usaha yang dimasukkan ke dalam sistem, sehingga mengkompensasi entropi yang terus meningkat.

Misal, agar mesin mobil tidak segera mati, ya harus diberi bensin. Agar manusia tidak segera mati, mesti dimasuki makanan, minuman, dan oksigen. Agar buah tidak membusuk, haruslah diawetkan. Agar dunia tidak tenggelam oleh sampah, ya harus dibersihkan. Agar kita menjadi pintar, ya harus belajar. Agar hidup kita sukses, ya harus ada usaha dan perjuangan. Dan seterusnya. Dan lain sebagainya. Itulah hukum entropi alam semesta yang berlaku pada makhluk hidup maupun benda mati. Sebuah hukum yang bersifat universal..!

Maka bagaimana bisa ada suatu pendapat yang mengatakan bahwa seleksi alam bisa berjalan dengan sendirinya tanpa ada campur tangan dari luar sistem? Tanpa ada bensin yang dimasukkan ke mesin mobil, tanpa ada makanan dan oksigen yang kita konsumsi, tanpa ada usaha dan pembelajaran..?! Ini sungguh-sungguh menyalahi hukum alam yang paling dasar.

Alam semesta ini tidak akan bisa bertahan selama miliaran tahun seperti ini, jika tidak ada CAMPUR TANGAN dari luar sistem. ‘Usaha’ yang berasal dari luar jagad raya itu sendiri. Energi yang tidak berasal dari dalam ruang, waktu, materi & energi universe. Siapa saja yang menganggap alam semesta bisa berjalan dengan sendirinya, ia telah menabrak hukum ilmiah yang paling dasar. Dengan kata lain, ia mulai berpikir dengan cara meninggalkan kaidah-kaidah saintifik.

Jika alam semesta tidak memperoleh tambahan ‘usaha’ atau energi dari luar sistem, alam ini sudah runtuh dan hancur lebur sejak ledakan pertama: big bang. Dalam alam yang entropinya meningkat seperti alam kita ini, ledakan tidak pernah menghasilkan suatu ‘sistem yang tertata’ seperti jagad raya sekarang. Dimana partikel-partikel sub atomik berangsur-angsur menjadi atom, dan atom-atom menjadi molekul dengan keseimbangan gaya yang luar biasa. Lantas berangsur-angsur menjadi unsur-unsur alam semesta penyusun benda-benda langit dalam skala maha raksasa. Dan kemudian memunculkan gaya nuklir kuat, nuklir lemah, elektromagnetik, serta gravitasi secara berurutan. Sebuah LEDAKAN selalu menghasikan kerusakan dan KEKACAUAN. Lha ini kok malah menghasilkan KETERATURAN..!

Kenapa semua ini bisa terbentuk sedemikian harmonisnya? Karena ada FAKTOR dari luar sistem yang memasukkan ‘usaha’ sebagai bentuk campur tangan agar hukum entropi tidak menghancurkannya. Siapakah DIA? Itulah yang oleh orang-orang atheis disebut sebagai FAKTOR X. Dan kita, umat Islam menyebut-Nya sebagai Allah Azza Wajalla..! Zat yang Maha Cerdas, Maha Berkuasa, dan Maha Bijaksana.

QS. Al Mulk [67]: 3
Yang telah menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?

QS. Al Infithaar [82]: 6-8
Hai manusia, apakah yang telah memperdayakanmu (sehingga kamu mengingkari) Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (struktur tubuh)-mu seimbang, dalam kecanggihan bentuk yang Dia kehendaki, Dia telah menyusun tubuhmu.

Allah yang Maha Sempurna telah menciptakan mekanisme hukum alam yang sangat menakjubkan. Kecelakaan, kematian dan kehancuran, bukanlah tanda tidak sempurnanya desain penciptaan universe, tetapi justru menunjukkan betapa sempurnanya sunnatullah yang telah menyeimbangkan antara hukum entropi dengan keniscayaan adanya campur tangan Sang Maha Perkasa. (Bersambung… )


~ Salam Beragama dengan Akal Sehat ~

Jumat, 25 November 2011

KEIMANAN DOGMATIS & KEIMANAN SAINTIFIK ~ UNTUK KAWAN KITA YANG ‘TAK BERTUHAN’ (2)

oleh Agus Mustofa pada 24 November 2011 pukul 20:07


Saya ingin memulai tulisan kedua ini dengan mengenalkan KEIMANAN Islam kepada kawan kita yang mengaku atheis, terkait dengan konsep ‘bertuhan’. Pemahaman tentang ‘iman’ yang tidak tepat akan menghasilkan persepsi ketuhanan yang juga keliru. Setidak-tidaknya, nggak sesuai dengan yang dimaksudkan oleh al Qur’an.

Ada keimanan yang bersifat DOGMATIS, dan ada keimanan yang berdasar BUKTI-BUKTI. Keimanan di dalam Islam adalah keimanan yang dibangun berdasar bukti-bukti dengan memanfaatkan fungsi akal. Karena itu, menjadi keliru jika memahami keimanan Islam hanya berdasar dogmatisme, sebagaimana agama lain.

QS. Al Anbiyaa’ [21]: 56
Ibrahim berkata: "Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya; dan aku termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas yang demikian itu".

QS. An Naml [27]: 64
Atau siapakah yang menciptakan (manusia), kemudian mengulanginya? Dan siapakah yang memberikan rezki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)?. Katakanlah: "Unjukkanlah bukti kebenaranmu, jika kamu memang orang-orang yang benar".

Maka substansi keimanan terhadap adanya Tuhan - di dalam Islam - justru didasarkan pada eksplorasi akal terhadap segala realitas sekitar. Tujuannya adalah menemukan Kekuatan Maha Dahsyat yang menguasai dan mengendalikan alam semesta ini. Sebagaimana yang diceritakan Al Qur'an tentang 'pencarian Tuhan' oleh Nabi Ibrahim. Sehingga, keimanan di dalam Islam bukanlah keimanan yang sekedar ikut-ikutan berdasar tradisi sebagaimana dipersepsi oleh mereka yang tidak memahami Islam. Justru, yang demikian ini dikecam di dalam al Qur’an.

QS. Al Baqarah [2]: 170
Dan bila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami terima dari (tradisi) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui sesuatu pun, dan tidak mendapat petunjuk?"

QS. Yusuf [12]: 108
Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah dengan argumentasi yang jelas. Maha Suci Allah, dan aku bukan termasuk orang-orang yang menyekutukan (bertuhan kepada selain Allah)".

Maka, keimanan Islam harus dibangun berdasar eksplorasi akal dengan berpedoman pada kitab sucinya. Al Qur’an tidak mendogma penganutnya untuk ikut-ikutan dalam beragama, melainkan sebaliknya mendorong untuk bersikap kritis dan mencari bukti-bukti kebenaran yang terhampar di alam semesta. Inilah bedanya keimanan Islam dengan keimanan agama lain.

QS. Ali Imran [3]: 7
… Dan tidak bisa mengambil pelajaran (dari Al Qur’an) kecuali orang-orang yang menggunakan akal.

QS. Ali Imran [3]: 191
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (eksistensi Tuhan) bagi orang-orang yang berakal,

QS. Yunus [10]: 100
Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah marah besar kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.

Sengaja saya kutipkan ayat-ayat Qur’an sebagai argumentasi, bahwa Islam mengajarkan keimanan yang berdasar pada ‘akal sehat’. Bukan dogma-dogma dan doktrin-doktrin tak berdasar. Itulah akal yang digunakan untuk memahami kebenaran dalam bertuhan. Bukan akal yang digunakan untuk ‘mengakal-akali’ kebenaran. Atau malah menjauhi Tuhan.

Klarifikasi yang kedua, adalah kaitan antara SAINS dengan KEIMANAN Islam. Boleh jadi di agama lain, keimanan bertabrakan dengan sains. Sebagaimana terekam dalam sejarah perkembangan agama Kristen di Eropa, misalnya. Tetapi, itu tidak pernah terjadi (dan seharusnya memang tidak terjadi) pada keimanan Islam. Justru, sejarah menunjukkan bahwa sains dan teknologi berkembang pesat di zaman keemasan Islam. Ilmu kedokteran, matematika, astronomi, kimia, metalurgi, filsafat, ekonomi, sosial, politik, tatanegara, dst, dlsb, justru memperoleh tempat yang terhormat. Sekaligus mendorong kualitas keimanan umat Islam kepada Tuhannya. Dan yang demikian memang didorongkan oleh al Qur’an, sebagai pedoman dalam beriman kepada Allah.

QS. Al Ghaasiyah [88]: 17
Maka apakah mereka tidak mengobservasi unta bagaimana dia diciptakan? Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?

QS. An Nahl [16]: 79
Tidakkah mereka memperhatikan burung-burung yang dimudahkan terbang di angkasa bebas. Tidak ada yang menahannya selain daripada Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (pelajaran) bagi orang-orang yang beriman.

QS. Asy Syu’araa [26]: 7
Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya Kami tumbuhkan di bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik?

QS. An Naml [27]: 86
Apakah mereka tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Kami telah menjadikan malam supaya mereka beristirahat padanya dan siang yang menerangi? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (eksistensi Tuhan) bagi orang-orang yang beriman.

QS. Luqman [31]: 31
Tidakkah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya kapal itu berlayar di laut dengan karunia Allah, supaya diperlihatkan-Nya kepadamu sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (pelajaran) bagi semua orang yang sangat sabar lagi banyak bersyukur.

QS. Az Zumar [39]: 21
Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, maka diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu ia menjadi kering lalu kamu melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.

QS. Yaa siin [36]: 77
Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setitik air (mani), maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata!

QS. Shaad [38]: 29
Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang mempunyai akal mendapat pelajaran.

QS. Ath Thaariq [86]: 5
Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan?

Dan ratusan ayat lagi yang memiliki semangat keilmuan dalam membangun keimanan kepada-Nya. Yang kalau saya tuliskan disini semuanya, mungkin bakal membosankan orang-orang yang tidak mengakui Tuhan. Tapi sebaliknya, bakal menguatkan orang-orang yang beriman. Mereka bisa merasakan kehadiran Allah sebagai Tuhan yang Maha Dahsyat di seluruh penjuru alam semesta yang diamatinya. Bahwa Allah telah meliputi seluruh horizon pandangannya, di langit dan di bumi, beserta segala yang ada diantara keduanya…

QS. An Nisaa’ [4]: 126
Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah Allah Maha Meliputi segala sesuatu.

Maka, bagi seorang muslim, sains adalah alat untuk melakukan pembuktian-pembuktian secara terukur dalam memahami ciptaan Allah yang terhampar di alam semesta. Sebuah mahakarya yang sempurna, dengan segala mekanisme hukum alam yang menyertainya. Manusia terlahir, menua, dan kelak menemui kematiannya. Bumi terlahir, menua, dan kelak juga menemui kehancurannya. Bintang dan matahari terlahir, menua, dan kelak pun menemui akhir masanya. Sebagaimana alam semesta juga terlahir, menua, dan kelak akan menemui keruntuhannya.

Demikian sempurnanya drama alam semesta dengan segala isinya, semata-mata untuk menunjukkan kepada manusia yang tinggi hati ini, bahwa yang kekal hanyalah Allah Tuhan Penguasa Jagad Semesta..! (Bersambung )

~ Salam Beragama dengan Akal Sehat ~


Kamis, 24 November 2011

TIDAK ADA MANUSIA YANG TAK BERTUHAN ~ UNTUK KAWAN KITA YANG ‘TAK BERTUHAN’ (1)

oleh Agus Mustofa pada 24 November 2011 pukul 6:42


Adalah sangat menarik buat saya, ketika ada seseorang mengatakan dirinya tidak bertuhan. Kenapa? Karena, ternyata Al Qur’an sebagai kitab suci yang kebenarannya tak terbantahkan, tidak pernah menyebut adanya manusia atheis. Yang ada ialah manusia yang tidak bertuhan kepada Allah.

Sehingga, konsekuensinya, seluruh manusia pasti bertuhan. Cuma bertuhannya itulah yang macam-macam. Ada yang bertuhan kepada patung, batu, kuburan, pohon, nenek moyang, dan lain sebagainya, seperti yang terjadi pada orang-orang tradisional zaman dulu. Meskipun, sampai sekarang masih ada juga yang mewarisi tradisi itu. Sehingga, jika Anda berkeliling ke suku tradisional di seluruh dunia, Anda akan mendapati mereka pasti menyembah tuhan-tuhan. Apa pun bentuknya.

Pada kalangan yang lebih modern, juga selalu bertuhan. Tidak ada yang tidak bertuhan. Hanya saja tuhannya bukan benda-benda tradisional itu. Melainkan yang dianggap lebih ‘masuk akal’ dan ‘bergengsi’. Misalnya, bertuhan kepada sains. Bertuhan kepada logika dan rasionalitas. Bertuhan kepada ilmuwan yang dikaguminya. Bertuhan kepada diri sendiri. Dan seterusnya. Pokoknya, apa pun namanya, setiap manusia pasti bertuhan kepada sesuatu.

Sains menjadi kecenderungan baru sebagai ‘agama’ manusia modern. Sehingga ada yang menyebut istilah: Scientology. Mereka memanfaatkan sains untuk melakukan praktek-praktek kehidupannya termasuk spiritualisme. Siapakah tuhan yang mereka anut? Adalah hukum alam dengan segala formulasi-formulasi yang terus berubah berdasar bukti-bukti empiris yang seringkali telah mengalami manipulasi.

Nah, oleh karenanya tidak ada orang yang benar-benar atheis. Yang beragama pasti punya tuhan, yang tidak beragama pun pasti punya tuhan. Tinggal, tuhannya itu siapa. Dan memiliki kemampuan yang hebat ataukah tidak… ;) Bahwa kemudian ada yang memaknai atheis sebagai menolak adanya tuhan lain, selain yang diakuinya, itu oke-oke saja. Barangkali ini semacam pembelaan diri, dan sekedar mencari teman untuk menyebut orang lain seperti dirinya yang atheis… ;)

Misalnya, karena orang Islam tidak percaya kepada tuhan Yesus, Zeus, Siwa, Wisnu, Apollo, Rha, Venus, Athena, Thor, Sidharta Gautama, dst, maka disebutlah orang-orang Islam sebagai atheis kepada tuhan-tuhan selain Allah. Itu sih benar adanya, karena sesuai dengan kalimat syahadatnya: ‘tidak ada tuhan selain Allah’. Artinya, banyak tuhan yang dianut manusia, tetapi Tuhan yang paling hebat adalah Allah.

Dengan kata lain, ini justru menjadi ‘kalimat pembenar’ bahwa memang tidak ada yang benar-benar atheis di dunia ini. Semuanya pasti bertuhan, tinggal bertuhannya kepada siapa. Dan itulah, yang memang sejak awal dikatakan oleh al Qur’an. Dan kemudian saya jadikan ungkapan dasar, bahwa tidak ada orang yang tidak bertuhan. Persoalannya tinggal, dia mengakui Allah sebagai Tuhan yang menguasai seluruh tuhan-tuhan itu, ataukah tidak.

Jadi ketika ada seseorang yang menyangkal semua tuhan, termasuk menyangkal keberadaan Allah, maka sesungguhnya dia juga telah bertuhan kepada ‘sesuatu’, selain tuhan yang tidak diakuinya itu. Diantaranya, dia telah bertuhan kepada konsep ke-atheis-annya. Atau, kepada para tokoh pencetusnya. Atau, kepada logika dan rasionalitasnya sendiri yang dikiranya sudah hebat, sehingga tidak butuh tuhan-tuhan apa pun selain dirinya.

Sementara, demikian banyak kelemahan yang ada pada dirinya, termasuk cara berpikir. Dan, begitu banyak pula hal-hal yang terjadi di luar kendalinya. Mulai dari kelahiran, kesehatan, rezeki, kesuksesan, sampai pada kematian. Demikian banyak ‘faktor X’ yang tidak bisa dikendalikannya. Dan ia menganggap semua itu hanya sebagai ‘kebetulan’ belaka. Padahal, itu justru menunjukkan kelemahan berpikir yang sangat mendasar.

Mana ada ‘kebetulan’ yang terjadi secara terus menerus dan demikian teratur. Bukan hanya dalam skala besar makrokosmos, melainkan sampai ke hal-hal yang sangat detil di mikrokosmos. Jika kita ‘open-mind’ maka kita akan dengan mudah menyimpulkan dan sekaligus ‘merasakan’ betapa di balik semua ini ada ‘Sesuatu’ yang sangat Cerdas, yang mengendalikannya dengan sangat teliti. Alam semesta dengan segala isinya tidak terjadi dan berlangsung by accident tapi benar-benar by design.

Lantas dikatakan, ‘yaah semua itu kan karena evolusi alam’. Sebuah ungkapan pembenaran yang mencari mudahnya saja tanpa mau mengkaji lebih detil. Kalaupun itu dipaksakan juga, maka berarti dia mengakui bahwa alam inilah yang memiliki ‘kecerdasan’ itu. Alam bisa mengatur dirinya sendiri. Bisa menciptakan dirinya dari ketiadaan menjadi ada. Bisa menyeimbangkan gaya gravitasi di seluruh penjuru semesta. Bisa mengadakan gaya nuklir yang menyatukan partikel-partikel, dan kemudian menjadikannya atom-atom, molekul-molekul, planet-planet, bintang dan galaksi. Dengan segala gaya gravitasi dan elektromagnetik yang mengatur peristiwa di dalamnya.

Dan lantas bisa memunculkan kehidupan di muka bumi dengan segala keteraturanya. Dan kemudian, bisa mengarahkan bumi memiliki air, punya atmosfer, punya gunung-gunung yang menyeimbangkan bumi, punya mekanisme hujan yang sangat canggih. Lantas, tiba-tiba juga bisa ‘berkehendak’ menciptakan sel tunggal yang hidup di bumi. Yang membuat para ilmuwan seluler maupun biomolekuler ‘geleng-geleng kepala’ menyaksikan kecanggihannya yang demikian menakjubkan. Dan kelak memunculkan kehidupan manusia yang berperadaban, yang demikian kompleks.

Bagaimana mungkin atom-atom yang tak punya kehendak bisa membentuk formasi H2O, lemak, protein, gula, dan berbagai nutrisi yang dbutuhkan tubuh. Yang jika meleset sedikit saja, misal H2O menjadi H2O2, maka triliunan sel di dalam tubuh kita bakal keracunan dan mati massal. Dst. Dslb. Dll…

Oh, bagaimana bisa ada ‘orang berakal’ yang menyebut semua itu sebagai berjalan secara kebetulan? Tanpa adanya kecerdasan di balik segala kejadian yang demikian teratur dan akurat? Wahai, benarkah alam yang mati ini memiliki kemampuan sedemikian dahsyatnya? Wahai, benarkah alam yang mati ini memiliki kehendak dan tujuan? Dan, memiliki kekuasaan untuk mengendalikan segalanya sampai waktu tertentu? Dan bisa merespon dengan sangat cerdas semua peristiwa yang terjadi di dalamnya? Dst, dll, dlsb… :(

Orang-orang yang terkungkung di dalam ego sempit, akan mengatakan: ‘’ya, demikianlah memang alam semesta. Itu sudah given.’’ Hhehe, siapa yang memberi… :) Atau mungkin akan mengatakan: "ya memang alam ini punya kecerdasan, punya kehendak, punya tujuan, punya kekuasaan, bisa bereaksi, bisa mengendalikan, dst, dst…’’.

Nah, mulai muncul pengakuannya, bahwa alam dikendalikan oleh sebuah Kecerdasan yang Maha Hebat. Yang Kehendaknya tidak ada yang bisa melawan. Yang Kekuasannya meliputi seluruh alam semesta. Yang Ilmunya tak terbatas kedahsyatannya. Yang Akurasinya membuat kita terbengong-bengong, dst, dst, dst. Itulah Tuhannya orang Islam.

DIA adalah ‘SESUATU’ yang menciptakan alam semesta ini dari tiada menjadi ada, mengontrolnya dengan kekuasaan dan kecerdasan yang tak terukur oleh manusia, dan kelak akan melenyapkannya kembali jika saatnya tiba..!

QS. Al Hasyr [59]: 22-24
Dia-lah Allah Yang tidak ada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Dia-lah Allah Yang tidak ada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Berkuasa, Yang Memiliki segala keagungan, Maha Suci, Allah dari apa yang mereka persekutukan.

Dia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-Nama Yang Paling baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

~ Salam Beragama dengan Akal Sehat ~


LEBIH SEKULER DARI YANG SEKULER

oleh Agus Mustofa pada 23 November 2011 pukul 17:32


Banyak ‘orang Islam’ yang lebih sekuler daripada orang-orang sekuler sendiri. Yakni, orang-orang Islam yang memisahkan ‘agama’ dan ‘non agama’ dalam hidupnya. Itulah orang-orang yang disindir oleh Allah: mereka beragama tidak secara total (kaaffah).

QS. Al-Baqarah [2] : 208
Hai orang-orang yang beriman, MASUKLAH kamu ke dalam Islam secara TOTAL, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah syaitan (tidak total alias sekuler). Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.

Yang disebutnya agama, hanyalah urusan shalat, wudhu, baca Qur’an, puasa, zakat, haji, dan semacamnya. Mereka menyebut berkeluarga itu urusan dunia, dan bukan urusan agama. Bekerja juga urusan dunia, bukan urusan agama. Bertani, urusan dunia. Berdagang urusan dunia. Berilmu dan berteknologi itu urusan dunia. Demikian pula bersosial, politik, budaya, dan lain sebagainya.

Sesungguhnya, ini bertabrakan dengan ajaran Islam sendiri: Al Qur’an dan keteladanan Rasulullah. Karena, justru Allah dan Rasul-Nya mengajarkan untuk menyatukan seluruh perbuatan kita hanya semata-mata karena Allah. Yang disebut beragama secara TAUHID itu adalah MENYATUKAN dunia dan akhirat untuk Allah semata. Jangan DIPISAH-PISAHKAN.

Bahwa bekerja itu ya untuk beribadah, mendekatkan diri kepada Allah. Berkeluarga itu, juga untuk beribadah mendekatkan diri kepada Allah. Demikian pula berilmu, berteknologi, berpolitik, berbudaya, ber-‘apa saja’. Sehingga uang, harta benda, kekuasaan, ilmu pengetahuan, dan SEGALA pencapaian DUNIAWI itu semuanya diorientasikan untuk Allah, untuk kehidupan akhirat.

Artinya, semua yang ada di dunia ini mesti dijadikan MEDIA untuk beribadah dan mengabdi kepada Allah. Tidak ada satu pun yang tidak bermakna ibadah. Karena Allah menciptakan manusia memang untuk beribadah,

QS. Al-Waqi’ah [51]: 56
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan MANUSIA melainkan supaya mereka BERIBADAH kepada-Ku (dalam segala aktifitasnya).’’

Maka, KUASAILAH DUNIA, genggamlah dunia, untuk sepenuh-penuhnya digunakan beribadah kepada-Nya. Hablum minallah maupun hablum minannas. Berupa interaksi personal dengan Allah, maupun kemaslahatn buat umat manusia dan makhluk lainnya.

Sehingga, tidak heran Al Qur’an menyuruh umat Islam untuk memahami berbagai macam ‘ilmu dunia’ mulai dari ilmu falak (astronomi), biologi (ilmu hayat), kimia (alkemi), Matematika (aljabar), fisika, kedokteran, ekonomi, politik, dlsb, dst. Semua itu ilmu Allah yang dianjurkan untuk kita pelajari. Untuk apa? Bukan untuk mengejar duniawi, melainkan untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah Sang Pencipta yang Maha Pintar dan Maha Berilmu. Semakin tinggi ilmunya, semakin tinggi derajatnya di hadapan Allah. Tentu, jika semua itu diorientasikan untuk ibadah. Beragama secara total ~ kaaffah.

Karenanya, Allah menyebut orang-orang yang takut kepada Allah itu ya HANYA para ULAMA. Sedangkan yang tidak berilmu, takutnya hanya PURA-PURA. Atau setidak-tidaknya, ditakut-takutkan. Bukan takut sungguhan. Tapi jangan salah, yang disebut ulama itu bukan orang yang hanya bisa baca Al Qur’an dan kitab-kitab peninggalan ulama terdahulu saja, melainkan para ILMUWAN. Sehingga, perhatikan ayat di bawah ini, sebelum Allah mengatakan bahwa yang takut kepada Allah hanyalah para ulama, Allah terlebih dahulu bercerita tentang FENOMENA-FENOMENA ALAM.

QS. Faathir [35]: 27-28
Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan HUJAN dari LANGIT lalu Kami hasilkan dengan hujan itu BUAH-BUAHAN yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara GUNUNG-GUNUNG itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat.

Dan demikian (pula) di antara MANUSIA, binatang-binatang melata dan BINATANG-BINATANG ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang TAKUT kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, HANYA-lah ULAMA (ilmuwan). Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun.

Jadi, adalah sebuah kesalahan besar jika ada diantara kita yang menganggap isi agama ini hanya ngurusi ibadah-ibadah mahdloh alias ibadah-ibadah khusus belaka. Dan kemudian meninggalkan segala yang dianggap ‘urusan duniawi’ tersebut. Padahal dengan menguasai yang ‘duniawi’ itulah kita akan memperoleh yang ukhrawi. Dan, tentu semakin mengenal Allah dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya dalam tataran teori. Melainkan benar-benar menyaksikan: bersyahadat di dalam realitas kehidupan…

Orang yang bekerja keras sehingga banyak rezeki, memiliki kans lebih besar untuk bisa berbuat kebajikan dengan harta bendanya. Orang yang bekerja keras sehingga memperoleh kekuasaan, memiliki peluang lebih besar untuk beramal saleh dengan kekuasaannya. Orang yang bekerja keras sehingga berilmu tinggi, memiliki kesempatan lebih besar untuk menebarkan ilmu yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat. Itulah orang-orang yang dimuliakan Allah di dunia dan di akhirat.

Jangan seperti orang yang disebut Allah sebagai PEMBOHONG dalam beragama. Yakni orang-orang yang hanya sibuk ngurusi shalat (dan ibadah-ibadah khusus lainnya), tetapi TIDAK MENJALANKAN nilai-nilai shalatnya (ibadahnya) di dalam kehidupan nyata. Yakni orang-orang yang tidak menolong anak-anak yatim, tidak memberi makan orang miskin, dan riya dengan ibadah-ibadahnya. Itulah orang-orang yang diancam neraka meskipun ibadah mahdlohnya ‘kelihatan baik’ secara syariat…

QS. Al Maa’un [107]: 1-7
Tahukah kamu (orang) yang (disebut sebagai) PEMBOHONG agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka celakalah (neraka wail) bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai TERHADAP (nilai-nilai) shalatnya, orang-orang yang berbuat riya’. Dan enggan (menolong dengan) hal-hal yang berguna (tidak beramal kebajikan).

Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~


Rabu, 23 November 2011

MENEMPATKAN HADITS SESUAI DENGAN FUNGSINYA

Sahabat JERNIH yang (mudah-mudahan) dimuliakan oleh Allah ..

Beberapa hari terakhir ini grup yang kita cintai ini tiba-tiba suasananya agak “menghangat” dikarenakan oleh pembahasan klasik seputar Hadits. Sebenarnya berdiskusi tentang Hadits, atau apa pun, di grup ini adalah suatu kewajaran, akan tetapi menjadi “agak berbahaya” jika sudah ada saling lempar tuduhan sesat, ingkar sunnah, liberal, dsb.

Permasalahan ini perlu segera ditengahi!

Sebagian kelompok memilih untuk menerima tanpa kecuali hadits-hadits yang dianggap shahih, sebagian lagi menolak tanpa kecuali, dan sebagian lagi berusaha memilah-milah dan memikirkan posisi dirinya di antara kedua pendapat tersebut.

Kalau saya sendiri bersikap: Menempatkan Hadits sesuai dengan fungsi dan kapasitasnya!

Selama ini orang masih rancu membedakan antara Sunnah dengan Hadits.
Sunnah Nabi memiliki pengertian: “Segala perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad SAW.”
Sementara Hadits secara harfiah berarti: “Perkataan atau Berita.”

Dengan demikian hadits-hadits yang ada saat ini adalah “Berita-berita yang menelusuri tentang kehidupan Nabi Muhammad, baik perkataan maupun perbuatan beliau.”

Namun patut diingat, bahwa hadits juga tidak selalu merupakan berita tentang kehidupan Nabi Muhammad, tapi bisa juga merupakan berita tentang kehidupan keluarga dan sahabat Nabi, seperti Aisyah, Abu Bakar, Umar, dan Ali.

Hadits-hadits tentang periwayatan Rasulullah ini mulai dikumpulkan dibukukan kurang lebih dua abad setelah wafatnya Nabi, yaitu pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz.
Beberapa ulama hadits yang terkenal adalah Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud, yang hidup di sekitar abad ke-IX.

Metodenya adalah mereka mencari seorang narasumber yang memiliki riwayat tentang Nabi. Biasanya orang itu akan berkata: “Aku mendengarkan riwayat dari ayahku, yang mendengarnya dari kakekku, yang mendengarnya dari si A, si B, si C,..... si Z yang mendengarnya dari seorang sahabat Nabi (Abu Hurairah) misalnya.... “

Inilah rantai periwayatan kisah seputar Nabi yang mundur hingga kurang lebih dua abad ke belakang ketika Rasulullah masih hidup di abad ke-VII.

Sampai di sini silakan anda telaah. Apa sebenarnya “Hadits” itu?

Cobalah berpikir sederhana, dan jangan terjebak oleh istilah-istilah yang terdengar ‘agamis’ sehingga anda begitu takut untuk memikirkannya!

Ya... Hadits sebenarnya adalah: “Jejak rekam peristiwa Nabi Muhammad SAW, keluarga, dan para sahabat” alias CATATAN SEJARAH!

Di sini saya ingin mengajak para sahabat untuk re-install pemikiran tentang Hadits, bahwa Hadits adalah sejarah dan BUKAN KITAB SUCI bagi umat Islam!

Namun sebagian umat Islam tentu merasa keberatan dengan kesimpulan ini, karena mereka berpegangan dengan sebuah hadits yang mengatakan: “ Aku tinggalkan dua perkara yang jika kalian berpegang kepadanya tidak akan pernah tersesat, yaitu Kitabullah (Al Qur’an) dan Sunnah-ku.”

Maka dengan demikian mereka berpendapat bahwa Hadits wajib digunakan dalam berhukum agama.

Akan tetapi sebagian dari mereka belum tahu bahwa sebenarnya ada tiga versi dari hadits tersebut.
Hadits yang dituliskan di atas adalah hadits yang menjadi pegangan aliran “Ahlus-Sunnah (Sunni)”.

Sementara ada versi hadits yang mengatakan: “Aku tinggalkan dua perkara yang jika kalian berpegang kepadanya tidak akan pernah tersesat, yaitu Kitabullah (Al Qur’an) dan jagalah hubungan dengan keluargaku.” Ini adalah hadits yang menjadi pegangan aliran “Ahlul-Bait (Syi’ah)”.

Dan ada versi ketiga yang hanya berbunyi: “Aku tinggalkan perkara yang jika kalian berpegang kepadanya tidak akan pernah tersesat, yaitu Kitabullah (Al Qur’an).”

Mari kita bijak dalam menyikapi perbedaan versi pada ketiga hadits ini.

Janganlah kita secara pongah mengatakan, “Ah.. itu kan haditsnya orang Syi’ah!” Atau sebaliknya, “Ah.. itu kan katanya orang Sunni!” Hanya gara-gara kita terlahir di tengah-tengah tradisi Sunni atau Syi’ah, dan sejak kecil didoktrin untuk saling membenci aliran yang berlainan. Ketidakbijaksanaan menyikapi versi dalam hadits ini nyata-nyata telah membawa tragedi yang besar bagi umat pilihan Allah ini, yaitu PERPECAHAN!

Bagaimana mungkin umat Islam yang berpotensi besar menjadi khalifah Allah di bumi ini, harus tereduksi kekuatannya akibat perpecahan yang bersumber dari versi hadits!

Tidakkah anda pernah memikirkannya dengan bijak? Ataukah anda justru menjadi bagian dari orang-orang yang menikmati perpecahan ini dengan mengunggulkan alirannya masing-masing seperti yang telah Allah firmankan dalam

QS Ar-Ruum [30]: 31-32
“dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka”.

Maka sudah seharusnya kita mencari tahu jawabannya dengan kembali kepada Al Qur’an. Apakah Al Qur’an pernah menyatakan ada hukum lain selain dirinya? Apakah Al Qur’an pernah, walaupun satu ayat saja, mengatakan untuk mengikuti Sunnah Nabi atau Keluarga Nabi agar orang beriman tidak tersesat?

Bukankah Al Qur’an secara tegas telah menyatakan dirinya lengkap, detail, dan sempurna? Bukankah Al Qur’an juga menjelaskan bahwa Nabi Muhammad dilarang untuk mengada-adakan hukum selain daripada Al Qur’an? Dan bukankah secara tegas, gamblang, dan jelas di beberapa ayat, Al Qur’an menjelaskan bahwa hanya Sunnah Allah (Sunatullah) yang akan berlaku, dan tidak akan ada sunnah-sunnah lainnya yang harus dijadikan hukum dalam Islam?

Setelah anda memikirkan dan mencoba mencari jawaban atas pernyataan dan pertanyaan di paragraf atas, tentu anda akan sampai pada kesimpulan bahwa versi ketiga yaitu: “Aku tinggalkan perkara yang jika kalian berpegang kepadanya tidak akan pernah tersesat, yaitu Kitabullah (Al Qur’an)” adalah yang paling selaras dengan Al Qur’an!

Kalau begitu, apakah kita tidak boleh menggunakan Hadits?

Tentu saja boleh! Asalkan anda menempatkan hadits sesuai dengan fungsinya.

Al Qur’an sudah menjelaskan bahwa ada ayat-ayat yang tersurat maupun tersirat (membutuhkan penafsiran lebih lanjut) dalam

QS Ali Imran [3]: 7
“Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”

Maka boleh saja anda gunakan hadits untuk menjelaskan ayat-ayat yang tersirat tersebut. Misalkan saja, dalam Al Qur’an dikatakan bahwa Nabi Muhammad adalah suri tauladan yang baik. Akan tetapi detail-detailnya tidak dijelaskan, maka silakan saja menelusuri detail tauladan kehidupan Nabi itu lewat media sejarah (hadits).

Jika ada yang mengatakan bahwa hadits berfungsi untuk menjelaskan ayat-ayat Al Qur’an, saya sepakat dengan itu. Tapi harus diingat bahwa “menjelaskan” tidak sama dengan “menambah-nambah hukum”, karena Al Qur’an dengan tegas MELARANG siapa pun termasuk Nabi untuk mengada-adakan hukum selain daripada hukum yang ada dalam Al Qur’an

QS An Nahl [16]: 116
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung”.

Pernyataan bahwa Al Qur’an HARUS dijelaskan dengan Hadits juga tidak memiliki landasan yang kuat. Tidak semua ayat dalam Al Qur’an itu ada penjelasan dengan hadits alias "azbabun nuzulnya" (tidak sampai sepertiga).

Kemudian ada ayat-ayat yang tidak mungkin dijelaskan dengan hadits. Ayat tentang perintah untuk mempelajari bagaimana alam semesta ini diciptakan, misalnya, meskipun anda sehari semalam mencari dalil-dalilnya dalam hadits, anda tidak akan menemukannya, karena memang jawabannya bukan di ilmu sejarah (hadits) melainkan di ilmu pengetahuan alam (IPA).

Sekali lagi, hadits akan bermanfaat jika anda memperlakukannya sesuai dengan kapasitasnya. Jika anda memperlakukannya sebagai “kitab suci kedua” dalam beragama Islam, maka anda sedang membebani hadits tersebut di luar kapasitasnya, dan secara langsung bertabrakan dengan firman Allah dalam Al Qur’an bahwa tidak ada hukum selain daripada Sunatullah dan Al Qur’an itu sendiri.

Maka untuk memudahkan pemahaman tentang bagaimana Hadits itu bisa kita pegang dan jalankan, saya akan merangkumnya menjadi poin-poin seperti di bawah ini:

- Hadits adalah sejarah kehidupan Nabi Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya. Dengan demikian sejarah yang dituliskan itu bisa jadi benar, tapi bisa jadi salah.

- Isi dari hadits tidak boleh bertentangan dengan Al Qur’an. Jika saja ada yang bertentangan otomatis hadits itu harus ditolak.

- Hadits bisa menjelaskan ayat-ayat yang tersirat, akan tetapi tidak boleh menambahi atau mengurangi hukum-hukum yang ditetapkan dalam Al Qur’an.

- Hadits yang mengandung pesan-pesan yang mulia, terlepas dari otentik atau tidak, boleh diikuti. Misalkan saja: “Kebersihan adalah sebagian dari iman”. Atau “Sebaik-baik manusia adalah orang yang selalu memberi manfaat kepada manusia lain“. Namun jika isinya tidak masuk akal dan di luar kewajaran maka tinggalkan saja.

- Hadits yang anda gunakan pun harus dipertimbangkan sesuai dengan konteks kehidupan masyarakat zaman Rasulullah SAW hidup. Jadi anda harus mempertimbangkan isi atau hikmah dari hadits tersebut, ketimbang menerapkannya secara mentah-mentah atau kulitnya saja.

Misalkan saja, hadits yang memerintahkan untuk bersuci dengan air 7 x dicampur dengan tanah jika badan terjilat oleh anjing. Substansinya dari hadits ini adalah agar tubuh kita bersih dari kotoran bukan? Sementara fungsi tanah adalah sebagai zat emulsi, yaitu pemisah kotoran atau lemak. Maka di zaman ini, kita bisa menggantikan tanah dengan sabun yang sama-sama memiliki fungsi emulsi.

Sekali lagi: Perlakukan hadits sesuai dengan kapasitas dan fungsinya, maka anda akan mendapatkan manfaat daripadanya!

Mudah-mudahan penjelasan yang singkat ini bisa lebih mempermudah pemahaman sahabat di grup ini dalam menyikapi diskusi seputar hadits.

Allahu’alam..


Semoga bermanfaat!